Jumat, 15 Agustus 2014

Lahan Kartunis Tak Pernah Habis

'
Karikatur Jitet Kompas berjudul "Asing"
raih Karikatur Adinegoro 2011
Derasnya teknologi informasi membuat kartun Indonesia di media cetak menyusut. Seniman kartun dituntut tahan banting dan kreatif membaca zaman.

Oleh M. Tahir Saleh

WAJAH Jitet Kustana mengerut. Kartunis senior harian Kompas itu tak menyangka bakal menghadapi tugas berat saat harus menggambar ilustrasi tentang isu sensitif di halaman koran terbitan esok hari.

“Ini bener temanya sunat perempuan?” tanya Jitet kepada bosnya. “Bener, kowe gawean sana, deadline jam dua,” kata si bos dari seberang telepon dengan logat Jawa kental.

Bagi kartunis kelahiran Semarang 4 Januari 1967 ini, tak ada masalah dengan gambar. Problemnya adalah tema yang sensitif. Sulit mencari ide berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA. Apalagi, hal tersebut tabu serta rentan konflik. Alhasil, dia pun memutar otak sambil mengumpulkan data termasuk membuka ayat-ayat di kitab suci. Menjelang jam dua siang, tugas kelar.

“Sunat perempuan itu mengganggu kesehatan, terus aku gambar kertas putih lalu di bawahnya ada lambang kertas digunting, nah dihapus sama gambar tangan perempuan,” kata Jitet ketika ditemui Bloomberg Businessweek Indonesia, akhir Desember.

Bapak empat anak itu tak menyangka hidupnya bakal diabdikan menjadi seorang kartunis. Bahkan, dia memegang rekor dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) sebagai kartunis dengan penghargaan kartun internasional terbanyak pada 1998. Menciptakan sindiran atau satir melalui kartun sudah dianggap sebagai tugas mulia karena membela kepentingan banyak orang. Kekuatan ide dalam bentuk gambar lucu menjadi poin utama dan ciri kartun lokal ialah penampilan rakyat biasa, tapi punya otak cemerlang.

Jitet ‘beruntung’ punya medium tetap mencurahkan kegelisahan. Realitanya, dunia kartunis media cetak saat ini lain dengan masa sebelum 1998. Dulu, media cetak—baik koran maupun majalah—menjadi surga bagi kartunis mengirimkan karyanya dan tentu saja dibayar. Namun, sekarang mereka seolah terpinggirkan.

Bagi pria 47 tahun itu, kaya atau miskin merupakan garis tangan Tuhan. Tapi satu hal penting: bagaimana mental dalam berkreativitas—itu penentu kesuksesan kartunis. Sebenarnya ada banyak ruang yang bisa dimanfaatkan para kartunis. Contohnya membuat komik kartun tentang buku-buku best seller atau buku ekonomi, menjalankan usaha merchandise, dan lain-lain. Jadi, tidak melulu bergantung pada media massa cetak. “Harusnya kartunis itu enggak terlantar karena informasi ada di depan mata. Di depan komputer saja itu artinya di depan dunia. Banyak bahan yang bisa menghidupi kita,” ujar Jitet.

Kartun Apat, kritik terhadap arogansi zionis Israel
Apat Supriyono mungkin lebih merasakan atmosfer 'terpinggirkan'. Kartunis yang sudah 24 tahun berkarya ini merasa lahan kartun di media cetak makin kecil, meski tidak benar-benar hilang. Pemicu utama disinyalir karena menjamurnya media hiburan televisi serta gempuran gadget supercanggih. "Dulu yang namanya hiburan masih terbatas sehingga kartun jadi primadona. Kalau sekarang beda," kata Apat yang juga Bendahara Persatuan Kartun Indonesia (Pakarti).

Dari segi honor pun terbilang minim. Sebuah frame kartun rata-rata hanya dipatok antara Rp200.000-250.000. Sebagai usaha sampingan, kartunis yang pernah bekerja di Harian Pos Kota itu sering menerima pesanan karikatur calon legislatif (caleg). Tarifnya dinaikkan dua kali lipat, biasanya sekitar Rp1 juta lengkap dengan bingkai. “Beda, kalau yang pesan orang biasa yah tarifnya enggak mahal dong,” ujar Apat.

Selain pesanan karikatur caleg, ada pula yang memilih mendirikan studio kartun sendiri seperti Hendrikus David Arie, kartunis di harian Suara Pembaruan. “Itu juga buat bantu anak-anak komplek belajar menggambar,” kata lulusan Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta ini.

Dia juga kadang bekerja sama dengan pelaku industri film atau iklan untuk membuat story board, semacam sketsa gambar yang disusun secara urut berdasarkan naskah. Story board ini juga merupakan salah satu elemen penting dalam produksi film. “Kalau animasi itu untuk film animasi, kalau story board itu untuk iklan dan film,” katanya.

Cara lain ditempuh Gandjar Dewa Artha, kartunis Bloomberg Businessweek Indonesia yang sempat mengisi waktu senggang dengan mengajar seni rupa di Universitas Paramadina periode 1999-2011 ini. Meski sepakat bahwa kreativitas kartunis tak hanya di atas kertas, tapi juga dunia nyata, dia melihat keberpihakan terhadap kartunis di Tanah Air berbeda jauh dengan apa yang dialami kartunis-kartunis dunia semacam Mac Nelly atau Charles M. Schulz, pencipta kartun Peanuts (termasuk kartun Snoopy). “Di luar negeri mereka begitu dihargai, beda dengan di Indonesia. Sejak era reformasi, kartunis makin terpinggirkan,” kata Gandjar.

Karikatur Hendrikus SP berjudul
“Rest in Peace (RIP) Penegakan Hukum"
meraih dinegoro 2013
Kekhawatiran menyangkut eksistensi kartunis rupanya ikut memicu Pakarti menggelar Pesta Kartun Akhir Tahun di ruang Galeri III Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat pada 18-29 Desember 2013. Ada lebih dari 40 kartunis berbagai kota di Indonesia—dari junior, belum pernah dimuat karyanya di media massa, hingga begawan kartun—yang membawa sekitar 60 karya. Sebut saja kartunis senior seperti G.M. Sudarta (Kompas), Pramono R. Pramoedjo (Sinar Harapan), Prijanto Sunarto (Tempo), Jaya Suprana, Joko Luwarso (Matanews), dan Koesnan Hoesie. Nama yang terakhir ini pernah mendapat penghargaan MURI sebagai pembuat kartun terpanjang di dunia.

Jaya Suprana, pendiri Pakarti, mengakui sejak lahirnya dunia maya yang menampilkan media massa elektronik, eksistensi media massa cetak memang merosot. Imbasnya, lahan buat kartun ikut menyusut.

Para seniman kartun tentu diharapkan tidak patah semangat dalam mencari peluang lain. Ruang masih banyak terbuka seperti di industri t-shirt, periklanan, film animasi, pameran, atau media elektronik itu sendiri. “Para kartunis tak boleh menyerah kepada pasar, tapi kreatif dan inovatif menciptakan pasar bagi karya-karya mereka sendiri. Jika mau pasti bisa,” kata Jaya melalui surat elektronik.

Presiden Pakarti Jan Praba memperkenalkan apa yang disebut cartoonpreunership, yaitu tetap berusaha mendapatkan uang dari kartuntapi tidak bergantung pada media massa. Ada banyak lahan mendulang uang. Bisa dengan live karikatur atau jasa pembuatan karikatur online, desain kaus, ilustrasi, komik strip, lukisan kartun, dan lainnya. Intinya mampu menciptakan peluang sendiri. “Jika tak bisa menyikapi, maka akan terseleksi sendiri. Hasil seleksi itu bakal menghasilkan kartunis-kartunis yang kompeten," ujar Jan.

Menjadi kartunis adalah sebuah pilihan hati. Sama seperti orang lain menemukan jalan hidupnya masing-masing. Ketika gempuran teknologi makin hebat, kartunis pun harusnya kian melesat. Mencari celah yang mungkin belum terjamah. □

Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 13 Januari 2014

Entri Populer

Penayangan bulan lalu