Senin, 14 April 2008

sahabat baru

Bukan buaya darat

Oleh taher saleh

Namanya Raydion, biasa dipanggil Dion. Lahir di Jakarta 24 tahun yang lalu tepat 24 Agustus pukul 04.00 subuh di sebuah rumah tua di Jakarta Timur. Orang tuanya sudah lama menetap di Jakarta sejak mereka masih muda. Bambang Subiantoro, ayahnya, tahun 60-an diboyong kakeknya ke Jakarta dan menetap lama di Kayu Manis Jakarta Timur. Singkat cerita ayahnya bertemu Sudjarwati, seorang gadis yang kemudian dipersuntingnya. Dion anak kedua dari dua bersaudara, keduanya laki-laki. Kakaknya, Radityo, kini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.

Pria yang jarang berolahraga tapi hobi nonton olahraga ini berdarah asli Blitar, Jawa Timur, tapi tentu saja tak ada hubungan keluarga dengan Presiden pertama republik ini, Bung Karno. Namun demikian ini menjadi suatu kebanggaan baginya karena berasal dari daerah yang sama dengan mantan Presiden. Setidaknya dengan kata ”Blitar” Dion merasa bagian dari mozaik sejarah bangsa.

Ayahnya memberi nama Raydion sebab saat itu sedang mengalami kesuksesan karir di bidang advertising (periklanan) untuk radio-radio di Jakarta. Begitu unik memang, tak terbayang apabila saat itu ayahnya membuat iklan untuk televisi, mungkin nama anaknya jadi Televion. Tetapi makna nama sebenarnya secara etimologi dion itu dari kata dian yang artinya sinar atau lampu, sedang ray adalah juga cahaya atau sinar. Ayahnya berharap dion menjadi sesuatu yang bersinar minimal menerangi keluarganya kelak.

Perawakannya tinggi menjulang 180 Cm dan sepertinya tak kesulitan menahan 88 Kg beban tubuhnya. Senyum menyembul di balik wajahnya yang bulat ditambah sederet kumis tipis semakin menambah kejantanan pria yang masih lajang ini. Dion kelihatan garang bila belum mengenal lebih dekat. Tapi bila menelisik lebih dalam, dia adalah pribadi yang santun dan humoris. Pernah mendengar suara Josh groban? Ya, power suara dion agak mirip walaupun tidak terlalu enak ditelinga

Pagi ini dia terlambat. Dengan gontai dia melangkah ke dalam ruang kelas. Wajahnya bersemu merah saat mencari tempat duduk kosong. Pelatihan jurnalistik Bisnis Indonesia yang diikutinya sudah dimulai sepuluh menit lalu, mungkin ini yang membuat dia agak malu datang sedikit terlambat. Tidak biasanya dia terlambat entah hari ini apa gerangan.

“Gue tadi ngeliat mantan gue di London School jadi ngobrol dulu bentaran,” ujarnya sembari menyembulkan senyumnya. Logat betawinya sangat kental, maklum meskipun bukan pribumi, dia lahir di Jakarta. Jadi kota metropolitan ini sudah mendarah daging di hatinya.

Perjalanan hidupnya takkan cukup dituangkan dalam tulisan ini. Merapal kalimat hanya mampu menyentuh bagian luar kisah hidupnya. Namun sekelumit tentangnya menjadi sebuah refleksi bagi kita, bagaimana dia memandang hidup.

Dulu, dia mulai bercerita saat jam istirahat tiba, ketika beranjak kelas empat Sekolah Dasar (SD) rumah yang ditempati keluarganya dijual oleh sang ayah. Setelah menjual rumah yang lama, ayahnya pun kembali membeli rumah di Komplek Kejaksaan 1 nomor 3A blok B1 yang hingga kini ditempati.

Kehidupan sekolah diawali dari SD Strada Vanlith II, lalu lanjut ke SMP Tarakanita IV, kemudian melanjutkan ke SMA Kolese Gonzaga. Setelah merasakan masa-masa indah di kala SMA maka Jurusan Jurnalistik UPH (Universitas Pelita Harapan) menjadi pilihannya hingga akhirnya menyandang gelar Sarjana Sosial tahun 2007 silam.

Seperti anak-anak lainnya, dia pun mengalami tugas-tugas perkembangan pada saat kecil. Bagaimana adaptasi dengan teman-teman baru, bagaimana menemukan bahwa kehidupan bukan hanya sebatas lingkungan keluarga, dan bagaimana mengekspresikan sebuah kata yang menjadi primadona bagi yang kasmaran, ya cinta. Demikian dia memahami arti kehidupan. Semuanya begitu menyatu dan tak dapat dipisahkan. Karir, cinta, dan persahabatan.

Saat kuliah prestasi paling membanggakan baginya adalah ketika didaulat menjadi manajer FISIP SOCCER, tim sepak bola FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik). Semua mahasiswa yang menyukai sepak bola pasti kenal dia, tapi semua yang kenal dia belum tentu suka sepak bola. Dia pioneer, inisasinya membangun FISIP dari ranah olahraga sangat tepat dan akhirnya berhasil mengangkat pamor sepak bola FISIP di UPH. ”Jangankan sepak bola, senat FISIP-nya aja ga jalan, mandeg, jadi gue ma temen-temen bangun FISIP lewat sepak bola dulu,” ujarnya bersemangat.

Dia bercerita aktifitasnya ketika di UPH sangat menyenangkan. Sebagai seorang yang sedang dilanda idealisme mahasiswa, Dia tipikal orang yang mampu menyesuaikan diri dengan baik.

Menurutnya, UPH sangat kapitalis, hingga suasana diskusi belum dibangun dengan baik. Biaya kuliah yang mahal kisaran Rp 25 juta memang dijawab rektorat dengan fasilitas yang memadai. Tapi imbasnya daya kritis mahasiswa menemui wall fire. Namun dengan kelengkapan fasilitas bukan berarti para mahasiswa apatis terhadap isu sosial. Mahasiswa UPH ternyata juga punya hasrat yang menggelegak bila ada bencana menimpa rakyat Indonesia. ”Biasanya kita selalu ngumpulin dana, dan ga pernah demo-demo di luar kampus kalo ada permasalahan, bukan kita ga peduli tapi rektorat aja tuh kebanyakan kebijakan,” katanya menggerundel.

Pacar

Disinggung mengenai persoalan pribadi (pacar) ia menuturkan wanita selalu menjadi suatu keindahan yang harus dikagumi. ”Punya cewe’ tuh harus cantik, pinter, biar bisa dipamerin sekaligus benerin kita kalo lagi eror,” katanya sembari menyesap nikotin yang tinggal sebatang.

”Gue pernah punya pacar anak London School, lumayan tiga tahun, tapi setelah itu gue putus, ga cocok,” sergahnya lagi dengan agak menyesal. Dion menatap gusar, seakan-akan ada yang yang belum tuntas diungkapnya. Menurutnya ketertarikan wanita terhadap pria tak lepas dari fisik, materialistik, filosofik, idealisme, kultur, ekspektasi, kemistri, dan gengsi. Tapi dia pun ragu masuk kategori yang mana.

”Sekarang gue jomblo ni, ga tau, ga laku kali,” cerocosnya datar.

Dia mengaku bukan tipe buaya darat yang haus belaian wanita. Seringkali dia mengisi waktu luang bersama sahabat dan bila diakumulasikan waktu untuk sahabat lebih banyak dihabiskan dari pada dengan wanita.

Pria penggemar musik Jazz ini mengaku banyak hal yang diperolehnya saat ini. Tentang persahabatan, dia masih meletakan sahabat sebagai sesuatu yang berharga. ”Cari temen tuh susah bro, tapi nyari musuh gampang banget, ” ujarnya berfilosofi.

Hidup itu berat maka jangan sekali-kali pantang menyerah. Tapi tentunya bukan menjadi beban yang harus dipikrkan seolah-olah ini sesuatu yang berbahaya. Menurutnya harus ada selingan dalam hidup ini. Musik, misalnya, Dion sangat menggemari musik-musik jazz dan pop. Andien, Glen Fredly, Michael Buble, dan Iwan Fals menjadi deretan idolanya. ”Gue demen banget ma Fals, dia menyentuh dunia politik tanpa harus menjadi politisi, menyentuh cinta tanpa harus jadi novelis,” katanya bersemangat seperti orasi dengan Toa.

Rencana Masa Depan

Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Setidaknya sebagai manusia, Dion juga ingin selalu lebih baik dari hari kemarin. Harapannay saat ini ingin sekali melanjutkan S2 mengambil konsentrasi Manajemen Operasional.

”Waktu itu gue da diterima di S2 PPM, tapi mahal banget cuy,” ujarnya sengit. Kultur akademis yang dibangun orang tua membuatnya mengerti akan pentingnya pendidikan. Sarjana saja tak cukup karena dunia ini selalu berkembang. Banyak sekali alternatif S2 namun keinginannya ini harus ditahan karena kini dia masih menjalani sembilan bulan tes menjadi reporter di harian Bisnis Indonesia. ”Sebenarnya sih gue pengen lanjut lagi S2, tapi nanti setelah karir bagus di Bisnis,” jelasnya agak tercenung.

Pengalaman dan titel merupakan satu hal yang berbeda. Menurutnya pengalaman lebih punya andil dalam membentuk kapasitas seseorang dan titel di satu sisi melegalkan dan mendukung pengalaman seseorang tersebut. Dion termasuk orang yang takut mengambil resiko karena itu dia belum berani berwira usaha walaupun cukup memiliki modal.

Waktu istirahat semakin sempit, Dia pun bergegas kembali ke kelas. Tekadnya hanya hanya satu, selalu menjalani segala sesuatu dengan serius tapi santai. Termasuk mengikuti pelatihan ini. Waktu yang akan menjawab apakah dia mampu mewujudkan harapan ayahnya, mejadi sinar bagi semua orang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu