Selasa, 26 Oktober 2010

Garuda Indonesia di Dadaku

Oleh Taher Saleh

Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo dalam tulisannya di harian Seputar Indonesia edisi 25 Oktober 2010 memuji habis keberhasilan Emirsyah Satar, Direktur Utama PT Garuda Indonesia.

Emirsyah dinilai mampu menempatkan Garuda Indonesia (GA) sebagai maskapai penerbangan Tanah Air yang membanggakan di Asia. Buktinya belum lama ini perusahaan pelat merah itu berhasil meraih peringkat pertama dari Center for Asia Pasific Aviation (CAPA).

Organisasi ini adalah lembaga independen yang bergerak di bidang riset pasar dan intelegen dari industri penerbangan dan berkantor pusat di australia. Lembaga ini mengadakan survei baru-baru ini dengan responden pengguna perusahaan penerbangan di Asia.

Dan hasilnya GA ditahbiskan sebagai perusahaan penerbangan terbaik di asia melewati Singapore Airlines (SQ), Malaysia Airlines (MH), Thai Airways (TG), Cathay Pasific (CX), dan perusahaan besar di Asia lainnya.

Pengamat ekonomi itu menceritakan pengalamannya ketika naik GA rute Jakarta-Tokyo. SA mematok US3.800 untuk kelas bisnis dan mesti transit di bandara Singapura, Changi Airport. MA juga mematok harga di atas USD2.100 untuk kelas bisnis dan harus ganti pesawat di bandara Kuala Lumpur. Di sisi lain justru GA unggul lebih murah dengan tariff kelas yang sama di bawah USD2.000 tanpa harus transit.

Untuk kelas bisnis, cerita Cyrillus, kursinya bisa direbahkan secara mendatar atau flat bed dengan passenger service unit yang modern. Dia juga membandingkan bagaimana perjalanannya ke London ketika menggunakan jasa Thai Airways dan GA. Bedanya layanan GA lebih baik dibandingkan dengan maskapai milik Thailand tersebut.

Saya, beberapa kali, memang menggunakan GA ketika mendapat kesempatan liputan ke luar kota khususnya. Bedanya saya hanya merasakan kelas ekonomi bukan bisnis. Tentu tak bisa membedakan dengan kisah Cyrillus yang bekas Technical Assistance Advisor, Monetary and Exchange Affairs Departement di Dana Moneter International itu.

Seingat saya untuk kelas ekonomi ketika perjalanan Jakarta-Yogjakarta, pramugari GA berbeda dengan pramugari maskapai nasional yang lain seperti Lion Air. Dari raut wajah nampaknya pramugari GA sedikit lebih dewasa, kalau tidak dibilang lebih tua meski dari sisi pelayanan baik sekali.

Ketika saya dikirim tugas ke Singapura-Hong Kong belum lama ini, SQ dan CX yang saya tumpangi untuk kelas ekonomi. Saya tidak memilih dua maskapai ini lantaran sudah diatur pihak pengundang mulai dari tiket pesawat pulang pergi hingga akomodasi di dua kota tersebut.

Pada SQ secara fasilitas pelayanannya baik sekali. Mulai dari koleksi filem, makanan yang disajikan, perlakuan pramugari, dan tentu saja toiletnya. Bahkan perjalanan dari Changi ke Bandara International Hong Kong (Chek Lap Kok) saya nikmati dengan indahnya selama 4 jam 15 menit dihibur oleh filem Toy Story 2.

Enak sekali karena program bisa kita atur sesuai pilihan dan program lain terhenti. Jadi setelah filem selesai bisa setel filem berikutnya, sementara CX program diatur bersamaan sehingga filem yang lain pun diputar.

Pengalaman tidak enak hanya terjadi saat pulang ke Jakarta dengan CX, Cathay Pasific, sebuah maskapai yang didirikan oleh orang Amerika Roy C Farrel dan orang Australia Sydney H de Kantzow di Hong Kong. Saya agak pusing karena aroma kakus tapi itu terjadi mungkin karena posisi duduk dekat dengan toilet sehingga aroma kakus begitu terasa, ini berbeda ketika di GA atau SQ.

Saya tentu berharap tugas liputan berikutnya ke luar negeri bisa merasakan nikmatnya terbang bersama Garuda Indonesia, Maskapai kebanggaan Indonesia yang akan mencatatkan saham perdananya di Bursa Efek Indonesia pada awal tahun depan ini. Siapa lagi yang mau membanggakan aset negaranya selain warga negaranya itu sendiri?

gambar: www.garuda-indonesia.com

Senin, 18 Oktober 2010

Kapan Indonesia Punya MRT?

Oleh Taher Saleh

Christine duduk sendirian di sisi kanan bangku station SMRT NS27 Marina Bay. Suasana stasiun lengang saat itu karena masih pukul 12.00 siang. Rambutnya agak keriting, kalau ditaksir usianya sekitar 30 tahunan, berwajah Asia selayaknya penduduk lokal Singapura pada umumnya.

Aku bertemu wanita beranak dua ini ketika hendak pulang ke Stasiun SMRT (Singapore Mass Rapid Transit) NS22 Orchard, lokasi hotel tempatku menginap, Four Season Hotel di Orchard Boulevard. Tujuanku ke Marina lantaran Juni tahun lalu aku berkesempatan menyaksikan topping off (penutupan atap menara) gedung berkelas internasional itu.

Selepas melihat secara langsung gedung Marina Bay Sands yang sudah jadi itu, aku putuskan untuk langsung pulang saja ke Orchard. Tak baik lama-lama mengingat aku juga mesti memanfaatkan waktu dengan baik.

Namun, suara Bapakku menari-nari di telingaku seakan ada magnet yang menghentikkan langkahku.

“Er kalau ke Singapura lagi, jangan lupa mampir ke masjid,” kira-kira begitulah pesan Bapakku terngiang-ngiang. Beliau waktu mudanya sempat berkunjung ke sebuah masjid di negeri itu di antar oleh orang Afrika.

Meskipun ibadahku tak begitu bagus, aku coba ikuti nasehat Bapakku. Berbekal satu peta Singapura, hati kecilku akhirnya bagai dituntun mengikuti suara dari Flores itu.

Itulah mengapa ketika sampai di stasiun NS27 aku batalkan pulang ke Orchard tapi langsung kuteruskan perjalanan ke stasiun SMRT EW15 Tanjong Pagar, tentu mesti mampir kembali ke SMRT Marina Bay. Di sinilah, aku bertemu Christine yang mengaku keturunan Baba ini.

“Could you help me how to get this place [sambil kutunjukkan gambar masjid Al Abrar,” tanyaku membuka percakapan.

“You better go to the SMRT EW15 Tanjong Pagar but before that you have to change when you arrived at Raffles Place, the green line,” jelasnya agak kurang jelas.

SMRT yang kunaiki arah Marina Bay ini berada pada jalur merah, sementara Tanjong Pagar ada di jalur hijau. Jadi betul kata Christine aku mesti pindah kereta di stasiun Raffles Place (EW14/NS26). Kode EW singkatan dari east west dan NS ialah north south. Kalau naik TransJakarta (Busway) di Jakarta kita bisa menyebutnya shelter transit seperti Dukuh Atas, Harmoni, dan lainnya.

SMRT ini sebetulnya sebuah sistem transportasi yang terintegrasi khususnya train atau kereta. SMRT juga melayani bus, taxi, juga mengurusi periklanan atau media di bawah bendera SMRT Corporation Ltd. Perusahan ini juga memiliki 100% SMRT Hongkong Ltd dan 49% saham Shenzen Zona Transportation Group Co Ltd. Untuk sistem keretanya, SMRT ini sungguh modern karena sudah mencakup hampir seluruh wilayah negara kecil Singapura.

Sistem ini tak banyak melibatkan sumber daya manusia sebagai pekerja. Untuk beli tiket sudah ada mesinnya, tinggal tekan menu, misalnya pembelian tiket perorangan standard. Pembeli dibimbing dengan mudah karena perintah jelas. Setelah klik menu pembelian, lalu tekan stasiun tujuan lalu muncul nominal harga dalam denominasi dolar Singapura, namanya juga di Singapura. Pembeli lalu masukkan uang dolar, seketika
ploongg..tiket warna hijaun pun brojol.Sebagai informasi, perjalanan dari Orchard ke Marina Bay seharga S$2,20 atau Rp15.400 (asumsi S$1=Rp7.000), sementara ongkos dari Marina ke Tanjong Pagar hanya US$2 karena jaraknya lebih dekat.

Pertama kali memegang tiketnya, aku sempat ragu apakah ini return trip (PP) atau hanya sekali perjalanan pergi. Setelah bertanya ke petugas, nyatanya pembeli mesti membeli kembali tiket perjalanan pulang,,hehe mana ada gratis. Sebetulnya ini sama seperti TransJakarta. Pengguna tak perlu membeli jika ingin kembali dengan catatan tak keluar dari pintu utama.

Keuntungan lain, uang receh pun sangat dihargai karena saat kita mengembalikan tiket hijau tersebut di mesin pembeli tiket (dengan cara yang hampir sama), ada uang kembali S$1, lumayan, lumayan kan?

“Thanks for guide me,” kataku kepada Christine diiringi deru suara kerata bertalu-talu.

Christine tidak mengantarku sampai ke Tanjong Pagar karena mesti melanjutkan perjalanan ke Bugis.

Di dalam kereta aku merenung, kok Singapura, negeri seuprit ini gampang sekali menerapkan SMRT. Pengguna merasa begitu nyaman sekali, kereta bersih, udara sejuk, wangi, tak ada bau kretek dan bau ketek, lajunya pun cepat tanpa hitungan jam seperti di Indonesia. SMRT ini bisa dibilang menjual menit bukan jam. Kampanye perjalanan di atas stasiun pun menarik…dari Orchard ke Marina Bay, only 2 minutes?wow…

Selang beberapa menit, sampailah aku kembali dengan selamat di Orchard setelah mengunjungi Masjid Al Abrar yang dibangun pada 1827, dekat dengan SMRT Tanjong Pagar, bukan Stasiun Tanjung Barat ya.

Sayangnya apes buatku. Saat ke pintu keluar utama aku malah gunakan tiket bekas perjalanan dari Marina Bay ke di Tanjong Pagar yang belum kukembalikan untuk dapatkan S$1. Pantas saja aku ga bisa keluar.

“This old card sir, please check the time when you get this one…blab la bla….” kata petugas. “Uppss sori, salah kartu,” kataku.

Meski agak kaku sebagai orang baru pertama kali naik SMRT ini, aku begitu nyaman. Beberapa kali aku bertanya kenapa masyarakat di sana mengapa lebih memilih SMRT dari pada sepeda motor.

Iya tentu saja, pertama karena begitu mudahnya SMRT dan nyaman. Kedua, sepeda motor masih dipandang berbahaya dan mahal baik dari sisi bensin maupun perawatan. Di Jakarta, sebaliknya. Sistem transportasi yang amburadul membuat orang sepertiku ini lebih memilih sepeda motor. Murah, cepat, meski sangat berbahaya.

Kenapa negara sebesar Indonesia dengan besarnya jumlah PDB tahun iin Rp6.000 triliun tak bisa menerapkan sistem serupa? Orang-orang seperti Chritine tentu seabrek-abrek di wilayah Indonesia sana, yang punya pemikiran nyaman itu nomor satu. Semestinya Indonesia tak kalah dari Singapura, tapi mau bagaimana..transportasi di wilayah pelosok seperti Kalimantan, Papua, dan NTT saja masih susah, apalagi MRT? E

Entah kapan Indonesia punya MRT…tanyakan pada ahlinya…

Gambar: thr


Selasa, 05 Oktober 2010

“Balada tukang koran”

Oleh Taher Saleh

Tukang koran itu pun mengernyitkan dahinya, Nampaknya dia heran kali ketika saya bilang saya ini wartawan.

“Ah masa? Mas wartawan? Ah masa?” tanyanya heran sambil cengengesan meledek.

Saya tak begitu peduli dan tak melanjutkan memberitahu dia saya wartawan dari mana, liputan apa, tapi dia terus memborbardir saya dengan rentetan pertanyaan.

“Mas koran apa?” tanyanya.

“Bisnis Indonesia Mas,” jawab saya singkat.

“Wah koran mahal tuh, mahal buanget kalo langganan,” cetusnya dengan logat betawi tulen.

“Iya lumayan mahal Rp6.000 perak kan? Kalau Langganan Rp100.000 lebih,” saya membalas.

“Eh Mas wartawan gajinya berapa?” si tukang koran makin agresif menyerang saya dengan pertanyaannya yang jelas, tanpa tedeng aling-aling to the point. Bingung juga jawabnya. Pertanyaan ini sama artinya dengan “Apa warna celana dalam kamu?” Masa ada orang yang berani ngomong warna celana dalamnya ke orang lain yang baru kenal…biar sudah kenal juga tak etis saja ghibah tentang celana dalam.

“Yah pokoke cukuplah buat bujangan lah Mas, rahasia dong,” kembali saya membalas.

“Wah jadi beneran nih wartawan?wah hebat yah?” pujinya

“Apanya yang hebat Mas, yah namanya juga kerja,” kata saya seraya menyelipkan uang Rp75.000 biaya langganan koran Republika.

Saya sebenarnya jarang ngobrol dengan tukang koran ini hanya saja pagi itu, saya memang sengaja bangun pagi berhubung tukang koran yang biasa dipanggil “Mas Endut” ini belum saya bayar uang langganan koran.

Interaksi singkat dengan Mas Endut ini mengajak saya memutar kenangan masa lalu yang pernah jadi tukang koran saat sekolah dahulu. Media-media nasional seperti Kompas, Media Indonesia, sampai Pos Kota adalah saksi bisu pergulatan hidup anak muda bernama Taher ini mencoba meretas arti kehidupan.

Setiap hari pukul 05.00 subuh saya bangun. Setelah menunaikan ibadah solat subuh saya langsung tancap gas menggoes sepeda mengitari perumahan tempat saya tinggal Taman Wisma Asri, lalu ke Titian Indah, Duta Harapan, sampai Permata Hijau Permai. Perumahan-perumahan ini letaknya di Bekasi Utara dekat rumah.

Di peristiwa subuh itulah saya berdoa kepada Allah, saya bertekad memperoleh kehidupan yang lebih baik.

“Ya Allah saya harus sekolah yang tinggi biar engga cuma jadi tukang koran!” kata saya dalam hati di atas sepeda yang melaju pelan menembus fajar pagi.

Kenangan inilah yang membuat saya kuat secara fisik dan mental dalam mengarungi tantangan kehidupan meskipun saya tergolong kurus. Dari pekerjaan inilah saya bisa menyisihkan uang jajan untuk sekolah, sekedar bisa menghibur diri dengan membeli sesuatu. Tidak besar memang uang yang saya dapat tapi setidaknya bagi anak usia SMP ketika itu lumayan cukup. Mari kita menghitung penghasilan saya waktu itu.

Ambil contoh Pos Kota ketika itu (1998-1999) harganya sekitar Rp500 perak (sebetulnya lupa juga), Kompas sekitar Rp1500 perak. Setiap satu koran upah buat tukang koran sekitar Rp200-Rp500 perak.

Jadi misalnya Kompas laku 10 koran maka setidaknya saya mengantongi Rp5000 dengan asumsi satu koran kompas upahnya Rp500 perak. Kalau tidak salah ingat rata-rata saya membawa pulang Rp15000-Rp20000 per hari.

Yang paling saya ingat dan suka tertawa sendiri kejadian di kejar anjing di pagi buta. Saya memang punya pelanggan Pos Kota yang rumahnya dijaga anjing galak. Bisa ditebak kan saya mesti ambil ancang-ancang dari jauh saat melempar koran ke atas pagar apalagi anjing adalah binatang yang membuat luka di alis kanan dan bibir atasku. Saat aku kecil pernah jauh ke selokan gara gara menghindari anjing.

Setelah saya lempar koran itu sejurus kemudian guk guk guk...anjing itu pasti mengejar saya sampai beberapa meter…hehe lucu juga kalau mengingat itu.

Terlepas dari itu satu tantangan terbesar debut menjadi tukang koran yakni ketika mengimla “koran-koran” sambil menggoes sepeda. Malunya tak terkira saat itu, untungnya Bapakku selalu bilang jadi tukang koran itu pekerjaan halal lagian kamu jadi belajar mandiri.

Alhamduillah, 12 tahun berlalu. Saya bersyukur saat ini masih dikaruniai Allah nikmat yang luar biasa. Bisa kuliah, kini bisa bekerja, bisa bermanfaat bagi pembaca lewat tulisan-tulisan, bisa menjadi wartawan. Alhamdulillah. Yang belum terwujud ialah bisa membuka lapangan pekerjaan buat orang lain.

“Koran-Koran…….,” teriak Mas Endut yang hilang ditelan gang senggol.

gambar: injilterapan.blogspot.com


Senin, 04 Oktober 2010

“Wartel” (Wartawan Telepon)

Oleh Taher Saleh

Suatu sore, temanku dari salah satu media ekonomi nasional tiba-tiba mengirim pesan pendek. Dia minta dikirimi nomor telepon direktur utama PT Asuransi Jasa Raharja, perusahaan asuransi milik pemerintah yang bertugas membayar klaim kecelakaan bagi korban kecelakaan lalu lintas darat, laut, dan udara.

Tak menunggu lama aku langsung penuhi permintaannya biar puass. Sebetulnya temanku ini sudah bertemu dengan Dirut Jasa Raharja Diding S Anwar, ketika perusahaan asuransi yang lahir dari nasionalisasi perusahaan Belanda itu menggelar acara ‘Buka Bersama Wartawan’ pertengahan Ramadhan lalu (September).

Namun waktu memaksanya tuk pulang terlebih dahulu karena lagi kebelet dengan satu hal mendadak saat itu. Akhirnya saya meminta langsung nomor ponsel dirut Jasa Raharja tersebut.

Keperluan nomor ponsel itu terkait erat dengan data-data lisan yang dibutuhkannya untuk menulis berita tentang berapa nilai klaim asuransi yang akan dibayarkan oleh Jasa Raharja menyusul dua kecelakaan kereta api pada 2 Oktober lalu.

Seperti diberitakan besar-besaran hampir semua media, kecelakaan kereta api terjadi ketika gerbong belakang kereta Senja Utama ditabrak oleh kereta Argo Bromo Anggrek di Petarukan, Pemalang, Jawa Tengah.

Kejadian naas pada hari yang sama juga terjadi di Solo tatkala kereta Gaya Baru Malam dari Surabaya-Jakarta ditabrak oleh kereta Bima. Total tercatat lebih dari 30 orang mengembuskan nafas terakhirnya di tengah malam yang gelap gulita, ketika senja belum tampak.

Dalam hal ini temanku itu tak salah juga minta meminta nomor telpon. Kebiasaan ini di kalangan wartawan baik desk ekonomi maupun desk politik adalah hal yang lumrah. Bukan lantaran malas bertemu dengan narasumber tetapi ada satu hal dan lainnya yang memaksa pencarian berita dimungkinkan secepat mungkin disajikan sehingga perlu media lain melalui kabel telepon.

Bagi kami wartawan yang biasa meliput ekonomi, setiap hari ‘makanannya’ straight news, laporan mendalam atau mungkin features hanya beberapa kali saja berbeda dengan majalah yang menjual liputan indept. Bahkan belakangan di beberapa media, features hanya dijadikan bantalan untuk mengisi halaman yang sepi iklan.

Itulah sebabnya telpon menjadi media paling cepat membuat straight news selain mengandalkan surat elektronik atau email, facebook, chatting, atau yang saat ini sedang in, blackberry messanger. Kami biasa menyebut aktifitas ini “Wartel” alias wartawan telpon.

Maknanya wartawan hanya bermodal wawancara telepon, ditambah riset serba sedikit di perpustakaan atau internet, lalu menulis di belakang meja. Tak salah juga sih karena biasanya langkah ini dipilih ketika berhadapan dengan narasumber yang jauh, sulit dijangkau, atau yang bersangkutan cukup sibuk jadi tak punya waktu.

Toh wawancara telpon juga punya kelebihan sebab bisa mendapatkan informasi dengan cepat dari narasumber. Keuntungan lainnya bisa menghemat waktu dan tenaga. Wartawan juga langsung mengajukan pertanyaan-pertanyaan straight to the point. Di pihak narasumber, dia bisa menyembunyikan privasinya tanpa mengganggu proses wawancara.

Yang salah adalah ketika pilihan ini dijadikan kebisaaan dalam menjalani aktifitas jurnalistik setiap hari padahal ada begitu banyak medium selain mengandalkan uang pulsa ini misalnya wawancara ekslusif dan lainnya.

Salah karena kalau jurnalis terbiasa dengan langkah ini ia hanya terbatas untuk mengenal lebih dekat dan lebih banyak sumber-sumber berita. Selan itu kita jurnalis tak bisa membaca komunikasi non-verbal yang bisa membantu jurnalis menafsirkan respon sumber berita. Coba banyangkan jika kita meliput korban kecelakaan kereta api kasus di atas? Bagaimana kita menggambarkan kondisi psikologis korban tanpa meninjau langsung tempat kejadian perkara?

Kelemahan lain wawancara ini ialah gangguan teknis seperti sinyal tersendat atau terputus atau bahkan baterai ponsel lemah.

Sayangnya kebanyakan wartawan saat ini termasuk saya, kadang-kala terjebak pada rutinitas wawancara ini. Ini kontras jika disandingkan dengan wejangan Sindhunata, seorang wartawan senior (bekas wartawan Kompas) yang ulasan sepakbola-nya selalu saya nantikan ketika Piala Duni berlansung.

Dia mengatakan pekerjaan pertama seorang wartawan ialah pekerjaan kaki. Ya pekerjaan kaki artinya kita mesti melangkah baru kemudian pekerjaan tangan, tulis-menulis.

Selayaknya wejangan ini bisa dipegang penuh oleh wartawan yang baik dalam menulis khususnya berita mendalam karena dengan keunggulan terjun ke lapangan bisa mendedahkan seuatu hal yang tak bisa ditangkap telinga lewat telepon, tapi bisa disingkap oleh mata dan hati.

Gambar: tegal-online.blogspot.com

Entri Populer

Penayangan bulan lalu