Kamis, 12 Juni 2014

Detektif-Detektif Masa Lalu

Candi Borobudur, photo by Postlicious
Para arkeolog Indonesia membedah peninggalan masa lalu. Tak sebatas menggali, tapi membuka tabir masyarakat dan sistem di zaman itu sebagai warisan budaya bangsa.

Oleh M. Tahir Saleh

MASIH terekam dalam benak Profesor Mundardjito betapa sulit merestorasi Candi Borobudur di Magelang, Jawa Timur, sekitar 34 tahun silam. Ketika itu, Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia (UI) ini ikut membantu pemugaran candi Buddha terbesar di dunia ini.

Candi peninggalan pemerintahan Syailendra abad kesembilan itu dibentuk oleh sekitar 2 juta blok batu andesit. Tim memeriksa sana-sini, mencari tahu dari mana jutaan batu itu diambil. Dengan analisis struktur, bentuk, kekerasan, dan  kepadatan yang mirip, interpretasi didapat bahwa batuan itu berasal dari Kali Blongkeng.

Pertanyaanya: bagaimana jutaan batu itu dibawa ke Borobudur dengan jarak berkilo-kilometer, sementara belum ada mesin otomotif zaman itu? Setelah tak menemukan kulit batu di Borobudur, interpretasi lagi-lagi diperoleh: batu-batu pembentuk candi ternyata dibentuk kotak di Blongkeng supaya efisien dibawa dengan roda kereta saat itu. Kesimpulan alat transportasi ini dikuatkan dengan historical data dari relief-relief Candi Borobudur.

“Kami menggali batu, enggak ketemu kulit batu, berarti batu yang dibawa ke Borobudur itu dari sana [Blongkeng] sudah dibentuk kotak, bukan bulat. Itu perilakunya,” terang Mundardjito, Selasa pekan lalu (21/1).

Sang profesor di Salihara, photo by Salihara, Flickr
Arkeolog senior yang sudah malang melintang meneliti—mulai dari situs Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, hingga Candi Muaro Jambi—itu memberikan kuliah umum bertema ‘Bagaimana Arkeolog Berpikir dan Bekerja di Serambi Salihara, Jakarta, 21 Januari lalu. Sejumlah artikel dan buku mengenai arkeologi pun ditulisnya, seperti Sejarah Kebudayaan Indonesia: Sistem dan Teknologi (2009) dan Pertimbangan Ekologis Penempatan Situs Masa Hindu-Buddha di Daerah Yogyakarta (2002).

Baginya pekerjaan arkeolog semacam detektif masa lalu. Layaknya ahli forensik, arkeolog menggali, menemukan, dan membuktikan. Aktivitas arkeolog sangat berpedoman pada disiplin ilmu dan logika, bukan mitos, apalagi rumor. Mereka tak berdiri di atas ‘menara gading’, tapi berupaya menemukan peradaban masa lampau sambil menemukan bukti kelahiran dan keruntuhan warisan budaya itu.

Beberapa analisis yang mendukung kerja arkeolog di antaranya analisis bentuk, lalu analisis konteks bagaimana menghubungkan benda temuan dengan temuan lain. Gerabah, katanya, merupakan benda yang paling sering ditemukan karena dianggap ‘remeh’ dan ditinggalkan penduduk. Tapi, benda ini penting bagi arkeolog. Analisis lain, yakni etnografi dengan fokus pada tempat lain dengan keterkaitan temuan yang sama sebagai penambah data. Lalu, analisis eksperimental yang juga melibatkan spesialis bukan arkeolog.

Sejumlah penemuan bukan sebatas membuka tabir budaya, kesenian, dan perekonomian masa lalu, melainkan bagaimana penemuan itu bermanfaat bagi masa kini, termasuk teknologi. “Ini tampak saat meneliti Majapahit. Sistem pengairan dengan kanal-kanal yang begitu luar biasa, air dialirkan ke pusat kota dengan sangat baik.”

Cecep Eka di Sulsel, photo by Facebook
Cecep Eka Permana, dosen Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, menjelaskan perbedaan disiplin arkeologi dengan bidang lain yakni ekskavasi atau penggalian. Artinya bukan menggali gorong-gorong atau gali asal-asalan. Sebelum menggali, pengumpulan data melalui survei wajib dilakukan. Entah itu lewat satelit untuk melihat anomali suatu daerah atau dengan sonar (mendeteksi di bawah laut dengan gelombang suara). Kemudian ditambah dengan kajian kepustakaan.

Arkeolog—yang selalu bekerja dalam tim—pun harus mengecek lapangan untuk membuat test pit atau kotak uji sebelum meletakkan kotak ekskavasi asli. Setelah itu barulah menempatkan kotak ekskavasi. Terdapat empat patok membentuk kotak ini, biasanya untuk latihan mahasiswa, luasnya hanya 2 x 2 meter. Di dalam kotak, dibuat kotak lagi. Di kotak gali inilah arkeolog bekerja.

Rumus awal ini perlu karena, dengan berpedoman pada kotak galian ini, bisa tampak lapisan tanah dan temuannya. Dalam hukum superposisi, lapisan makin ke bawah, makin tua. Kalau ada temuan di luar kotak, dibuatkan kotak lagi dan seterusnya. “Kalau salah melihat dan mencatat, temuan bisa tercampur, padahal berbeda lapisan,” kata Cecep.

Jangan salah, ketika menggali pun arkeolog memakai alat khusus yang biasa menjadi senjata tukang bangunan. “Enggak boleh pakai cangkul, tapi sendok semen, pacul kecil, petel, kete’ [alat dempul],” kata Cecep yang pernah meneliti gua-gua prasejarah di Pangkep, Sulawesi Selatan ini.

Namun, kerap terjadi informasi berasal dari laporan penduduk. Penggalian candi-candi di Batujaya, Karawang, Jawa Barat, pada 1984 adalah hasil informasi masyarakat sekitar. Di kawasan ini, ditemukan candi-candi peninggalan abad keempat sampai abad ketujuh peninggalan Kerajaan Tarumanegara. “Harus hati-hati. Sulit karena lokasinya di tengah sawah, berjibaku dengan air yang kerap masuk ke lobang galian.”

Kehati-hatian itu juga dialami Mundardjito. Saat abu vulkanik Gunung Merapi menutupi Borobudur, bersama sukarelawan, dia memakai bilah bambu untuk membersihkan abu yang menutupi pori-pori batu supaya batu bisa bernafas. “Itu sekeliling Borobudur. Bayangin aja pakai bambu, satu-satu dicongkel, saking cintanya,”

Meski arkeolog punya tugas mulia, Mundardjito berharap masyarakat memiliki pemahaman soal cagar budaya. Ini penting karena masyarakat hidup di tengah-tengah wilayah yang bisa saja dulunya menyimpan harta kebudayaaan. Sebelum restorasi Bodobudur, dia teringat kejadian yang memiriskan hati. “Ada warga menumbuk padi di batu, pas dibuka, busyet dah stupa. Lalu batu di kamar mandi, begitu dilihat, wah ini relief. Saat itu juga kami ganti dengan batu lain, disebar ke masyarakat.”

Dari sisi pemerintah, kepedulian sudah ada, tapi belum maksimal. Dia ingat suatu hari ke Istana Negara untuk melihat bendera pusaka hasil jahitan istri mendiang Presiden Soekarno, Fatmawati. Dia langsung kaget saat melihat pengamanan ‘pusaka tak ternilai’ itu seadanya saja—dengan CCTV tanpa alarm. Beda jauh dengan China yang menerapkan pengamanan tingkat tinggi untuk melindungi warisan budaya.

Dia pun teringat ucapan almarhum Soekmono, salah satu arkeolog Indonesia yang pernah memimpin proyek pemugaran Candi Borobudur (1971-1983). Pundak Mundardjito ditepuk dari belakang dan Soekmono bilang kepadanya: “Jangan sembarang menggali, kalau belum tahu gimana program pelestariannya.”


Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin 3 Februari 2014.
Words: 877

Senin, 09 Juni 2014

Revolusi Promotor Musik

Dewi Idol saat bernyanyi
di Shisha Cafe, photo by EqualEvent
Musik live kini ditawarkan dengan model bisnis MLM

Oleh M. Tahir Saleh

MALAM mulai merambat ketika Dewi Puspita, penyanyi jebolan Indonesia Idol 2014, melantunkan sebuah lagu dalam konser di Shisha Cafe, Kemang, Jakarta. Berbalut gaun pink indah tanpa lengan, sosoknya tampak anggun berkerlap-kerlip saat lampu panggung menyorotnya. Ia tak canggung menggoda penonton, meski baru seumur jagung tampil sebagai finalis di kontes bernyanyi paling populer di Indonesia.

Beberapa menit sebelumnya, pendatang baru Afan Mahesa menghibur penonton lewat lagu Imposiblemilik juara The X Factor Britania Raya 2012, James Arthur. Penonton menikmati, terbawa suasana romantis yang dihadirkan kedua muda-mudi berbakat ini. Tapi bukan Dewi dan Afan semata, konser live pada 7 Mei itu juga diisi oleh penampilan musisi lain. Beberapa belum kondang, tapi berkualitas, seperti Ucok Baba beserta BABA Band-nya, Hasan Faruq, Young Boys, Adam Jackson, Whirling Darvish, Graffiti Artists, dan Groove N’Roll. Di akhir acara, kelompok musik sufi DEBU menjadi penampil pamungkas. Mereka  dipimpin oleh Mustafa Daod, penyanyi utama dan penata musik band tersebut.


Semua musisi ini hadir dalam rangka memperkenalkan EqualEvent, perusahaan promosi online yang menerapkan sistem baru dalam mengelola acara musik. Sesuai nama, konsep bisnisnya menjadikan semua pihak yang terkait sama-sama berbagi risiko. Setiap orang dengan akun Facebook punya kesempatan untuk menjadi promotor acara musik live dan mendapatkan keuntungan dari persentase harga tiket. Sistemnya seperti multi-level marketing (MLM). “Sekarang, siapa pun bisa menjadi promotor hanya dengan memakai akun media sosial,” kata Mustafa. “Basis promosinya lewat internet supaya para penggemar dan pelaku seni bisa sukses membuat acara yang berkualitas dan menarik tanpa risiko rugi.”

Mustafa menjadi salah satu investor EqualEvent dengan menggandeng seorang kawan dari Wales yang bekerja sebagai produser televisi, David Erza-Evans. Keduanya punya kesamaan visi untuk menumbuhkembangkan musik live di Tanah Air. “Saya malang melintang 13 tahun di musik. Kenapa saya terjun ke bisnis? Karena saya melihat kurangnya apresiasi,” ujar Mustafa ketika ditemui kembali di sebuah kafe di Fatmawati, Jakarta Selatan. Pria berambut gondrong pirang ini datang ditemani rekan bisnisnya, David Erza.

Ide mendirikan EqualEvent muncul dari sulitnya menemukan acara musik live, bahkan di Jakarta sekalipun. Kesulitan ini salah satunya akibat kurang informasi dan promosi. Ketiadaan informasi tidak hanya dirasakan warga lokal, melainkan juga ekspatriat yang tengah mengunjungi Indonesia dan ingin menonton acara musik langsung. Padahal, publik cukup gandrung dengan musik live—ini  dibuktikan dengan banyaknya konser musisi mancanegara. 

“Semua orang suka live music, membawa kebahagiaan. Maka itu butuh satu sistem, sistem yang bisa membuat  live music hidup dan terus-menerus,” katanya.  “Kurangnya musik live juga disebabkan penyedia tempat atau venue terbebani dengan tarif artis terkenal yang tinggi sementara bila memakai artis baru cenderung berisiko rugi.“ Promotor atau pemilik tempat sering kali akan menanggung rugi apabila acaranya tidak sesukses perkiraan.

Menariknya, dalam model bisnis ini, semua pecinta musik yang punya akun Facebook bisa menjadi promotor. Kesederhanaan sistemnya mengizinkan semua orang di kota mana pun untuk menciptakan EqualEvent. Dalam menjalankan sistem sejenis MLM ini, ada beberapa pihak yang terlibat, yakni: EqualEvent sebagai perusahaan, venue, artis, agen (Blue Bird, puluhan hotel, perusahaan bus Pahala Kencana), dan show runner atau promotor yang mengandalkan akun media sosial. 

Promotor terlebih dulu mendaftar untuk mendapatkan kode. Ambil contoh akan digelar satu musik live di sebuah kafe, tiket lalu dicetak dan dibagikan kepada khalayak dengan mencantumkan kode promotor yang sebelumnya mendaftar. “Persentasenya dari tiket dipotong 20% untuk agen, setelah itu 80% nanti dibagi lagi. Dari nilai itu 60% untuk artis penampil, sisanya 20% untuk perusahaan dan 20% untuk showrunner atau promotor,” jelas David.

Mustafa dan Saleem Debu,
photo by EqualEvent
Venue, kata Mustafa, bakal mendapatkan seorang promotor yang khusus memasarkan tempat acara sendiri. “Jadi venue enggak perlu lagi pusing mikirin bayaran artis. Untuk agenda pertama, EqualEvent akan digelar pada Agustus mendatang setiap Rabu dan Sabtu malam di Shisha Cafe dengan menghadirkan DEBU beserta musisi lain. Selain itu, juga bakal digelar live music empat kali seminggu dengan label Unsigned and Trending. Harga tiket pada event Agustus dipatok antara Rp90.000-180.000 tanpa makanan dan Rp180.000-360.000 dengan makanan. Perusahaan juga memasang agenda tampil di tiga kedai kopi terbaik di Jakarta dengan beberapa band yang tren di situs YouTube. Kriteria tempatnya berkapasitas 50-500 penonton, meskipun sebetulnya sistem cukup fleksibel untuk menampung lebih banyak penonton.

Dengan konser live rutin, artis bakal tertarik ikut mengingat tak hanya uang akumulasi tiap pekan, tapi apresiasi menjadi hal paling penting buat musisi. “Misalnya artis tampil delapan kali, tiap tampil dapat Rp10 juta, lebih menarik daripada satu kali tampil dapat Rp50 juta. Itu besar, tapi belum pasti terus, ditambah lagi ada apresiasi,” jelas Mustafa. Manajemennya pun tak mensyaratkan kriteria artis penampil. Itulah yang membuat komedian Ucok Baba penasaran. “Mas Mustafa, artis-artis macam kami bisa tidak tampil di sini? teriak Ucok yang bertubuh mungil. Malam itu dia tampil bersama BABA Band, grup beranggotakan musisi-musisi ‘mini. “Semua bisa tampil,” jawab Mustafa seketika.

Model bisnis ini, menurut David dan Mustafa, belum dikembangkan di Indonesiabahkan ini pertama kalinya di dunia. Mereka menyatukan semua elemen yang dibutuhkan guna membuat sebuah acara terealisasi dengan baik. “Metodenya didasarkan pada hubungan kontrak serta pembagian persentase yang telah disepakati dari pendapatan acara, dan itu bukan biaya tetap,” jelas Mustafa. “Dengan cara ini, risiko kerugian diminimalkan sehingga acara–acara berkualitas yang saling menguntungkan bisa lebih sering dilakukan.”

Dengan potensi penonton Tanah Air yang menggemari acara musik live, mereka optimistis bisa bekerja sama dengan artis berkualitas dan bermitra dengan venue seperti kedai kopi atau hotel di seluruh dunia. Tentu dengan menciptakan hubungan saling menguntungkan. Mereka beroperasi tidak hanya di Jakarta, tetapi juga menggelar acara musik di Surabaya, Bali, dan Singapura. Konsep EqualEvent diharapkan meluas ke seluruh Asia Tenggara serta mampu menembus Eropa dan Amerika. “Tak ada yang mampu meningkatkan penjualan makanan dan minuman seperti mendengarkan live music,” kata Mustafa.


Tulisan ini terbit di Majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 26 Mei 2014
Words: 929

Sabtu, 07 Juni 2014

Janji Manis Desainer

IFW 2014, rancangan Juanita Seno Aji,
photo by Jhoni Hutapea/Bloomberg Businessweek Indonesia
Ada problem besar di balik ingar-bingar konten lokal dalam pagelaran mode Tanah Air.

Oleh M. Tahir Saleh

UNDANGAN dari Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah Kementerian Perindustrian Euis Saedah itu datang pada Selasa, 18 Februari.  Yustina Makunimau (42), Kepala Bidang Perindustrian Dinas Koperindag Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, diminta hadir membawa seorang penenun ke ajang Indonesia Fashion Week (IFW) 2014 di Jakarta.

“Mendadak sekali ya, Bu. Apa keburu?” tanya Yustina kepada staf khusus dirjen yang meneleponnya. “Usahakan Ibu hadir,” begitu jawaban dari seberang telepon.

Esoknya, Yustina langsung mengontak Sariat Lebana, penenun asli Alor. Mereka bergegas menyiapkan remeh-temeh keperluan perjalanan ke Jakarta karena IFW diselenggarakan di Jakarta Convention Center (JCC) 20-23 Februari. Awalnya berat lantaran tenggat mepet, ditambah lagi belum ada izin dari kepala dinas. Tapi rasanya muskil menolak undangan dirjen. Mereka lalu berangkat menuju Kupang, ibu kota NTT, pada Kamis dan melanjutkan perjalanan dengan Batik Air menuju Jakarta. Jumat pagi, dua perempuan sebaya ini tiba. Mereka lalu memutuskan menginap di Wisma Pertamina, depan Stasiun Gambir, Jakarta Pusat.

Hari sebelumnya (Kamis), IFW resmi dibuka oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu serta Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Acara tahunan yang digelar sejak 2012 ini menjadi pekan mode, selain Jakarta Fashion Week dan Jakarta Fashion and Food Festival.

Lebih dari 200 desainer dan sekitar 500 merek lokal menjadi peserta gelaran hasil kerja sama Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) bersama Radyatama ini. Awalnya pendaftar menembus 900 produk, tapi disaring menjadi 500 demi menjaga kualitas. Nilai transaksi tunai selama pameran mencapai sekitar Rp12 miliar, belum terhitung via kartu kredit dan order lainnya. “Pengunjung mencapai sekitar 80.000. Ini berkat ada acara lain juga di JCC. Tapi, arah Indonesia Fashion Week bukan hanya soal pesanan melainkan agar desainer punya networking,” jelas Dini Midiani, Direktur IFW, pekan silam.

Tema yang diusung IFW kali ini ‘Local Movement, Green Movement’, mengajak masyarakat mencintai produk lokal. Tahun lalu, temanya menahbiskan sarung sebagai tren busana, dan pada 2012 mengambil tema ‘Colorful Indonesia’.

Tema-tema lokal ini terus didengungkan, termasuk dalam pagelaran mode Jakarta Fashion Week dan Jakarta Fashion and Food Festival. Konten lokal, antara lain kain tenun atau batik, juga menjadi daya tarik saat desainer beranjangsana dalam pekan mode di luar negeri. Itu sebabnya, kehadiran Sariat Lebana, satu dari ratusan penenun asli, menjadi penting dalam pagelaran ini guna membuktikan kepedulian penyelenggara terhadap konten lokal.
           
**


KEBERADAAN penenun lokal—kebanyakan berusia tua—selama ini memang mendapat perhatian para pemangku kepentingan (stakeholders), meski belum dibilang optimal. Padahal tenun sudah ada sejak dulu, leluhur mereka bahkan bergelut dengan aktivitas tradisional ini berabad-abad lamanya.

Betul bahwa pemerintah memberdayakan penenun dengan menggelar pameran, membiayai perangkat, pameran ke luar negeri, mendirikan rumah tenun, peningkatan pengetahuan, dan lainnya. Pengusaha tekstil atau desainer juga menunjukkan kepedulian dengan memasukkan konten lokal dalam karyanya, lalu dipamerkan.  Akan tetapi, itu belum cukup.

Beberapa desainer atau pengusaha tekstil memang serius mengangkat tenun ikat untuk diterapkan pada pakaian ready to wear (siap pakai berproduksi massal). Tapi mirisnya, terselip beberapa desainer—tidak memakai kain tenun—yang malah ‘mencuri’ motif tenun untuk diimplementasikan dalam karya mereka.

Alasannya, kain tenun terkendala dana, proses pembuatannya tak bisa massal dalam waktu cepat karena dibuat dengan tangan kosong dan sangat tradisional, ditambah karakter bahannya belum mendukung industri fashion lantaran panas dan tebal. Alhasil, jiplakan motif pun terjadi atas ragam hias tenun di antaranya flora, fauna, geometris, dan dekoratif.

Musa, photo by Bronz Magazine
Langkah laten ini jelas merugikan penenun karena sampai kapan pun mereka jalan di tempat. Slogan pameran-pameran yang mengangkat kekuatan lokal menjadi satu hal yang mesti benar-benar diimplementasikan. Sebab, faktanya beberapa desainer malah memilih 'bahan sendiri' seolah-olah itulah tenun yang asli. “Dibilang banyak juga tidak ya, cuma ada lah [desainer] yang ambil motif lokal. Tapi, kembali lagi bahwa itu kebebasan dalam mengekspresikan kelokalan,” kata Musa Widiatmodjo, desainer pemilik PT Musa Atelier.

Menurut Musa—yang juga penasehat APPMI—sebetulnya desainer tidak ‘mencuri’ motif, melainkan menerjemahkan konten lokal secara bebas dengan memodifikasi. Tenun dan batik tak bisa dijual ke semua orang karena terkait dengan selera. “Jadi terjemahan lokal itu bebas sekali,” kata Musa. “Go local itu bisa saja bahan bakunya lokal, tapi desain dan konsepnya modern. Bisa juga hanya motifnya lokal, bisa juga bahan baku dan motifnya lokal.”

Pemilik merek eksklusif M by Musa dan Musa Co ini bukan termasuk desainer yang kurang kreatif. Dia concern mengembangkan tenun. Di IFW, Musa menawarkan baju pria berbahan tenun rancangannya dengan harga sekitar Rp4-6 juta. Baginya, asalkan motif tenun tidak diambil plek-plek lalu dimodifikasi sesuai dengan modernisasi, hal itu bukanlah pencurian. Baru dikatakan curang bila mengambil motif murni.

Namun, dia mengingatkan beberapa penenun juga kadang berbuat ‘curang’. “Saya enggak bilang semua desainer itu orang baik dan benar. Sama saja, saya enggak bisa mengatakan pengrajin [tenun] itu [semuanya] baik dan benar. Ada juga pengrajin tidak jujur,” kata desainer lulusan Universitas Drexel, Philadelphia, Amerika, ini. Kecurangan itu misalnya suatu ketika desainer mengarahkan penenun membuat motif daun besar-besar. Nyatanya ketika ada pembeli langsung dijual oleh si penenun, padahal desainer lebih dulu memesan. “Ini pernah terjadi, maka itu tergantung kejujuran kedua belah pihak.”

Penjiplakan motif ini begitu kentara bila berkunjung ke pusat-pusat perbelanjaan tradisional atau modern. Tak hanya desainer, pengusaha tekstil juga ambil bagian dalam upaya menggerus kreativitas tersebut.

Ketika saya mengunjungi Thamrin City, pusat perbelanjaan dekat Pasar Tanah Abang Jakarta, kain-kain bermotif tenun NTT disulap menjadi potongan celana harem atau atasan baju wanita dengan banderol harga Rp150.000-550.000. Hampir semua toko hanya menjual replika, tak ada yang memakai tenun asli. “Kalau tenun asli modalnya besar. Kain ukuran satu meter saja bisa sampai Rp500.000-an. Dibikin pakaian jadi pasti harganya bisa jutaan. Siapa yang beli?" ujar seorang pemilik toko.

Selain mahal, kain tenun asli juga dinilai kaku dan tebal sehingga perlu didukung oleh teknologi dan pemilihan bahan. Potret serupa juga tampak di Pasar Kanoman, Cirebon, Jawa Barat.  Jika biasanya kain batik terpajang hampir di setiap toko di lantai dua, kali ini berbeda karena kain-kain 'tenun' seolah tampil sebagai tren baru. Di toko pertama, saya langsung menunjuk kain cokelat dengan corak khas NTT. Begitu dipegang, ternyata bukan tenun sungguhan, melainkan sejenis kain sutra bermotif tenun. Penjualnya mematok harga Rp22.000-25.000 per meter. Saya tawar Rp18.000, dia setuju.

Di toko sebelah, saya menemukan jenis kain serupa. Warnanya hijau tosca dengan corak persis seperti tenun buatan penenun asli Alor. Harganya Rp27.000 per meter. Tapi, berhasil ditawar Rp23.000 per meter. Si penjual bilang kain motif tenun itu memang sedang laris. Banyak orang, baik dari Cirebon, Bandung, dan Jakarta kepincut memborong untuk dijahit menjadi pakaian jadi.

Fenomena ini mestinya sudah diwaspadai pemerintah karena kain tenun, kain batik, kain songket, atau kain daerah lainnya merupakan warisan budaya Indonesia yang patut dilestarikan. Pelestarian itu juga mesti berdampak pula dalam keuangan para penenun di pelosok-pelosok, bukan sekadar menjiplak motif, lalu ditempel pada bahan sifon, katun, dan lainnya.

Apabila motif itu ditiru seluruhnya, menurut Dini Midiani, perbuatan itu kanibalisme. “Akan lebih bagus kalau motif itu menjadi inspirasi, jangan langsung ditiru. Dikembangkan boleh karena ada yang enggak mungkin sesuai di kain tenun,” kata Direktur IFW ini. Timnya juga sudah berupaya meminimalkan aksi sepihak desainer ini melalui seminar, workshop, dan pelatihan agar perancang busana lebih kreatif dan tak lagi full mencontek motif. “Kami juga masuk ke 12 sekolah mode di Indonesia. Tujuannya memberikan pemahaman kepada calon-calon desainer tentang ini karena yang muda itu menjadi penerus.”

Motret Aliki di IFW 2014
Penjiplakan motif juga kerap mengarah pada desainer-desainer muda. Tapi Putu Aliki, salah satu desainer muda pemilik brand Aliki dari Bali, membantah hal itu. Perancang busana jebolan Harry Darsono Art and Design College di Jakarta ini menegaskan modifikasi motif itu tidak salah. “Kalau dia [desainer] bilang mengaplikasikan tenun, ya harus tenun. Jangan gembar-gemborkan tenun, tapi nge-print motif saja, tidak modifikasi.”

Akan tetapi, Aliki juga punya argumentasi mengapa tak semua desainer memakai kain tenun. Beberapa bahan tenun cenderung kurang nyaman untuk pakaian ready to wear. Bahannya (poliester) panas saat digunakan. Sedangkan jika memilih katun Bali harganya mahal, tidak pas untuk kantong anak muda. “Katun Bali mahal, per meter Rp75.000-150,000. Satu baju butuh beberapa meter sehingga jadi mahal, kan? Tenun agak tebal dan kasar gitu, dan kalau mau halus itu sutra, tapi jadi mahal. Banyak kendala,” katanya di sela-sela pagelaran IFW.

Pengembangan tenun daerah, katanya, dilakukan dengan memberi pelatihan agar motif tidak monoton dan menggandeng penenun itu sendiri dalam bentuk kerja sama. “Ada desainer kolaborasi dengan penenun, ada yang beli. Kan enggak semua pengrajin itu kaya. Kalau di pelosok belum tentu penenun itu sukses. Bahkan, mereka sama sekali enggak tahu apa itu fashion.”

Keberpihakan terhadap nasib penenun itu semestinya terus dijaga dan bukan hanya dimanfaatkan. Dari sisi ekonomi, kontribusi industri fashion tak sedikit. Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perindustrian mencatat industri fashion menyumbang Rp164 triliun pada PDB 2012 atau 28,66%—naik 0,5% dari 2011 (Rp147 triliun). Data Badan Pusat Statistik juga mengungkap, selama 2007-2011, ekspor fesyen Indonesia tumbuh 12,4%, dengan negara tujuan ekspor utama: Amerika, Singapura, Jerman, Hong Kong, dan Australia.

Pada Januari-November 2012, ekspor fesyen mencapai US$12,79 miliar, naik 0,5% dari periode sebelumnya. Industri ini pun menyerap tenaga kerja hingga 3,8 juta orang. Tahun lalu, kontribusi terhadap PDB mencapai Rp181 triliun. “Gairah industri fashion akan menjadi pendorong utama pertumbuhan sektor industri kecil-menengah,” kata Dirjen IKM Euis Saedah, dalam keterangan resmi Kementerian Perindustrian.

Euis belum kembali dari lawatannya ke Labuan Bajo, Manggarai Barat, Flores Barat, NTT. Lewat telepon seluler, ia mengatakan keberpihakan pemerintah terhadap penenun sudah sejak 1980. Banyak program dilakukan mulai dari menyediakan sarana dan prasarana, peningkatan pengetahuan, melestarikan, membantu pemasaran, hingga mengajak desainer membantu penenun.

Okke Hatta Rajasa Ketua Cita Tenun Indonesia (CTI) juga turut serta dalam kunjungan Euis ke Labuan Bajo tersebut. Organisasi ini didirikan untuk melestarikan, memberdayakan, dan memasarkan tenun-tenun Indonesia. Dua programnya cukup positif, yakni Program Desa Tenun Kreatif Mandiri Terpadu dan Program Pemberdayaan Pengrajin Tenun. CTI juga memiliki beberapa desa binaan tenun.

Okke Rajasa mengatakan mereka bekerja sama dengan pemda setempat untuk penanaman pohon kapas sebagai bahan baku tenun, tahap awal 5 hektare dulu dari total 500 hektare. “Kami juga membantu pengembangan salah satu motif di Labuan Bajo, yakni mata manuk [manuk: ayam-bahasa Flores],” kata istri Menko Perekonomian Hatta Rajasa ini pekan lalu.

Lebih lanjut Euis mengatakan dia tak memungkiri ada penjiplakan motif tenun, tetapi bukan hanya oleh desainer dalam negeri, melainkan juga oleh desainer luar. “Saya enggak mau nyebut merek. Tapi ada desainer luar, motifnya mirip sekali dengan tenun kita. Cuma dia pintar, dimodifikasi, ditambah-tambahin,” kata Euis. Oleh karena itu, satu solusi yang tengah didorong ialah pendaftaran hak atas kekayaan intelektual (HAKI) atas motif tenun ikat.

**

DARI lobi utama Wisma Pertamina, Sariat (42) memandang jauh ke depan. Kerut di wajah perempuan bercucu lima ini makin kentara. Dengan bahasa Alor campur bahasa Indonesia yang perlu lama dicerna, dia mencurahkan kegundahannya soal motif kain tenun, perjuangannya menemukan 186 warna alam, dan harapan perlindungan hak paten.

Menemani Sariat
jalan-jalan ke depan Istana Negara
 
Mama Sariat, begitu dia biasa dipanggil, merupakan salah satu dari sekitar 500 penenun dari Desa Ternate Umapura, Alor Besar, NTT. Pada 2005, dia terpilih menjadi ketua kelompok tenun di wilayahnya sampai saat ini. Satu kelompok tenun di sana terdiri dari sekitar 53 penenun. Dengan sokongan pemda, Sariat diminta membantu kajian pencelupan dan pewarnaan kain. Maklum, sejak usia enam tahun dia sudah aktif menenun berbekal pengetahuan turun-temurun dari leluhurnya.

“Dari kecil sudah tenun, diajar sama ibu, terus memang kita punya pekerjaan cuma ini.”

Dengan membentuk kelompok tenun, aktivitas tradisional ini menjadi lebih baik dari sisi pemasaran dan produktivitas. “Kalau kita tidak berkelompok, kita asal tenun saja. Besok pigi jual, tapi orang tidak pesan, jadi tidak laku. Kalau kamu mau tabung uang berarti marilah kita berkelompok, Kita bisa tabung uang untuk anak sekolah,” kata Sariat.

Sebagai gambaran ekonomis, kain tenun yang dihasilkan dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) dibanderol sekitar Rp300.000-500.000. Kapas memang agak lebih mahal, tapi jika menggunakan pewarna alam, harga kain tenun bisa mencapai Rp750.000-1 juta. Di Desa Ternate, ada sekitar 270 kepala keluarga dengan jumlah penenun lebih dari 500 orang.

Bila menggunakan benang kelos atau benang rayon harganya lebih mahal, tapi hangat. Selain benang, penenun juga menggunakan beberapa alat: biasanya alat tenun Gedogan (bagian ujung alat dipasang pada pohon/tiang rumah dan ujung lain diikatkan pada badan penenun yang duduk di lantai), ATBM (digerakkan oleh injakan kaki untuk mengatur naik turunnya benang lungsi), dan ATBM Dobby—alat tambahan mekanis yang berada di atas ATBM. Dobby berfungsi mengontrol penganyaman benang pada perkakas tenun lain.

Jika order satu set kain tenun (sarung dan selendang) dengan menyediakan benang, penenun menerima Rp250.000 dengan hitungan minggu, tapi kalau desainer memberi satu set sekitar Rp350.000. Pesanan berkisar 140-200 lembar kain tenun. Namun tak ada standardisasi penentuan harga untuk tenun ikat ini, padahal desainer atau pengrajin tekstil tentu menjual dengan harga jutaan. “Kami tengah berupaya agar ada standar harga. Jadi, penenun sudah punya patokan harga,” kata Yustina Makunimau.

Calon-calon penenun di Alor, photo by Firda
Hanya saja, kekhawatiran Sariat bukan cuma nilai ekonomis, tetapi teknik pewarnaan alam yang dia temukan. Sampai kini belum ada perlindungan hak paten. Warna-warna alam itu dihasilkan dari tanaman dan biota laut. Ketika saya mengeluarkan sebuah selendang khas NTT, Sariat lalu mempreteli satu-satu warna alam itu. “Ini biru dari indigo [pohon nila]. Indigo kalau kita mau cari hitam kita harus campur ini dengan biji asam.”

Dia juga menemukan warna alam kuning dari rempah jenis kunyit, hijau dari teripang, ungu dari cumi-cumi, dan lainnya. Pohon bakau, katanya, buahnya bisa dimakan dan airnya merah kalau direbus. “Itu bagus untuk warna. Kulit bakau juga bagus untuk merah, lalu daun bakau itu untuk warna hijau.”

Lantaran khawatir ditiru, Sariat enggan membeberkan bagaimana proses warna itu ditemukan secara detail. Hak paten itu sudah lama diupayakan, tapi sampai saat ini prosesnya menggantung, termasuk juga HAKI untuk motif tenun. “Saya cari setengah mati. Saya cari pewarna alam ini biar hidup baik, ko tidak baik, ko terserah. Tapi [kalau] saya pu emosi sedikit su naik itu, saya hapus-hapus lalu lebih baik saya pigi tidur, begitu sebentar habis sudah.”

Musa Widiatmodjo, desainer, menganggap hak paten tak semudah dibayangkan. Kalau motif itu sudah ada sejak 100 tahun yang lalu, itu motif publik, tidak bisa diklaim. Kecuali, dibuat motif original dan bisa dibuktikan tanpa ada protes. “Tetapi itu pun punya batasan, hak paten itu diberikan karena apa? Tekniknya, motifnya, proses pembuatannya? Itu selama berapa tahun patennya? 10 tahun? 50 tahun?”
Pengamat pertekstilan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Biranul Anas mengatakan pemerintah tampaknya kesulitan menempatkan persoalan hukum ini.

“Sudah 25 tahun saya mengikuti isu ini. Banyak teori tentang HAKI, tapi itu tinggal teori.”

Ia menilai strategi print motif lebih pada alasan ekonomis karena kehadiran motif cetak itu langsung menghujam jantung finansial para penenun. Hadirnya tekstil China yang murah turut membuat tenun asli dengan harga lebih mahal pun kalah di pasaran. Jika objektif, katanya, saling mencuri atau saling ‘meminjam’ corak untuk dikombinasikan dalam print itu sudah terjadi sejak zaman Nabi Adam. “Motif NTT itu sendiri itu meminjam dari motif lain. Tapi, saya melihat lebih pada pelanggaran moral. Kain NTT dijual per lembar Rp5 juta, padahal dibeli dari penenun per meter itu hanya Rp300.000-500.000. Tidak fair. Para desainer yang terlibat di dalam itu bertanggung jawab, mungkin mereka tidak tahu.”

Solusi yang Biranul tawarkan ialah tertib label dan pemerintah melakukan pengawasan intens terhadap label. Artinya, kalau memang kain tenun itu dicetak motifnya, perlu ada label yang menjelaskan hal itu, apalagi masyarakat awam belum bisa membedakan. Ini menjadi tanggung jawab kementerian terkait. Jikalau desainer tidak tahu motif itu, mereka mesti mencantumkan asal muasal desain itu. “Sebut aja komunitasnya, jangan bilang itu desain kamu. Bilang saja, ini desain dari komunitas desa apa, begitu.”

Okke Rajasa menambahkan mereka hanya bisa mendorong agar pemerintah atau kementerian terkait mempermudah pengurusan HAKI dan hak paten. Selama ini upaya-upaya pemberdayaan tak pernah berhenti meskipun organisasi CTI bukan lembaga pemerintah, tapi organisasi sosial. Dirjen IKM Euis Saedah mengatakan proses menuju HAKI untuk motif kain tenun dan hak paten mengenai teknik penenun atau proses pewarnaan alam tengah diupayakan. “Tetapi memang tidak cepat, setidaknya dua tahun.” Kendati begitu, kabar baik ini belum sampai di telinga Sariat.

Tak hanya paten, siang itu Sariat bersama Yustina bercerita soal karakter masyarakat Desa Ternate, pekerjaan suami-suami di sana, hingga pengalamannya naik pohon mencari warna alam. Ketika ditanya adakah desainer yang ingkar janji kepadanya, Mama Sariat bilang tidak ada. “Orang Jakarta yang ketemu saya, baik semua. Mereka tahu kita masyarakat miskin, saya terima kasih.” Entah ini jawaban jujur atau tidak. □


Tulisan ini terbit di Majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin 10 Maret 2014
Words: 2.676

Jumat, 06 Juni 2014

Memburu Pajak ala Balai Kota

Ilustrasi, photo by Portopolioku.Blogspot
Tiga tahun tanpa penyesuaian, langkah Pemprov DKI menaikan NJOP guna mengejar penerimaan pajak ditengarai kian membebani sektor properti yang tengah lesu sejak tahun lalu.

Oleh M. Tahir Saleh

SUWINTO Johan (41) merasa ketinggalan informasi sebagai penduduk Jakarta. Ia terkaget-kaget saat mengetahui rencana Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menaikkan nilai jual objek pajak (NJOP) 43-117% mulai Februari nanti. Pria ini tinggal di sebuah komplek perumahan di Sunter, Jakarta Utara. Rumah dengan luas 175 meter persegi dan luas bangunan sekitar 200 meter persegi ini dibeli pada 2005.

Suwinto setuju saja dengan kebijakan pemerintah daerah, asal besarannya sesuai dengan harga pasar. Kenaikan ini mestinya juga tidak terlalu ekstrim, tapi bertahap mengingat harga properti fluktuatif. “Harga properti di pasar turun naik, tapi NJOP tak pernah turun,” kata eksekutif sebuah perusahaan yang berbasis di Jakarta tersebut, Rabu (15/1).

Perasaan kaget juga dirasakan Sulistyorini (67). Sejauh ini, ibu rumah tangga yang tinggal di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta Selatan, ini belum menerima sosialisasi NJOP baru. Rumah yang dibeli oleh almarhum suaminya, pensiunan PT Pertamina, ketika kawasan itu dibangun pada 1980, luas bangunannya 180 meter persegi dan tanah 250 meter persegi. “Saya beli [rumah] saat Pondok Indah masih baru. Cukup berat sih pajaknya,” kata dia seraya menambahkan kenaikan NJOP pasti akan menambah beban pengeluarannya.” Dibilang berat, pasti berat. Tapi, mau bagaimana lagi.  Saya ikut saja pemerintah daerah.” Untuk mengantisipasinya, dia berencana mengurangi anggaran pengeluaran lain.

Pemda Jakarta memang lagi getol-getolnya menggenjot penerimaan pajak, salah satunya dari pajak bumi dan bangunan perkotaan dan perdesaan (PBB-P2). Satu langkahnya menaikkan NJOP tanah mendekati harga pasar. Strategi ini diambil lantaran, selama tiga tahun terakhir, penyesuaian NJOP belum pernah terjadi. Akibatnya, pesatnya pertumbuhan properti membuat disparitas harga tanah di pasaran dengan NJOP semakin lebar. Misalnya harga tanah di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, sudah menembus Rp65 juta per meter persegi, padahal NJOP tanahnya hanya Rp33 juta.

Ahok dan Jokowi, photo by Solopos
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama juga butuh sumber penerimaan besar untuk membangun Ibu Kota. Pajak daerah termasuk sumber utama penerimaan daerah. Perlu dicatat, penaikan NJOP ini bervariasi sesuai dengan klasifikasi daerah sehingga tak semua wilayah di Jakarta naik signifikan.

Menurut Basuki Tjahaja Purnama, atau akrab disapa Ahok, wajar bila NJOP dinaikkan karena sudah lama belum dinaikkan. Padahal nilai pasarnya sudah jauh berbeda. Pembayaran PBB memang naik, tapi ada klasifikasi tarif sebagai asas keadilan. Mantan Bupati Belitung Timur ini mempertegas bahwa kebijakan ini sebetulnya bukan semata-mata mengejar setoran pajak. “Bukan mengejar pendapatan asli daerah. Ini sudah tiga tahun tak naik. Berbahaya kalau kami tidak menyesuaikannya dengan harga pasar,” ujarnya Jumat (10/1) malam di Balai Kota. “Sekarang harga pasar dengan NJOP bedanya lima kali lho.”

Saat memimpin rapat bersama pada Rabu 8 Januari lalu, Ahok mencermati betul pembahasan NJOP. Dalam video rapat berdurasi 1 jam 2 menit yang diunggah ke situs ahok.org dan YouTube, Ahok acap kali menginterupsi Iwan Setiawandi, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, saat memaparkan penetapan NJOP 2014. Rapat pun merembet mengenai bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

Pemerintah Provinsi Jakarta ingin mengunci BPHTB selama dua tahun. Maksudnya jika seseorang akan membeli rumah atau properti, dia tak boleh menjualnya selama 2-3 tahun. Tujuannya  untuk membatasi gerak para spekulan yang kerap mendongkrak harga properti dan tanah. “Di Singapura kebijakannya begitu. Kalau tidak nanti terjadi goreng-menggoreng rumah,” tegas Ahok. “Jujur saja, [aturan] yang Bapak [Iwan] buat ini semuanya bagus meski perlu asas keadilan.”

Dengan perubahan NJOP mendekati harga pasar, Iwan optimistis pendapatan PBB-P2 tahun ini terdongkrak mencapai Rp6,7 triliun, lebih tinggi dari target tahun lalu sebesar Rp3,6 triliun. Tahun lalu tercapai Rp3,37 triliun atau 93,7% dari target. Dari jumlah ini, Rp317,03 miliar merupakan realisasi penerimaan piutang, utang tertunggak sebelumnya.

Tahun ini, beberapa upaya pengamanan penerimaan pajak dilakukan mulai dari mengintensifkan objek pajak, koordinasi dengan lurah, percepatan penyampaian surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT), sosialisasi wajib pajak, pencairan tunggakan, penagihan, hingga bekerja sama dengan instansi lain misalnya juru sita. Total target pajak tahun ini mencapai Rp32,5 triliun—termasuk di dalamnya target PBB-P2 Rp6,7 triliun dan BPHTB Rp5 triliun. Tahun lalu total pajak terealisasi hingga Rp23,11 triliun, 102% melebihi target yang ditetapkan Rp22,61 triliun.

Berdasarkan data Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, ada 1,89 juta pemilik Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) untuk PBB-P2. Dari jumlah itu, sebanyak 1,19 juta atau 83% taat pajak, sedangkan 37% atau 704.190 orang masih menunggak.

Penyesuaian NJOP adalah satu dari sejumlah strategi pokok dalam pemungutan PBB-P2.  Penyesuaian mulai berlaku saat SPPT untuk PBB diterbitkan Februari mendatang. Namun, sepekan setelah rapat 8 Januari lalu, Jokowi belum meneken peraturan gubernur tentang Penetapan NJOP PBB-P2 Tahun 2014. “Peraturan gubernurnya masih proses pengetikan di biro umum. Targetnya minggu ini [rampung],” kata Iwan melalui pesan singkat, Rabu (15/1).

 **

SEMULA PBB merupakan pajak pusat yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak (Kementerian Keuangan). Namun, berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PBB P2 dan BPHTB dilimpahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Pelimpahan pengelolaan PBB P2 kepada pemerintah daerah harus dilaksanakan selambat-lambatnya pada Januari 2014. Adapun pelimpahan pengelolaan BPHTB sudah dilakukan sejak Januari 2011.
Ada lima sektor PBB yang dikelola pusat, yakni perdesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dari lima sektor ini, hanya PBB sektor perdesaan, perkotaan, dan BPHTB yang dilimpahkan ke daerah. Pemerintah daerah sebelumnya sudah mengelola 10 pajak: pajak kendaraan bermotor, bea balik nama, bahan bakar kendaraan, hotel, restoran, hiburan, reklame, air dan tanah, penerangan jalan, dan pajak parkir. Hingga 18 Maret tahun lalu, baru 284 daerah atau 57,7% dari jumlah daerah yang menetapkan Perda PBB-P2 termasuk Jakarta.

Ketika masih digarap Direktorat Jenderal Pajak, target PBB-P2 DKI Jakarta baru berada pada level Rp1,75 triliun. Peralihan ini akan menstimulus pemerintah provinsi Jakarta lebih gencar lagi mengejar target tahun ini yang sebesar Rp6,7 triliun. Pusat juga mewariskan piutang pajak sekitar Rp3,6 triliun, tunggakan yang sudah ada sejak 1993.

Setelah dialihkan, pemerintah provinsi Jakarta ‘terpaksa’ memberi stimulus potongan 25% pokok, sanksi serta penghapusan bunga untuk piutang periode 2008-2012 dan potongan 50% pokok (sanksi dan denda dihapus) untuk tunggakan 2007-2003 agar penunggak berbondong-bondong membayar PBB. Strategi pertama sudah dilakukan dengan membuat peraturan daerah nomor 16/2011 tentang PBB-P2 yang diteken Gubernur DKI sebelumnya, Fauzi Bowo.

Tarif PBB pun berubah. Perhitungan tarif tak lagi serentak 0,5%, tapi terklasifikasi menjadi empat: NJOP di bawah Rp200 juta dikenakan tarif 0,01%, NJOP Rp200 juta-2 miliar kena 0,1%, NJOP Rp2-10 miliar sebesar 0,2%, dan NJOP di atas Rp10 miliar kena 0,3%. Dasar pengenaan pajak rumusnya menjadi NJOP dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Rp15 juta. “Kami sebetulnya menjalankan apa yang harusnya dilakukan tiga tahun lalu. Itu normal,” kata Kepala Seksi Perencanaan Pengembangan Potensi Pajak Daerah Dinas Pelayanan Pajak DKI Aulia Salman, Senin (13/1). “Tarif PBB saja kami turunkan, sebelumnya rata-rata 0,5%, kini empat tarif.”

Penaikan NJOP merupakan langkah lanjutan dari peralihan tersebut dan bukan wacana dadakan. Pada Agustus tahun lalu sudah dibentuk Tim Koordinasi Perumusan NJOP DKI Jakarta dan dilanjutkan dengan pengumpulan informasi harga properti sepanjang Agustus-September 2013 sekaligus pemutakhiran nilai indikasi rata-rata (NIR). Rapat koordinasi digelar pertama pada Oktober tahun lalu, sebulan kemudian disusun peraturan gubernur tentang NJOP.

Namun, Aulia sedikit mengoreksi pernyataan Ahok, bosnya, tentang persentase penaikan NJOP yang sebetulnya naik antara 43-117%. “Mohon maaf, salah format. Jadi NJOP bukan naik sampai 240%, tapi perbedaan NJOP dengan harga pasar mencapai 240%,” katanya.

Dengan perubahan ini, mulai Januari, NJOP di Jalan MH. Thamrin naik 105% dari Rp33,44 juta menjadi Rp68,55 juta per meter persegi, Jalan Jenderal Sudirman dari Rp31,87 juta menjadi Rp66,25 juta per meter persegi (108%), Jalan Gatot Subroto dari 28,85 juta menjadi Rp59,62 juta per meter persegi (107%), dan Jalan E.E Martadinata dari Rp7,45 juta menjadi Rp16,15 juta per meter persegi (117%). “Kami hati-hati sekali, sebisa mungkin [NJOP] tidak di atas harga pasar. Kalau di atas harga pasar, masyarakat cenderung protes,” ujar Aulia.
NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli wajar. Bila tidak terjadi transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru.

Menurut Aulia, butuh kerja keras untuk sampai pada angka NJOP yang mendekati harga pasar. Informasi gelap karena tak ada lembaga yang mendedahkan data resmi harga properti. Tim terpaksa menelusuri via internet, situs-situs rumah, mencari harga penawaran dari majalah hingga telepon. Semua dikumpulkan. Pernah suatu hari, katanya, salah seorang staf unit pajak di kelurahan atau unit pelayanan pajak daerah (UPPD) DKI Jakarta berpura-pura menyewa apartemen di Kalibata lalu iseng bertanya harga apartemen. Dari penelusuran itu, terungkap harga riil rumah sekitar 70-80% dari harga penawaran dengan asumsi terjadi transaksi.

Beberapa informasi di Balai Kota menyebutkan bahwa sebetulnya penyesuaian nilai objek pajak berkaitan dengan pembebasan lahan sejumlah proyek pemerintah, misalnya jalan tol atau Mass Rapid Transportation (MRT). Bila NJOP mendekati harga pasar, alotnya negosiasi harga tanah bisa lebih mudah dipecahkan. Namun, konsekuensinya pemerintah harus menanggung pembengkakan anggaran pembebasan lahan setelah terjadi penyesuaian NJOP ini.

Asisten Perekonomian dan Administrasi Sekda DKI Jakarta Hasan Basri Saleh menambahkan penyesuaian harga berkaitan dengan konsep yang tengah dikembangkan, yakni meningkatkan nilai properti melalui perbaikan infrastruktur, terutama soal akses. “Kami akan perbaiki konsepnya sejalan dengan peruntukan ruang dan peningkatan aksesibilitas atau transit oriented development (TOD),” ujarnya. “TOD ini terkait dengan lokasi stasiun transit utama MRT yang akan dikembangkan berikut kawasan dalam radius 700 meter.” Namun, merealisasikan rencana kenaikan NJOP tak semudah membalikkan telapak tangan. Salah satunya, kata  dia, penolakan dari masyarakat menjadi salah satu hal yang paling dikhawatirkan menyeruak. “Datanya juga sulit sekali,” katanya.
**


AULIA benar. Kritik pun datang. Salah satunya dari kalangan pengembang properti.  Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo menyoroti kebijakan ini karena berlawanan dengan kebijakan Bank Indonesia. Tahun lalu, BI merilis kebijakan loan to value (LTV) dan pengetatannya guna mencegah potensi bubble di sektor properti yang disebabkan harga properti melambung tak wajar.

Selama ini, transaksi properti mengacu pada harga pasar, sedangkan harga pasar biasanya bisa lebih dari dua kali lipat NJOP. Apabila NJOP naik, harga pasar untuk tanah berpotensi ikut naik meski tak selalu otomatis. “Ada overvalue dari harga tanah dan pastinya overheating," ujarnya. “Jadi malah berpotensi bubble.”

Menurut Eddy, kenaikan NJOP di Jakarta akan mendorong pasar properti bergeser ke kawasan penyangga Jakarta, misalnya Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Harga tanah di kawasan satelit itu bakal naik karena tanah di Jakarta melambung, sedangkan ketersediaan tanah terbatas.

Di mata Direktur Riset Jones Lang Lasale Anton Sitorus, kebijakan NJOP juga berpotensi menambah kelesuan industri properti tahun ini, melanjutkan perlambatan sejak tahun lalu. “Keinginan orang untuk menaikan harga tanahnya sangat besar," ujar Anton.

Selama ini harga tanah lebih tinggi lebih dua kali lipat dari NJOP. Bila NJOP naik 117%, harga tanah juga berpotensi naik dengan nilai yang sama. Fenomenanya harga pasar untuk tanah selalu balapan dengan NJOP. Hampir mustahil NJOP melampaui harga tanah. Jika harga tanah terus naik, daya beli pun terpengaruh. Akibatnya, sektor properti bukan hanya melambat, melainkan stagnan.

Theresia, dok pribadi, by Investor
Indikasi itulah yang dikhawatirkan oleh Theresia Rustandi, Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk. Langkah pemerintah DKI Jakarta, ujarnya, bisa memberatkan sektor properti karena tahun ini pengembang sudah mengalami banyak tekanan dari sejumlah kebijakan pemerintah. Kebijakan itu di antaranya kenaikan BI Rate dan pengetatan aturan LTV. Ditambah NJOP naik, harga berpotensi ikut terkerek dan akan menambah daftar sentimen negatif bagi industri properti.  “Lengkap sudah penderitaan industri properti, padahal industri ini menyumbang cukup signifikan bagi perekonomian nasional," ujar Theresia.

Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Seluruh Indonesia Sanny Iskandar mengatakan dampak penetapan kenaikan NJOP dan pajak—PBB—bergantung besarannya. Bila tinggi, secara psikologis akan mendorong kenaikan harga jual properti. Tapi, dia lebih khawatir soal sewa karena selama ini tren harga sewa berkorelasi positif terhadap harga jual properti.

Dampak kenaikan harga sewa, kata Sanny, bisa membuat pengusaha di kawasan industri tak kerasan dan merelokasi pabrik ke daerah lain. “Semua kemungkinan pasti ada, jika perbedaan dengan daerah lain cukup signifikan," ujarnya.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, dampak langsung kenaikan NJOP dan PBB P2 memang tak besar. Namun, dampak tidak langsung bisa besar, misalnya memicu kenaikan harga sewa rumah dan kontrakan pekerja atau buruh. Sewa rumah merupakan salah satu komponen dalam menghitung kebutuhan hidup layak (KHL). Jika kebutuhan hidup layak naik, bisa memicu pekerja menuntut kenaikan upah yang lebih besar lagi tahun depan.

Perbankan yang berhubungan dengan sektor properti bisa saja terpengaruh meski dampaknya relatif sangat kecil. “Selama kenaikan NJOP masih mencerminkan harga wajar di lapangan, tidak masalah,” kata Direktur Compliance and Risk management PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk. Andi Buchari kepada Bloomberg Businessweek Indonesia di Jakarta, Senin (13/3).

Namun, Andi mengakui, kenaikan NJOP Jakarta sedikit banyak bisa memengaruhi minat masyarakat untuk mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit pemilikan apartemen lantaran biaya transaksinya meningkat. “Minat masyarakat mengambil KPR  bisa saja menurun karena mereka akan berpikir ulang soal beban pajak yang tinggi. Apalagi nanti bila harga propertinya juga naik,” ujarnya.

Sinyalemen yang diutarakan Andi boleh jadi benar. Sebab dengan kenaikan NJOP, biaya transaksi properti seperti BPHTB akan naik. Pilihannya pengembang properti membebaskan konsumennya membayar BPHTB dan menanggungnya, atau bank yang sukarela membayarkannya.  Menurut Andi, kenaikan NJOP tidak akan otomatis memengaruhi kredit bermasalah (NPL) perbankan. Namun, dengan kenaikan PBB P2, masyarakat Jakarta yang mengambil KPR atau KPA tentu harus menghitung ulang pengeluarannya. Jika tidak, beban akan bertumpuk—termasuk kewajiban membayar angsuran kredit ke bank.

Likuiditas perbankan, kata Andi, tak akan terpengaruh langsung oleh kenaikan NJOP Jakarta. Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk. Budi Gunadi Sadikin dan Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) Jahja Setiaatmadja juga menegaskan kenaikan NJOP tak akan memengaruhi likuiditas bank meskipun nilai jaminan oleh perbankan bisa saja naik. Kredit bermasalah juga takkan terpengaruh. “Dampak ke likuiditas bank pengaruhnya sangat kecil sekali,” kata Jahja.

Budi menambahkan tidak ada pengaruh terhadap kredit yang akan dikucurkan. Tapi memang ke depan, bank akan melihat lagi kemampuan calon debitor pasca-kenaikan NJOP Jakarta.

Ekonomi Mandiri, Destri, by Inilah, istimewa
Kepala Ekonom Bank Mandiri Destri Damayanti mengatakan porsi kredit properti di perbankan nasional tak terlalu besar, sekitar 8-9% dari total penyaluran kredit—Rp3.068 triliun sampai Agustus 2013. Walhasil efek kenaikan NJOP, khususnya di Jakarta, tidak akan menggoncang kredit perbankan secara keseluruhan. Sektor properti, kata Destry, menjadi sektor paling diwaspadai oleh bank sentral, apalagi pertumbuhannya sangat tinggi di atas 30%. Namun, bank-bank punya penilai aset sendiri sehingga tak hanya berpatok pada NJOP. “Bank juga mengikuti harga pasar. Bank tidak akan jor-joran dalam meningkatkan kapasitas kreditnya nanti.”

Signifikan atau tidak dampaknya terhadap sejumlah sektor perekonomian, tekad pemerintah Jakarta tampaknya sudah bulat untuk menaikkan NJOP. Tinggal menunggu Jokowi meneken saja peraturan gubernurnya.  Barangkali—meski tidak pas benar—candaan Ahok dalam video di YouTube bisa menjadi pertanda. “Pernah nonton film Holywood? Mau mengejar penjahat kan kejar dari pajaknya. Holywood kan begitu filmnya. Jadi nonton film itu mesti belajar,” kata Ahok disambut senyum-senyum para stafnya.

 —bersama Safrezi Fitra, Ratna Wahyuningsih, dan Bunga Dewi Kusuma

Tulisan ini terbit di Majalah Bloomberg Businessweek Indonesia,  Senin, 20 Januari 2014
Words: 2.394



Entri Populer

Penayangan bulan lalu