Selasa, 24 November 2009

Berakhirnya Monopoli Pegadaian

Tak lama lagi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pergadaian, yang kini digodok oleh Panitia Antar-Departemen (PAD) bentukan pemerintah, akan selesai.Jika disetujui Presiden dan akhirnya diamini parlemen dalam sidang paripurna, monopoli Perum Pegadaian sejak tahun 1901 akan segera berakhir.

Swasta, perseorangan, bahkan pihak asing pun punya kans yang sama untuk membentuk perusahaan jasa pergadaian, kondisi yang pernah terjadi ketika penjajah masih bercokol di bumi Indonesia.

Berakhirnya monopoli lembaga yang lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada 1 April 1901 itu barangkali sudah lama ditunggu-tunggu oleh sebagian pihak yang tak sabar mengeruk keuntungan.

Bukan saat ini saja usaha gadai dibidik swasta, melainkan saat zaman penjajahan swasta juga melirik usaha ini. Bahkan, sedari awal sebagaimana dalam buku Pegadaian dan Rakyat Kecil terbitan Perum Pegadaian, 2009, sejak pertama menjejakkan kaki di Nusantara, usaha gadai salah satu primadona bisnis Belanda melalui Bank Van Leening, lembaga bentukkan Vereenidge Oost Indische Compagnie (VOC) pada abad ke-17 ketika dia berkuasa.

Saat Inggris masuk ke Tanah Air(1811-1816), bank ini dibubarkan lalu sebagai gantinya, usaha gadai boleh dilakukan masyarakat (swastanisasi) asal mendapat izin namanya Licentie Stelsel.

Ketika Belanda masuk lagi, gadai tetap menjadi perhatian, tetapi karena banyak pengijon/rentenir, monopoli pemerintah atas gadai pun terjadi hingga saat ini oleh institusi bernama Pegadaian Negeri sampai berubah menjadi Perum Pegadaian.

Perusahaan yang kini dipimpin Chandra Purnama ini mampu mengeruk laba kotor Rp793,7 miliar pada kuartal III/2009. Fantastis memang, apalagi segmen bisnis pun mulai mengincar saham dengan dibukanya kembali produk investasi, gadai saham.

Kondisi inilah yang mendorong hipotesis bahwa sebuah bisnis kian berkembang apabila didukung perluasan regulasi. Singkatnya, menyesuaikan diri dengan perubahan kalau mau maju.

Ketertarikan mencicipi 'kue' ini juga sebenarnya sudah terlihat manakala M. Ihsanuddin, Kepala Biro Pembiayan dan Penjaminan Bapepam-LK, menyatakan sudah mengantongi sekitar 10 pihak dari pemda dan swasta yang mengajukan pendirian jasa gadai. Alamak betapa sengitnya nanti persaingan gadai.

Kepastian hukumKepala Bagian Hukum Jasa Keuangan dan Perjanjian Biro Hukum Departemen Keuangan Arif Wibisono menjelaskan RUU tersebut sebetulnya dilatari oleh kegiatan usaha gadai serupa yang berisiko jika tidak dipayungi.

Hal itu berpotensi menimbulkan masalah seperti kurang terlindunginya keamanan barang jaminan, tingginya sewa modal, tidak cermat menaksir nilai barang agunan, dan kurang transparannya lelang barang.

Lebih parahnya lagi jika tidak diatur dikhawatirkan pihak-pihak yang secara laten melakukan gadai tersebut menerapkan bunga yang di luar kemampuan konsumen."Ini supaya hal hal itu tidak terjadi, tidak ada praktik gelap. Gunanya untuk menciptakan usaha yang kondusif, lindungi nasabah dan kepastian hukum," tegas Arif.

Kepastian hukum itu juga yang menjadi perhatian M. Ihsanuddin yang mengatakan regulasi pergadaian selama ini masih mengacu pada Padhuis Reglement (Aturan Dasar Pegadaian) Staatsblad tahun 1928 No.81.

Dengan adanya RUU itu, katanya, praktik gadai gelap yang tidak sesuai dengan aturan bisa dihindari dan untuk merealisasikan itu pihaknya sangat membutuhkan saran dari sisi modal disetor atau masukan lain sehingga RUU bisa terlengkapi.

Direktur Utama Perum Pegadaian Chandra Purnama yang tak gentar dengan persaingan dari pemda atau swasta yang ingin masuk ke bisnis pergadaian hanya menekankan perlunya orientasi lembaga yang tak hanya bisnis, tetapi juga prorakyat.

Hal yang senada diungkapkan Direktur Keuangan Perum Pegadaian Budiyanto mengingat asing juga bisa masuk sebagaimana bank. Jika demikian, RUU Pergadaian tidak menempatkan Perum Pegadaian pada posisi sulit karena selama ini pihaknya mengedepankan fungsi sosial ketimbang bisnis.

"Kami masih saja memberi pinjaman Rp20.000 per nasabah dengan barang gadai seperti kain atau alat memasak. Untuk pinjaman itu kami hanya memperoleh penghasilan bunga 0,6% per 15 hari, atau Rp1.200, padahal biaya untuk kertas bukti kredit saja Rp2.000," ujarnya.

Tak heran, ada satu dua kantor cabang yang merugi dengan skema itu tetapi tak masalah karena kepercayaan tetap ada.

Maka, kebijakan swastanisasi ini mestinya bisa mencegah praktik gadai ilegal sekaligus menekan potensi pengijon yang berkedok institusi atau asing, tanpa mematikan keuntungan Perum Pegadaian. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Ditulis M Tahir, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi Jumat, 20 November 2009
Gambar: pulaumadura.com

Senin, 23 November 2009

Nurani Pers

Thomas Jefferson, bekas Presiden AS, pernah berkata “Lebih baik ada pers tanpa negara, dari pada punya negara tanpa pers”. Begitu pentingnya peran media massa dalam mengontrol jalannya proses demokrasi suatu bangsa sehingga tak ayal kata itu terlontar dari mulut Jefferson.

Bagaimana jadinya kalau aktifitas seorang presiden negara tak bisa disebarluaskan ke masyarakat atau bahkan ke negara lain. Bayangkan juga bila sebuah negara, ratusan tahun dijajah dan berusaha memperjuangkan kemerdekaannya tetapi tanpa didukung pers. Negara mana yang melirik dan secara naluri ingin membantu kalau apriori?

Media dikenal menjadi pilar keempat demokrasi selain lembaga eksekutif (pemegang kekuasaan), legislatif (pembuat undang-undang) serta yudikatif (pelaksana kehakiman). Tugasnya tentu saja kembali ke khittah pers yakni social control, memberikan informasi yang bermanfaat, bermutu, dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Kondisi ini pulalah yang kian disoroti saat ini kala pemberitaan media dipojokkan karena dinilai melupakan objektifitasnya tetapi menggunakan subjektifitasnya. Media dituduh tak netral lagi dan jauh dari khittah-nya dalam mewartakan peristiswa.

Media membetuk opini masyarakat sehingga terjadi aksi unjuk rasa berlebihan mendukung salah satu dari dua kubu yang sedang berseteru, antara buaya dan cicak (Polri Vs KPK). Tentu dalam hal ini media tidak menjadi godzila atau kadal yang ikut nimbrung bahkan membela satu kubu dari yang lain.

Imbasnya, pada pekan ini, pimpinan dua media Nasional, yakni Kompas dan Seputar Indonesia dipanggil oleh Kepolisian atas laporan pencemaran nama baik oleh Anggodo Widjojo dan kuasa hukumnya. Anggodo memang ‘sakti’. Rekaman setengah biadab-meminjam bahasa Ahmad Syafii Maarif-yang melibatkan dirinya dan sejumlah bukti lainnya pun tak mampu menyeretnya menjadi tersangka.

Alih-alih menjadi tersangka, hingga dua pekan lebih berlalu, adik kandung Buronan KPK Anggoro Wdjojo ini masih saja lenggang kangkung menjadi saksi. Lucu memang, lawong namanya sudah rusak kok menuduh media mencemarkan namanya. Dan anehnya lagi, kenapa cuma dua media dari seluruh media yang memberitakan rekaman tersebut?

Parahnya lagi Presiden dengan legitimasi penuhnya pun enggan bertindak padahal sudah membentuk Tim 8 yang telah memberikan rekomendasinya. Seperti kata Eep Saefullah Fatah, dalam hal ini terjadi ‘disfungsi presiden’ sama halnya dengan disfungsi seksual.

Polri sendiri memang membantah pemanggilan dua media tersebut sebagai kriminalisasi pers. “Tidak ada niat mengkriminalkan pers, kami jsutru tengah berupaya memproses Anggodo segera jadi tersangka,” sergah Nanan Soekarna, Kepala Divisi Humas Mabes Polri di Kompas, 21 November.

Pers saat ini disudutkan saat membeberkan kejahatan yang terstruktur oleh para makelar kasus, Pemanggilan Kepolisian itu menjadi tanda tanya besar, apa itu adalah wujud pembungkaman pers hingga ke kriminalisasi pers. Pemerintah semestinya melihat pers sebagai penutur sejarah yang tak lelah mendedahkan fakta dengan analisa yang kuat.

Mungkin kita masing ingat skandal Watergate, lokasi mabes Partai Demokrat di Washington DC, yang menjatuhkan Presiden Richard Nixon dari peraduannya pada 1972 berkat liputan investigatif dua wartawan Washington Post, Bob Woodward dan Carl Berstein. Itulah kekuatan media yang mampu menjadi pengontrol pemerintah yang salah jalan. Ada naluri yang tak bisa dibohongi oleh alibi apapun.

Naluri yang menggetarkan ketika gerakan mahasiswa lahir pada 1998 dan didukung persuasi media sehingga menjadi satu kekuatan moril bagi perjuangan menegakan benang reformasi. Mendiang Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun pun lengser.

Maka meminjam kata Napoleon Bonaparte, “Pena lebih tajam daripada ujung bayonet” atau menyitir perkataan Winston Churcill, “Saya lebih takut pada wartawan dari pada menghadapi seratus meriam” setidaknya menegaskan satu hal, pers bekerja atas nama nurani kebenaran dan kejujuran meski kadang ada saja media gadungan yang jauh dari itu.

Nurani bukan hanya milik manusia dalam masyarakat, Pers yang notabene merupakan kumpulan masyarakat dan bagian dari masyarakat pun memiliki hati nurani.

Nurani ketika mengungkapkan Minah, si pencuri dua buah kako-yang nilainya tak lebih dari Rp2.000- ketika dihukum1 bulan 15 hari oleh Pengadilan Negeri Purwokerto. Nurani ketika sebuah institusi penuh harapan diobrak-abrik. Dan nurani itu masih terpatri di sini, dalam hati.

22/11/9

Gambar: kabarindonesia.com

Minggu, 15 November 2009

Keruwetan Jakarta

Belum hilang kekesalan saat terjadi pemadaman bergilir bersamaan dengan kerusakan sistem kelistrikan sejak September, pendukuk Jakarta kembali diresahkan oleh datangnya musim hujan.

Artinya siap-siap banjir lagi.Jumat pekan ini (13 November), menjadi saksi betapa kekhawatiran itu terjadi. Seorang teman bahkan bercerita sempat tertahan di kantor Bank Indonesia meski dia naik sepeda motor karena lalu lintas tak bisa jalan.

Di kawasan Sudirman, Thamrin, dan Gatot Subroto yang dikenal sebagai segitiga emasnya Jakarta lantaran pusat bisnis ini pun seperti biasa tak berdaya. Jalur lalu lintas padat merayap di bawah kendali air hujan. Buruknya sistem drainase di kota terkotor ketiga dunia, menurut Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP) ini, menjadi salah satu sebab pembangunan kota semakin ruwet.

Tak hanya Jakarta Pusat, kawazan Cempaka Putih misalnya, juga tak jauh berbeda. Lebih parahnya lagi lalu lintas arah ke Senen dan Monas pun tak bisa bergerak karena tepat di depan ITC Cempaka Mas itu air hujan menggenang setinggi lutut orang dewasa. Dan sekali lagi masalah klasik ini repetisi tiap tahun.

Penduduk Jakarta sebetulnya lebih was-was lagi karena ini baru hujan di rumah sendiri. Bisa dibayangkan kalau terjadi banjir susulan, sesuatu yang menjadi kambing hitang banjir di Jakarta, dari Bogor dan sekitarnya. Kalau banjir Jakarta, ya berarti yang disalahkan bukan Bogor atau daerah lain.

Masyarakat Jakarta haruslah bisa berdisiplin dan tidak melimpahkan dosa massal ke kampung lain apalagi diprediksi intensitas dan curah hujan pada bulan ini dan bulan depan kian meningkat hingga awal tahun depan.

Dengan keadaan ini tentu saja yang menjadi ancaman serius adalah fasilitas publik dan laju perekonomian kota yang agak tersendat. Fasilitas public yang sedianya diandalkan masyarakat terancam terganggu seperti telpon, jaringan internet, gas, air, dan jaringan listrik bisa terputus.

Gubernur Fauzi Bowo, yang waktu kampanye mengaku sebagai ahlinya Jakarta, ternyata tak mampu mengantisipasi banjir di Jakarta. Tiap tahun pada Januari dan Februari ritual banjir nyaris tak berubah. Oleh sebab itu, amanah adalah hal yang paling berat sebagaimana petuah al Ghazali terhadap muridnya, Jadi jangan sembarang menebar janji Bang Foke.

Mengatasi ini sebaiknya memang perlu adanya komitmen bersama, bukan hanya datang dari doktor tata kota lulusan Jerman ini melainkan juga datang dari daerah lain yang berdekatan di antaranya Bekasi, Depok, dan Tangerang. Meminjam kata Emil Salim, mantan Menteri Negara
Lingkungan Hidup, dalam sebuah seminar properti pekan ini, Jakarta harus di tata ulang. Ya ditata ulang.

Jangan ada lagi penyusutan lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) daripada ruang yang tertutup bangunan. Hutan beton yang tak mampu meresap air harus dikurangi atau setidaknya disediakan lebih banyak RTH.

Kita tahu dalam sejarahnya Jakarta yang bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun lalu ini penuh dengan rawa. Makanya banyak wilayah di Jakarta yang dinamakan rawa sehingga memang semestinya daerah ini menjadi penampung hujan di wilayah Buitenzorg/bogor.

Oleh sebab itu perlu ada situ-situ baru tidak hanya mengandalkan Banjir Kanal Timur yang hampir selesai ini. Nyatanya rawa sudah hilang, situ sudah berkurang. Tak ada lagi yang bisa menampung air hujan. Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan di Jabodetabek pada 1960-an terdapat 218 situ kini tinggal 50-an saja.

Jangan ada lagi sampah rumah tangga yang tidak terurus. Dari 10.000-an ton sampah Jakarta, masa iya 30% nya dibuang ke sungai? Parah sekali dan memang itu terjadi. Hutang mangrove (bakau) juga berubah jadi Pantai Indah Kapuk. Kita tidak ingin Jakarta akan tetap tenggelam seperti tahun-tahun sebelumnya. Di sinilah sebuah janji dipertaruhkan tentu dengan dukungan bersama.

Menjadi satu hal yang naïf apabila tanggung jawab membebaskan Jakarta dari keruwetan ini hanya dibebankan kepada Bang Foke, masyarakat Jakarta pun layaknya memiliki sense of belonging yang tinggi meski kebanyakan masyarakat kota ini berasal dari kaum pendatang. Entah Jawa, Madura, Sunda, Batak, atau Flores toh juga mengais rizki di kota ini. Dus, ini sebuah tanggung jawab bersama bukan?

Gambar: afp, noscadgie.file.wordpress.com








Sabtu, 07 November 2009

Dagelan Markus

Skenario sialan
M Tahir Saleh

Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebahUsirlah mereka dengan revolusiBila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasiBila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusiTapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan (adhie m massardi)

Pekan ini menjadi kenangan terburuk penegakan hukum Indonesia. Rekaman yang diputar dalam sidang terbuka Mahkamah Konstitusi pada Selasa pekan ini selama 4,5 jam ini benar-benar memalukan, lucu, sekaligus menodai pelaksanaan penegakan hukum di Tanah Air.

Komjen Susno Duadji, Kabareskrim Mabes Polri yang kini non-aktif, namanya ikut-ikutan masuk dalam skenario bedebah itu.

Mantan Kapolda Jabar ini merusak citra institusi Polri di mata publik. Rekaman itu tersirat ia menerima suap untuk memuluskan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Bibid dan Chandra Hamzah. Entah siapa yang benar, karena kebenaran hingga kini begitu sulit menampakkan dirinya padahal people power sudah turun ke jalan, parlemen online lewat facebook pun sudah tak terhitung jumlahnya.

Para bedebah itu, orang-orang yang terlibat dalam percapakan itu nampaknya begitu berani, lihai, dan iciknya. Satu aktor utama Anggodo Widjojo, adik Anggoro yang menjadi buronan KPK dalam kasus tender Departemen Kehutanan, mampu membuat aparat polisi takluk. Ia seperti ular, belut, dan bunglon.

Dalam hal ini, uang dan kekuasaaan bagai dua mata uang yang tak bisa dilepaskan. Siapa punya uang dia menguasasi, sebaliknya siapa berkuasa tentu butuh uang untuk mepertahankan eksistensi.

Susno sebelumnya sudah menyangkal terlibat sebelumnya. Publik pun terlanjur membencinya sejak ia memperkenalkan istilah Cicak vs Buaya yang akhirnya membuat Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri turun tangan minta maaf.

Masih ingat dalam laporan majalah mingguan Tempo edisi 6-12 Juli 2009 yang memuat wawancara dengan Susno. Dia menuding penyadapan yang dilakukan oleh KPK merupakan perbuatan bodoh. Dia sekaligus membantah soal suap.

"Kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa dia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya,” tulis majalah itu.

Akhirnya ia pun sesenggukan minta maaf dan klarifikasi dalam rapat dengan Komisi III DPR pekan ini. Membawa nama keluarga yang juga terganggu dengan apa yang dituduhkan padanya. Dia menangis, bersumpah, dan seperti drama cinta anggota DPR pun terpana.

***
Adalah hal yang dipahami masyarakat bahwa seorang pengusaha dekat dengan aparat. Selain pengusaha butuh pelindung jalannya bisnis halal atau haram, aparat pun perlu persekot yang bisa menambah pundi-pundi kantongnya karena menggantungkan dana dari gaji pokok mungkin tak cukup.

Namun kejahatan dalam sebuah persekongkolan tak bisa diterima oleh nurani, apapun bentuknya. Kasus perselisihan antara Polri dan KPK ini mencerminkan panegakan hukum Indonesia masih belum bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme, UUD, ujung ujungnya duit.

Kepercayaan masyarakat runtuh seketika. Satu-satunya harapan instistusi independen yang dibentuk guna mengokohkan penegakan hukum karena mandulnya Polri dan Kejaksaaan yakni KPK kini diobok-obok.

Oleh sebab itu, masyarakat kini butuh kejelasan terkait kasus ini. Hampir seluruh elemen masyarakat turun tangan dan melek isu-isu seperti ini. Kredibilitas presiden pun dipertaruhkan jika tak mampu membuka persoalan ini. Kita berharap jangan ada lagi drama palsu yang memalukan bangsa yang mulai dipandang baik di mata dunia.

Gambar: lenteradiatasbukit.blogspot.com

Skenario Sialan

Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebahUsirlah mereka dengan revolusiBila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasiBila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusiTapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan (adhie m massardi)

Pekan ini menjadi kenangan terburuk penegakan hukum Indonesia. Rekaman yang diputar dalam sidang terbuka Mahkamah Konstitusi pada Selasa pekan ini selama 4,5 jam ini benar-benar memalukan, lucu, sekaligus menodai pelaksanaan penegakan hukum di Tanah Air.

Komjen Susno Duadji, Kabareskrim Mabes Polri yang kini non-aktif, namanya ikut-ikutan masuk dalam skenario bedebah itu.

Mantan Kapolda Jabar ini merusak citra institusi Polri di mata publik. Rekaman itu tersirat ia menerima suap untuk memuluskan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Bibid dan Chandra Hamzah. Entah siapa yang benar, karena kebenaran hingga kini begitu sulit menampakkan dirinya padahal people power sudah turun ke jalan, parlemen online lewat facebook pun sudah tak terhitung jumlahnya.

Para bedebah itu, orang-orang yang terlibat dalam percapakan itu nampaknya begitu berani, lihai, dan iciknya. Satu aktor utama Anggodo Widjojo, adik Anggoro yang menjadi buronan KPK dalam kasus tender Departemen Kehutanan, mampu membuat aparat polisi takluk. Ia seperti ular, belut, dan bunglon.

Dalam hal ini, uang dan kekuasaaan bagai dua mata uang yang tak bisa dilepaskan. Siapa punya uang dia menguasasi, sebaliknya siapa berkuasa tentu butuh uang untuk mepertahankan eksistensi.

Susno sebelumnya sudah menyangkal terlibat sebelumnya. Publik pun terlanjur membencinya sejak ia memperkenalkan istilah Cicak vs Buaya yang akhirnya membuat Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri turun tangan minta maaf.

Masih ingat dalam laporan majalah mingguan Tempo edisi 6-12 Juli 2009 yang memuat wawancara dengan Susno. Dia menuding penyadapan yang dilakukan oleh KPK merupakan perbuatan bodoh. Dia sekaligus membantah soal suap.

"Kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa dia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya,” tulis majalah itu.

Akhirnya ia pun sesenggukan minta maaf dan klarifikasi dalam rapat dengan Komisi III DPR pekan ini. Membawa nama keluarga yang juga terganggu dengan apa yang dituduhkan padanya. Dia menangis, bersumpah, dan seperti drama cinta anggota DPR pun terpana.

***
Adalah hal yang dipahami masyarakat bahwa seorang pengusaha dekat dengan aparat. Selain pengusaha butuh pelindung jalannya bisnis halal atau haram, aparat pun perlu persekot yang bisa menambah pundi-pundi kantongnya karena menggantungkan dana dari gaji pokok mungkin tak cukup.

Namun kejahatan dalam sebuah persekongkolan tak bisa diterima oleh nurani, apapun bentuknya. Kasus perselisihan antara Polri dan KPK ini mencerminkan panegakan hukum Indonesia masih belum bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme, UUD, ujung ujungnya duit.

Kepercayaan masyarakat runtuh seketika. Satu-satunya harapan instistusi independen yang dibentuk guna mengokohkan penegakan hukum karena mandulnya Polri dan Kejaksaaan yakni KPK kini diobok-obok.

Oleh sebab itu, masyarakat kini butuh kejelasan terkait kasus ini. Hampir seluruh elemen masyarakat turun tangan dan melek isu-isu seperti ini. Kredibilitas presiden pun dipertaruhkan jika tak mampu membuka persoalan ini. Kita berharap jangan ada lagi drama palsu yang memalukan bangsa yang mulai dipandang baik di mata dunia.




Entri Populer

Penayangan bulan lalu