Minggu, 11 Februari 2018

The Power of Audit, Mengawal Harta Negara

BPK, sumber: Tribunnews
Oleh Tahir Saleh

“Sekarang Rusia menolak Trias Politika sudah 22 tahun yang lalu, Sun Yat Sen juga menolak Trias Politika 30 tahun yang lalu. Jadi ada aliran yang menyatakan bahwa Trias Politika itu kolot,” kata Bung Karno, suatu ketika dalam sebuah rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), 11 Juli 1945.

Pernyataan Bung Karno dalam rapat menentukan hukum dasar negara ini menegaskan bahwa Trias Politika yang digagas pemikir John Locke (lalu disempurnakan Montesquieu) tak cukup kuat dalam mendukung penyelenggaraan negara. Pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dinilai tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat Indonesia atau dalam istilah Bung Karno, sociale rechtvaardigheid.

Faktanya demikian. Sejarah Indonesia mencatat, ada pilar lain yang juga menopang dan mengawasi penyelenggaraan negara yang bersih, transparan, dan adil yakni the power of press (media massa) dan the power of people (kekuatan publik). Pers dan aksi unjuk rasa masyarakat terbukti ampuh menentukan kebijakan negara ketika keputusan di tiga pilar tersebut tak mampu menjawab kebutuhan nyata di masyarakat.

Dan, ada satu kekuatan struktural lain yang berperan besar dalam menjaga penyelenggaraan negara lebih bersih, transparan, dan akuntabel yakni the power of audit, atau kekuatan auditif. Kekuatan auditif ini penting mengingat salah satu bentuk penyelewengan pengelolaan negara ialah korupsi, menyalahgunakan keuangan negara demi kepentingan pribadi.

Korupsi tak bisa dielakkan menjadi momok menakutkan bagi negara manapun. Imbasnya dahsyat, perilaku koruptif merusak tatanan negara, menjauhkan rakyat dari kesejahteraan. Korupsi bukan lagi dilakukan orang perorangan, tapi sudah berjamaah, dari pejabat tinggi hingga wakil rakyat. Bukan peristiwa baru jika di televisi, radio, media online, pemberitaan soal Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi menu saban hari.

Tingkat korupsi Indonesia saat ini memang masih tinggi kendati angkanya turun. Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perseption Index 2017 yang dirilis Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ketiga se-ASEAN. Level itu mampu menyalip Filipina dan Thailand, meski masih kalah dari Singapura di urutan pertama.

Tingginya angka korupsi jugalah yang menjadi penjegal kenapa peringkat Indonesia dalam Indeks Kemudahan Berbisnis 2018 atau Ease of Doing Business (EOD) yang dirilis Bank Dunia pada November tahun lalu kurang melesat. Peringkat EOD Indonesia naik ke level 72 dari 190 negara yang disurvei, dari sebelumnya 106 pada 2015, lalu 91 pada 2016. Dalam Global Competitiveness Index 2017-2018 juga menyebutkan bahwa birokrasi dan inefisiensi menjadi tolok ukur perbaikan peringkat Indonesia yang naik dari posisi 41 ke posisi 36.

Pada kondisi demikian, hadirnya kekuatan auditif menjadi begitu penting dalam menjaga negara tetap berjalan dalam koridor demi sociale rechtvaardigheid sebagaimana ditegaskan Bung Karno dalam buku Badan Pemeriksa Keuangan, Dalam Proses Perubahan UUD Tahun 1945 terbitan 2012 itu.

Kekuatan auditif ini dimanifestasikan lewat eksistensi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang hadir sejak 1 Januari 1947. Kehadiran BPK guna mengawal harta negara. Hanya saja, perjuangan BPK bukan tanpa rintangan. Di zaman penjajahan Belanda, BPK, ketika itu bernama Algemene Rekenhamer, hanya menjadi alat pemerintah. Begitu pula di zaman pra-kemerdekaan, fungsi BPK masih sekadar tukang catat keuangan negara.

Ketika pemerintahan beralih ke Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, kendali pemerintah tetap ada. Presiden Soekarno kala itu bertindak sebagai Pemeriksa Agung, sementara Ketua BPK hanya sebagai menteri yang berada di bawah komando Presiden. Peranan BPK di masa Orde Baru pun direduksi. Saat itu menjadi hal yang mustahil bagi BPK untuk memeriksa aset-aset utama sumber dana pemerintah seperti Pertamina, BNI, dan bank-bank BUMN. Buku saku Mengenal Lebih Dekat BPK mengungkapkan bahwa laporan-laporan yang disajikan BPK tidak mencerminkan kondisi keuangan negara yang sebenarnya, bahkan laporan tersebut juga haram dipublikasikan karena menjadi dokumen rahasia negara.

Hilangnya fungsi audit ini menyebabkan BPK ‘pincang’. Korupsi pun akhirnya merajalela di zaman Orde Lama dan Orde Baru karena ketiadaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Padahal, syarat penting tata kelola negara yang baik ialah transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.

Bagaimana mungkin menciptakan sociale rechtvaardigheid jika sang pengawas dan pemeriksa keuangan dikebiri? Bagaimana rakyat bisa sejahtera kalau anggaran negara bocor di sana sini, uang pajak disunat oleh oknum, dan kebijkakan ekonomi pemerintah kurang tepat sasaran lantaran asimetris informasi berkaitan dengan kondisi keuangan negara? Di sinilah peran BPK, memastikan bahwa pemerintah melaksanakan kebijakan yang tepat sasaran demi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Di tengah kondisi demikian, perbaikan dan amandemen terus dilakukan sehingga sejak era Reformasi, setelah Orde Baru runtuh tahun 1998, segala upaya memperkuat BPK semakin membuat lembaga ini kian independen dan mandiri. Pada akhirnya posisi BPK benar-benar berdiri sejajar dengan presiden lewat UU No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU No.15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Dua beleid tersebut tegas menetapkan kebebasan dan kemandirian di bidang pemeriksaan. Artinya, BPK bebas dan mandiri menentukkan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. Semuanya bebas dan mandiri.

Sejak disokong regulasi yang kuat, kinerja BPK positif dari tahun ke tahun. Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara dalamsiaran pers mengatakan hingga semester 1 2017, BPK berhasil menyelamatkan keuangan negara mencapai Rp13,70 triliun. Jumlah itu berasal dari penyerahan aset dan penyetoran ke kas negara, koreksi subsidi, dan koreksi cost recovery (pengembalian biaya operasi di sektor migas). Selain itu, pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), juga terjadi peningkatan capaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hampir sekitar 70% pada 2016.

Tak hanya itu, BPK juga memberikan 463.715 rekomendasi yang membuat pemerintah, BUMN/BUMD dan badan lainnya bekerja lebih tertib, hemat, efisien, dan efektif. Dari seluruh rekomendasi itu, 320.136 rekomendasi atau 69% sudah ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi. Selama 4 tahun terakhir, atau sejak tahun 2013 sampai dengan 30 Juni 2017, BPK menerbitkan laporan hasil pemeriksaan penghitungan kerugian negara sebanyak 120 kasus senilai Rp10,37 triliun dan US$2,71 miliar atau ekuivalen dengan Rp46,56 triliun.

Tentu saja, peran BPK jauh lebih luas dari mencegah kebocoran korupsi. BPK juga sejatinya berperan dalam menopang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak keberhasilan penindakan KPK bukan hasil kerja lembaga anti-rasuah itu semata, melainkan banyak temuan besar BPK yang menjadi bahan bagi KPK menjalankan tugasnya, sebuah sinergi positif demi keadilan.

Berjalan baiknya kekuatan auditif melalui kinerja positif BPK ini diharapkan mampu menciptakan tata kelola keuangan negara yang sehat. Apalagi ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun membaik meskipun belum mencapai level pertumbuhan yang sesuai dengan target APBN.

Kabar baiknya, di mata internasional, ekonomi Indonesia masih dianggap salah satu yang bersinar. Tiga lembaga rating global bahkan sudah menyematkan peringkat layak investasi (investment grade) yakni S&P, Moody's, dan Fitch Ratings.

Awal tahun 2018 ini, lembaga rating Japan Credit Rating Agency bahkan meningkatkan peringkat utang Indonesia dari BBB- dengan outlook positif menjadi BBB dengan outlook stabil. Sebelumnya, tahun lalu, dalam survei kepercayaan masyarakat Gallup World Poll atau Government at a Glance 2017, Indonesia berada di posisi nomor satu untuk tingkat kepercayaan publik.

Semua sentimen positif tadi selayaknya tidak hanya menjadi sebuah angka di atas kertas, melainkan mestinya menjadi amunisi bagi para pemangku kebijakan pengelolaan negara untuk saling bersinergi, termasuk BPK dalam menciptakan pengelolaan keuangan negara yang bersih dan akuntabel.

Rabu, 07 Februari 2018

"Incredible Love", Kisah Anak Hiperleksia di Pasar Modal

Novel perdana Hendra Martono
Oleh Tahir Saleh

Hendra Martono memulai debutnya sebagai penulis fiksi Indonesia dengan novelnya berjudul Incredible Love. Daya tarik buku ini begitu kuat meski sampulnya amat sederhana.

Dikatakan kuat lantaran latar belakang Hendra Martono atau biasa disapa Pak Hokwan, adalah seorang analis, trader, investor, dan direktur perusahaan sekuritas di Bursa Efek Indonesia.

Semenarik apa novelnya?

Novel setebal 250 halaman itu berkisah tentang seorang anak berkebutuhan khusus atau berkemampuan berbeda, bernama Abinaya yang mengidap hiperleksia, kelainan seorang anak yang mampu membaca secara cepat di usia dini dan amat terobsesi dengan kode, huruf, dan angka, tapi sulit berkomunikasi dengan baik. Dengan bimbingan dan cinta kasih sang ibu, Abinaya berhasil menjelma menjadi seorang broker atau pialang saham paling andal di pasar modal.

Dari sudut tema cerita, sebagai perbandingan, ada beberapa novel yang mengulas soal autis, hiperleksia, disleksia, skizofrenia, atau semacamnya. Tapi tak banyak buku fiksi di Indonesia atau bahkan dunia yang mengupas seluk beluk dunia pasar modal dengan balutan cerita cinta yang menarik. Yang ada di pasaran, hanya buku-buku non-fiksi jenis biografi atau memoar tentang pasar modal yang kemudian difilmkan.

Beberapa di antara buku non-fiksi itu sebut saja Too Big to Fail karya jurnalis Amerika Andrew Ross Sorkin yang difilmkan pada 2011, bercerita tentang krisis finansial 2008, termasuk bangkrutnya Lehman Brothers.

Buku lainnya yakni Rogue Trader, autobiografi karya Nick Leeson yang difilmkan pada 1999. Ini buku yang ia tulis saat mendekam di penjara karena kasus fraud, lalu difilmkan pada 1999. Kemudian ada buku Enron: The Smartest Guys in the Roomyang ditulis dua reporter majalah Fortune, Bethany McLean dan Peter Elkind, tentang skandal di balik bangkrutnya Enron, perusahaan energi AS, pada akhir 2001.

Ada juga novel American Psycho karangan penulis Amerika, Bret Easton Ellis, 1991, tapi ini bukan drama cinta di pasar modal, melainkan cerita seorang psikopat pembunuh yang juga seorang pebisnis di Wall Street (New York Stock Exchange).

Dan, barangkali yang memorable yakni buku memoar Jordan Ross Belfort berjudul The Wolf of Wall Street (2007) dan memoar Chris Gardner  berjudul The Pursuit of Happyness(2006), keduanya juga difilmkan dan sangat menarik.

Di Indonesia, sepengetahuan saya, belum ada novel murni soal pasar modal. Hanya ada satu dua novel yang menyinggung dunia keuangan dan pasar modal seperti Pulang(2015) karya Tere Liye di mana porsinya cukup besar. Lainnya barangkali Critical Eleven (2015) karya Ika Natasha, meski tidak spesifik pasar modal.

Novel Incredible Love terbitan Januari 2017 sejauh ini adalah yang pertama memadukan dua unsur tadi, cerita anak berkemampuan berbeda dan pasar modal. Alasan ini yang memicu saya melahap buku ini lembar demi lembar dengan segera.

Alur cerita novel ini mengalir dengan baik dan enak dibaca mulai bab pertama hingga akhir. Tak banyak membuat kita akan berfikir atau sesekali kembali ke halaman-halaman awal sekadar memastikan atau mengonfirmasi teka-teki cerita sebagaimana kalau kita baca novel-novel berat macam Pramoedya atau Eka Kurniawan.

Jalan cerita yang sederhana itu yang membuat waktu membaca novel ini tidak terlalu lama. Tentu ide cerita itu menjadi poin utama kelebihan novel dengan gaya penulisan orang ketiga ini.

Hendra cukup piawai memainkan deskripsi suasana dan sosok, memilih diksi yang amat puitis termasuk mengutip sajak Sapardi Djoko Damono. Meski kadang puitis, tapi Hendra cenderung memakai gaya bahasa keseharian, jadi tak perlu membuka kamus Bahasa Indonesia untuk mencari tahu beberapa kosa kata yang belum kita tahu.

Yang menarik, Hendra terampil memasukkan unsur nakal dan humor dalam dialog-dialog tokoh utama sehingga pembaca kadang geli, senyum-senyum sendiri.

Namun sebuah karya mana pun tentu ada celah yang bisa dikritisi, begitu juga dengan novel ini. Sayang, novel ini tampaknya dipersiapkan kurang matang dalam editing dan terlalu cepat baik dari sisi penceritaan maupun teknis penulisan.

Banyak salah ketik (typo), salah orang saat dialog, keterangan waktu belum jelas, dan pembaca seolah-olah bisa menebak ending cerita sejak di bab awal karena penulis terlalu cepat 'menjahit' keterkaitan antara tokoh utama, tokoh pembantu, dan antagonis sehingga kurang memberikan sensasi twist.

Hendra juga kurang mendramatisasi peristiwa, padahal ada beberapa plot yang bisa dikembangkan untuk menguras lebih dalam emosi pembaca, salah satunya di bab awal ketika ayah Abinaya meninggal.

Angle cerita pun berkembang menjadi beberapa kesimpulan: pertama, kisah Abinaya, seorang pemuda hiperleksia yang sukses di pasar modal dan dibalut dengan kisah cinta dengan Niken, sahabat kecilnya. Kedua, kisah seorang pialang saham bernama Greg, rekan Abinaya, yang berhasil menjadi seorang pialang paling ulung di Bursa Efek Indonesia dengan bantuan Abinaya.

Satu kekurangan lain khususnya soal pasar modal. Bagi pembaca yang kesehariannya berkutat di pasar modal tentu tak akan banyak mengernyitkan dahi membaca istilah-istilah di novel ini. Tapi bagi pembaca yang belum banyak mengenal dunia pasar modal pasti bingung. Apa itu go public, tugas sekuritas, broker, banteng wulung, tickersaham, auto reject atas (ARA), mekanisme perdagangan saham, dan istilah lainnya.

Meski begitu di luar kekurangan, novel ini menjadi karya yang patut diapresiasi oleh insan sastra di Indonesia, apalagi cerita ini terbilang baru dan mendorong masyarakat untuk berinvestasi sejak dini, nabung saham. 

Ceritanya pun terinspirasi dari kehidupan masa kecil Hendra Martono yang termasuk anak autis. Jadi, selain mendorong investasi saham, novel ini memberi edukasi positif betapa anak yang memiliki kemampuan berbeda itu harus dibimbing, diarahkan dengan baik sehingga mereka menemukan jati diri. Faktanya, banyak orang-orang terkenal saat kecil termasuk autis, tapi berkat arahan yang tepat dari orang tua akhirnya mereka bisa sukses.

Salut untuk Pak Hokwan yang masih bisa menelurkan karya sastra bagus ini di tengah kesibukan sebagai direktur PT Henan Putihrai, salah satu perusahaan sekuritas anggota bursa. Luar biasa Pak.

Dan kabar baiknya, novel ini akan segera difilemkan. Proses syuting sudah dimulai sejak November 2017 yang digarap oleh Lingkar Film. Lokasi syuting di Jakarta dan New York dengan bintang utama di antaranya Roy Marten dan Ira Wibowo. Semoga film-nya sukses ya Pak. Amin


Words: 927
Dipublikasikan di Kompasiana, 18 Januari 2018

Pak Mul, Terasing di Usia Senja

Pak Mul
Oleh Tahir Saleh

"Kalau inget yang dulu-dulu, bisa stroke saya," kata Mulyono, kakek 80 tahun yang masih menjajakan kopi keliling dengan sepeda di suatu siang, Kamis 11 Januari, di depan Kementerian Dalam Negeri, Jalan Merdeka Utara, sepelemparan batu dari Istana Negara, Jakarta.

Deretan-deretan nostalgia hidup seketika bermain di dalam benaknya, kenangan saat harmonis bersama keluarga, juga memori terpahit dalam hidupnya: istri diketahuinya serong dengan saudara tirinya sendiri.

Peristiwa pahit itu yang kemudian memaksanya mengambil keputusan berani dan nekat hijrah ke Ibu Kota, tanpa uang cukup, tanpa saudara, dan tanpa harapan. Dan meski ia tidak menangis saat bercerita, matanya mulai berkaca dengan perasaan terasing seperti ini. Hidup seorang diri dijalani saja dengan apa adanya kendati sebetulnya dia memiliki lima orang anak dan dua cucu.

"Masih kuat mengayuh sepeda Pak?"

"Iya masih, tiap hari saya di sini [Merdeka Utara], mulai jam 4 biar enggak dirazia Tantrib."

"Lah kalau pagi dan siang ngider ke mana Pak?"

"Di pasar baru saja."

Saban hari, dengan berdagang kopi keliling---orang-orang mengenal pekerjaan ini sebagai penjual Starling atau Starbuck Keliling---dia memperoleh uang paling banyak Rp50.000 jika dagangan ramai, sebaliknya kalau sepi hanya sekitar Rp20.000. Duit segitu tentu saja tak bakal cukup memenuhi kebutuhan hidup, apalagi biaya kontrakannya di Mangga Besar bisa mencapai Rpp800.000 per bulan.

Untuk hemat, dia terpaksa makan hanya sekali sehari, hanya di siang hari di Warteg langganan dekat dengan Stasiun Juanda. Jika malam hari perut terasa lapar, dia menyeduh kopi dan menyeruputnya seakan-akan itu makanan terenak malam itu.

"Kopi Indocafe bikin kenyang, kalau Luwak [White Coffee] kurang," katanya.

Pantas saja dia sangat kurus, tulangnya sudah tampak menyembul, membentuk garis-garis di kemeja batik yang dikenakan sore itu. Bapak tua yang malang.

"Anak-anak Bapak ke mana Pak?"

"Ada di Jakarta dua orang, satu punya kios di deket Senen, satu lagi di Jakarta Timur."

Pak Mul dengan sepedanya
Entah apa salah Pak Mul sehingga anak-anaknya tak pernah memperhatikannya. Setua ini beliau masih memeras keringat, mengayuh sepeda untuk menjual kopi. Di usia 80 tahun, barangkali mestinya dia sedang bermain-main bersama cucu, di rumah, bersama keluarga. Tapi faktanya, dia di sini, dengan tersenyum menyapa, duduk membuatkan kopi panas di gelas air mineral untuk saya sore ini.
Pilihan hidup seperti ini dilakoninya semata-mata untuk bertahan hidup dengan cara yang halal, tanpa mau menggantungkan nasib dan meminta-minta pada dua anaknya yang bisa dbilang hidup berkecukupan di Ibu Kota ini.

Kebaikan hidup masih ia peroleh dari orang-orang di sekitarnya, yang bukan saudaranya sendiri. Masih ada orang baik ketika sepeda satu-satunya raib saat tertidur dan beberapa ibu-bu PNS di Kementerian Dalam Negeri memberinya uang untuk membeli sepeda bekas. Atau pemilik sebuah gedung di dekat Kios Es Krim Ragusa, deket Hotel Sriwijaya, yang memperbolehkan tempat security gedung itu sebagai hotel bagi Pak Mul, setiap malam, karena dia sudah tak sanggup membayar kontrakan.

Baginya, hidup dijalani saja, apa adanya, dan tetap bersyukur.


Words: 462
Dipublikasikan di Kompasiana, 14 Januari 2018
www.propertyandthecity.com
Oleh Tahir Saleh

Pada mulanya, Cikarang---daerah yang berjarak sekitar 45 Km dari Jakarta---adalah kawasan di ujung Bekasi yang tandus, kering, dan berbukit-bukit. Lokasinya yang jauh membuat tak banyak perusahaan properti melirik lahan di sana untuk dikembangkan.

Adalah Grup Lippo yang menjadi salah satu pengembang yang melihat potensi di wilayah di Kabupaten Bekasi itu. Setelah Lippo Karawaci masuk melalui PT Lippo Cikarang Tbk (anak usaha Lippo Karawaci), barulah pengembang lain mulai ikut mengembangkan Cikarang menjadi kota perdagangan industri, seperti Kota Deltamas (grup Sinarmasland, residensial pertama tahun 2002), PT Cowell Development Tbk dan PT PP Properti Tbk (anak usaha PT PP Tbk).

Sebetulnya sudah ada Kawasan Industri Jababeka milik PT Kawasan Industri Jababeka Tbk sejak tahun 1989, tapi geliat residensial baru tampak semarak setelah hadir Lippo Cikarang dan kini Cikarang menjadi kawasan bisnis, kota mandiri yang juga memacu perkembangan di wilayah sekitarnya.

Setelah Lippo membangun perumahan elite di sana dan merilis proyek residential baru yakni Orange County pada 2015 (megaproyek terintegrasi seluas 322 hektare), Grup Lippo memulai megaproyek Meikarta yang di Desa Cibatu, Kecamatan Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi. Rencananya Meikarta akan dialokasikan untuk pembangunan perumahan, taman, tower dan sarana lain seperti universitas, dan lain-lain dengan lahan yang disiapkan 130-140 hektare dan bakal berkembang sampai 500 hektare.

Kendati saat ini proyek Meikarta tengah menjadi perbincangan publik soal izin, tapi proyek senilai Rp278 triliun ini menurut James Riady, CEO Lippo Group, dalam situs resmi Meikarta, berpotensi mengalahkan DKI Jakarta, karena memang disiapkan menjadi pusat perekonomian terbesar di Nusantara.

Titik balik

Namun jauh sebelum Meikarta dicanangkan, titik balik bisnis Lippo di Cikarang sebetulnya terjadi pada tahun 1990, ketika Presiden Soeharto berkuasa di bawah era Orde Baru. Seperti diceritakan Mochtar Riady, pendiri LippoGroup, dalam buku otobiografinya terbitan Kompas tahun 2016 berjudul "Manusia Ide, Mochtar Riady", pada tahun 1990 itu terjadi masa penyesuaian ekonomi, tingkat suku bunga tinggi, ekonomi lesu, inflasi tinggi, dan banyak perusahaan mulai kesulitan modal. Kondisi yang tidak kondusif ini memicu tingkat kredit macet perbankan tinggi.

Dalam kondisi demikian, LippoBank, yang dikendalikan James Riady, putra Mochtar Riady, terpaksa mengambilalih tiga bidang tanah yang sangat luas sebagai barang sitaan kredit macet. Lahan tersebut berlokasi di luar Jakarta, dua bidang tanah yang tandus dan kering berada di timur Jakarta (Cikarang) berjarak sekitar 45 Km, dan satu bidang lagi di barat Jakarta (Karawaci), berjarak 25 km dari Jakarta dengan kontur yang sama: kering, gersang, tanpa tumbuh-tumbuhan.

"Tiga bidang lahan seluas 70 Km persegi itu mau diapakan? Masih menjadi tanda tanya besar bagi saya," begitu kata Mochtar Riady dalam buku setebal 336 halaman yang diedit oleh Tandjung KT itu.

Untuk mencari solusi bagaimana memanfatakan tiga lahan seluas itu, salah satu orang terkaya di Indonesia itu pergi ke beberapa kota maju di Asia seperti Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Taipe, hingga Shenzen. Nah di Shenzen-lah dirasa kondisinya mirip dengan tanah hasil sitaan kredit macet itu, untuk dikembangkan menjadi kawasan perdanganan dan perumahan elite.

Seperti kita ketahui tanah pertama di Karawaci kini berkembang menjadi kota mandiri yang begitu apik, nyaman, aman, dengan berbagai fasilitas modern. Setelah itu Lippo Karawaci mengembangkan lahan kedua di Cikarang lewat anak usahanya, Lippo Cikarang.

Di sana, pemilik awal sebetulnya ingin membangun kawasan industri seluas 5.000 hektare, tapi karena terjadi resesi 1991, rencana itu pun kandas, lahan akhirnya diteruskan Lippo Group untuk membangun kawasan industri.  Tahap pertama, mereka mengalokasikan 1.200 hektare dan dibagi menjadi 4 area. Area pertama, bekerja sama dengan Sumitomo Group dari Jepang (Kawasan EJIP), kedua bekerja sama dengan Hyundai (BIIE) dari Korea, lahan ketiga menggandeng pengusaha Taiwan, dan keempat dikelola oleh Lippo sendiri dan dijual kepada pengusaha industri lokal.

"Cikarang..., lahannya kumuh dan tandus yang hanya digunakan sebagai tempat pembakaran bahan genteng rumah," kata Mochtar. Kini, katanya, Cikarang menjadi kawasan indusrial park yang tertata rapi, kawasan terpadu antara area industri, perumahan elite, pusat perbelanjaan, sarana pendidikan dan olahraga, dan kesehatan.  Bahkan Grup Lippo juga menghibahkan sejumlah lahan ke pemda supaya memindahkan kantor pelayanan di Cikarang guna meningatkan kualitas kawasan. Tahun 2016, harga tanah di cikarang sudah mencapai US$500  per meter persegi.

Lahan ketiga, tepatnya berlokasi di 14 Km sebelah Cikarang, yakni di Karawang dengan 500 hektare. Lahan itu lebih parah lagi karena tak hanya tandus, kering, berbukit, tapi juga terpencil. Kita tahun lahan yang tandus, berbukit, dan terpencil itu kini 'disulap' menjadi San Diego Hills Memorial Park tahun 2007. Taman itu terinspirasi dari tempat pemakanan Taman Rose dan Forest Lawn Memorial Park and Mortuaries di California, AS. San Diego ini menjadi taman makam pertama di dunia dengan fasilitas terlengkap (musola, lapangan golf, jogging track, restoran Italia, gerung serbaguna, danau seluas 8 hektare )dan tentu aja area pemahaman untuk 5 agama (Islam, Katolik, Kristen, Budhha, dan Konghucu).

Inspirasi San Diego ini idatang saat keluarga Mochtar berziarah di pemakaman leluhur di Malang, Jawa Timur. Tanah pekuburan seluas 10 hektare tersebut penuh rumput liar, dan binatang kecil, tak terurus dan menyeramkan. Itu sebabnya pemakaman keuarga ingin dipindahkan ke Jakarta, tapi tak menemukan lahan pas. "Saya terfikir untuk memanfaatkan 500 hektare lahan di Karawang itu sebagai taman makan yang angun dan indah," cerita Mochtar.

Saat ini, jika kita ke Cikarang, daerah tersebut bukan lagi Cikarang sebelum tahun 1990 yang kurang dilirik, tapi denyut nadi perekonomian di sana kini sudah demikian hidup. Tak disangka, dari tiga lahan hasil sitaan kredit macet itulah menjadi titik balik bisnis properti Grup Lippo di Cikarang yang terus dikembangkan hingga hari ini.

Krisis ekonomi tahun 1991 justru membawa keuntungan bagi Grup Lippo, "di mana ada krisis, di situ ada peluang," tegas Mochtar.

Akhir tahun 2016, mengacu laporan keuangan Lippo Cikarang 2016, pendapatan perseroan tembus Rp1,54 triliun dengan laba bersih Rp540 miliar. Akhir 2016, laporan keuangan juga mencatat perseroan berhasil membangun lebih dari 14.000 hunian, dengan 50.720 populasi dan 484.300 orang yang bekerja tiap hari di 993 perusahaan manufaktur di kawasan industri Lippo Cikarang. Dengan adanya jalur LRT tahun 2018, Cikarang tentu bakal lebih menarik lagi.


Words: 961
Dipublikasikan di Kompasiana, 20 Agustus 2017

Belajar Foto dari Om Arbain

Arbain Rambey, foto: Darwis Triadi, source: diaryfotografi
Oleh Tahir Saleh

Pecinta fotografi Tanah Air pasti familiar dengan nama ini: Arbain Rambey, fotografer senior harian Kompas. Follower Instagram-nya sudah tembus 89,6 ribu orang, termasuk saya. Rekam jejaknya sudah tak diragukan lagi, memotret di seluruh wilayah Nusantara hingga mancanegara. Foto-fotonya juga mendapat penghargaan dari dalam dan luar negeri, pernah juara tunggal Festival Seni Internasional Art Summit 1999, dan medali perunggu 2 tahun berturut-turut pada Lomba Salon Foto tahun 2006 dan 2007. Bahkan salah satu buku karya fotonya yakni 'Indonesia, Mist of Time' bisa terbitkan oleh Waterous & Co. di London tahun 2005.

Jika melihat latar belakang pendidikan formal, pria kelahiran Semarang, 2 Juli 1961, ini adalah lulusan Teknik Sipil ITB tahun 1988. Tapi passion-nya di bidang fotografi mengantarkannya menjadi salah satu publik figur di ranah fotografi Tanah Air. "Ini hobi yang menghasilkan [uang]," begitu selorohnya.

Segudang prestasi nyatanya tak membuat Arbain menyimpan ilmu, tapi dibagi dengan penyuka fotografi lainnya. Beberapa pekan lalu saya mengikuti workshop fotografi Om Arbain---panggilan akrab beliau di jagad Instagram---yang digelar Bursa Efek Indonesia (BEI). Temanya "Pasar Modal dalam Lensa". Workshop ini digelar sebagai salah satu rangkaian acara ulang tahun ke-25 tahun BEI yang diperingati setiap 13 Juli. Jadilah saya ikut workshopsekitar 3 jam itu karena rasanya sayang dilewatkan, kapan lagi dapat ilmu plus makan siang, gratis.

Pantai Ende, Tsunami Flores, 1992. Sumber: Twitter Arbain
Arbain adalah fotografer senior yang punya kemampuan sama baiknya antara memotret dan menulis, dia fotografer dan wartawan. Kemampuannya terbukti ketika tahun 1992, saat bencana tsunami mengguncang Flores, kampung halaman saya di Nusa Tenggara Timur, Om Arbain memotret di Ende dan menulis reportasenya di Kompas. Saat itu saya masih kecil dan menjadi korban selamat dari tsunami Flores itu.

Lantaran Arbain lulusan teknik sipil ITB, maka features-nya tentu menjadi lebih mendalam karena lewat ilmu dari bangku kuliah teknik sipil, dia sangat memahami struktur bangunan, bagaimana sebuah bangunan rusak terkena gempa bumi. Kemampuan mumpuni dari foto dan tulisan juga ditunjukkan ketika ia melakukan reportase peristiwa 911, serangan yang merubuhkan menara kembar WTC di New York City, pada 11 September 2001.

Tahun ini, usianya sudah 56 tahun. Tapi biar sudah 'senior', usia justru tak membuatnya menghindari aktivitas yang sangat berhubungan dengan kaum millenial, medsos. Biasanya banyak kaum baby boomers belum intens menggunakan medsos. Tapi Arbain punya akun medsos, mulai dari Twitter, Facebook, hingga Instagram dengan followers puluhan ribu---memang masih kalah dari Ayu Tingting, artis dengan followers Instagram terbanyak di Indonesia mencapai 21,2 juta.

Gara-gara perbedaan usia yang sangat jauh dengan para fotografer muda ini, suatu kali Om tidak dikenali saat datang ke sebuah acara fashion show. Om ternyata datang telat, dan merasa tidak enak sehingga memilih tempat memotret di pojokan. Hal wajar bila para forografer muda belum banyak  familiar dengan wajah aslinya. Untung ada seorang fotografer senior melihat Om berdiri di pojokan karena tak mendapat space untuk memotret. Tiba-tiba si kawan itu berteriak,  "Eh, orang itu sudah motret jauh sebelum kalian lahir,....... kasih jalan woi," teriak si fotografer senior. Semua minggir, akhirnya memberi tempat bagi Om.

Kunci penting dalam memotret

Sebetulnya materi yang dibawakan Arbain tidak njelimet, justru menarik meskipun waktunya terlalu singkat. Mestinya ditambah jam dan langsung praktek...heheh. Materinya slide powerpoint-nya hanya beberapa lembar dengan tulisan kapital. Presentasinya lebih banyak menampilkan contoh-contoh di folder leptop. Jadi kita bisa tahu, mana foto yang bagus, foto yang indah, foto yang menarik, foto yang berbicara, dan beberapa foto dengan komposisi yang salah.

Melihat contoh foto ini menjadi penting karena ternyata antara foto bagus, foto indah, dan foto menarik itu berbeda. Bagi para fotografer profesional, ini sudah pengetahuan umum, tapi bagi saya yang baru menyukai fotografi, ini jadi informasi baru. Saya jadi malu sendiri melihat foto-foto yang asal saya posting di Instagram pribadi.

Materi Arbain
Foto bagus adalah foto yang sesuai dengan target pembuatannya, misalnya seorang fotografer diminta membuat foto dengan target atau permintaan tertentu. Foto yang indah adalah foto yang menyenangkan untuk dilihat. Adapun foto yang menarik adalah foto yang lebih memancing untuk dilihat ketimbang foto lain meskipun belum tentu foto tersebut lebih indah. Nah, foto yang berbicara adalah foto yang bisa langsung dimengerti oleh yang melihat, bahkan tanpa caption.

Dari hampir 3 jam workshop, ada catatan yang ingin saya bagi di sini terutama bagi kawan-kawan yang masih baru di bidang fotografi, termasuk saya. Materi ini pun tentu sudah dipelajari para peserta workshop Om Arbain sebelumnya.

Menurut Arbain, ada empat unsur penting dan diperlukan untuk membuat sebuah foto yang bagus, indah, menarik, dan berbicara. Empat unsur foto tersebut yakni teknis, posisi, komposisi, dan momen.

Pertama, teknis ini lebih pada kemampuan dasar seperti pemahaman ISO atau tingkat sensitifitas sensor terhadap cahaya, aperture atau bukaan, dan shutter speed atau kecepatan rana.

"Soal teknis, tidak perlu kita bahas di sini, Anda bisa belajar sendiri, membaca bagaimana teknis, dari mulai ISO dan lainnya, tapi yang penting lagi adalah 3 unsur berikutnya," katanya.

Jadi, apapun jenis kamera yang kita pakai, hanya membantu secara teknis, sementara tiga unsur lainnya lebih dominan dan terus dilatih dengan pengalaman, melihat hasil foto orang dari media, internet, dan latihan.  Banyak kamera canggih saat ini sudah menyediakan dengan baik fitur sehingga persoalan teknis menjadi lebih mudah. "Saya fotografer profesional, tapi saya auto kok, biar kamera yang saya suruh kerja," katanya.

Kedua, posisi. Di fotografi jurnalistik, foto sudah jadi sebelum difoto. Maksudnya adalah, angle (sudut pengambilan) gambar sudah diatur atau dikonsep akan seperti apa foto itu nantinya. Di Kompas, semua fotografer diharuskan membuat sketsa terlebih dahulu sebelum terjun. Ketika almarhum mantan Presiden Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 dan almarhum ustaz Jefri Al Buchori pada 23 April 2013, fotografer yang bertugas membuat sketsa terlebih dahulu. Jadilah foto ratusan ribu pelayat mengangkat keranda dua orang yang sangat dihormati itu.

Posisi di sini juga berarti mencari angle yang pas. Untuk mendapat foto seperti angle yang disketsakan, pembidik kamera perlu mencari posisi yang tepat. Salah posisi, target foto yang diincar tak bakal bisa terealisasi, atau hasilnya kurang maksimal.

Dulu, waktu memotret Sidang Umum MPR zaman Presiden Soeharto, ada satu posisi favorit Arbain di ruang sidang. Jadi sejak subuh, Om sudah mangkal di posisi itu. Bahkan dia sampai menyimpan beberapa botol kosong buat menadah (maaf) air pipisnya. Sedikit saja meleng ke kamar mandi, sudah ada fotografer lain yang siap mencaplok tempat kita.

"Jadi malem hari, istri saya suka beli tuh beberapa botol selai yang besar ujungnya, lalu dikosongin selainya. Besok paginya saya bawa. Abis sidang biasanya si OB gedung bawa banyak botol, isinya warna kuning [air pipis] fotografer."

Konsentrasi angle ini menjadi perhatian Arbain saat pelantikan Presiden Jokowi 20 Oktober 2014. Kompas setidaknya menurunkan hingga 18 fotografer. Ada yang posisinya di balkon ruang sidang DPR-MPR, di luar, di dalem, di jalanan (untuk memotret aktivitas masyarakat yang menyaksikan, di shelter busway, di jembatan penyebrangan dan posisi lainnya). Ini hanya untuk mendapatkan foto headline yang berbeda dengan media lain. Hasilnya, foto Jokowi mengangkat kedua tangannya ke atas.

Ketiga, komposisi. Tak ada kewajiban fotografer menempatkan objek di posisi tertentu untuk mendapatkan komposisi yang pas. Dari depan bisa, samping, dari atas, dan lainnya tergantung mata dan taste si fotografer.

Salah satu kunci untuk memahami komposisi yakni membuat konsep sebelum memotret. Dengan begitu, akan lebih mudah kita memilih posisi yang pas supaya mendapatkan target foto yang kita inginkan. "Komposisi tak bisa otomatis, dan sangat menentukan bagus tidaknya sebuah foto. Membuat komposisi yang baik cuma ada tiga cara, berlatih, berlatih dan berlatih."

Susi Susanti, foto: Kartono Riyadi
Keempat, momen. Untuk materi ini, Arbain memberi contoh foto Susi Susanti yang sedang menangis saat meraih medali emas tahun 1992. Foto itu adalah satu karya monumental dari fotografer Kompas,almarhum Kartono Riyadi, berjudul "Air Mata Emas". Foto itu diambil saat Susi berlinang air mata di arena Olimpiade Barcelona 1992. Tapi akhirnya foto yang dipakai Kompas adalah foto Kartono dengan angle Susi mengangkat bunga di tangannya sambil tersenyum. Pertimbangannya Indonesia meraih emas baik dari Susi maupun Alan Budikusuma dari cabang bulutangkis tunggal putra dan putri, sehingga raut wajah bahagia yang mestinya ditampakkan ke media.
Momen yang tak bisa diulang itulah yang membuat foto Susi sangat bernilai tinggi. Sampai sekarang kalau melihat foto itu, rasanya terharu, sangat. Ketepatan momen itu, seperti diistilahkan oleh fotografer Henri Cartier-Bresson dengan the decisive moment, itu menjadi pembeda antara foto yang baik, berbicara, indah, mengesankan, dan foto yang gagal.

Dengan arahan dari Om Arbain, jujur saya jadi semmakin semangat memotret.

Trims ya Om ilmunya.....


Words: 1.352, dipublish di Kompasiana, 28 Juli 2017

Apa Saja Buku-buku Pilihan Prof Sumitro Djojohadikusumo?

Prof. Sumitro, source: profilbos.com
Oleh Tahir Saleh

"Saya adalah korban dari apa yang pernah disebut Clifford Geertz dalam makalah pendeknya sebagai sindrom terlalu sibuk, sebab sibuk mengangkat status sosial." Begitu seorang Sumitro Djojohadikusumo memulai tulisannya soal betapa di tengah kesibukan yang begitu padat, ia masih bisa meluangkan waktu bercerita tentang pemikiran ekonominya. "Sebetulnya saya tak terlalu setuju dengan Geertz, tapi dalam hal ini dia benar," katanya.

Profesor Sumitro Djojohadikusumo, lahir di Kebumen, 29 Mei 1917. Semua ekonom Indonesia, apalagi alumnus Universitas Indonesia, tentu mengenal Profesor Sumitro, salah seorang arsitek utama kebijakan ekonomi Indonesia pasca-kemerdekaan. Tapi ekonom-ekonom muda ada juga yang belum sempat mendapat asupan ilmu dari Profesor Sumitro yang meninggal pada 9 Maret 2001 di usia 83 tahun ini.

Banyak muridnya berhasil menjadi menteri pada era Presiden Soeharto, sebut saja JB Sumarlin, Ali Wardhana, dan Widjojo Nitisastro. Sumitro ialah ayah dari mantan Danjen Kopassus dan pendiri Partai Gerindra, Prabowo Subianto; ayah mertua dari mantan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono; dan besan dari Soeharto.

Buku dan Buah Pemikiran
Dalam tulisannya untuk Profesor Thee Kian Wee, demi keperluan buku Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, terbitan Kompas, Desember 2005, Prof. Sumitro bercerita sangat apik bagaimana proses tahapan berpikirnya bermula, apa saja asupan buku yang dia baca sehingga mampu menopang landasan pemikiran ekonominya.

Ketika Soekarno masuk penjara untuk kedua kalinya tahun 1935, lalu dibuang ke Flores, dan diasingkan ke Bengkulu, Sumitro muda baru lulus Hogere Burgerschool (HBS) atau Sekolah Menengah Atas Belanda. Ayah Sumitro seorang pegawai negeri golongan menengah atas, jadi Sumitro punya kesempatan belajar di sekolah Belanda. Tidak semua pribumi beruntung seperti dia. Ayahnya, Raden Mas Margono Djojohadikusumo, dikenal sebagai pendiri Bank Negara Indonesia tahun 1946.

Setelah lulus HBS, Sumitro masuk perguruan tinggi. Di zaman itu, belum ada namanya beasiswa seperti sekarang, hanya ada dana belajar. Tapi dana belajar itu bisa didapat dengan catatan siswa tersebut harus masuk tentara atau menjadi "Indolog" di Leiden. "Saya sama sekali tak ingin melakukan itu, sebab berarti saya nanti bekerja untuk Belanda," ceritanya.

Itu sebabnya, sang ayah, dengan pengorbanan yang besar, mengirim Sumitro ke Rotterdam, Belanda, untuk belajar di Sekolah Ilmu Ekonomi. Tahun 1935, itu berati umurnya baru 18 tahun, sebelia itu sudah menempuh ilmu ekonomi di Belanda. Benar-benar inspiratif.

Awalnya Sumitro tidak tertarik pada ekonomi. Dia justru lebih suka filsafat dan sastra. "Sekiranya saya tahu ada (jurusan) Ilmu Politik, Filsafat, dan Ilmu Ekonomi di Oxford University, saya kira saya akan mencoba mempelajarinya," katanya.

Kenapa Sumitro suka sastra dan filsafat?

Salah seorang penulis yang berpengaruh menggiring minatnya ke ranah sastra ialah Andre Malraux, penulis Perancis yang pernah menjadi Menteri Kebudayaan Prancis tahun 1958. Dua karya yang menjadi favorit Sumitro adalah roman berjudul Les Conquerants yang mengambil latar di Timur jauh tahun 1928 dan roman La Condition Humaine (terbitan tahun 1933) yang hampir merupakan karya klasik dan berlatar belakang Perang Saudara Spanyol. Malraux sebenarnya beraliran sosialis dan komunis, jadi sejak belia Sumitro sudah menjejal dirinya dengan roman klasik beraliran sosialis dan komunis.

Ketika usia belasan ini, Sumitro sudah melahap buku autobiografi Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri pertama India, yang ditulis tahun 1936 ketika Nehru di penjara. "Semua karya itu menimbulkan kesan mendalam pada diri saya. Saya mencoba merenungkan, kenapa rakyat saya tertindas, dan apa yang dapat dilakukan untuk itu."

Khusus filsafat, Sumitro membaca buku Henri-Louis Bergson, yang pernah mendapat nobel sastra tahun 1927. Buku yang dilahapnya ialah l'Evolution Creatrice atau Evolusi Kreatif yang ditulis tahun 1907. Zaman itu, penulis-penulis dari Perancis memang cukup masyhur.

Selain membaca pidato pembelaan Soekarno dan Hatta, Sumitro juga ikut arus zaman kala itu dengan membaca karya Nietzsche dan Machiavelli. Karya-karya Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, dan karya sastrawan Spanyol Ortega y Gasset. Dua nama yang pertama disebut, Freud dan Jung, adalah tokoh di bidang psikoanalisis yang begitu terkenal sampai sekarang. Semua karya-karya itu, memang tak ada hubungannya dengan analisis ekonomi tapi itulah awal mula bacaan sang begawan ekonomi ini.

Di sastra, pengaruh buku Malraux sangat besar. Gara-gara buku itu, Sumitro begitu prihatin dengan Perang Saudara di Spanyol. Bisa dibilang ketika itu Malraux adalah idola Sumitro. Sayangnya, ketika mendaftar menjadi sukarelawan di sana, dia ditolak karena belum cukup umur, jadi mesti ada surat izin dari orang tua. "Jadi saya cuma melintas perbatasan Spanyol, dan kemudian saya diusir dari sana. Tapi saya tetap aktif dan membantu mengumpulkan dana."

Lalu kenapa dia mulai jatuh cinta dengan ekonomi?

Menurut Sumitro, hanya ekonom yang bisa jadi 'jenderal' yang baik. Dengan ilmu ekonomi, seseorang bisa mengevaluasi suatu keadaan tanpa segera menjatuhkan penilaian baik atau buruk, baru kemudian mengambil keputusan. Dengan ekonomi, seseorang bisa menghimpun fakta-fakta tentang masalah dan kemudian melakukan analisis yang logis. Pada intinya, jika orang tidak memiliki cukup fakta, maka perlu ada penelitian untuk memperolehnya. Setelah itu baru melakukan analisis logis untuk memperoleh jawaban.

"Begitu banyak orang keliru menangani masalah, atau lebih buruk lagi, mereka sama sekali tidak mengidentifikasi masalah. Demikianlah saya menjadi ekonom untuk dapat menjawab berbagai soal."

Buku-buku yang menopang keilmuan ekonomi Sumitro yakni karya Karl Marx dan Joseph Schumpeter, juga karya David Ricardo (ekonom politik Inggris). Sumitro tidak membacanya dalam bahasa Inggris tapi karya asli Schumpeter yakni Theorie der wirtschaftlichen Entwicklung dalam bahasa Jerman, isinya soal konsep wiraswasta yang amat mempengaruhi Sumitro muda. Secara tak langsung pekerjaan ayah Sumitro di perdesaan Jawa di masa krisis tahun 1930-an juga mempengaruhinya.

"Kita tidak perlu bekerja, sebab orang lain bisa melakukannya untuk kita, kita tidak perlu memiliki uang, sebab kita bisa meminjamkannya. Satu-satunya yang perlu kita lakukan adalah melakukan pembaruan-pembaruan dan menanggung risiko. Jalan pemikian ini sangat mempengaruhi saya."

Buku lain dari Schumpeter ialah Capitalism, Socialism, and Democracy, juga buku Business Cycles. Buku lainnya adalah Risk, Uncertainty and Profit karya Frank Hyneman Knight.

Buku-buku di atas membuatnya makin memahami perbedaan antara risiko yang dapat diasuransikan dan risiko yang tidak dapat diasuransikan. Buku inilah yang melandasinya, membantu dia dalam perjuangannya melawan 'ekonomi biaya tinggi', akibat pemerintah yang menciptakan terlalu banyak ketikdapastian yang tidak dapat diasuannsikan oleh pengusaha. "Saya berutang budi pada Knight, walau dalam banyak hal saya tidak setuju doktrin-doktrin mazhab Chicago ini."

Frank Knight merupakan ekonom AS yang menghabiskan kariernya di University of Chicago, dia adalah guru dari tiga ekonom yang mendapat nobel ekonomi yakni Milton Friedman, George Stigler dan James M. Buchanan.

Pusing juga, bukunya berat semua........

Tapi ini tak berhenti di sini. Buku lainnya adalah dua jilid buku Principles of Economics karya Frank William Taussig, buku terbitan tahun 1911 dan edisi kedua dirilis tahun 1915. Saya tidak tahu apakah buku ini menjadi pedoman utama mata kuliah ekonomi di kampus-kampus Tanah Air atau tidak, tapi satu buku yang juga cukup banyak dipakai mahasiswa ekonomi untuk pengantar ekonomi makro dan mikro ialah Principles of Economics yang ditulis N. Gregory Mankiw. Baik buku milik Taussig maupun Mankiw ada di Perpustakaan Universitas Indonesia.

Buku lainnya yang disukai Sumitro ialah karya Alfred Marshall yang mengajarkan berfikir sistematis. Marshall terkenal sebagai bapak ekonom neo-klasik, yang menerapkan ilmu matematika dalam ekonomi karena latar belakang Alfred sejatinya ahli matematika.

Buku-buku tadi berat semua, apa tidak pusing Prof? Ternyata seorang Sumitro juga butuh waktu untuk memahami beberapa buku yang dinilai cukup berat dipahami.

"Saya harus membaca dengan susah payah Business Cycles, betul-betul mengangumkan. Saya juga susah payah membaca buku karya [John Maynard] Keynes, General Theory dan saya pura-pura memahaminya, sebab saya menduga kuat bahwa guru-guru saya pun tidak memahaminya."

Agak lama Sumitro memahami pemikiran Keynes. Dia sangat terbantu dengan tulisan Alvin Hansen (Business Cycles and National Income) dalam memahami dengan baik pemikiran ekonomi Keynes dan tafsir-tafsir post-keynesian. Mahzab Keynes didasari suatu fakta bahwa ekonomi makro sudah bertahun-tahun tidak tersentuh oleh ilmuwan. Bila tataran ekonomi makro tak terjamah, otomatis tataran mikro menurutnya makin kacau.

Dari beberapa ulasan para ekonom soal mazhab Keynes ini, satu contoh yang mudah dicerna yakni Keynes merekomendasikan agar perekonomian tidak diserahkan begitu saja ke mekanisme pasar. Peran pemerintah pada batas tertentu justru diperlukan. Misalnya, bila tingkat pengangguran tinggi, pemerintah bisa memperbesar pengeluaran untuk proyek-proyek padat karya, dan lainnya.

Dari semua buku yang dia baca, Sumitro sangat terkesan dengan buku Edward Hastings Chamberlin, ekonom AS yang dikenal dengan teori-teorinya tentang monopoli industri dan persaingan. Tahun 1937, pada usia 20 tahun, Sumitro membaca buku Chamberlin Theory of Monopolistic Competition. Banyak pemikiran Chamberlain ternyata sesuai dengan apa yang Sumitro alami, apa yang dia lihat di desa-desa dan kondisi Jakarta.

Selain itu, karya Vin Boehm-Bawerk dan Irving Fisher juga mengesankan bagi Sumitro, terutama Irving dalam buku Theory of Interest. Buku ini menjelaskan konsep bentuk waktu arus pendapatan yang membantunya memahami mengapa pedagang perantara China sering dipandang sebagai penyelamat produsen-produsen kecil.

Sumitro sebetulnya sangat marah dengan pernyataan orang Belanda bahwa tidak ada pengangguran. Justru dia menyadari bahwa pengangguran, pengangguran terselubung, kurangnya lapangan pekerjaan, pekerjaan bermutu rendah, sesungguhnya adalah masalah produktivitas dan pendapatan nyata. Keberpihakannya pada orang kecil ini tampak dari disertasinya berjudul Het Volkscredietween di de Depressie (Sistem Kredit Rakyat di Masa Krisis Ekonomi). Ini semacam pengejawantahan keprihatinannya pada dampak krisis ekonomi di perdesaan Jawa.

Ada satu penulis yang kurang dia sukai dari sisi karya, bukan pribadi. Dia adalah ekonom Belanda, Julius H. Boeke. Tulisan Boeke dan beberapa penulis sejenis menilai orang Indonesia atau ras Timur tidak pernah dapat memperbaiki keadaan karena dianggap memiliki nilai yang berbeda.

Sumitro pun membaca tulisan ekonom Marxist, Nikolai Dmitriyevich Kondratiev, dalam bahasa Jerman lalu dalam bahasa Inggris. Dampaknya terasa ketika tahun 1970-an ketika dia melakukan penelitian mengenai perspektif pertumbuhan jangka panjang Indonesia. Dari buku yang dia baca, timbul kesimpulan Sumitro bahwa daya dorong pertumbuhan jangka panjang suatu negeri adalah penduduk, teknologi, dan SDA, bukan perang atau revolusi.

Ada banyak nama ekonom yang tulisannya memengaruhi Sumitro, tapi secara umum yang cukup dominan adalah buku-buku tadi. Nama lain yakni Jan Tinbergen, ekonom Belanda penerima nobel ekonomi, ketika Sumitro berjumpa dengannya tahun 1938. Pada tahun itu, Tinbergen menjadi dosen muda Sekolah Ilmu Ekonomi Belanda. Ada pula Sir William Arthur Lewis, ekonom Saint Lucia, negara di Laut Karibia. Arthur Lewis bertemu dengan Sumitro tahun 1954. "Saya sangat terkesan oleh kecerdasannya."

Dari pemikiran para ekonom itulah, kepintaran ekonomi Sumitro terbentuk makin matang. Sumitro menjadi orang yang paling berperan membentuk ekonom-ekonom muda dari UI tahun 1966 yakni Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sadli, Subroto, dan Emil Salim---dikenal dengan istilah Mafia Berkeley. Para ekonom muda inilah yang menentukan kebijakan ekonomi di era Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden Suharto.

Sejarah mencatat, kelangsungan kebijakan ekonomi Orde Baru runtuh ketika kendali pemerintahan kian otoriter dan represif. Dampaknya menurunkan disiplin keuangan, memicu banyak transaksi pemerintah yang tidak tercantum dalam anggaran resmi sehingga perekonomian mulai goyang. Ditambah lagi, kuatnya pengaruh para profesional non-ekonom (Prof. Habibie dan lainnya yang kebanyakan para insinyur) dengan proyek-proyek nasional besar di bidang teknologi membuat para teknokrat ekonom semakin redup.

Lalu pada akhirnya, kita tahu, krisis tahun 1997 menjadi peristiwa yang sampai sekarang menjadi pelajaran berharga bagi perekonomian nasional. Tapi di luar tuduhan atas Mafia Berkeley, Profesor Sumitro punya jasa besar terhadap negeri ini, terutama dalam membangun SDM di bidang ekonomi yang handal.


Words: 1.780
Dipublish di Kompasiana, 19 Juni 2017

Entri Populer

Penayangan bulan lalu