Jumat, 24 April 2015

MENCARI AMAN DI DUNIA MAYA

Ilustrasi, by wpchannel
Oleh M. Tahir Saleh

“DANA nasabah Rp30 miliar dibobol.” Begitu bunyi berita utama sebuah koran nasional di Jakarta pada Kamis pekan lalu. Para pelaku diduga sindikat peretas (hacker) internasional yang berbasis di Ukraina. Mereka membobol 300 rekening nasabah tiga bank besar di Indonesia lewat internet banking. Modusnya menyebarkan perangkat lunak perusak sistem komputer atau malicious software (malware). Kasus tersebut kini ditangani Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.

Tak hanya perusahaan di Indonesia, lembaga keuangan global juga tak luput dari usaha peretasan. Awal tahun ini, sempat terungkap bagaimana sepak terjang Carbanak, geng kriminal berisi orang-orang Rusia, Ukraina, dan China, yang membobol sekitar 100 lembaga keuangan di 30 negara sejak 2013. Tak tanggung-tanggung, Bloomberg mencatat, uang yang mereka gondol menembus US$1 miliar atau sekitar Rp12 triliun dalam dua tahun beroperasi.

Kejahatan dunia maya atau cybercrime yang dilakukan para hacker seperti itu adalah masalah yang terus-terusan muncul. Seiring dengan kecanggihan teknologi, para hacker pun tak kalah cerdik memanfaatkan celah sistem keamanan dunia maya.

Dua pekan sebelum kejadian di Jakarta tersebut, Fortinet, perusahaan global dalam solusi keamanan dunia maya, menggelar konferensi internasional soal cybersecurity di Seoul, Korea Selatan, selama hampir sepekan. Bloomberg Businessweek Indonesia berkesempatan hadir dalam acara tersebut guna mengetahui bagaimana perusahaan-perusahaan, khususnya di Asia-Pasifik, mengantisipasi serangan kejahatan dunia maya. Beberapa klien Fortinet seperti National Institute of Education Singapore dan Oakwood juga diundang untuk berbicara.

Fortinet juga bekerja sama dengan lembaga riset Frost & Sullivan untuk menghimpun informasi dan data soal kejahatan virtual. Hasilnya, tren serangan dunia maya makin marak. Peretas juga makin “cerdik” dan sudah tahu model bisnis perusahaan yang diincar. Lembaga riset itu mencatat, pada Desember 2014, fasilitas operasi nuklir di Korea Selatan dibobol. Serangan cyber di Jepang juga naik dengan menyasar kerentanan perangkat lunak. “Perusakan situs paling umum terjadi, diperkirakan 295.000 situs dirusak pada 2014,” kata Edison Yu, direktur untuk ICT Practice Frost & Sullivan Asia Pasifik, di Seoul.

Dengan fakta ini, serangan para hacker sebagaimana terjadi di dunia tak luput menjadi perhatian Fortinet. Menurut Country Manager Fortinet Indonesia Jeremy Andreas, peningkatan tren serangan peretas tak terelakkan dan makin berbahaya. Akibatnya, risiko baik finansial maupun reputasi bagi perusahaan menjadi tinggi karena pembobolan data perusahaan yang bersifat rahasia.

Gejala serangan yang kini marak terjadi ialah advanced persistent threat atau APT. Ancaman ini muncul seiring maraknya tren perangkat mobile dan smart-device pekerja yang terhubung dengan jaringan teknologi informasi (TI) perusahaan.

APT adalah serangan jaringan yang bertujuan mencuri data dari perusahaan tempat jaringan tersebut berada. Lazimnya, serangan APT membidik perusahaan seperti jasa keuangan, lembaga pertahanan, dan manufaktur yang punya informasi penting. Parahnya, APT sulit terdeteksi oleh antivirus. Kecanggihan serangan ini juga berkaitan dengan tujuan para peretas. “Dahulu para hacker ingin eksistensi, sekarang arahnya mengeruk keuntungan finansial dari serangan APT itu,” kata Glen Francis, Vice President IT Management  Association (ITMA), asosiasi TI di Singapura. “Di negara kami, hampir semua [organisasi] memakai sistem keamanan,” kata Glen yang mengestimasi bujet terendah untuk keamanan cyber antara 5-10% dari bujet TI perusahaan yang berkisar US$10 juta.

Lubang serangan juga makin menganga karena fragmentasi kelompok APT kian besar sehingga ada potensi bakal lebih banyak lagi perusahaan yang diserang. Bank-bank juga kini dibidik secara langsung. Bahkan, para hacker diprediksi memanfaatkan layanan komputasi awan (cloud) untuk mentransfer data dari komputer secara ilegal.

George Chang, by Fortinet
Fortinet menyadari serangan APT tersebut dan meluncurkan program ATP atau Advanced Threat Protection. Awal April ini, perusahaan yang berbasis di California, Amerika, ini juga merilis framework keamanan terbaru memakai platform teknologi ketiga. “Kami membedakan diri dalam pasar dengan memberi jasa konsultasi strategis yang tidak diberikan vendor lain,” kata George Chang, Vice President Fortinet untuk Asia Tenggara dan Hong Kong.

Tahun lalu, perusahaan yang didirikan oleh Ken Xie ini mencatatkan kinerja cukup baik sejak didirikan pada 2000. Fortinet mencatatkan pendapatan US$770 juta, melesat dari 2003 yang hanya US$13 juta. Saat ini Fortinet terbesar ketiga di dunia dengan market share 7,34% setelah Cisco (Sourcefire) 17,77%, dan Check Point 12,97%. Pesaing lain, yakni PAN, McAfee (Stonesoft), dan Juniper. Di Indonesia, mereka ada di urutan ketiga dengan market share 13,6%. Beberapa klien global mereka di antaranya Oracle, Coca Cola, Yahoo Japan, IBM, Microsoft, Apple, dan Salesforce.

Di tengah ancaman serangan tersebut, Derek Manky, Global Security Strategist Fortinet, mengatakan pihaknya juga bekerja sama lembaga keamanan di antaranya dengan MyCERT (Malaysia Computer Emergency Response Team), Interpol, dan San Francisco Electronic Crimes Task Force guna memitigasi ancaman.

Fortinet tetap mengimbau agar perusahaan memperhatikan betul soal cybersecurity ini. Apalagi, keamanan data telah berkembang pesat tak hanya perlindungan perimeter, tapi juga mencakup upaya penanggulangan malware yang kadung menyusup dan mengakar di jaringan TI perusahaan.

Di Indonesia, beberapa sektor seperti perbankan sudah menyadari serangan virtual. Tapi, kepatuhan perbankan juga didorong oleh regulasi Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. Namun umumnya, perusahaan nasional baru sebatas mengandalkan software keamanan yang ditanamkan pada server, padahal mestinya dibuat sistem berlapis yang diperbarui secara berkala. “Tapi kami optimistis, dengan sosialisasi berkelanjutan, kesadaran perusahaan soal ini akan meningkat. Kalau di pasar modal sih hampir semua perusahaa efek mengerti,” kata Jeremy.

Selain minimnya kesadaran perusahaan, satu hal yang juga disayangkan ialah infrastruktur TI di Indonesia yang belum
sepenuhnya mendukung, terutama bandwidth. Edison dari Frost & Sullivan menambahkan langkah pencegahan serangan ialah memakai pendekatan teknologi holistik dan integrasi serta keahlian sumber daya manusia (SDM). Eric Chan, Solution Consulting Director Fortinet untuk Asia Tenggara, juga menekankan soal ini mengingat banyak perusahaan berskala global—seperti Adobe, Sony Picture, dan jaringan peritel Target—tak luput dari serangan. “Tentu peran SDM penting karena berkaitan juga dengan integritas,” kata Eric. 


Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, edisi 20 April 2015

NASIB SUSPENSI AAA SECURITIES

Oleh M. Tahir Saleh

SENIN pagi (5/12), Agus mencoba mengontak PT Andalan Artha Advisindo Sekuritas (AAA Securities) karena ingin tahu cara berinvestasi saham. Ia direkomendasikan oleh temannya sejak lama supaya membeli saham lewat broker ini karena tidak repot. Akan tetapi, Agus kurang beruntung, suara seorang staf di seberang telepon menjelaskan kalau perusahaan belum bisa bertransaksi karena aktivitas perdagangan mereka dihentikan sementara oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Pegawai swasta ini akhirnya mencari jawaban ke perusahaan sekuritas lain. “Kaget juga kok enggak bisa daftar, kasihan juga investor lamanya,” Agus menuturkan awal pekan lalu.

Informasi penghentian sementara atau suspensi itu memang tak salah. Sejak 3 Desember 2014, BEI menyuspensi kegiatan usaha AAA Securities sebagai perantara pedagang efek. Alasannya, modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) broker itu tidak memenuhi syarat.

Mengacu pada Peraturan OJK No.V.D.5 tentang Pemeliharaan dan Pelaporan MKBD, modal kerja broker dihitung dari jumlah aset lancar perusahaan efek dikurangi seluruh kewajiban dan kewajiban terperingkat (kewajiban belum pasti atau kontinjen dan kewajiban di luar laporan keuangan), ditambah dengan utang subordinasi, dan penyesuaian-penyesuaian lain. Batas minimalnya Rp25 miliar atau 6,25% dari total kewajiban. Singkatnya, MKBD ialah modal minimal yang harus dimiliki perusahaan efek berdasarkan aset dan modal yang dikurangi kewajiban.

Berdasarkan data situs BEI yang diakses pada 8 Januari, nilai modal kerja bersih AAA Securities nol, sedangkan modal dasar dan modal disetor masing-masing Rp300 miliar dan Rp97 miliar. Per November tahun lalu, rata-rata MKBD perseroan Rp27,88 miliar, turun dari November 2013 Rp69,05 miliar. Rata-rata MKBD tertinggi perseroan dibukukan pada Maret 2013 yang menembus Rp95,61 miliar. Suspensi itu menjadi awal pemeriksaan lebih lanjut mengapa jumlah modal bisa menyusut dan di bawah batas minimal.

Sayangnya sejumlah pemangku kepentingan enggan bicara terbuka. Direktur PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) Margareth Tang juga mendadak mundur menjauh saat ditemui pada pembukaan perdagangan bursa, 2 Januari. “Wah saya no comment deh soal itu, coba tanya bursa saja,” katanya melipir. Informasi juga tak banyak keluar dari Direktur Utama PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia Hasan Fauzi. “Tapi secara umum, utang perusahaan efek bisa menggerus modalnya. Soal AAA, apakah MKBD-nya berkurang karena utang atau bagaimana? Itu yang tengah diperiksa otoritas,” katanya.

Cerita pemeriksaan ini bermula ketika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggelar pemeriksaan rutin terhadap perusahaan sekuritas. Dari pemeriksaan periodik itu, ketahuanlah bahwa MKBD milik AAA Securities nyatanya di bawah ketentuan sehingga perlu penelisikan lebih jauh. Dugaaan sementara terjadi pelanggaran terkait efek nasabah, terindikasi broker itu menggadaikan saham atau repo (repurchasing agreement) nasabah tanpa izin. Benarkah demikian?

Manajemen BEI tak menampik alasan suspensi karena berkurangnya MKBD. Namun, Direktur Pengawasan Transaksi dan Kepatuhan BEI Uriep Budhi Prasetyo tak mau bicara terbuka soal ini karena masuk ranah otoritas pasar modal. “Awalnya soal MKBD kurang, kalau soal itu [repo saham yang nyangkut] masih diinvestigasi OJK. Baru indikasi terkait repo, jumlahnya saya belum tahu,” katanya.

Jika melongok laporan keuangan AAA Securities per September tahun lalu, perusahaan memiliki utang efek jual dengan janji dibeli kembali sebesar Rp9,30 miliar dan utang lembaga kliring dan penjaminan Rp67,21 miliar. Total kewajiban AAA Securities mencapai Rp171,71 miliar, sedangkan ekuitasnya Rp161,56 miliar, artinya rasio utang terhadap ekuitas hanya 1,02 kali. Barang yang diperjanjikan adalah efek PT Steel Pipe Industry of Indonesia Tbk. dengan tanggal transaksi pada 10 Juli, 18 Juli, 21 Juli, 23 Juli 2014. Adapun tanggal dibeli kembali, yakni 10 Januari, 19 Januari, dan 23 Januari tahun ini. Pemeriksaan OJK belum tuntas. “Ini baru indikasi. Kalau indikasi, tidak berarti terbukti. Kalau enggak terbukti, tapi kami sudah sebut nama orang dan pihaknya, dan ternyata tidak terbukti, itu kan sudah merusak citra,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Nurhaida di Jakarta, pekan lalu. “Namanya pemeriksaan yah belum boleh diinformasikan ke publik sebelum selesai.”

Sebetulnya tidak ada yang salah dengan repo saham. Kesalahan terjadi jika tidak ada izin dari pemilik efek. Broker pun lazim melakukan salah satu transaksi yang cukup diminati pelaku pasar modal ini. Repo adalah transaksi penjualan efek antara dua belah pihak yang diikuti dengan perjanjian pembelian kembali atas efek yang sama dengan jumlah, harga, dan tanggal yang disepakati. Menurut data KSEI, awalnya transaksi ini tidak dibedakan dalam sistem sehingga regulator tak tahu dan tidak punya data penyelesaian transaksi repo. Tapi kini sudah ada penyempurnaan yang mensyaratkan pemakai jasa KSEI harus menyebutkan underlying transaksi.

Ketika Bloomberg Businessweek Indonesia mencoba menemui Direktur Utama AAA Securities Theodorus Andri Rukminto, yang bersangkutan melimpahkan kepada SRS Lawyers, kantor pengacara di lantai lima Bakrie Tower, Jakarta. Sellya Candrasari, salah satu kuasa hukum AAA Securities, mengatakan yang terjadi sebenarnya hanya perbedaan pencacatan dari perusahaan dengan OJK. “Kami sudah laporkan ke OJK sesuai standar, cuma OJK memandang berbeda. Perbedaan ini yang coba kami klarifikasi pada Jumat 9 Januari,” katanya. Sellya mengaku baru mendengar indikasi tersangkut gadai saham tak berizin.

Bagi AAA Securities, penyusunan laporan MKBD sudah sesuai dengan standar akuntansi, tapi ada beberapa transaksi—termasuk repo—yang tampaknya beda tafsir. “Timnya Pak Andri sudah menyusun, tapi mungkin OJK merasa ‘oh kamu salah menyusunnya, cara menyusun repo misalnya gini’. Nah apakah repo itu punya pemilik gadai atau penerima?” kata Richard Adam dari SRS Lawyers. “Kalau kita pahami hukum, gadai berarti hanya jaminan, nah timbullah perbedaan dengan OJK.”

Hingga saat ini AAA Securities belum bisa memberi informasi lebih jauh mengingat pemanggilan direktur utama perusahaan baru dijadwalkan pada 9 Januari. OJK baru meminta keterangan dari direksi lain, Lulu E. Soekardi, pada Senin 5 Januari. Namun Richard berandai, bila kliennya terbukti tak memenuhi ketentuan, perusahaan akan menempuh permintaan regulator. “Perusahaan dengan size seperti AAA itu, jumlah minimal Rp25 miliar bukan jumlah yang sulit, ekstremnya begitu,” kata Richard. 

“Katakanlah saham [nasabah] diambil, ini andai-andai ya, lapor polisi dong. Jika ada yang merasa sahamnya diembat, logikanya lapor ke polisi. Sepanjang pengetahuan saya, belum ada laporan. Kalau repo kan lazim semua main kayak gini.”

Dia menampik bahwa penunjukan kantor pengacara karena perusahaan tersangkut kasus hukum dengan nasabah, tetapi lebih pada penyusunan dokumentasi hukum. “Selama ini bagian legal mereka enggak ada yang permanen, rata-rata orang keuangan. Kami membantu menyusun semuanya, enggak ada rekayasa,” katanya. Jika pun OJK mengharuskan AAA menyelesaikan seluruhnya, kuasa hukum pun tidak akan menempuh jalur hukum.

Hanya saja suspensi sudah terjadi. Dengan penghentian ini, tentu kerugian ada pada nasabah lama AAA Securities karena tidak bisa melakukan perdagangan. Salah seorang eksekutif perusahaan sekuritas yang menolak disebut namanya mengatakan peralihan nasabah lazimnya tidak dikenakan biaya karena hanya pindah ‘barang’. “Kalau crossing di pasar iya [kena biaya], tapi kalau enggak salah biaya cuma Rp20.000 per jenis efek, terlepas dari volume, jadi memang kerugiannya karena nasabah enggak bisa transaksi dan repot pindah-pindah,” katanya. Dia berharap persoalan tersebut segera selesai dan tidak merugikan nasabah. Richard menegaskan AAA Securities berkomitmen membantu nasabah memindahkan aset ke sekuritas lain karena menjadi tanggung jawab perusahaan. “Kami bantu dong memindahkan supaya mereka bisa dagang, kalau sahamnya jeblok kan kasihan mereka.”

Sampai saat ini BEI masih menunggu hasil pemeriksaan OJK sebelum membuka suspensi. “Tergantung kasusnya. Bisa cepat, ada yang beberapa bulan saja, tapi ada juga yang enggak dibuka-buka [suspensinya],” kata Uriep. Secara tak langsung Uriep menyinggung PT Brent Securities yang disuspensi sejak 22 September 2014, tapi sampai saat ini belum dibuka. “Saya enggak tahu berapa lama untuk AAA Securities ini.”

Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, edisi 12 Januari 2015

SINYAL MERGER DARI YANG TERSISA

Tiga tahun berturut-turut mencetak rugi, dua operator telekomunikasi berbasis CDMA ini menggabungkan jaringan, indikasi awal merger kedua perusahaan.

Oleh M. Tahir Saleh dan Ratna Wahyuningsih

Anindya, photo by flickr
RABU sore, 14 Maret 2012, Anindya Novyan Bakrie menggelar konferensi pers di sebuah hotel ternama di Jalan Rasuna Said, Jakarta. Komisaris Utama PT Bakrie Telecom Tbk.—yang kala itu menjabat direktur utama perseroan—membeberkan kerja sama bisnis dengan mitranya, PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia (STI). Hadir pula Michael Sampoerna, anak dari taipan Putera Sampoerna, mewakili pihak STI.

Kemitraan yang dimaksud adalah perjanjian jual beli bersyarat. Bakrie Telecom, operator Esia, akan mengakuisisi 35% saham STI, operator Ceria, dengan harga US$21,5 juta. Dalam 3 tahun ke depan, emiten berkode saham BTEL itu bisa menambah kepemilikan hingga 100%. Lantaran belum dapat uang tunai, aksi korporasi akan direalisasikan melalui skema tukar guling saham atau share swap BTEL kepada pemegang saham STI: Sampoerna Strategic dan Polaris Mobile Pte. Ltd. Lewat jual beli bersyarat ini, Sampoerna Strategic dan Polaris akan menggenggam saham Bakrie Telecom.

Tapi kemitraan tersebut hingga kini belum terealisasi penuh. Anindya belum memberi penjelasan berarti. “Kerja sama dengan STI belum terjadi, saat ini kami fokus internal dulu. Setelah kuat, baru kami akan melakukan apa yang sudah direncanakan,” tulis manajemen Bakrie Telecom dalam dokumen paparan publik, 20 Desember tahun lalu.

Setelah aksi korporasi dengan STI belum terealisasi, Bakrie Telecom kembali menempuh strategi baru untuk lebih menggenjot kinerja perseroan. Akhir bulan lalu, Bakrie meneken perjanjian penggabungan usaha penyelenggaraan dan sewa menyewa jaringan telekomunikasi dengan PT Smartfren Telecom Tbk., kompetitornya di bisnis telekomunikasi berbasis code division multiple access (CDMA). Tujuannya menghemat pengeluaran dan efisiensi operasional bagi kedua perusahaan. Penggabungan jaringan ini mencakup base tranceiver station (BTS) hingga spektrum frekuensi 5 MHz di pita 800 MHz. Dengan demikian, Bakrie tak lagi mengoperasikan jaringan, melainkan menyewa ke Smartfren. Di sisi lain, Smartfren menerima tambahan alokasi frekuensi selebar 5 MHz milik Bakrie di pita 800 Mhz.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah merestui aksi tersebut dengan menerbitkan surat izin buat Smartfren. Menariknya, dari perjanjian ini, Bakrie akan menjadi salah satu pemegang saham emiten berkode FREN itu. Besaran saham Bakrie di Smartfren kabarnya bisa mencapai 10-15%. Tapi, manajemen Bakrie enggan mengungkap detailnya. Pihak Smartfren mengatakan komposisi saham baru kelihatan akhir tahun ini. “Besarannya belum tahu secara detail, ada nanti di laporan akhir tahun,” kata Direktur Smartfren Merza Fachys kepada Bloomberg Businessweek Indonesia, Kamis (13/11).

Photo by artistarefill.com
Bakrie Telecom menunjuk PT Asuransi Sinarmas sebagai penjamin (surety) atas pembayaran kewajiban perseroan kepada Kemenkominfo untuk pembayaran biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan BHP telekomunikasi. Seandainya jaringan teknologi Smartfren bermigrasi ke teknologi 4G Long Term Evolution (4G LTE), Bakrie Telecom juga diberikan hak ikut serta sehingga membuka peluang bisnis baru melalui teknologi baru tersebut pada frekuensi 850 MHz.

Kendati jaringannya bergabung, Direktur dan Sekretaris Perusahaan Bakrie Telecom Harya Mitra Hidayat, dalam keterbukaan informasi 3 November, menegaskan kedua emiten tetap menjadi entitas terpisah. Tidak ada penggabungan perusahaan, tak ada pula perubahan aktivitas usaha jasa telekomunikasi.

Sejumlah pelaku pasar menduga, merger jaringan tersebut adalah indikasi awal terjadi konsolidasi antara Bakrie dan Smartfren, sinyal kuat merger menjadi satu entitas bisnis. Namun, manajemen Bakrie seolah mengunci akses informasi soal ini. Direktur Utama Bakrie Telecom Jastiro Abi enggan merespons pesan singkat dan telepon, begitu pula Anindya Bakrie ketika dikontak melalui pesan singkat, telepon, dan surat elektronik. Harya juga belum memberi tanggapan. “Maaf, saya sedang sibuk luar biasa untuk mengatur run operasional perusahaan, tidak bisa merespons segera,” katanya lewat pesan singkat. “Saya lagi perjalanan dinas ke luar negeri.” Surat elektronik yang dikirimkan kepadanya juga bertepuk sebelah tangan.


**

Saat ini bisnis telekomunikasi berbasis CDMA tinggal menyisakan tiga pemain: Smartfren, Bakrie Telecom, dan STI dengan brand Ceria. Smartfren dan Bakrie masing-masing memiliki 5 MHz di frekuensi 850 MHz, sedangkan Ceria di 450 Mhz. Operator CDMA yang sudah tereliminasi ialah Flexi milik PT Telekomunikasi Indonesia Tbk.—dialihkan ke Kartu AS dan Kartu Halo—dan StarOne kepunyaan PT Indosat Tbk.

Kinerja Ceria belum terungkap karena perusahaan tertutup, sedangkan performa bisnis Smartfren dan Bakrie masih negatif. Berdasarkan laporan keuangan yang dikompilasi Bloomberg Businessweek Indonesia, Bakrie terakhir mencatat laba pada 2010 Rp9,98 miliar, tapi seterusnya mulai 2011 merugi seiring dengan pendapatan yang terus tergerus. Pada kuartal kedua tahun ini—laporan September belum dirilis di Bursa Efek Indonesia (BEI)—rugi Bakrie Telecom mencapai Rp316,83 miliar.

Sejak tahun lalu, emiten yang dikuasai mayoritas oleh PT Bakrie & Brothers Tbk. ini juga mengalami defisiensi modal, alias ekuitas negatif. Itu artinya, jika seluruh aset dijual, lalu uangnya dipakai untuk membayar semua utangnya, tidak akan cukup. Kondisi Smartfren tak jauh beda, terakhir mencatatkan laba pada 2007 sebesar Rp50,35 miliar. Setelah itu ruginya terus membengkak mulai dari 2008 hingga tahun lalu. Per September tahun ini, rugi perusahaan Grup Sinarmas ini tercatat Rp939,93 miliar meski pendapatannya naik. Smartfren sudah merugi dalam lima tahun terakhir, sedangkan Bakrie rugi terus dalam 3 tahun terakhir.

Harga saham keduanya juga stagnan. Harga saham BTEL pekan lalu masih Rp50—bertahan sejak 1 November 2012. Smartfren? Sama saja, setali tiga uang. Harganya Rp68 per saham dibandingkan dengan awal November tahun lalu Rp50 per saham. Di mata investor dan analis, saham dua perusahaan ini kurang menarik.  “Kami tidak cover dua emiten ini, ibarat restoran, kalau tidak laku, sulit menawarkannya,” kata seorang kepala riset perusahaan sekuritas.

Model-model Smartfren, photo by Tribunnews
Pendapatan Smartfren paling banyak disokong dari data, sedangkan kontributor terbesar Bakrie masih dari layanan voice dan SMS. Baik Smartfren maupun Bakrie juga terus berupaya meningkatkan kinerja keuangan. Dalam paparan publik 6 Juni lalu, Djoko Tata Ibrahim, Commercial Group Head Smartfren, dan Direktur Keuangan Antony Susilo mengatakan aktivasi smartphone mereka sudah mencapai 500.000 pada kuartal pertama tahun ini. Perseroan juga masih menjajal kerja sama dengan Lenovo dan Xiaomi. Hingga saat ini jaringan Smartfren menjangkau hampir semua pusat populasi Tanah Air dengan jumlah BTS mencapai 5.708, terdiri dari Jawa dan Bali (4.225), Sumatra Utara (689), Sumatra Selatan (403), Kalimantan (117), dan Sulawesi (274).

Manajemen Smartfren berupaya meningkatkan kapasitas dan teknologi jaringan serta menyiapkan dana untuk membayar utang jatuh tempo 2015. Penambahan dana bukan lewat tambahan pinjaman, tapi dengan obligasi wajib konversi guna memperbaiki struktur permodalan dan tidak menambah beban bunga. Meski kerap menggondol penghargaan a.l The Most Wanted Android Phone 2014 dari Lazada dan Indonesia Customes Satisfaction Award, performa bisnis mereka belum terangkat.

Bakrie juga menerapkan sejumlah upaya, di antaranya optimalisasi kapasitas untuk percakapan dan data serta fokus ke Jakarta, Banten, dan Jawa Barat (JBJB)— pasar utama Esia. Bakrie juga memperkuat kemitraan dengan beberapa distributor untuk menjamin ketersediaan handset, meremajakan merek Esia, fokus memperkuat layanan percakapan, dan mendorong pertumbuhan data melaui smart devices. Kolaborasi dengan vendor untuk pengadaan perangkat cerdas LTE juga dijajaki. Selain itu, Bakrie mengontrol ketat biaya, mengendalikan operasi, dan meningkatkan struktur modal melalui re-profil atau penjadwalan kembali kewajiban. Hanya saja, beban kewajiban yang terus naik—sebagian besar karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar—berimbas pada utang dan pinjaman dalam mata uang asing.

Bahkan, baru-baru ini mereka digugat kreditor global bond di Amerika. Dalam penjelasannya ke BEI, Bakrie tengah memproses proposal re-profil pembayaran kupon obligasi. Institusi yang paling besar memegang US Global Bond Bakrie ialah JP Morgan Chase Bank National Association US$184,68 juta (48,6%), Citibank US$141,12 juta (37,1%), dan State Street Bank and Trust Company US$11,50 juta (3,0%). Bakrie Telecom belum membayar kupon obligasi jatuh tempo pada November 2013, Mei 2014, dan 7 November 2014 masing-masing US$21,85 juta.

Di luar persoalan utang Bakrie, peluang perusahaan untuk bertumbuh masih besar di tengah prediksi industri telekomunikasi berbasis CDMA yang belum membaik. Hadirnya teknologi baru seperti 4G LTE membuat emiten telekomunikasi tak bisa menampik untuk menyesuaikan diri. Dalam public expose-nya, manajemen Bakrie optimistis prospek bisnis tetap lantaran penetrasi smartphone di Indonesia baru sekitar 20%. Hanya saja pertumbuhan traffic data tidak sejalan dengan pertumbuhan pendapatan karena tren tarif layanan yang menurun.

Menurut pengamat telekomunikasi Budi Raharja, optimistis itu wajar didengungkan oleh operator. Apalagi teknologi CDMA sebetulnya cukup baik dibandingkan dengan, misalnya, GSM—global system for mobile communication. “Ini masalah persepsi saja, padahal CDMA baik, kalau kita lihat 3G-nya bisa lebih tinggi, tapi entry masuknya itu ke middle class ke bawah,” katanya, pekan lalu. “Jadi bagaimana membangun kembali persepsi teknologi ini saja.”

Satu persoalan lain, yakni bisnis telekomunikasi butuh bujet besar. “Nanti ada 4G LTE, setelah itu ada lagi teknologi lain. Selalu berubah. Maka perusahaan harus punya ‘kantong semar’. Ceruk pasar CDMA, kata Budi, masih besar mengingat teknologi yang saat ini ada pun belum sepenuhnya menunjang aktivitas. “Kadang kita punya teknologi hebat, tapi secara bisnis jelek. Sebetulnya masih ada peluang. Fokus pada coverage dan kualitas. Layanan saat ini saja kurang reliable. Saya saja pakai empat modem dari empat operator karena kualitas parah.”

Analis Trimegah Securities, Gina Novrina Nasution juga menilai sejauh ini sektor CDMA memang belum membaik. Tapi ke depannya teknologi ini akan ditunjang dengan gadget-gadget baru yang dirilis sejumlah merek ponsel terbaru, salah satunya Xiaomi dengan dua kartu SIM—GSM dan CDMA. Apalagi, Gina melihat karakteristik pengguna saat ini yang belum sepenuhnya memanfaatkan teknologi 3G dan 4G. “Masyarakat memang memakai 3G atau 4G, tapi untuk voice dan video, orang belum banyak memanfaatkannya. Penetrasi CDMA di berbagai daerah yang jauh juga belum besar. Peluang tetap ada.”


**

JP Morgan memprediksi setidaknya butuh waktu 13 tahun untuk mencapai titik impas belanja modal bagi operator telekomunikasi. Sebab itu, kerja sama jaringan antar-operator atau konsolidasi mesti didorong agar investasi lebih menguntungkan.  Estimasi JP Morgan ini dikutip Bakrie Telecom dalam dokumen paparannya di BEI dan benar-benar mereka tempuh.

Kerja sama Bakrie Telecom dan Smartfren disebut penggabungan jaringan—yang menjadi satu di bawah operasi Smartfren. “Dalam bahasa aksi korporasi bisa saja disebut ‘Smartfren mengakuisisi jaringan milik Bakrie Telecom,’ tapi yang jelas bukan akuisisi perusahaan,” kata Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono, pekan lalu.

Proses semacam itu menurutnya boleh demi menyehatkan kedua perusahaan. Proposal yang diajukan keduanya ke Direktorat Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Kemenkominfo juga sudah disetujui. Sang dirjen belum bisa berkomentar jauh soal sewa menyewa jaringan ini dan kebijakan baru pemerintah. “Saya masih meeting di Tokyo,” katanya singkat.

Kejelasan hukum ini penting agar jangan sampai kasus dugaan penyalahgunaan kerja sama frekuensi 3G antara Indosat dan PT Indosat Mega Media (IM2)—yang masuk ke ranah hukum—terjadi pada Bakrie dan Smartfren. Dalam kasus Indosat-IM2, mereka dianggap bersalah karena merugikan negara. IM2, sebagai penyelenggara layanan internet, memakai frekuensi milik Indosat untuk jasa internet mobile. Tapi, IM2 tak membayar BHP frekuensi dan hanya membayar sewa penggunaan frekuensi kepada Indosat.

Menurut Nonot, penggabungan jaringan membuat Bakrie Telecom tak lagi terbebani BHP frekuensi, tapi hanya membayar BHP jasa telekomunikasi. BTEL pun tak lagi memiliki lisensi Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) karena sudah dicabut pemerintah. Konsolidasi semacam ini memang sejak lama didorong pemerintah. “Itu cara terbaik untuk menyehatkan industri,” kata Nonot.

Seorang sumber mengungkapkan merger Bakrie dan Smartfren bisa saja terjadi, tetapi masih mencari mekanisme yang tepat mengingat peraturan merger dan akuisisi di industri telekomunikasi belum detail. Ditambah lagi ada izin-izin dan lisensi yang diberikan kepada perusahaan. “Memang sedang dicari mekanisme konsolidasi yang pas,” katanya.

Gandi, by lintas.me
Gandi Sulistiyanto Soeherman, Presiden Komisaris Smartfren dan Managing Director Grup Sinar Mas, belum menjelaskan apakah merger jaringan itu pertanda awal Sinarmas akan mengakuisisi Bakrie atau melakukan merger. “Hubungi Pak Merza, saya masih di luar negeri,” katanya. Direktur Smartfren Merza Fachys menjelaskan ada macam-macam izin, mulai dari izin penyelenggaraan jaringan, penyelenggaraan jasa, dan nilai tambah. Kemitraan dengan Bakrie baru sebatas izin penyelenggaraan jaringan sehingga tidak dicampuradukkan dengan merger korporasi. “Contoh, BTEL punya izin penyelenggaraan SLI [Sambungan Lansung Internasional], nah itu tetap mereka pegang.”

Prinsip kerja sama itu lahir atas dasar keinginan memperbaiki kinerja kedua emiten dan tidak menghilangkan salah satu dari keduanya. “Saya tidak tahu [apakah akan merger secara korporasi], maksudnya kita lihat progress-nya dahulu setelah penggabungan jaringan ini agar sama-sama sehat,” katanya. “Kalau memang apa yang kami inginkan tidak terjadi [atau masih rugi]. Yah polanya harus berubah.” Di sisi lain, Smartfren juga tidak akan mematikan teknologi CDMA meski terus hadir teknologi anyar. “Ada 4G. Ya harus diikuti, tapi apakah yang lama dimatikan? Buktinya 3G masih ada. Kalau masih menguntungkan, misalnya 4G bisa meledak dan bisa untung gede dan sudah saatnya CDMA dimatikan, yah kami tidak ada keharusan mematikan CDMA.”

Analis PT First Asia Capital David Nathanael Sutyanto menilai proses merger yang kemungkinan terjadi bakal memakan waktu lama dan alot. Pasalnya, utang kedua emiten sangat besar. “Merger agak susah karena kondisi keuangan BTEL parah,” katanya. “Kalaupun ada aksi akuisisi, secara logika ya Smartfren akan mencaplok Bakrie Telecom. Jika demikian, BTEL harus memasang harga murah agar Smartfren mau mengakuisisi salah satu anak usaha grup Bakrie tersebut. “Pertimbangannya mau atau enggak FREN caplok BTEL, mengingat BTEL utangnya masih menggunung. Kalau melalui skema akuisisi, harus ditawarkan dengan harga yang sangat miring.”

Namun bagi William Suryawijaya, analis PT Asjaya Indosurya Securities, merger akan menguntungkan kedua belah pihak. Smartren didukung jaringan di daerah, sedangkan Bakrie Telecom punya saham di media sosial Path. Keuntungan ini bagus untuk menyasar kalangan remaja yang tengah menggandrungi jejaring sosial. “Utang BTEL dan FREN masih besar. Kalau mereka merger, harus memikirkan win-win solution. Terkait isu merger, itu kembali lagi ke emiten masing-masing.”

BEI juga belum mendengar jelas kabar ini. Direktur Penilaian Efek BEI Hoesen hanya mengatakan isu tersebut baru sebatas rencana dari kedua belah pihak, tapi belum terealisasi. Jika terjadi akuisisi saham dari emiten tanpa harus merger, memungkinkan asal ada kejelasan keterbukaan kepada publik.

Kepala Eksekutif Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida menolak berkomentar sebab dokumen terkait aksi korporasi dari pihak Bakrie dan Smartfren belum masuk. Ia hanya menegaskan semua aksi korporasi emiten sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan pasar modal. Sebagai pengawas pasar modal yang pertama, OJK wajib mengetahui secara jelas dan rinci soal aksi korporasi emiten.

Apalagi, katanya, OJK mengetahui bahwa pada 12 November, Bakrie Telecom kembali melayangkan keterbukaan informasi perihal keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Isinya memberi tenggat 30 hari kepada BTEL untuk merestrukturisasi utang jatuh tempo atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) kepada PT Netwave Multi Media selaku kreditor. Informasi ini menjadi tambahan bagi OJK untuk melakukan pengawasan.

Total kewajiban Bakrie Telecom per Juni 2014 yang menembus Rp10,20 triliun—kewajiban jangka panjang dan jangka pendek—bisa menjadi satu kendala merger atau akuisisi yang tentu butuh pertimbangan serius. Merza tidak menjawab secara pasti soal ini. “Mudah-mudahan, masalah obligasi mereka akan segera solved.”—Bersama dengan Iwan Supriyatna dan Purjono Agus Suhendro.

Words:2.343
Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, edisi 17 November 2014

Entri Populer

Penayangan bulan lalu