Kamis, 11 Juni 2009

Infantil Politik, ‘Bukan Pemilihan Kepala Suku’

Isu Jawa dan non-Jawa menyeruak sejak tiga pasang Capres dan Cawapres mendeklarasikan diri bulan ini. Bahkan setelah ketiga pasangan itu sudah mendapatkan nomor urut pada Pemilihan Presiden 9 Juli (Pilpres), isu primordial itu pun masih menghangat.

Pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto (JK-Win) yang notabene hasil kloning antara Jawa (Solo) dan non-Jawa (Bugis) itu tentu menjadi sorotan karena berbeda dengan dua pasang calon lainnya.

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono (SBY-Berboedi) adalah pasangan Jawa. SBY berasal dari Pacitan sementara Boediono lahir di Blitar, sama seperti Presiden pertama Soekarno. Pasangan Jawa berikutnya Megawati Soekarno Putra dan Prabowo Subianto. Meskipun demikian, jika ditelusuri ada darah campuran yang mengalir dalam diri Megawati sebab ayahnya, Soekarno, lahir dari ibu Bali dan menikah dengan wanita Bengkulu (Fatmawati).

Adapun Prabowo lahir di Jakarta tetapi tetap keturunan Jawa karena ayahnya ekonom terkenal Soemitro Djojohadikoesoemo dari Kebumen, Jawa Tengah.

Dengan demikian isu dominasi etnis tertentu dan adanya perbedaan etnis pada Pilpres 2009 ini yang kemudian digunakan oleh semua tim kampanye baik dalam mendukung atau bahkan menggunakan diskursus ini untuk menyerang lawan politiknya.

Baru-baru ini di harian Bisnis Indonesia, Priyo Budi Santoso, anggota DPR dari Partai Golkar yang kembali melanggeng ke Senayan, yang juga Ketua Umum DPP Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong, mengatakan pasangan JK-Win merupakan kombinasi paling Nusantara, paling Indonesia, dan mewakili suku suku terbesar Republik ini.

Pernyataan ini membuktikan masih adanya sentimen kedaerahan yang melekat pada ajang empat tahunan ini padahal kita tahu bangsa Indonesia sedari awal merupakan bangsa yang beraneka macam suku, agama, ras, dan budaya.

Karena banyaknya perbedaan budaya yang beragam itulah seorang calon pemimpin bangsa bukan dilihat berdasarkan dari mana dia lahir, dibesarkan, dan tumbuh dewasa. Namun calon pemimpin bangsa tersebut memiliki kemampuan dalam segala hal untuk memimpin demi kesejahteraan rakyat. Entah itu terejahwantahkan melalui pribadinya, pengetahuannya, maupun akhlaknya. Sekali lagi bukan etnis.

Apakah negara ini akan makmur sentosa tentram dan damai jika seorang pemimpin merupakan kombinasi dari dua daerah tertentu? Lalu apakah negara ini kian tercerabut dari akarnya atau menegasikan suku lainnya karena dominasi pemimpin dari suku itu-itu saja?

Tidak ada yang bisa menjamin hal tersebut. Karena mencari pemimpin ialah mencari sosok yang mampu merealisasikan apa yang diharapkan rakyat. Dalam teori leadership categorization (Lord & Maher,1991) menyatakan ketika seorang menjadi bawahan, maka orang itu memiliki seperangkat harapan dalam bentuk prototype harapan.

Masyarakat sebagai hirarki ‘terbawah’ dari sistem demokrasi, meski secara substantif masyakarat atau rakyatlah yang duduk pada hirarki tertinggi, tentu menggantungkan harapan besar kepada calon pemimpin bangsa. Harapan itulah yang kemudian menjadi keharusan dari setiap calon pemimpin bangsa untuk mewujudkannya. Tentu saja baik Jawa maupupn non-Jawa punya kesempatan yang sama. Lagipula belum ada kepastian jika masyarakat Jawa secara keseluruhan menginginkan pemimpin ideal sesuai dengan prototype Jawa.

Nasionalisme

Tidak dapat dipungkiri, sejarah mencatat sederet Presiden RI mayoritas dari etnis Jawa. Saat ini hanya Baharuddin Jusuf Habibie yang bukan dari Jawa (lahir di Sulawesi Selatan-Makassar, meski ibunya pun dari Yogyakarta). Selebihnya, Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid/Gusdur, Megawati, dan terakhir SBY adalah satu rumpun bernama Jawa.

Dalam diri setiap pemimpin, tidak bisa dilepaskan dari budaya asal. Budaya itu merasuk ke dalam perilaku melalui lingkungan dan interaksi dengan sekitar. Kemudian, baik disadari maupun tidak, kecenderungan budaya tertentu meresap dalam tipikal kepemimpinan seseorang. Namun, jika satu budaya secara implisit mendominasi budaya tertentu dalam satu negara yang heterogen budaya maka negara tersebut sangat dekat dengan sifat sebuah dinasti.

Sondang P Siagian (2003:108) menyatakan kepemimpinan selalu bersifat situasional, kondisional, temporal dan spatial yang berarti bahwa gaya kepemimpinan orang misalnya gaya demokratik tidak mungkin dapat diterapkan secara sangat konsisten tanpa memperhitungkan situasi dan kondisi yang dihadapi, faktor waktu dan faktor ruang. Artinya memang budaya berpengaruh dengan kepemimpinan seseorang.

Karena budaya adalah seluruh cara hidup dari sebuah masyarakat. Ada nilai, praktik hidup, simbol, lembaga, dan hubungan antarmanusia. Budaya merupakan salah satu kontributor, dipahami sebagai jawaban terhadap aneka pertanyaan tentang mengapa ada perbedanaan pada tingkat keterampilan, kemakmuran, kecakapan di antara berbagai pribadi.

Peristiwa Pilpers AS yang dimenangkan oleh seorang kulit hitam bernama Barrack Obama menjadi tolok ukur bagaimana sebuah demokrasi tanpa tedeng aling-aling dari apa yang disebut primordialisme, meskipun pendukung utama Obama juga berasal dari rumpun Afro-Amerika.

Akan tetapi setidaknya ini membuktikan dalam membenahi sebuah negara yang dibutuhkan bukan etnis seseorang. Bustanuddin Agus (2006), mengatakan fungsi suku sebagai ikatan solidaritas saat ini sudah tidak berfungsi lagi, sudah sangat menipis biarpun memilki ikatan primordial.

Budaya hanya satu dari sekian elemen pemersatu nasionalisme. Nasionalisme atas dasar pancasila yang semestinya dikedepankan. Atas dasar itu, fokus Pilpres 2009 kali ini haruslah bukan mengaksentuasikan pada siapa suku yang akan menang, tetapi siapa pemimpin yang mampu mewujudkan apa yang diharapkan rakyat Indonesia.

Masih banyak permasalahan negeri ini yang belum tuntas, dari pelanggaran HAM hingga ke lumpur Lapindo, dari masalah ekonomi ke masalah sosial, pendidikan dan lain-lain. Seharusnya semboyan Bhineka Tunggal Ika menjadikan Pilpres tahun ini tidak menenggelamkan visi misi yang berujung pada kesejahteraan rakyat, entah dengan nama ekonomi kerakyatan , ekonomi yang pro rakyat, atau ekonomi jalan tengah yang pro rakyat.

Sekadar mengingatkan, Bung Hatta dalam pidatonya di depan para mahasiswa Universitas Islam Aligard India 29 Oktober 1955, memberi pesan, penjelmaan dari sifat pengasih dan penyayang ialah persaudaraan yang bukan atas dasar suku. Betapa pun besarnya perbedaaan antara partai dengan partai persatuan bangsa tetap dipelihara (I Wangsa Widjaja, Meutia F Swasono, 2002)

Publik seharusnya jangan terjebak pada perkataan dari sejumlah tim sukses Capres-Capwapres tertentu yang secara implisit mewacanakan pemimpin yang merupakan kombinasi etnis tertentu. Biarlah rakyat yang bicara toh ini bukan pemilihan kepada suku.



Ditulis sehari setelah penulisa ikut menghadiri acara kunjungan JK ke kantor Harian Bisnis Indonesia.

Gambar: weblacktricks.wordpress.com

Entri Populer

Penayangan bulan lalu