Minggu, 07 April 2013

Menunggu Coast Guard Beraksi

Armada Coast Guard Internasional, Photo by flikrriver
KEINGINAN INDONESIA MEMILIKI SATU BADAN TUNGGAL PENJAGA LAUT DAN PANTAI TERNYATA MASIH MENGAWANG-AWANG
Oleh M. Tahir Saleh & Hendrikus F Nuwa Wedo

MASIH ingat dengan nasib RUU BPJS? Regulasi soal badan penyelenggara jaminan sosial ini harusnya sudah ada pada 2009 atau 5 tahun setelah UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional disahkan.

Ternyata regulasi badan itu baru disahkan menjadi UU pada 2011, molor 2 tahun dari amanat konstitusi. Wasiat UU nyatanya tak bisa dilaksanakan oleh pemerintah dan parlemen. Alasannya klasik; koordinasi dan benturan kepentingan yang belum mampu dicarikan solusi.

Inkonsisten itu terjadi lagi. Kali ini giliran pembentukan badan tunggal penjaga laut dan pantai atau Indonesia Sea and Coast Guard. Sudah 2 tahun pemerintah belum membentuk lembaga ini, padahal badan keamanan maritim ini harus dibentuk pada 2011, selaras dengan amanat Pasal 352 UU No.17/2008 tentang Pelayaran.

Lagi—lagi benturan kepentingan menjadi ‘kambing hitam’. Sejauh ini rancangan peraturan pemerintah atau RPP-nya saja masih mengendap di meja Menko Polhukam Djoko Suyanto.

PP dan peraturan turunan badan ini mestinya sudah ditetapkan paling lama 1 tahun setelah UU yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu berlaku sesuai dengan Pasal 347 UU tersebut.

Kelahiran badan ini bak menemui jalan berliku. Kehadirannya tentu akan mengikis kewenangan instansi sebelumnya yang bercokol di laut seperti TNI Angkatan Laut, Polisi Perairan, Bea dan Cukai, Badan Karantina, dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan.

Penyebab belum lahirnya badan itu diduga karena bertabrakan dengan undang-undang lain seperti UU TNI, UU Kepolisian, UU Bea dan Cukai, sehingga terlalu banyak badan negara yang merasa berhak dan ingin membentuk badan penjaga laut dan pantai berdasarkan UU sektoral.

Patut diingat, betapa badan ini sangat penting dan strategis, bukan hanya untuk pengamanan perairan tetapi juga memangkas ‘raja—raja kecil’ di laut yang menggerogoti pelayaran Merah Putih.

Indonesian National Shipowners Association (INSA) mencatat kerugian Rp5,5 triliun per tahun habis digerogoti pungutan liar dengan asumsi denda yang dikenakan per kapal bisa mencapai Rp50 juta.

Sampai saat ini menurut Ketua Umum INSA Carmelita Hartoto, perusahaan pelayaran seringkali mengeluarkan biaya tambahan yang tidak lazim di laut.

Biaya tambahan itu dipicu tumpang tindihnya kewenangan pengamanan laut dari berbagai instansi yang berwenang.

“Ekstra biaya ini menjadi beban logistik tersendiri karena relatif tinggi. Kami mendorong agar badan itu segera diwujudkan guna mengakhiri tumpang tindih kewenangan dan kita punya badan representatif di bidang penjagaan laut dan pantai,” katanya.

Pemerintah juga didesak segera menyelesaikan pembahasan RPP itu sesuai dengan amanat UU. Sudah memasuki tahun kelima, tapi baik PP maupun badan itu sendiri masih mengawang.

Menteri Perhubungan E.E Mangindaan optimistis lembaga itu segera terbentuk. Seluruh harmonisasi sudah dilakukan. Diakui memang selama ini masih ada benturan peraturan sehingga terkendala siapa yang menjadi leading sector.

“Lagi di Menko Polhukam [RPP], harmonisasi sudah jadi coast guard kami harapkan cepat selesai supaya menjadi pedoman kita bersama. Jadi tidak membingungkan di laut dalam rangka penertiban masalah,” kata Menhub.

Mangindaan juga menyinggung kebedaraan KPLP yang dikendalikan Ditjen Perhubungan Laut sudah sesuai dengan UU Pelayaran. “Namanya mungkin berubah yah, tapi dia akan fungsinya ditambah nanti.”

Kepala Pusat Informasi, Hukum dan Kerja Sama Keamanan Laut Bakorkamla Triyuswoyo mengatakan benturan kepentingan sebetulnya bisa dipertemukan. Kalau saja ada political will pemerintah dan kesepatakan bersama.

“Tekad membentuk itu menjadikan perbedaan UU itu tak masalah. Itu yang dilakukan oleh Malaysia. Apapun keputusannya, kami siap, toh kami sudah jalan selama ini,” katanya.

Adapun Kasubdit Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Haryo Limanseto menegaskan sinergi dan kordinasi antarinstansi perlu ditingkatkan. Hal itu karena sistem penegakan hukum di laut Indonesia itu multi agency multitask, setiap instansi menjalankan tugas dan fungsi pengawasan hukum secara spesifik sehingga belum diperlukan digabung menjadi satu.

Jika demikian pendapat Haryo ini sebetulnya bertolak belakang dengan rencana pembentukan badan tunggal itu.

Sebetulnya dalam badan tunggal, kata Carmelita, bisa dimasukan unsur instansi lain seperti Ditjen Pajak, TNI, Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dan Polri dengan tetap dikendalikan dalam sebuah lembaga khusus sehingga tidak terjadi tumpang tindih antarinstansi.

Tak usah dipungkiri bahwa lemahnya pengawasan laut oleh instansi terkait juga menjadi pemantik terjadi kejahatan yang dilakukan oleh kaum bramacorah, penjahat—penjahat kambuhan.

Beberapa perusahaan pelayaran anggota INSA juga menjadi korban pembajakan dan perampokan saat sandar di dermaga. Di luar itu, sejumlah kapal juga ditahan dengan berbagai alasan padahal penahahan kapal sangat merugikan.

Tujuan dari badan ini adalah mensinergikan pengelolaan keamanan laut dan pantai yang hingga saat ini masih dikelola secara sektoral. Substansi lembaga ini ialah masalah keamanan secara menyeluruh.

Jangan sampai pungutan atau biaya ekstra lain masih muncul, jangan juga para penjahat di laut masih berfikir kalau celah kejahatan di laut Indonesia masih terbuka. Kalau lembaga tunggal itu belum terbentuk, kapan bisa diatasi?

Tulisan asli terbit di Harian Bisnis Indonesia, Jumat, 5 April 2013. Ini versi lain

Entri Populer

Penayangan bulan lalu