Minggu, 30 Maret 2008

RESENSI BUKU Mereka Bilang, Saya Monyet

MEREKA BILANG ”elo” MONYET (siapa?)

karya Djenar Maesa Ayu, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002, 145 hal.
By taher heringguhir
Buku kumpulan cerpen Mereka Bilang, Saya Monyet ! (selanjutnya disingkat MBSM) adalah cerpen perdana Djenar Maesa Ayu (gue da pernah ketemu sih, yah orangnya cerdas, cantik ga kaya judul di atas, juga ngerokok) yang diterbitin sama PT.Gramedia Pustaka Utama.

Dalam buku ini Djenar nyajiin 11 cerpen (9 diantaranya udah dimuat di media cetak nasional ) dengan judul yang menarik pembacanya antara lain: Mereka Bilang, Saya Monyet !, Lintah, Durian, Melukis Jendela, SMS, Menepis Harapan, Waktu Nayla, Wong Asu, Namanya…, Asmoro, dan Manusya dan Dia. Kebanyakan dari 11 tema cerpen yang tertera, Djenar lebih banyak bercerita tentang hal ikhwal anak-anak remaja (sangat remaja) yang tidak bahagia dalam keluarga karena tak ada perhatian dari orang tuanya (yah klasik sih temanya, tentang kemunafikan, atau berkisar tentang pelecehan seksual oleh orang tua dalam keluarga dan lingkungan,[1] sekaligus Djenar mengekspos gimana respon atau pun ekses dari si korban pelecehan

Yang unik dalam ni cerpen (MBSM), orang-orang munafik digambarin kaya hewan aneh, simak deh:
kebutuhan saya untuk buang air kecil semakin mendesak. Saya mnegetuk pintu kamar mandi pelan-pelan, tidak ada jawaban tidak ada suara air dan tidak ada suara mengedan. Saya mendengar desahan tertahan. Desahan itu berangsur diam. Saya mengintip lewat lubang kunci bersaman dengan pintu dibuka dari dalam. Sepasang laki-laki dan perempuan keluar dari kamar mandi Yang laki-laki lantang memaki “dasar binatang! Dasar monyet ! Gak punya otak ngintip-ngintip orang!”. Seharusnya saya menghjar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu…”. (h.3)

Kreatif banget ide diksinya, gue ga tau deh dapet dari perjalana hidup dia sendiri atau orang lain. Yang jelas realitanya terkadang binatang jauh lebih ”manusiawi” dan manusia seringkali berkelakar layaknya ”binatang”, ini tesis yang gue tangkep. Saya” dalam cerpen ini dapat ngelepasin diri dan memberi perlawanan atas suasana kemunafikan yang ditemuinya. Menarik membaca cerpen ini karena dengan penghayatannya Djenar mampu ngegambarin sosok-sosok munafik yang sejatinya memang terhampar di depan mata kita. Kalo Djenar ga ngasih symbol karakter dalam cerpen MBSM mungkin cerpen ini ga akan dapat membangun komunikasi yang akrab dengan pembaca kali ya.

Selanjutnya Djenar mendedahkan kegetiran seorang remaja yang jadi korban kebuasan laki-laki pacar ibunya. Coba baca “Lintah” deh. Digambarin secara karikatural bahwasanya si ibu memelihara lintah yang berubah bentuk lalu membelah dirinya menjadi banyak ular, kemudian lintah itu berhubungan intim dengan sang ibu . Setelah itu lintah menggerayangi dan memperkosa si “saya”.

“ Ular itu menyergap, melucuti pakaian saya, menjalari satu persatu lekuk tubuh saya. Melumat tubuh saya yang belum berbulu dan bersusu, dan menari-nari di atasnya memuntahkan liur yang setiap tetesnya berubah menjadi lintah……” .(h.17)

Tema seks kembali dihadirkan Djenar dalam “Namanya…”, tokoh yang bernama “memek” merasa malu dengan namanya sehingga perasaan ini kemudian diluapkan dengan berbagai rencana yang tentu saja ga lepas dari namanya sendiri, ya menjual diri demi posisi yang diinginkan. “Tuhan tidak tidur……Tuhan pasti maklum”. (h.100)

Dalam dua judul cerpen di atas baik “Lintah” maupun “Namanya..”, tentu aja Djenar belum mampu ngelepasin diri dari trend “sastra telanjang” – meminjam istilah Damhuri Muhammad[2] - di mana menghadirkan sebuah paradoks bagi pembaca, satu sisi dapat “meresahkan” (bila dibaca oleh anak di bawah umur, gue adza ”puyeng”) sekaligus cerpen ini menjanjikan sebuah daya tarik dan “kenikmatan”. Tapi sayang juga sih, karena karena udah terlanjur gunain nama tokoh “memek” maka dengan sendirinya cerpen ini ga terlalu “menggigit” di akhir cerita (endingnya), karena udah kebaca. Jujur, gue agak risih juga baca judul ini, ga nyangka sebuah kata yang agak ”tabu” coba diakrabkan di telinga kita semua.

Trend sastra perempuan yang kian “bertelanjang” udah ngeguncang dunia kepenulisan kreatif (terutama penulisan prosa—cerpen dan novel) dan sekaligus jadi penanda muncul suatu genre sastra baru yang lebih “berani” dan “terbuka” buat “ngerangsang” minat dan apresiasi sastra pada umumnya. Ketelanjangan yang nyaris jadi mainstream dalam “Saman” dan “Larung”-nya Ayu Utami, Tujuh Musim Setahun-nya Clara Ng, Ode untuk Leopold-nya Dinar Rahayu, Swastika mya Maya Wulan (kenapa semuanya cewek ya?, waduh apa cewek lebih volak meneriakkan kelemahannya atau keperkasaannya kan wilayah seks?). Oleh karenanya sebagian pengamat sastra yang agak sentimentil justru memplesetkan estetika (cara ucap) baru tersebut menjadi estetika “saru” (jorok) karena tanpa malu-malu menggumbar kata-kata yang dulu dianggap tabu menjadi kata-kata yang ordinary saja.[3]

Yang juga menarik bagi gue pas ngebaca cerpen berbentuk SMS, unik, lucu, dan mungkin baru kali ini ada cerpenis yang memadukan kisah skandal percintaan (kisah yang biasa) melalui SMS yang tentu saja mirip dengan apa yang tertera di LCD HP/layar handphone, dilengkapi dengan nomor telepon dan waktu terkirim. Juga cerpen “Manusya dan Dia”, “Manusya” adalah gambaran emosi, nafsu yang cenderung memberontak dan liar, sedangkan “Dia” adalah hati nurani yang selalu mengontrol ke-ego-an manusia. “Manusya” selalu kesal dan ga senang dengan kehadiran “Dia” yang selalu ikut campur akan hedonisme yang dilakukan “Manusya”.

Pada cerpen “Durian” Djenar lalu melukiskan tokoh “Hyza” sebagai seorang korban dalam menafsiran imajinasi (mimpi). Dia sibuk antara keinginan memiliki “Durian” – yang berasal dari mimpinya - dan upaya nahan dirinya biar ga makan tu durian, kalo dia ngelanggar konsekuensinya ketiga anaknya bakal kena penyakit kusta. Dia menindas hasratnya sendiri, walaupun dia hanya nyimpan “Durian” dan ga memakannya tapi ini disebut kemunafikan juga sehingga tetep kena punishment; anak-anaknya terkena kusta.

Tema imajinasi juga tertera pada “Asmoro”, kisah pengarang yang kerasukan menulis, hingga ketika tulisannya akan berakhir, dia mengalami pergulatan antara berlama-lama dengan imajinasinya atau harus nyudahin cerita agar jadi sempurna. Namun “Asmoro” penuh dengan ungkapan-ungkapan yang berlebihan sih (hiperbola gitu), atau Djenar sengaja gunain kalimat hiperbola biar nekanin bahwa imajinasi adalah sesuatu yang ga ada batas (no limits)?.

Cerpen “Melukis Jendela”, tokohnya “Mayra” melukis wajah ayah dan ibunya karena ga pernah ngeliat ibu sekaligus ga pernah ngerasain kasih sayang ayah. Karena itu “Mayra” berproyeksi demikian, namun dia gagal lalu kemudian mencoba melukis jendela yang diharapin bisa jadi ventilasi kebebasan perasaan bahkan dia bisa melakukan balas dendam atas pelecehan seksual yang dilakuin sama teman-teman sekolahnya. Sekali lagi dia gagal, malahan karena terinspirasi lukisan jendela, dia ngambil tindakan nyata membebaskan diri dari kenyataan yang menghimpitnya, dia bunuh diri

“Mayra melukis jendela, ia masuk dan menemukan dirinya berada di sebuah taman indah yang penuh warna-warni. Dua anak perempuan kecil menghampiri dan tersenyum kepadanya…..mereka lebih mirip bidadari ketimbang anak manusia……Mayra menuntun mereka menuju pelangi emas bertahtakan mutiara…Seorang lelaki sudah menunggu di sana, merentangkan tangan untukmemeluk mereka, dan……Mayra tidak pernah kembali.”.(h.41)

Tema sosial antara lain kehidupan masyarakat, rumah tangga orang-orang golongan rendah, di mana rumah ga mampu lagi jadi tempat meneduhkan jiwa (homeless). Tema-tema kaya’ cerpen “Melukis Jendela” juga ditemuin dalam tema-tema cerpen yang terbit antara tahun 1950-1960 (60% tema sosial, 22% masalah moral, sisanya polotik, adat, perburuhan, dan pendidikan).[4] Dalam “Keluarga Gerilya “ Pramoedya Ananta Toer (alm.) juga nyeritain gimana sebuah rumah ga lagi jadi tempat penentram jiwa, tokohnya “sang ibu” mengalami kehilangan dalam rumahnya sendiri, anak laki-laki yang menjadi serdadu, lalu anak perempuannya yang dipermalukan, kemudian suaminya/sang ayah yang di bunuh oleh anaknya sendiri atas nama revolusi.[5]

Dua cerpen lagi adalah “Wong Asu” (anjing) – berbentuk monolog - dan “Waktu Nayla”. “Wong Asu” menegaskan betapa imajinasi cenderung bebas tanpa moral dan norma masyarakat kaya’ anjing “menggonggong” dan “menggigit” realitas yang munafik, dan kerena itu pengarang (tokoh “saya”) sering terpinggirkan kaya’ anjing (Wong Asu). Sedang dalam “Waktu Nayla” berkisah seputar kontemplasi mengenai waktu, perbedaan waktu berdasarkan alam dan waktu objektif (arloji). Tokohnya “Nayla” – nama yang sama Djenar gunakan pada cerpen “Menyusu Ayah/Suckling Fatherversi inggris dalam kumpulan cerpen “Jangan Main-Main Dengan Kelaminmu” - yang divonis terkena kanker berkata apa dia harus mencela atau bersyukur akan nasibnya.

”Manusia sudah menerima hukuman mati tanpa pernah tahu kapan hukuman mati ini akan dilaksanakan”.(h.70)

Bagi “Nayla yang lebih meresahkan bukanlah waktu objektifnya yang tinggal setahun lagi, tetapi terutama adalah waktu subjektif yang terlupakan.

“Nayla ingin menunda waktu. Nayla ingin menunda siang hingga tidak kunjung tiba malam ,Nayla ingin merampas bulan supaya matahari selalu bersinar. Nayla ingin menghantam palu ke arah jam sehingga suara alarmnya bungkam, Nayla ingin menunda kematian.(h.72).

Secara fisik buku ini bagus (dengan cover menarik bergambar pohon sari monyet dan Djenar sendiri). Namun secara substansi (intinya, isinya) seperti yang udah gue deskripsiin singkat di atas banyak mengalami kritikan dari pengamat sastra, ada yang mengatakan akan munculnya kembali estetika LEKRA (neo-lekra, newlek), ada juga yang men-cap sastra murahan – namun, menghadirkan adegan-adegan seks atau mengupas problema seks memang ga berarti sebuah karya bisa dicap murahan tentunya.

Dalam kritik sastra cerpen ini dapat dikategorikan dengan apa yang dikenal dengan istilah L’ecriture F’eminine (tulisan perempuan) Istilah yang biasa digunakan dalam arti yang lebih luas untuk menyebut karya tulis perempuan mengenai pandangan mereka tentang kondisi perempuan dalam masyarakat..[6] Yah pada tau kan kebayakan dari penulis-penulis tema seks ini adalah berkelamin, atau punya kelamin wanita (tau kan apa namanya?) uah aha jadi viktor gini.

Bila diperhatiin ragam bahasa lisan dalam kumpulan cerpen MBSM maka akan keliatan amat beda (baca: beda banget) ama novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy atau buku-buku prosa Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, (Mba Asma ini favorit gue cing, tulisannya dari hati banget), Izzatul Zannah, dan novelis atau cerpenis Islam lainnya. Yah memang ga bisa disamain coz genrenya juga beda.

Dengan hadirnya MBSM ini memang memperlihatkan terkembangnya layar “estetika baru” dalam khazanah sastra Indonesia kontemporer coz lahirnya sebuah karya sastra punya sejarahnya sendiri-sendiri dan tentu aja Djenar ga hanya mengekspresikan riwayat dan pengalaman hidupnya atau bagaimana ia “menjual” imajinasinya, tapi juga udah merepresentasikan carut-marut zamannya, zaman kita.

Terakhir buat nutup tulisan ini, gue kutip kata-kata Cak Nun:
”…..persoalan pertama dalam kesusastraan adalah apakah karyamu dan karyaku bagus atau tidak, persoalan kedua, ialah bagus atau tidak menurut apa/siapa. Artinya menurut ukuran apa, dan akhirnya siapa yang menilai [7]
DAFTAR PUSTAKA
Ø Ainun Najib, Emha, 1994. Terus Mencoba, Budaya Tanding. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
Ø Husen, Ida Sundari, (Penyunting), 2001. Meretas Ranah (Bahasa, Semiotika, dan Budaya. Yogjakarta: Yayasan Bentang budaya
Ø Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, 1986. Tema Cerita Pendek Indonesia tahun 1950-1960. Jakarta: Sinar Kwitang
Ø Sarjono, Agus R, 2001. Sastra Dalam Empat Orba. Yogjakarta: Yayasan Bentang Budaya
Ø Toer, Pramoedya Ananta, 1950. Keluarga Gerilya, Jakarta: Yayasan Pembangunan.





[1] Tema yang sama, dapat dibaca dalam cerpen AA.Navis “Datangnya dan Perginya” di mana terjadi incest. Agus S Sarjono, Sastra dalam Empat Orba, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001), Cet.ke-1, h.274
[2].www.cybersastra.net//Petualangan “sunyi” Perempuan Bersayap dan Bertanduk
[3] http://www.sinar-harapan.net/ Ketika Seks (lagi-lagi) Menjadi Bumbu Sastra
[4] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Tema Cerita Pendek Indonesia tahun 1950-1960, (Jakarta: Sinar Kwitang, 1986), H.62
[5] Pramoedya Ananta Toer, Keluarga Gerilya, (Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1950).
[6] Ida Sundari Huse (Penyunting), Meretas Ranah (Bahasa, Semiotika, dan Budaya), (Yogjakarta: Yayasan Bentang budaya, 2001), h.449
[7] Emha.Ainun Najib, Terus Mencoba Budaya Tanding, (yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1994), h.3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu