Minggu, 18 Mei 2008

Profil: Steve Susanto/Reliance


Steve, antara Bursa dan Autis

Sosok pebisnis yang sangat peduli akan pendidikan dan perkembangan anaknya. Begitulah gambaran Stefanus P Susanto, pria santun yang baru beberapa hari ini menduduki kursi direktur PT Reliance Securities Tbk.

Steve, biasa pria ini disapa, Jumat lalu terpilih dalam RUPS perseroan sebagai Direktur perusahaan finansial terkemuka itu. Sebelum di Reliance, pria asli Semarang yang lahir di Jakarta 21 November 1958 ini selama setahun berkarir di Mori Financial Institute Ltd sebagai Chief representatives Officer Indonesia.

“Saya mewakili klien di Jepang untuk mengakuisisi atau membentuk joint venture dengan perusahaan terkemuka di Indonesia,” ucapnya santai.

Namun setahun sebelum itu, dia menikmati beberapa jabatan tingkat atas yakni Vice President, Chief Economy, dan Direktur Danareksa Research Institute.

Perpindahan dia dari Mori dilatarkan prinsip hidupnya yang selalu ingin lebih baik dari kesuseksesan yang sekarang. “Di mana pun saya berada, perusahaan itu harus besar, lebih baik dari sebelumnya, kalau enggak yah percuma dong ?” jawabnya beretorika.

Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1985 ini memulai karirnya sebagai konsultan pada PT Hasfarm Dian. Steve pernah menjadi konsultan dan spesialis ekonomi pada United States Agency for International Development (USAID) selama dua tahun.

Penyuka bapak ekonomi John Maynard Keynes ini memulai mempimpin perusahaan pertama kali sebagai General Manager di PT Agung Concern pada Juni 1990. Selanjutnya dia melejitkan karirnya bersama beberapa perusahaan a.l PT Nasiodelta Electic, PT Oke Kurir, PT Nasio Duta mitra Electric, dan banyak lagi.

Kesehariaan pria yang sangat menggemari The beatles ini dihabiskan bersama dua anak laki-lakinya, James Alex Susanto (13,5) dan John Abraham Susanto (11). Nama mereka diilhami dari nama vokalis grup band ternama Inggris itu, John Lennon. Sedangkan anak keduanya terinpsirasi dari tokoh agen fiksi Inggris James Bond 007.

Dua anak Steve menderita autis, sebuah gangguan pada perkembangan otak dan biasanya si anak kurang mampu berbahasa dan tidak mampu bergaul dengan lingkungan sosialnya. Keadaan inilah yang menjadikannya lebih peduli akan arti sebuah rasa syukur, kasih sayang terhadap anak. Dan dengan kondisi itu kini rumahnya di Cibubur selalu dikunjungi orang tua yang anaknya menderita autis untuk mengetahui bagaimana dan apa itu metode glenn doman yang di terapkan Steve.

Baginya anak adalah sebuah anugerah dan amanah dari Tuhan apapun kondisi anak tersebut. Sebagai manusia yang selalu bersyukur harusnya setiap orang menyayangi anak bukan hanya dengan memenuhi kewajiban secara finansial tetapi yang terpenting adalah perhatian dan kasih sayang.

“Dalam agama saya kami menyebutnya menerangi dunia, oleh karena itu saya tak melihat batasan atas sebuah kepedulian. Saya peduli terhadap sesama , khususnya terhadap orang tua yang anaknya terkena autis,” ujarnya sambil menyalakan sebatang rokok, satu kebiasaannya yang belum hilang sejak di bangku SMP.

Selain ketertarikan akan autis, Steve tentunya concern menulis artikel ekonomi dan memperkaya wawasannya dengan bacaan sejarah dan multivision.

Setahun sebelum krisis ekonomi yang malanda Indonesia, Steve sempat menulis di Far Easter Economic Review utnuk mengingatkan akan ancaman terjadinya krisis ekonomi di negara ini. Kompas, Jakarta Post dan The Indonesia Observer juga sering mempublikasikan tulisannya baik ekonomi maupun autis.

Semasa di UI Steve aktif di Biro Perwakila Mahasiswa (BPM) atau semacam Dewan Perwakilan Mahasiswa sekarang . Selain di BPM, dia juga sempat bergelut di organisasi keagamaan PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik republik Indonesia).

Steve, pada November nanti akan menginjak usia 50 tahun namun kepeduliannya terhadap keluarga tidak lekang ditelan waktu. “Saya sekarang sering memberikan seminar, pelatihan tentang autis di seluruh Indonesia,” tuturnya. Baginya keluarga adalah sebuah path menuju jalan Tuhan.


Dipublikasikan di harian Bisnis Indonesia 18 Mei 2008

Senin, 12 Mei 2008

Ramayana "membumi"

Pak SBY,.............. jangan naikin lagi sembako

oleh taher heringuhir



Namanya Aris Rofiqoh, biasa disapa Iqo Ibu muda berusia 25 tahun itu masih berdiri sembari menggendong putra pertamanya, Agus (5) yang terlihat ringkih tidak biasa bagi anak seusianya. Tergopoh-gopoh dia melilitkan selendang biru di pundaknya guna menopang tubuh Agus, sementara tangan kanannya menggenggam kupon warna biru bertuliskan nomor 501.

“”Iye nih saya dateng agak telat jadi nomor segini deh,” tuturnya sambil tersenyum.

Siang itu awan masih mendekor langit itulah sebabnya kota Cikarang tidak terlalu panas. Iqoh dan anaknya datang terlambat sehingga bergabung dengan berjubelnya antrean yang sedari pagi sudah dipadati pasien.

Agus, anaknya sudah semingu mengalami gejala tipes tapi belum sembuh-sembuh.

“Anak saya kupingnya juga berair ditambah lagi ude seminggu belon sembuh dari gejala tipes, saya coba aje datang ke sini,” ceritanya seakan-akan menunjukkan beban penderitaannya.

Lain Iqoh lain Ibu Subur. Perempuan baruh baya itu didiagnosa menderita glukoma, penyakit ini urutan kedua penyebab kebutaan. Karena itu dia harus dirujuk ke rumah sakit besar yang ada di Jabodetabek.

“Saya sudah tua jadi kena penyakit mlulu. Mata saya satu doang yang bisa ngeliat, kata dokter satu lagi kalo ga diobatin bisa kena juga,” ujar perempuan yang tidak tahu persis berapa usianya itu.

Setahun yang lalu suaminya, Subur, telah mendahuluinya lantaran diserang katarak. Hal ini yang mendorong suaminya mengalami depresi akibat tidak bisa melihat, selanjutnya berbagia penyakit pun menderanya sampai menutup mata.

Di samping Ibu Subur duduk Nyai Dasimah. Kesan yang didapat adalah perempuan itu masih single, ternyata setelah berbincang-bincang dia sudah beranak satu. Usianya 25 tahun dan menikah awal 2007 lalu dengan suaminya yang berprofesi sebagai buruh parik di Karawang.

“Saya radang tenggorokan, yah pengen gratis aja makanya kesini, anak saya tinggal biar ibu saya yang jaga dulu,” katanya sambil membetulkan kerudung yang melekat di kepalanya. Lamat-lamat terdengar dari pengeras suara nomor pasien dipanggil.

Tiga perempuan di atas adalah sebagian kecil dari 2000 orang yang menyambangi Sekolah Sari Putra jalan RE Martadinata Cikarang guna mengikuti pengobatan gratis dan pembagian sembilan bahan pokok (sembako) bertajuk “Bakti Sosial Pengobatan Gratis” yang diadakan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk berkerja sama dengan Wahdani, sebuah forum wanita terapada budhis Indonesia pada minggu kemarin.

Untuk kali ketiga acara ini digelar dalam rangka kepedulian sosial. Direktur Hubungan Masyarakat Ramayana Setyardi Surya mengatakan kegiatan ini akan digelar setiap tahun pada Mei. Perusahaan yang akan membuka empat gerai lagi antara Juni-Juli 2008 ini selalu merasa dekat dengan masyarakat menengah ke bawah.

”Tiap tahun pada bulan Mei kami selalu adakan acara seperti ini. Tentunya bukan itu saja, walaupun hanya tiap tahun tapi jika ada musibah atau bencana kami juga berpartisipasi, ini adalah wujud kepedulian kami akan kondisi masyarakat,” kata Surya.

Dana yang dipersiapkan oleh Ramayana untuk membiayai acara ini totalnya Rp700 juta.
”Sebenarnya kalo kami ingin mendanai pengobatan saja tidak sampai sebesar itu, tapi yang mahal adalah pasien yang mengalami sakit parah akan kami rujuk hingga ke rumah sakit besar misalnya jika kena tumor kami rujuk ke Cipto [RS dr.Cipto Mangunkusumo], mata ke UKI [RS UKI],” jelasnya saat acara berlangsung.

Perusahaan yang menghasilkan laba bersih Rp41,5 miliar pada triwulan I/2008 ini mengalokasikan dana untuk penyediaan obat-obatan Rp50 juta-70 juta. Jumlah itu untuk kebutuhan obat 2000 pasien yang terdata.

”Kuota kupon kami 2000 tapi yang datang saya perkirakan lebih dari itu, 2500 lah. Sebelumnya di Tangerang itu 3000 tapi pasien rujukannya sedikit 200-300 orang, beda dengan di sini [Cikarang] pasien 2000-an tapi rujukannya lebih banyak dari tahun lalu, masih berlangsung aja sudah 200-an rujukan” jelasnya.

Perusahaa terbuka yang didirikan oleh Paulus Tumewu itu menyediakan satu selasar terbuka untuk tensi yang berisikan 20 perawat, empat ruang dokter di mana diisi 10 dokter umum dan spesialis, empat ruang obat, dan satu ruang rujukan dan umum.

”Bila ditotal kami sediakan 40 dokter yang dibawahi oleh Wahdani. Untuk perawat juga sama. Hampir seleurhnya dari RS Amanda kabupaten Bekasi,” jelas Surya.

Iqoh, Nyai, dan Ibu Subur tidak memikirkan pendanaan itu. Bagi mereka berobat gratis adalah impian yang jarang dinikmati di tengah perekonomian yang melemah ini.

”Masih untung gratis berobat terus dapet sembako lagi, syukur banget,” ucap Nyai.

Menurut mereka birokrasi ketika acara yang diadakan oleh swasta lebih mudah dibanding acara Pemerintah Daerah. Hanya dengan menyerahkan foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) ke ketua Rukun Tetangga (RT) selanjutnya mengambil kupon di Wihara tempat organisasi Wahdani bermarkas. Adapun kupon ada dua macam, merah untuk pagi sementara biru untuk siang dari 12.00 hingga pukul 15.00.

Mereka hanya mengarapkan acara ini tidak hanya sementara saja tapi rutinitas. Selain itu tentu harapan agar pemerintah membenahi perekonomian dan kesehatan agar rakyat tidak menderita lebih jauh lagi.

”Saya mah de kepengen bapak SBY jangan naikin harga sembako lagi, kasian kami” tutur Ibu Subur memancing rasa iba.

Entri Populer

Penayangan bulan lalu