Senin, 14 April 2008

Refleksi kehidupan

Ikhlas dari anda,

halal buat kami

oleh taher saleh

Minggu (13/4), barangkali memang bukan hari baik bagi Gino, salah satu pengamen jalanan yang biasa mangkal di Kawasan Kartini Proyek Bekasi. Sedari pukul 11 siang sampai sekarang pukul lima sore dia baru dapat Rp 15.000. Padahal biasanya tiap hari dapat Rp 50.000-60.000 kalau sampai sore. ”Tau nih, hari ini lagi seret, yah rezekinya cuman segini aja kali, tapi gue da bersyukur masih mending dapet,” ujarnya sembari membasuh peluh keringat di wajahnya.

Gino adalah satu dari sekian banyak potret pengamen jalalan yang bertebaran di wilayah Kartini Bekasi. Untuk ukuran pemuda tubuhnya tidak terlalu tinggi, hanya 155 Cm tapi beratnya proporsional 55 Kg. Tak satu pun bulu melekat di wajah panjangnya, yang menonjol hanya bibir yang agak tebal. Baju kaos berlambang happy face grup band Nirvana dipadu jeans belel khas anak rebel. Dia mengaku bukan tipikal seorang bromocorah (repeat offender) atau kaum rebel melainkan dia sangat kooperatif di ajak diskusi.

Dia merantau ke Jakarta tahun 2003 tapi memulai debut sebagai pengamen jalanan (PJ) baru satu tahun. Awalnya dia hanya mengisi waktu luang saat menganggur, ditambah lagi perasaan tinggal di rumah saudara membuatnya enggan meminta uang. Bermodalkan sebuah gitar Yammaha (huruf M dua) dia mulai ”menjual suara” bersama temannya yang biasa di panggil ”buluk”.

Bagi Gino, Jakarta adalah sebuah impian semua orang dan bukan monopoli satu suku, etnis, agama, atau budaya tertentu. Jakarta erat dengan multkultural. Dengan alasan ini dia mulai menapaki langkah barunya, walaupun bukan Jakarta sesungguhnya, karena sekaranag dia berlabuh di Bekasi, masih wilayah Jawa Barat.

Terlahir sebagai anak pertama membuat kedewasaan berfikir jadi suatu kemestian. Dia memiliki empat adik. Dua perempuan dan dua laki-laki. Adiknya yang pertama perempuan, kini indekos di Tangerang dekat dengan lokasi kerja. Usianya tak beda jauh dengan Gino, sedang tiga adik lainnya masih sekolah STM, SMP, dan SD di Desa Wanateti, Kecamatan Karang Jambe, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.

Selepas SDN 1 Karang Jambe, Gino melanjutkan ke SMPN 2 Wanateti lalu ke STM Pancabhakti di Banjarnegara. Masa kecilnya dijalani layaknya anak-anak desa pada umumnya. Nakal, suka berkelahi, mandi di kali, sepak bola, main di sawah, main kuda-kuda-an, petak umpet, dan galaksin (permainan tradisional ini sudah tak nampak lagi, mungkin musnah tergantikan dengan Play Station)

Tahun 2003 Gino lulus STM lalu memutuskan bahwa Jakarta menjadi kota tujuan pencarian jati diri berikutnya. Entah apa yang terlintas di benaknya waktu mendengar kata ”Jakarta”, apakah sesuai dengan perumpamaan lagu-lagu Koes Plus atau sama dengan gambaran Jakarta dalam lagu kompor mledug-nya Bang Bens (Jakarta kebanjiran, di Bogor agin ngamuk....)? Dia belum tahu.

Akhirnya dia tiba di Bekasi, tepatnya di rumah saudaranya. Di tahun pertama Gino melamar di sebuah pabrik CV. Hardiga Utama yang bergerak di bidang garmen. Tiga tahun berlalu, entah karena habis kontrak kerja atau bosan dia keluar. Gaji yang dia dapat saat itu UMR (Upah Minimum Regional) Rp 850.000. Karena lama berkawan dengan waktu luang yang tak memberinya penghasilan, Gino pun inisiatif. ”Waktu itu gue ga enak kao harus minta duit ma Pa’de, yowis gue ngamen aja. Eh pas banget tetangga gue ngasi gitar yang masih bagus tapi udah bolong dikit. Terus gue lem aja buat ngamen,” ceritanya.

Akrab dengan gitar sudah sejak lama tatkala SMP. Dia menuturkan, sempat memiliki grup band dengan nama ”Destroy” beraliran underground. Saat disinggung mengenai cap negatif pada anak-anak band dia menanggapi bahwa terkadang statement itu benar adanya. ”Yah kalo narkoba emang banyak anak band yang make, cuma gue engga’ 100%. Tapi kalo minuman mmmm...iya sih dikit doang, itu juga jarang banget,” sergahnya menampik. Sementara itu rokok sudah menjadi hal yang biasa baginya, mungkin juga bagi sebagian anak muda di Jakarta ini rokok sudah bukan hal yang aneh lagi.

Jadwal mengamen biasanya dimulai dari pukul 11.00-16.00 WIB antara Senin-Kamis. Sedang Jumat hari libur pertimbangannya bukan karena istirahat atau refreshing tapi lebih dikarenakan Jumat sepi pengunjung. Untuk hari sabtu (malam minggu), konser (istilah PJ untuk ngamen) di mulai dari pukul 19.00-23.00 WIB. Dan Minggu tetap seperti hari biasa sampai pukul 16.00 WIB.

Ada beberapa tempat konser yang jadi preferensi buat Gino, di antaranya lesehan-lesehan (warung makan bertenda) di kawasan Kartini Proyek Bekasi, di Terminal Bekasi, Pertokoan Borobudur, Bulak Kapal, dan di dalam bis-bis kota. ”Dulu gue ma temen-temen pernah ke Beos (Kota) juga terus dari duit ngamen itu anak-anak bisa nonton acara Gudang Garam Rock di sana,” katanya.

Penghasilan dari mengamen dapat dikatakan lebih dari cukup. Bayangkan, dalam sehari mereka bisa mengumpulkan Rp. 60.000 bersih, sudah dipotong uang makan, rokok, dan beli senar jika ada yang putus. ”Yah lumayan sih duitnya beli rokok mah, beli senar paling cuma serebu,” kata Gino merendah. Nominal itu jika dikalkulasikan jumlahnya setara dengan pendapatan karyawan kantoran yang terbiasa dengan jas dan pantalon. Bedanya, karyawan kantoran stabil gajinya, sedang mereka hanya bergantung seberapa kuat mereka berjalan dan semerdu apa suara mereka.

”Standarnya kalo gue mulai jam 11 siang tuh biasanya dapet Rp 100.000, malah dulu temen gue si buluk 12 hari langsung beli Nokia 6600 yang waktu itu satu koma dua,” ujarnya bangga.

Pengamen bukan pekerjaan yang menggiriskan. Memang awalnya agak malu, tapi setelah terbiasa maka rasa takut itu akan hilang. Pengalaman bertemu mantan pacar dan sanak famili juga pernah dialaminya. Dan ini harus dibiasakan walaupun terkadang rasa malu selalu melingkupi. Menurutnya menjadi seorang pengamen itu tidak hanya bermodalkan mental pemberani, gitar, suara, dan perbendaharaan lagu saja tetapi yang harus dimiliki juga oleh seorang PJ adalah kemampuan menghibur dan pengetahuan ekspresi dan gesture pendengarnya. Secara tidak langsung dia mengatakan bahwa bukan cuma mahasiswa yang belajar Psikologi tapi PJ juga.

”Sebenarnya pengamen yang baik itu tau gerak gerik yang denger, kalo yang denger da bete ma lagunya, itu pasti ketahuan dari sikpanya die,” ujarnya sambil menongolkan gigi ginsulnya yang belum ”diamplas”

Mengenai gangguan selama ”berkarir” di dunia blantika musik jalanan dia mengaku pernah dianggap ”new comer” yang harus diplonco, namun karena sebelumnya sudah kenal baik dengan pengurus-pengurus KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan) daerah Bekasi maka tak ada yang mengkhawatirkan.

Lagu-lagu Letto, Vagetoz, The Titan, Samsons, dan band-band populer sekarang sudah menjadi makanan dia sehari-hari. Namun dia bukan tergolong PJ yang idealis dengan membawakan genre musik tertentu, Gino tetap di jalur mainstream, mudah saja dia ingin lagunya komersil. ”Gue mau bawain lagu yang banyak orang suka kaya band-band zaman sekarang.”

Pengamen itu bukan pekerjaan yang bergengsi tapi bisa menghidupi diri sendiri bahkan anak-istri bila dijadikan pekerjaan utama tentunya. Gino sendiri belum memikirkan urusan runah tangga. Dia masih melihat masa depan yang belum tergambar hingga kini. Sebenarnya dia tak mau terus menerus jadi PJ, hasrat terbesarnya adalah menajdi orang yang mampu berdiri sendiri, mandiri, tak meminta sesuatu dari orang lain. Kenyataannya saat ini dia belum dapat ”berdiri tegak”.Banyak yang harus dilakukan untuk menuju masa depan yang cerah. ”Kawin? Masih jauh kali,” cerorcosnya genit. Ia berharap ada perubahan yang dilakukan pejabat-pejabat dalam menyediakan lapangan pekerjaan agar angka PJ dapat berkurang. ”Tadi sih gue ga nyoblos pilkada, gue bingung percuma gue nyoblos tapi ga da perubahan. Nyari kerja masih susah. Ya udah pengamen nambah terus deh,” celotehnya bijak.

Pemuda 22 tahun ini terus menatap malam yang merambat. Lamat-lamat terdengar adzan berkumandang. Dia terus menatap seakan akan hendak mendekor langit. Giginya sedikit gemeretak, mungkin karena udara dingin mulai merasuk ke dalam tubuh. Angin pun belum bersahabat karena berubah jadi mata lembing yang menusuk. Tapi senyum tipis masih mengembang di bibirnya yang agak kehitam-hitaman ekses lima tahun terkena nikotin. Dia seakan tak peduli akan desing knalpot kendaraan bermotor yang lalu lalang di jalan utama Kartini. Di tangannya masih menggenggam neck gitar butut, dia mendesah tapi perlahan terus berjalan. Di mana lagi suaranya akan terlantun indah?

Jujur diakui saat menekuni PJ, dia merasa rizki yang selama ini didapat selalu habis tak tentu arah. ”Gue bingung kenapa duit yang gue dapet dari ngamen cepet banget abis, ga tau kenapa? Apa karena banyak yang ngasih tapi ga ikhlas ya?” Dia tercenung sendiri memaknai kata yang acapkali diucapkan dalam prolog konsernya. Ikhlas bagi anda, halal buat kami.

sahabat baru

Bukan buaya darat

Oleh taher saleh

Namanya Raydion, biasa dipanggil Dion. Lahir di Jakarta 24 tahun yang lalu tepat 24 Agustus pukul 04.00 subuh di sebuah rumah tua di Jakarta Timur. Orang tuanya sudah lama menetap di Jakarta sejak mereka masih muda. Bambang Subiantoro, ayahnya, tahun 60-an diboyong kakeknya ke Jakarta dan menetap lama di Kayu Manis Jakarta Timur. Singkat cerita ayahnya bertemu Sudjarwati, seorang gadis yang kemudian dipersuntingnya. Dion anak kedua dari dua bersaudara, keduanya laki-laki. Kakaknya, Radityo, kini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.

Pria yang jarang berolahraga tapi hobi nonton olahraga ini berdarah asli Blitar, Jawa Timur, tapi tentu saja tak ada hubungan keluarga dengan Presiden pertama republik ini, Bung Karno. Namun demikian ini menjadi suatu kebanggaan baginya karena berasal dari daerah yang sama dengan mantan Presiden. Setidaknya dengan kata ”Blitar” Dion merasa bagian dari mozaik sejarah bangsa.

Ayahnya memberi nama Raydion sebab saat itu sedang mengalami kesuksesan karir di bidang advertising (periklanan) untuk radio-radio di Jakarta. Begitu unik memang, tak terbayang apabila saat itu ayahnya membuat iklan untuk televisi, mungkin nama anaknya jadi Televion. Tetapi makna nama sebenarnya secara etimologi dion itu dari kata dian yang artinya sinar atau lampu, sedang ray adalah juga cahaya atau sinar. Ayahnya berharap dion menjadi sesuatu yang bersinar minimal menerangi keluarganya kelak.

Perawakannya tinggi menjulang 180 Cm dan sepertinya tak kesulitan menahan 88 Kg beban tubuhnya. Senyum menyembul di balik wajahnya yang bulat ditambah sederet kumis tipis semakin menambah kejantanan pria yang masih lajang ini. Dion kelihatan garang bila belum mengenal lebih dekat. Tapi bila menelisik lebih dalam, dia adalah pribadi yang santun dan humoris. Pernah mendengar suara Josh groban? Ya, power suara dion agak mirip walaupun tidak terlalu enak ditelinga

Pagi ini dia terlambat. Dengan gontai dia melangkah ke dalam ruang kelas. Wajahnya bersemu merah saat mencari tempat duduk kosong. Pelatihan jurnalistik Bisnis Indonesia yang diikutinya sudah dimulai sepuluh menit lalu, mungkin ini yang membuat dia agak malu datang sedikit terlambat. Tidak biasanya dia terlambat entah hari ini apa gerangan.

“Gue tadi ngeliat mantan gue di London School jadi ngobrol dulu bentaran,” ujarnya sembari menyembulkan senyumnya. Logat betawinya sangat kental, maklum meskipun bukan pribumi, dia lahir di Jakarta. Jadi kota metropolitan ini sudah mendarah daging di hatinya.

Perjalanan hidupnya takkan cukup dituangkan dalam tulisan ini. Merapal kalimat hanya mampu menyentuh bagian luar kisah hidupnya. Namun sekelumit tentangnya menjadi sebuah refleksi bagi kita, bagaimana dia memandang hidup.

Dulu, dia mulai bercerita saat jam istirahat tiba, ketika beranjak kelas empat Sekolah Dasar (SD) rumah yang ditempati keluarganya dijual oleh sang ayah. Setelah menjual rumah yang lama, ayahnya pun kembali membeli rumah di Komplek Kejaksaan 1 nomor 3A blok B1 yang hingga kini ditempati.

Kehidupan sekolah diawali dari SD Strada Vanlith II, lalu lanjut ke SMP Tarakanita IV, kemudian melanjutkan ke SMA Kolese Gonzaga. Setelah merasakan masa-masa indah di kala SMA maka Jurusan Jurnalistik UPH (Universitas Pelita Harapan) menjadi pilihannya hingga akhirnya menyandang gelar Sarjana Sosial tahun 2007 silam.

Seperti anak-anak lainnya, dia pun mengalami tugas-tugas perkembangan pada saat kecil. Bagaimana adaptasi dengan teman-teman baru, bagaimana menemukan bahwa kehidupan bukan hanya sebatas lingkungan keluarga, dan bagaimana mengekspresikan sebuah kata yang menjadi primadona bagi yang kasmaran, ya cinta. Demikian dia memahami arti kehidupan. Semuanya begitu menyatu dan tak dapat dipisahkan. Karir, cinta, dan persahabatan.

Saat kuliah prestasi paling membanggakan baginya adalah ketika didaulat menjadi manajer FISIP SOCCER, tim sepak bola FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Semua mahasiswa yang menyukai sepak bola pasti kenal dia, tapi semua yang kenal dia belum tentu suka sepak bola. Dia pioneer, inisasinya membangun FISIP dari ranah olahraga sangat tepat dan akhirnya berhasil mengangkat pamor sepak bola FISIP di UPH. ”Jangankan sepak bola, senat FISIP-nya aja ga jalan, mandeg, jadi gue ma temen-temen bangun FISIP lewat sepak bola dulu,” ujarnya bersemangat.

Dia bercerita aktifitasnya ketika di UPH sangat menyenangkan. Sebagai seorang yang sedang dilanda idealisme mahasiswa, Dia tipikal orang yang mampu menyesuaikan diri dengan baik.

Menurutnya, UPH sangat kapitalis, hingga suasana diskusi belum dibangun dengan baik. Biaya kuliah yang mahal kisaran Rp 25 juta memang dijawab rektorat dengan fasilitas yang memadai. Tapi imbasnya daya kritis mahasiswa menemui wall fire. Namun dengan kelengkapan fasilitas bukan berarti para mahasiswa apatis terhadap isu sosial. Mahasiswa UPH ternyata juga punya hasrat yang menggelegak bila ada bencana menimpa rakyat Indonesia. ”Biasanya kita selalu ngumpulin dana, dan ga pernah demo-demo di luar kampus kalo ada permasalahan, bukan kita ga peduli tapi rektorat aja tuh kebanyakan kebijakan,” katanya menggerundel.

Pacar

Disinggung mengenai persoalan pribadi (pacar) ia menuturkan wanita selalu menjadi suatu keindahan yang harus dikagumi. ”Punya cewe’ tuh harus cantik, pinter, biar bisa dipamerin sekaligus benerin kita kalo lagi eror,” katanya sembari menyesap nikotin yang tinggal sebatang.

”Gue pernah punya pacar anak London School, lumayan tiga tahun, tapi setelah itu gue putus, ga cocok,” sergahnya lagi dengan agak menyesal. Dion menatap gusar, seakan-akan ada yang yang belum tuntas diungkapnya. Menurutnya ketertarikan wanita terhadap pria tak lepas dari fisik, materialistik, filosofik, idealisme, kultur, ekspektasi, kemistri, dan gengsi. Tapi dia pun ragu masuk kategori yang mana.

”Sekarang gue jomblo ni, ga tau, ga laku kali,” cerocosnya datar.

Dia mengaku bukan tipe buaya darat yang haus belaian wanita. Seringkali dia mengisi waktu luang bersama sahabat dan bila diakumulasikan waktu untuk sahabat lebih banyak dihabiskan dari pada dengan wanita.

Pria penggemar musik Jazz ini mengaku banyak hal yang diperolehnya saat ini. Tentang persahabatan, dia masih meletakan sahabat sebagai sesuatu yang berharga. ”Cari temen tuh susah bro, tapi nyari musuh gampang banget, ” ujarnya berfilosofi.

Hidup itu berat maka jangan sekali-kali pantang menyerah. Tapi tentunya bukan menjadi beban yang harus dipikrkan seolah-olah ini sesuatu yang berbahaya. Menurutnya harus ada selingan dalam hidup ini. Musik, misalnya, Dion sangat menggemari musik-musik jazz dan pop. Andien, Glen Fredly, Michael Buble, dan Iwan Fals menjadi deretan idolanya. ”Gue demen banget ma Fals, dia menyentuh dunia politik tanpa harus menjadi politisi, menyentuh cinta tanpa harus jadi novelis,” katanya bersemangat seperti orasi dengan Toa.

Rencana Masa Depan

Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Setidaknya sebagai manusia, Dion juga ingin selalu lebih baik dari hari kemarin. Harapannay saat ini ingin sekali melanjutkan S2 mengambil konsentrasi Manajemen Operasional.

”Waktu itu gue da diterima di S2 PPM, tapi mahal banget cuy,” ujarnya sengit. Kultur akademis yang dibangun orang tua membuatnya mengerti akan pentingnya pendidikan. Sarjana saja tak cukup karena dunia ini selalu berkembang. Banyak sekali alternatif S2 namun keinginannya ini harus ditahan karena kini dia masih menjalani sembilan bulan tes menjadi reporter di harian Bisnis Indonesia. ”Sebenarnya sih gue pengen lanjut lagi S2, tapi nanti setelah karir bagus di Bisnis,” jelasnya agak tercenung.

Pengalaman dan titel merupakan satu hal yang berbeda. Menurutnya pengalaman lebih punya andil dalam membentuk kapasitas seseorang dan titel di satu sisi melegalkan dan mendukung pengalaman seseorang tersebut. Dion termasuk orang yang takut mengambil resiko karena itu dia belum berani berwira usaha walaupun cukup memiliki modal.

Waktu istirahat semakin sempit, Dia pun bergegas kembali ke kelas. Tekadnya hanya hanya satu, selalu menjalani segala sesuatu dengan serius tapi santai. Termasuk mengikuti pelatihan ini. Waktu yang akan menjawab apakah dia mampu mewujudkan harapan ayahnya, mejadi sinar bagi semua orang?

Entri Populer

Penayangan bulan lalu