Rabu, 14 Oktober 2009

Perlukah Deposit Taking di Multifinance?

Tidak butuh lama bagi Stanley Atmadja untuk menarik perhatian para peserta seminar yang membahas risiko dan tantangan bisnis jasa pembiayaan pascakrisis dan turbulensi ekonomi di Jakarta baru-baru ini.

"Bagaimana kalau kami sebagai perusahaan pembiayaan yang sudah menerapkan standar bank bisa menarik dana masyarakat atau deposit taking?" ujar Presiden Direktur PT Adira Dinamika Multifinance Tbk (Adira Finance) ini.

Arguman Stanley beralasan. Menurut dia, multifinance perlu diversifikasi pendanaan selain mengandalkan pinjaman bank, pasar modal, dan modal sendiri. Ide yang langsung diamini Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Wiwie Kurnia tersebut memang tidak salah.
Diskursus ini sebenarnya muncul tak bisa ditampik lantaran langkah perbankan yang berkali-kali mengetatkan likuiditas sehingga sempat menghentikan aliran dana, padahal sumber dana terbesar bagi ekspansi kredit multifinance berasal dari bank.

Menurut Wiwie kebijakan uang ketat dan keengganan perbankan memberikan kredit terjadi sejak 1992, berkali-kali, dan puncaknya terlihat pada kuartal IV/2008.

Bagi Wiwie, belum ada jaminan bahwa perbankan tidak akan mengulangi kebiasaannya yang suka mengerem kredit pada masa yang akan datang. Perbankan menurutnya terlalu menggeneralisasi seluruh sektor tanpa menganalisa sektor mana yang lemah dan kuat.
Akibatnya, multifinance yang disebutnya sebagai 'angsa bertelur emas' itu pun mengalami keterpurukan pada kuartal IV/2008.

Saking gemasnya dengan langkah sejumlah bank itu, Wiwie ?menuduh? bank menjadi awal mula krisis di Indonesia. "Perbankan memang bukan penyebab krisis tetapi mereka yang mulai," tegasnya di depan Halim Alamsyah, Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, yang turut menjadi pembicara.

Wacana tersebut bagi Stanley tidak main-main karena sudah dipertimbangkan dengan saksama dalam tempo yang tidak singkat. Salah satunya ialah jumlah multifinance yang dimiliki bank ada 21 perusahaan, sehingga secara langsung standar kinerja dan operasional juga memakai standar bank.

Perlunya rating
Oleh sebab itu, dia menyarankan regulator dalam hal ini Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) bisa mengadakan pemeringkatan atau rating multifinance.

Rating itu sebagai upaya menjaring multifinance mana yang layak melakukan deposit taking ataupun tidak dengan catatan maksimal jumlah deposit taking itu antara 20%-30% dari modal perusahaan.

Jika demikian halnya, bagaimana dengan skema deposit taking? Stanley menjelaskan bisa saja skema perbankan seperti penarikan dana pihak ketiga dilakukan jika wacana ini direalisasikan. Dan jika ini terkabul, akan terjadi persaingan penarikan dana masyarakat oleh perbankan versus multifinance.

Wiwie dan Stanley tidak merasa khawatir dengan persaingan tersebut mengingat industri pembiayaan memiliki segmentasi bisnis yang berbeda dengan bank sementara bank punya wilayah bisnis yang lebih luas.

"Kami bukan saingan dengan Bank Danamon atau Bank Mega karena Adira dan Mega Finance lebih spesifik," begitu kesimpulan keduanya.

Tidak tinggal diam, Halim Alamsyah dalam kesempatan yang sama langsung menimpali bahwa wacana tersebut selayaknya dipertimbangan terlebih dahulu dengan baik risiko maupun kendalanya.

Dia mengingatkan krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika Serikat (AS) juga disebabkan pengumpulan dana masyarakat oleh lembaga keuangan nonbank (shadow bank).

Nah, masih menurut Halim, tanpa ada regulasi yang ketat guna memproteksi dana nasabah yang ditarik oleh lembaga keuangan yang bukan bank, maka risiko sangat tinggi. Apalagi, lanjutnya, terjadi disparitas antara regulasi perbankan dan lembaga keuangan.

Halim mengungkapkan jika terjadi ketimpangan pengawasan karena regulasi di mana dipayungi oleh dua institusi yang berbeda juga dapat memunculkan risiko yang besar bagi ekonomi rakyat.
Pernyataan Halim itu sebenarnya mengukuhkan apa yang termaktub dalam UU No.10/1998 tentang Perbankan, yang menyatakan bank masih menjadi badan usaha yang bertugas menghimpun dana masyarakat.

Kendala regulasi
Serupa tetapi dengan retorika yang berbeda, kendala regulasi ini pun diungkapkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Bapepam-LK M Ihsanuddin. Menurutnya, regulasi belum memungkinkan diterapkan adanya deposit taking.

Akan tetapi, peluang direalisasikan wacana tersebut bisa saja terjadi jika parlemen sudah mengubah UU yang berlaku pada saat ini.
Ihsanuddin mengungkapkan segmen bisnis perusahaan pembiayaan sangat berbeda dengan perbankan sehingga regulasi perbankan lebih ketat karena bisa melakukan penghimpunan dana masyarakat.

Analoginya, jika perbankan bangkrut eksesnya besar karena menyangkut dana masyarakat, tetapi jika multifinance bangkrut dan regulasi tidak ketat sementara mereka juga menghimpun dana masyarakat maka risiko benar-benar tinggi. Siapa yang menjamin dana yang hilang tersebut? Mungkin begitu kesimpulannya.

Apalagi jika pembahasan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) saat ini di DPR tidak memasukkan lembaga keuangan nonbank dalam hal ini multifinance, maka bisa diprediksi bagaimana nasib wacana deposit taking ini.

Jika demikian, sepertinya wacana perluasan bisnis multifinance ini perlu dikaji kembali mengingat regulasi multifinance yang belum sempurna saja sudah banyak 'makan korban' pencabutan izin apalagi kalau tambah ketat, bisa-bisa yang perusahaan kecil gulung tikar. (redaksi@bisnis.co.id)

Ditulis M Tahir, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi Kamis, 18 Juni 2009
Gambar: sms-mesinuang.com

Entri Populer

Penayangan bulan lalu