Selasa, 24 Juni 2008

Sastra: Ayu Utami


'Saya lagi ‘hamil besar’
Oleh taher heringguhir

Malam yang dingin, kulit pun menggigil namun semakin memicu hasrat penulis untuk tetap bertahan ditengah terpaan angin malam yang tidak ramah. Kilauan lampu sorot dari atas panggung diiringi alunan musik oleh disc jockey memaksa kedua mata tak berani terpejam.

Malam itu, di antara jejalan manusia dari kalangan artist (pemain sinetron), seniman, fotografer, ABG, politisi, aktifis, hingga jurnalis, penulis mencoba mencari celah posisi yang tepat untuk merekam ‘jejak’ kilasan waktu saat itu. ‘Memotret malam’ penganugerahan bertajuk Tribute to Women, di mana akan disemaikan penghargaan kepada 10 perempuan Indonesia oleh The Plaza Semanggi (PS).

Sky Building PS terlihat begitu menawan dengan hadirnya srikandi Indonesia (bila tidak berlebihan) sebagai perengkuh amanah perjuangan kekinian dengan berbagai bidang keahliannya. Salah satu perempuan yang berhasil ‘memaksa’ penulis dengan daya tariknya adalah Ayu Utami. Diterangi remangnya lampu disko, tampak tanktop hitam anggun melilit sintal tubuhnya.

Justina Ayu Utami, atau akrab disapa Ayu Utami, sosok yang tak asing di dunia pers dan sastra. Malam itu dia ‘membisikan’ satu informasi yang penting namun sayang penulis lupa menguraikannya dalam tulisan.

Ayu yang sempat tulisannya dikategorikan genre SMS (sastra maszhab sekuler) oleh sastrawan Taufik Ismail ini tetap menyembulkan senyuman kepada penulis (walau terpaksa karena belum kenal).

Dia, kembali akan menelorkan novel terbarunya setelah sebelumnya sukses dengan novel Saman (1999) dan Larung (2001). Novel terbarunya berjudul “Bilangan Fu” yang akan diterbitkan pada akhir Juni ini, tepatnya buku itu dijadwalkan beredar 30 Juni dengan harga resmi Rp55.000.

“Saya sedang menyelesaikan buku saya, makanya saya bilang lagi hamil besar,” tuturnya kepada penulis dengan keheranan siapa penulis dan mewakili media mana.

Tanpa basa basi Ayu meledeni satu demi satu pertanyaan penulis. Menurut dia, bukunya nanti tentu harus lebih baik dari dua novel sebelumnya. Ceritanya berkisar tentang pemanjat tebing, akan tetapi tidak menekankan pada aktifitas pemanjat tebingnya.

“Saya lebih menekankan pada konsep spiritual, karena saya melihat bahwa Indonesia yang mengaku sebagai negara beragama tetapi pada kenyataannya sangat formal dalam menjalakan agamanya,” akunya sembari menyaksikan lengak lengok Yuni Shara, Iga Mawarni, Andien, dan Nina Warna.

Perhatian penulis sedikit teralihkan ketika ikut melirik keempat wanita bersuara inidah itu. Sesekali mata penulis ‘nakal’ tapi etika dipertahankan tentunya. Entah patokannya di mana dan sebatas apa ‘nakal’ itu.

Kembali ke Ayu, konsep spiritual yang dimaksudnya adalah pengejawantahan sebuah sikap spiritual yang kritis di mana dapat mengkritisi dirinya sendiri, tidak beriman secara buta atau saklek, dan selalu mereformasi dogma-dogma yang tidak sesuai dengan kesetaraan manusia.

Kita tahu bahwa sastra kini bukan hanya semata-mata fiksi dan anagn belaka, namun sastar telah menjadi salah satu alat yang digunakan agama dalam praktek dakwahnya atau misionarinya. Perkembangan sastra kini sedang didominasi sastra religi. Ada dua hal yang dijabarkannya terkait dengan novel religi. Pertama, novel Islam yang bermuatan dakwah. Kedua, novel dari peradaban Islam yang memakai unsur-unsur masyarakat yang beragama Islam tapi tidak menyentuh pada tataran dakwah.

“Keduanya harus dibedakan, di Indonesia tidak banyak tapi kalau di luar negeri seperti Turki dan Iran.Mereka memiliki peradaban Islam kuat tapi isi novel-novelnya tidak berdakwah,” tegasnya namun tak menghilangkan sisi feminimnya.

Di Indonesia, menurut dia, selain Habiburrahman ElShirazy dengan “Ayat-Ayat Cinta” penulis-penulis dari Forum Lingkar Pena (FLP) juga bisa masuk pada dua genre tersebut.

“Mereka memang berdakwah melalui kesusastraan, saya fikir semua itu baik-baik saja asal unsur sastranya tidak hilang oleh dogma,” tuturnya.

Dia juga menilai bahwa bukan hanya dogma yang menghilangkan unsur sastra tapi muatan ideologi juga dapat membuat sebuah novel menjadi kurang bernilai seperti yang ditunjukan novel-novel realisme sosialis.

Namun secara umum Ayu menilai perkembangannya secara keseluruhan baik. Parameternya, jumlah buku semakin meningkat tiap tahun dan bertambahnya apresiasi pembaca dan industri penerbitan.

Gadis ini adalah sosok aktivis jurnalis dan novelis indonesia. Novelnya Saman memenangi sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta pada 1998 dan di tahun 2000 novel tersebut memperoleh Prince Claus Award di Den Haag, Belanda.

Ayu juga pernah menjadi wartawan dibeberapa majalah a.l majalah Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Tidak lama setelah penutupan majalah Tempo, Detik dan Editor, Ayu bersama aktifis jurnalis lainnya mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Perempuan yang lahir di Buitenzorg (Bogor) tahun 1968 ini menyelesaikan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Indonesia tahun 1994.

Novel barunya itu mengisahkan petualangan tiga anak muda yang memburu nilai-nilai spiritualisme. Yuda (seorang pemanjat tebing dan petaruh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat), Parang Jati (seorang pemuda berjari duabelas, yang dibentuk oleh ayah angkatnya untuk menanggung duka dunia), dan Marja (seorang gadis bertubuh kuda teji dan berjiwa matahari).

Unsur cinta sudah pasti jadi bumbu untuk menyedapkan cerita. Cinta yang lembut di antara pengalaman-pengalaman religius dan ghaib.

Ayu, malam itu menjadi satu dari 10 perempuan. Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan RI), Diana Santosa (Pengusaha Batik), Dr. drh. Ligaya Ita Tumbelaka, Sp.MP, M.Sc (Pencatat Silsilah Harimau Sumatera Regional Indonesia, di Taman Safari Indonesia), Mirza Dikari Kusrini, Ph.D (Ahli Ekologi Katak), Meuthia Kasim (Media), Mira Lesmana (Produser Film dan Sutradara), Maia Estianty (Artis), Dita Indah Sari (Aktivis Perempuan PRD), dan Irene Kharisma Sukandar (Pecatur Dunia).
Semuanya perempuan ini menawan dalam arti non-fisik, kecuali dua orang, Ya, dua orang yang mengaku wartawan baru sedang mencicipi hidangan gratis malam itu, termasuk penulis.


Direvisi oleh penulis 24 Juni 2008

Senin, 16 Juni 2008

Profil: Venny Veronica/Prudential

Punya Impian dan Belajar
oleh: M Tahir Saleh

Membatu orang banyak dalam merubah kehidupan finansialnya adalah jalan yang dipilih sebagian orang. Jalan itulah yang kini ditapaki Venny Veronika, Senior Agency Manager PT Prudential Life Assurance.

Perempuan kelahiran Belitung, pulau ‘timah’ ini mengakui aktifitasnya selama menjadi agency manager di perusahaan asuransi itu sangat menyenangkan. Selain sebagai supervisi atau pengawas tim yang dipimpinnya, dia juga diamanahi tugas sebagai trainer bagi marketing baru.

“Saat ini saya membawahi sedikitnya 20 manager di mana tiap mereka juga membawahi sejumlah tenaga marketing,” tuturnya bangga.

Bergabungnya dara keturunan Chungko (Cina) ini ke PT Prudential berawal dari ajakan seorang teman di perusahaan yang pernah dinobatkan sebagai The Best Life Insurance Company oleh berbagai lembaga penilai dan media itu.

Maka sejak Januari 1998 Venny menyusun kepingan karir di perusahaan asuransi asal London itu. Awalnya hanya sebagai tenaga marketing lalu financial advisor. Tidak stagnan, karirnya melebar hingga berhasil menduduki jabatan senior agency manager

Sebelumnya, lajang yang menggondol gelar sarjana komputer dari Universitas Bina Nusantara ini memulai karirnya di sebuah bank swasta terkemuka di Indonesia sebagai staff back office selama dua tahun.

Setelah merasa jenuh dengan rutinitas di Bank, pada 1992 Venny bergabung dengan Napan Group, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor dan impor milik keluarga Salim, selama lima tahun dari 1992-1997.

Dari situlah, Venny kemudian menemukan lompatan-lompatan untuk meraih jenjang karir yang lebih baik. Moto hidup bekerja keras lebih dahulu kemudian bekerja dengan smart mendorong Venny terus membenahi diri. Baginya setiap orang tidak dibatasi untuk mengakses pengetahuan selama itu penting.

“Untuk sukses harus punya impian, planning, fokus pada tujuan, terus mau belajar, dan menginvestasi waktu sebaik-baiknya untuk kemajuan diri,” ungkapnya bijak.

Dengan bergabungnya Venny di Prudential, hobi jalan-jalan ke seluruh Indonesia dan negara-negara Asia dan Eropa ketika kuliah dahulu akhirnya terwujud berkat kerja kerasnya.

”Setiap tahun dua kali saya ke luar negeri. Bonus perusahaan atas achievement saya,” akunya lembut.

Bulan ini tepatnya 20 Juni Venny bersama rekan-rekannya yang memiliki prestasi baik menajdi delegasi Prudential untuk mengikuti Million Dolar Round Table (MDRT), sebuah konferensi perusahaan asuransi dunia.

Gadis yang mengaku workaholic sejak kuliah ini tertantang untuk terus meng-upgrade pengetahuan dan kemampuan agar selalu dapat menyesuiaikan diri, bahkan terdepan.

“Analogi komputernya di install terus. Tentu saja dengan terus belajar, ‘’ katanya sambil menyembulkan senyum tipis.

Venny cenderung memilih menghadiri seminar dan pelatihan daripada harus meluangkan waktu membaca buku yang tebal. Menurut dia buku memang baik sekali utnuk pengetahun namun tipe pembelajaran dia adalah auditory dan visual

“Membosankan kalau enggak ketemu orang, jadi aku memang lebih suka menciptakan relasi,” ungkap anak ketujuh dari sembilan bersaudara ini.

Rutinitas kerja tidak membuatnya melupakan kebiasaan kaum hawa kebanyakan. Memanjakan kulit di SPA, refleksi, dan salon tentunya bukan hal yang luar baginya.

Selain fitness yang didaulat jadi rutinitas wajibnya, Venny mengisi kegiatannya di hari libur untuk ibadah sosial dengan mengalokasikan dana bagi kehidupan para bante (biksu).

Disinggung mengenai rencananya berumah tangga, perempuan yang lahir pada 17 Januari 1967 ini mengaku sudah berusaha namun hingga kini masih dalam pencarian. Jujur diakuinya setiap perempuan tentunya ingin berumah tangga dengan pasangan yang diinginkan. Tetapi ‘’Mungkin jodoh saya belum datang Mas.’’



dipublikasikan di harian bisnis indonesia, 14 Juni 2008

Jumat, 13 Juni 2008

Sidoarjo: The lost Regent

Quo Vadis penanganan lumpur Lapindo
Oleh Taher Heringuhir

Terhitung sudah dua tahun lumpur menyembur dari dalam tanah di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Namun, hingga kini belum ada langkah-langkah pasti guna menanggulangi semburan yang sudah terlalu ‘nakal’ untuk berhenti itu.

Tanggal 29 Mei 2006 adalah hari ‘kelahiran’ lumpur panas’ Sidoarjo. Umurnya masih muda dua tahun pada 29 Mei lalu tetapi sudah ‘memakan’ lebih dari 700 hektar lahan, 12 desa, dan tidak kurang 175.000 jiwa manusia terlantar. Walapun hanya 13 orang yang meninggal, ekses dari semburan ini mengorbankan seluruh sendi kehidupan warga Sidoarjo, baik lahan, mata pencaharian, pendidikan, bahkan peradaban. Bisa dikatakan seluruh kehidupan menjadi korban.

Namun sayang penanganan yang miring sebelah belum mampu mengobati luka hati para korban lumpur Lapindo. Tidak ada yang merasa bertanggung jawab, yang ada hanya saling lempar tanggung jawab. Entah sampai kapan semburan itu akan dibiarkan?

Kita tahu pada 3 Juni lalu tanggul penahan lumpur Lapindo Brantas di titik 45, tepatnya di Desa Siring, Kecamatan Porong, jebol sekitar 10-15 meter dengan kedalaman empat meter. Hal tersebut menambah parah kondisi semburan.

Meskipun Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Ahmad Zulkarnain baru-baru ini mengatakan tanggul yang jebol itu bisa ditutup kembali dan mengalirkannya ke arah selatan dan timur tetap saja timbul kekhawatiran bagi kita, apalagi bagi korban akan timbulnya lubang-lubang baru.

Di lain pihak penanganan yang dilakukan pemerintah masih berat sebelah dan terkesan condong kepada kekuatan korporasi.

Ketua tim advokasi korban lumpur lapindo Taufik Basari menilai pemerintah masih belum tegas dan cenderung berpihak pada pemodal.

“Korban punya hak atas pemilihan, kompensasi yang dihitung seluruh kehidupannya,” ungkapnya dalam dialog di TVRI Mei lalu.

Mahmud Ali Zain, mantan pansus Lapindo yang kini menjabat anggota DPD Jawa Timur juga sepakat dengan Taufik. Dalam perjuangannya ketika menjabat ketua pansus penanganan lumpur adalah fokus pada penggantian dana kompensasi atas kecerobohan yang dilakukan Lapindo. Namun klausul dalam Keppres justru menekankan jual-beli.

“Saya enggak habis pikir dulu kami perjuangkan ganti rugi, tetapi di Keppres malah terkesan adanya jual-beli. Kesannya penduduk menjual aset tanahnya kepada lapindo, ini kan tidak benar,” pungkasnya penuh emosi

Peneliti The Indonesia Institut, Endang Srihadi juga menilai kasus Lumpur lapindo seperti ajang bisnis antara korporasi dan pemilik tanah.

“Masyarakat tidak ada hubungan bisnis, tetapi setelah ada kasus malah kelihatan ada bisnis. Ini jangan jadi beban negara tapi ini kan eksplorasi korporasi. Harusnya ada auditor independen yang nantinya menghitung kerugian secara imaterinya,” tandasnya

Lalu sampai kapan penderitaan itu akan berakhir? Mantan ketua investigasi independen ITB Prof.Rudi Rudiandini mengatakan semburan lumpur yang terjadi di Sidoarjo bila tidak dihentikan dampaknya akan lebih dari 30 tahun. Oleh karena itu, menurutnya, dana maksimal yang dibutuhkan US$70-US$100 juta.

Namun apabila Lapindo Brantas tidak mampu menanganinya jangan sampai mengulur waktu, serahkan saja penanganan lumpur kepada pemerintah.

‘’Padahal kita punya dana untuk belanja migas saja US$10 miliar, jadi enggak ada masalah. Kita bisa ngebor laut berapa meter aja bisa, masa Lumpur 20 meter saja ga bisa? Kalau lapindo anggak mau tidak apa-apa, serahkan saja ke [pada pemerintah, tidak usah ada dikotomi ini bencana atau bukan,” ujar Rudi

Dia menuturkan pemasangan pipa untuk pengaliran lumpur sudah dilakukan pada Mei sampai November, artinya sudah enam bulan beroperasi. Akan tetapi dana dari Lapindo sudah terkuras sehingga tidak diteruskan lagi. Parahnya Lapindo mencuatkan kabar semburan itu adalah bencana alam. Ironis sekali.

Padahal realitanya dua hari sebelum semburan lumpur terjadi yakni pada 27-28 Mei ternyata ada aktifitas pengeboran oleh Lapindo. Entah mengapa ada usaha berkelit lari dari tanggung jawab.

“Ini [pengeboran] tidak bisa dibantah. Tetapi lapindo nyari jalan untuk lari dari tanggung jawab. Iklan-iklan sekarang malah terlihat pemerintah mendukung lapindo. Kesannya lapindo baik hati, penolong,” tukas Endang.

Di pihak Lapindo, Yuniati Teryana VP Relation PT Lapindo menuturkan Rp803 miliar telah dihabiskan untuk proyek pipa seperti yang diungkapkan Rudi. Dengan demikian, menurut dia, ke depan Lapindo akan menunggu hasil penelitian bagaimana struktur tanah oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)

“Kita akan lihat, kita tidak ingin ceroboh, melakukan indakan spekulatif, oleh karenanya upaya penanggulangannya akan dikaji lagi

Terkait dengan dana ganti rugi, Yunita mengatakan Rp656 miliar yang baru direalisasikan atau 20%. Pada Mei sudah 80%. Untuk Juni ini uang ganti rugi untuk tanah dan bangunan yang tersisa tinggal 80% lagi.

“Di luar negeri yang saya tahu lebih dari 10 tahun, oleh karenanya kita harus kaji dulu. Dalam waktu 2-3 bulan akan dapat hasil dari BMG bagaimana struktur di bawah tanah,” paparnya.

Dengan berlarut-larutnya penanganan ini kita tidak tahu sampai kapan korban lumpur Lapindo akan mendapatkan kompensasi yang sesuai, minimal mendekati. Adalah kemustahilan bahwa korporasi yang dimiliki oleh orang terkaya di Indonesia versi sebuah majalah internasional itu dapat mengganti kehidupan penduduk Porong seperti sedia kala.

Entri Populer

Penayangan bulan lalu