Jumat, 21 Agustus 2009

Siapa mau izin multifinance?

Dahulu, cerita sehari-hari soal multifinance tak lepas dari pertanyaan calo-calo pencari informasi lisensi perusahaan pembiayaan mana yang mau dijual.

Maklum saja, pasar gelap izin multifinance terjadi. Pemicunya adalah KMK No.185/KMK.06/ 2002 yang dikeluarkan 24 April 2002 oleh Boediono selaku Menkeu saat itu, di mana tidak ada lagi pemberian izin usaha baru bagi perusahaan pembiayaan.

Keputusan pemerintah untuk tidak izin baru ini karena banyak perusahaan dari total 255 multifinance belum pulih sepenuhnya dari krisis moneter. Darmin Nasution, yang kala itu menjadi Dirjen Lembaga Keuangan merasa jumlah perusahaan pembiayaan yang ada sudah optimal.

Itu bicara 7 tahun lalu, kini sejak lahirnya PMK No. 84/2006, pemerintah akhirnya memberikan izin baru untuk mendirikan perusahaan pembiayaan kepada perusahaan swasta nasional, patungan maupun koperasi.

Dengan dikeluarkannya beleid itu, otomatis KMK No. 448/2000, KMK No. 172/2002, KMK No.185/002 dinyatakan dicabut. Namun, bagaimana dampaknya sekarang?

Idealnya antara kualitas dan kuantitas harus proporsional, tetapi kenyataannya terlalu banyak perusahaan 'bodong' menyulitkan pengawasan dan memberi borok yang lain. Industri jasa pembiayaan seakan memasuki periode yang berulang. Pada awal 1990-an, kondisinya mirip di mana banyak multifinance bermunculan bak jamur pada musim hujan.

Kini, pembiayaan konsumen menjadi dominan di tengah kondisi ekonomi nasional yang tetap positif serta sektor konsumsi menjadi primadona penggerak sendi perekonomian. Tak pelak, minat untuk membuka perusahaan pembiayaan sangat besar di masyarakat, para pemodal pun berharap diizinkan membuka perusahaan multifinance baru. Nama-nama pemain baru pun bermunculan di sela-sela gedung perkantoran.

Logikanya, keran izin yang dibuka sejak 2006 mampu mendongkrak jumlah pemain. Namun, yang baru hanya identitas, izinnya ternyata banyak barang lawas. Jika 7 tahun lalu ada 255 pemain yang diakui Depkeu, saat ini berkurang drastis dan hanya 204 izin multifinance yang resmi mendapatkan persetujuan dari pemerintah. Bukannya jumlah pemain harus bertambah?

Mantan Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Freddy Saragih mengatakan tak mudah mendapatkan izin baru. Freddy yang kini ditarik di kantor pusat Depkeu, menuturkan dirinya hanya meneken tiga izin baru.

Kemampuan calon investor yang ingin mendapatkan izin usaha menjadi alasan kuat bagi pemerintah. "Kalau Anda menyatakan mau menyetor Rp100 miliar, buktikan kalau Anda punya harta lebih dari itu. Bukan hanya dengan pernyataan, kalau kami tidak puas dengan bukti itu, sorry tidak bisa keluar izin," tegas Freddy.

Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), satu-satunya wadah industri ini, mengungkapkan sebagian besar dari jumlah multifinance saat ini belum beroperasi dalam kapasitas penuh.

Lebih ketat

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan siapa pun yang ingin masuk ke industri pembiayaan dan ini juga sekaligus menjadi alasan berkurangnya jumlah pelaku usaha saat ini. Pertama, seperti tercantum dalam Bab III pasal 7 PMK No. 84/ 2006, multifinance harus memenuhi ketentuan minimum permodalan yang memang kian besar.

Multifinance yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT), modal disetor ditetapkan minimal Rp100 miliar, adapun bentuk koperasi minimal Rp50 miliar dan tidak berlaku surut. Apalagi ada embel-embel, modal harus disesuaikan kembali jika terjadi perubahan pemegang saham. Ini yang sebenarnya jadi faktor pemberat karena sebelumnya pemerintah hanya mensyaratkan modal Rp10 miliar bagi PT dan Rp5 miliar terhadap koperasi.

Kepala Biro Pembiayan dan Penjaminan Bapepam LK yang baru M. Ihsanuddin mengatakan persoalan permodalan menjadi salah satu yang dominan mengapa belum banyak yang mengajukan izin baru.

Jumlah multifinance baru ternyata kalah jauh dengan perusahaan yang menjadi almarhum karena dicabut izinnya.

Jika selama kurun waktu Januari-Juni 2009 saja sudah sembilan multifinance yang almarhum, sejak PMK itu terbit 3 tahun lalu, cuma ada tambahan enam perusahaan sehingga jumlah multifinance yang aktif hingga Juni mencapai 204 perusahaan, padahal akhir tahun lalu tercatat 212 perusahaan.

Kedua, selain harus ada izin menteri, ekuitas multifinance juga diwajibkan minimal 50% dari modal disetor. Banyak manajemen multifinance pun harus pintar-pintar mengatur arus kasnya. Jangan cuma dapat izin lalu tak mampu bertahan dan akhirnya musnah.

Dan persoalan terakhir ialah ketegasan regulator. Biro Pembiayaan dan Penjaminan kini punya julukan 'malaikat pencabut nyawa' dan selalu memelototi kinerja perusahaan yang tidak serius.

Bukti nyata sudah ada di depan mata, bisa dihitung berapa banyak pelaku usaha yang tinggal menunggu peringatan berikutnya (pembekuan) hingga berujung pada pencabutan izin usaha.

Paling tidak, dengan ketegasan ini, siapa yang masih berani tidak memenuhi piutang minimal 40% dari aktiva dan masih mempraktikkan jual beli izin usaha? (tahir.saleh@bisnis.co.id/fahmi.achmad@bisnis.co.id)

Ditulis oleh M Tahir dan Fahmi Achmad, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi 21 Agustus 2009

Gambar: bikez.com

Rabu, 05 Agustus 2009

Krisis (seolah) tak mampir di Singapura

Las Vegas Sands Corp seolah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa krisis tak mampir di Singapura. Melalui anak usahanya Marina Bay Sands Pte Ltd, perusahaan properti internasional itu memublikasikan tahap akhir pembangunan (topping-off) Marina Bay Sands. Proyek properti ini menelan dana hingga 5,25 miliar dolar Singapura atau sekitar Rp36 triliun.

Saat perekonomian di sebagian besar belahan dunia terseok-seok, industri properti merupakan salah satu sektor yang terkena hantaman paling keras. Saat perekonomian melambat, permintaan ruang-ruang kantor pun dipastikan berkurang, tingkat okupansi hotel menurun karena perjalanan bisnis yang menurun drastis, dan pusat perbelanjaan menjadi lebih sepi karena orang harus melakukan pengiritan.

Kondisi ini membuat transaksi di sektor properti relatif sepi. Pengembang harus menahan diri. Tak sedikit, proyek yang sudah dalam perencanaan terpaksa harus dikaji ulang. Pengkajian ulang yang berarti penghentian sementara kegiatan konstruksi. Namun, itu sepertinya tidak menciutkan nyali sejumlah pengembang.

"Siapa bilang saya rugi, kadang kalian [pers] salah dalam menulis. Duit saya masih banyak," kata Sheldon G Adelson, pemilik Las Vegas Sands Corp, di hadapan wartawan dari berbagai negara yang sengaja diundang untuk menyaksikan perkembangan Marina Bay Sands pada awal bulan ini.

Pernyataan yang dibuat untuk memastikan bahwa bisnis properti yang digelutinya hingga saat ini masih baik-baik saja, meskipun krisis ekonomi global menghantui sebagian besar aspek kehidupan masyarakat dunia saat ini.

Dua tahun lalu, tepatnya 8 Februari 2007, Sheldon, si raja kasino, menancapkan batu pertama pembangunan kawasan Marina Bay Sands. Dalam kawasan terdapat Hotel Marina Bay Sands yang memiliki tiga tower, masing-masing mempunyai 55 lantai dengan jumlah kamar 2.600.
Puncak ketiga tower hotel tersebut akan disulap menjadi SandSky Park seluas 1 hektare. Taman tersebut dihiasi tiga kolam renang dengan panjang 50 meter dan akan diisi dengan 1,6 juta liter air.

Di kawasan Marina Bay Sands juga ada ruang kasino bergaya Las Vegas dan memiliki Paiza Club eksklusif untuk para pemain kelas atas. Selain itu ada Sands Expo and Convention Centre yang memiliki luas lebih dari 120.000 meter persegi.

Kurt Vella, Project Manager Marina Bay Sands mengatakan fasilitas itu memiliki ruangan konvensi dan pameran yang fleksibel dan mampu mengakomodasi 2.000 ruang pameran, 250 ruang rapat, serta lebih dari 45.000 delegasi. Grand ballroom seluas 8.000 meter persegi memiliki kapasitas tempat duduk sedikitnya 6.600 orang.
Melihat beragam fasilitas yang dijejalkan di kawasan Marina Bay Sands, jelas terlihat bahwa kawasan ini memang dirancang untuk menjadi ajang pelaksanaan beragam kegiatan pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE).

Seperti tak ingin uang para tamu yang datang dibelanjakan di tempat lain, Marina Bay Sands dirancang untuk dapat memenuhi semua kebutuhan pengunjung mulai dari tempat menginap, hiburan, pertemuan bisnis, hingga ruang kasino yang diperuntukkan bagi tamu yang ingin bersenang-senang atau sekadar menghamburkan uang.

Ruang kasino yang diharapkan dapat memberikan kesenangan yang sama kepada para tamu yang pernah singgah di tempat kasino lainnya yang juga dimiliki dan dikelola oleh Las Vegas Sands Corp di berbagai negara. Perusahaan ini merupakan pemilik dan operator Venetian Casino Resort, Palazzo and Sands Expo di Las Vegas, Nevada. Properti lainnya adalah Venetian Macao-Resort-Hotel dan Sands Macao Casino di Macau, serta Sands Casino Resort Bethlehem di Pennsylvania Timur.

Tak sekadar nekat
Sesumbar Sheldon, pemilik Las Vegas Sands Corp, mengenai uang yang dia miliki untuk tetap melanjutkan proyek Marina Bay Sands seperti ingin mematahkan keragu-raguan banyak pihak. Wajah perekonomian dunia saat ini jelas berbeda jauh dibandingkan dengan kondisi 2 tahun lalu, saat batu pertama untuk pembangunan proyek itu ditancapkan.
Itulah yang membuat banyak pihak ragu terhadap kelanjutan proyek-proyek properti berskala besar. Keraguan yang coba dibantah oleh Sheldon dengan rencananya untuk membuat Marina Bay Sands pada Januari atau Februari tahun depan.

Namun, tidak hanya Sheldon yang nekat melanjutkan megaproyeknya. Pengembangan Resort World di Sentosa yang dikembangkan oleh Genting International juga tetap berlanjut. Ada juga Gardens by the Bay yang akan dibuka tahun depan.

Resort World, sebagaimana dikutip Channel NewsAsia, bahkan mengklaim bisa mendatangkan 13 juta pengunjung saat proyek tersebut rampung. Pihak pengembang berharap dua pertiga bangunan hotel akan selesai pada kuartal I/2010. Proyek resor yang disokong S$6,6 miliar tersebut baru ditargetkan rampung dalam 2 tahun ke depan.

"Seiring dengan membaiknya perekonomian, mendorong kami untuk yakin proyek ini akan mendatangkan angka-angka yang lebih baik bagi kami," kata Michael Chin, Executive Vice President of Project Resorts World.

Keyakinan para pengembang megaproyek di Singapura itu memang tak terlepas dari peta perekonomian di kawasan Asia yang dinilai jauh lebih baik dibandingkan dengan yang dialami oleh negara-negara di Eropa dan Amerika. Belum lagi keberadaan China, yang dekat dengan Asia, sebagai kekuatan ekonomi baru dunia.
Denyut aktivitas bisnis inilah yang membuat kawasan Asia masih mengantongi nilai positif dan membuat sejumlah pengembang masih melirik kawasan ini, termasuk Singapura tentunya. Sheldon bahkan mengklaim beberapa acara besar seperti Industrial Fabrics Association International Expo Asia, Glasstech Asia, dan acara berkelas dunia lainnya sudah memesan tempat di Marina Bay Sands.

Acara berskala besar itu dipastikan akan digelar di Marina Bay Sands, tempat yang diharapkan pemiliknya menjadi magnet bagi pihak-pihak yang membutuhkan tempat 'layak' untuk kegiatan MICE mereka.

Saat Singapura masih dilirik oleh para pengembang besar, bagaimana dengan Indonesia? Bukankah kita berada di kawasan yang sama dengan mereka? Saat krisis dianggap tak mampir di sana, apakah Indonesia akan mendapatkan anggapan yang sama? (tahir.saleh@bisnis.co.id)


Ditulis oleh M. Tahir, judul asli "Krisis (seolah) Tak Mampir di Singapura, Proyek Kontrsuksi tetap Berjalan", dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi 25 Juli 2009
Gambar: ezta wahyudi

Entri Populer

Penayangan bulan lalu