Kamis, 03 Oktober 2013

Efisiensi Avtur, Antara Keseimbangan Bisnis & Green Aviation

Photo by smartregion.org
Oleh M Tahir Saleh

PUJI Nur Handayani masih mengingat titah Dirut PT Garuda Indonesia Tbk. Emirsyah Satar yang disampaikan beberapa kali dalam rapat 3 bulanan maskapai pelat merah itu yaitu efisiensi, efisiensi, dan efisiensi.

Bekerja di Garuda sejak 18 tahun silam, baru 3 tahun Puji bertanggung jawab soal efisiensi operasi, salah satunya menangani perencanaan dan pengawasan penggunaan bahan bakar.

“Setiap rapat beliau selalu tekankan itu, efisiensi,” katanyasaat ditemui di Garuda City Center, Cengkareng, Jumat (13/9/2013).

Tugas mengawasi penggunaan bahan bakar pesawat yang dikenal dengan nama aviation turbine fuel (avtur) atau jet A1 itu cukup sentral dalam operasional maskapai yang memulai penerbangan perdana pada 1949. Kontrol terhadap avtur penting bagi maskapai pelat merah itu karena menggerus 30%-40% dari total biaya operasi.

Irit avtur ialah satu dari sekian banyak strategi Garuda, selain hemat penggunaan air, perbaikan teknologi dengan mengganti pesawat, dan efektivitas operasi. Pesawat Garuda mengisap miliaran  liter avtur. Tahun ini, Garuda membutuhkan 1,45 miliar liter jet A1, naik dari tahun lalu 1,21 miliar liter.

Dengan estimasi harga US$1 per liter, perlu anggaran avtur mencapai US$1,45 miliar atau setara dengan Rp14,5 triliun. Efisiensi itu mampu dilakukan dengan baik pada tahun lalu karena dari rencana 1,21 miliar liter terpakai 1,18 miliar liter atau hemat 24%.

Hal itu, lebih baik dari 2011 yang awalnya dianggarkan 1,13 miliar liter dan terpakai 1,10 miliar liter, atau hemat 22%. “Tiap tahun naik, karena memang pesawat kami bertambah,” ujarnya.

Pada tahun ini, lembaga riset penerbangan CAPA Center for Aviation memperkirakan Garuda Indonesia Group, termasuk Citilink, bersama dengan Lion Air menjadi maskapai dengan armada terbanyak di Asia Tenggara, menyalip Grup Singapore Airlines. Akhir tahun ini, Garuda akanmengoperasikan 139 unit pesawat, sedangkan Lion Air sebanyak 145 unit pesawat. Ini baru dari dua grup maskapai, belum ditambah dengan maskapai  lain misalnya Indonesia AirAsia, Merpati Nusantara, Sriwijaya Air, hingga Indonesia Air Transport. Sulit dihitung berapa miliar liter pertambahan avtur yang dibutuhkan oleh maskapai itu.

Pada tahun ini, Singapore Airlines (SIA), kompetitor Garuda untuk kelas full service juga  mengonsumsi jet A1 besar mencapai 1,29 miliar liter, naik dari tahun keuangan 2011/2012 yakni 1,23 miliar liter.

Manajemen Lion Air dan Citilink enggan membeberkan kebutuhan  avtur. Indonesia AirAsia memberikan data kebutuhan avtur pada tahun ini naik 25% dari tahun lalu untuk periode  Januari–Agustus meski Chief Operating Officer Indonesia AirAsia Ridzki Kramadibrata tak menyebutkan detailnya. “Total penerbangan kami pun naik 37%,” ujarnya.

Efisiensi avtur itu penting sebagai komitmen maskapai seiring dengan upaya pemerintah dan dunia, untuk mengurangi emisi gas karbondioksida (CO2). Pencemaran udara, salah satunya karena avtur, dinilai berbahaya bagi kehidupan terutama karena terkikisnya lapisan ozon yang melindungi bumi dari sinar matahari.

Selain efisiensi bahan bakar, langkah lain ialah mengistirahatkan atau mengembalikan pesawat lama yang boros avtur ke perusahaan penyewaan pesawat. Garuda sudah melakukannya dengan mengembalikan Boeing 737-300, diikuti oleh anak usahanya, Citilink. Sriwijaya Air juga menghentikan pemakaian B737-200 per 23 Agustus  2013, sedangkan Indonesia AirAsia menerapkan kebijakan memakai satu tipe yaitu Airbus A320, tipe sama yang juga digunakan Citilink. “Selain lebih nyaman, Airbus A320 juga dapat menghemat bahan bakar sehingga dapat mengurangi emisi karbon,” kata Ridzki.

 **

Tak bisa dipungkiri selain alasan demi atmosfer agar lebih hijau, tentu saja maskapai tak mau dibebankan cukup besar biaya operasi dari lini bahan bakar. Bagaimana bisa untung kalau menyedot avtur banyak apalagi dolar AS menguat terus.

Kapten Sudiman Riyanto Noto, VP Corporate Quality, Safety, and Environtment Management Garuda mengatakan pola efisiensi itu bukan terbatas pada bahan bakar. Industri penerbangan kini beralih mencari sumber alternatif lain selain minyak fosil atau dikenal dengan istilah energi terbarukan, salah satunya biofuel. Lantaran ongkos produksi biofuel sekitar 3 kali lipat dari harga jet A1, maka diambil jalan tengah agar biofuel dicampur dengan avtur. “Ini jadi isu dunia mencari sumber energi baru yang terbarukan, trial campur avtur di beberapa maskapai juga dilakukan, kami belum,” katanya.

Adalah, Lufthansa menjadi maskapai pertama di dunia yang menguji coba biofuel pada pertengahan Juli 2011. Pesawat A321 memakai campuran avtur dan 50% biosynthetic kerosene saat terbang reguler rute Hamburg-Frankfurt dalam 6 bulan. Hasilnya luar biasa, emisi karbon turun hingga 1.500 ton.

Bagi Glory Henriette, Manager Public Relations SIA, komitmen partisipasi dalam green aviation dilakukan dengan meningkatkan efisiensi operasi melalui praktik ramah lingkungan terbaik di semua bidang. Namun diakui, SIA belum menguji coba biofuel sebagaimana Lufthansa mengingat perlu ada kelayakan teknis yang dibentuk melalui sertifikasi internasional. Manager Corporate Communication Sriwijaya Air Agus Soedjono pun punya tanggapan serupa. “Penggunaan biofuel baik tetapi kami belum melakukan uji coba. Jangan sampai upaya itu juga mengabaikan safety. Biofuel itu bagus sekali,” katanya.

Dalam ulasan Bob Saynor, Ausilio Bauen, dan Matthew Leach dari Imperial College Centre for Energy Policy and Technology, Inggris, disebutkan beberapa opsi energi terbarukan yang bisa menjadi pilihan untuk bahan bakar pesawat.

Studi yang dipublikasikan dalam makalah “The Potential for Renewable Energy Sources in Aviation (PRESAV)” itu mengidentifikasi enam pilihan bahan bakar terbarukan untuk pesawat jet yakni biodiesel, metanol, etanol, minyak tanah fischer-tropsch (minyak tanah sintetis dengan metode fischer-tropsch, minyak tanah dihasilkan dari biomassa), hidrogen, dan bio-metana.

Meski begitu, ketiganya mengkhawatirkan perkembangan teknologi dalam meningkatkan penggunaan energi terbarukan belum mampu mengimbangi pertumbuhan signifikan dari industri penerbangan. “Akibatnya emisi dari sektor penerbangan akan meningkat,” papar mereka.

Di Tanah Air, Kementerian Perhubungan sudah memasang target bahwa pada 2016 mendatang, semua maskapai di Indonesia akan menggunakan komposisi bahan bakar campuran antara avtur dan biofuel. Uji coba awal bisa dilakukan antara 1%-2% biofuel dan sisanya menggunakan avtur.

Terdapat tiga hal yang menjadi fokus pemerintah yakni bandara ramah lingkungan (green airport), penerbangan ramah lingkungan (green flight), dan green space atau upaya dalam membuat rute penerbangan lebih efisien.

Itu sebabnya pada 23 September lalu, Kemenhub akhirnya menggandeng Organisasi Penerbangan Sipil International (ICAO) dalam program perlindungan lingkungan di bidang aviasi.  Dengan kerja sama itu, ICAO bakal memberi bantuan teknis dan pendampingan untuk memperkuat dan meningkatkan organisasi, regulasi, SDM, dan sistem berkaitan dengan penerapan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Gas Rumah Kaca.

Rencana aksi itu memang sudah dihembuskan Presiden SBY pada November 2007 dan pada 2009 diperkuat dengan komitmen presiden bahwa Indonesia dengan sukarela menerapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca 26% pada 2020, bahkan bisa berkurang 41% bila dibantu dana internasional.

Pesawat Sriwijaya Air tengah mengisi avtur,
photo by Poskota
PT Pertamina sebagai pemasok utama avtur bagi maskapai nasional pun tengah melakukan riset penggunaan biofuel pada pesawat. Hanya saja komitmen pemerintah khususnya dari sektor transportasi udara itu masih lambat realisasinya dengan berbagai kendala.

Pertama, Indonesia belum bisa membuat biofuel untuk pesawat karena membutuhkan syarat yang pelik.

Kedua, infrastruktur bandara di Indonesia yang kebanyakan sudah penuh kapasitasnya sehingga maskapai mengeluhkan antrian panjang dan holding (berputar-putar) di udara yang menyebabkan penambahan pembakaran avtur, itu beban juga bagi maskapai.

Ketiga, konflik sosial terancam mengemuka dari lahan pertanian misalnya bila bahan dasar biofuel dibuat dari kelapa sawit. Ini yang banyak ditentang oleh lembaga swadaya masyarakat sehingga diharapkan bahan dasar biofuel tidak terbatas pada sawit. Semakin banyak biofuel dibutuhkan dari sawit, makin besar potensi lahan sawit diperluas.

Manajer Advokasi Bioregion dan Perubahan Iklim Walhi Deddy Ratih paham betul soal ini. Oleh karena itu dia berpesan agar pemerintah mesti memperkuat industri dalam negeri khususnya industri hilir guna menghindarkan impor.

Pihaknya juga meminta pemerintah agar punya strategi yang tak hanya berpatokan bahwa Indonesia kaya bahan baku tapi bagaimana industri hilir bisa memproduksi. Bila tidak, dampaknya malah ke industri hulu karena akan terjadi perluasan lahan misalnya kelapa sawit.

“Bahan bakarnya dari mana? Siapa yang diuntungkan? Sementara kita belum siap, kalau tak ada upaya kesiapan industri hilir dampaknya ke hulu. Pemenuhan energi masih kurang. Kalau maskapai kita pakai biofuel, enggak diproduksi di sini, tapi kita masih impor,” katanya.

Dia menekankan jangan sampai, orientasi pengembangan industri penerbangan semata untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi jangka pendek tapi jangka panjang karena dunia, kini mengarahkan radarnya pada ekonomi hijau dengan penggunaan sumber energi yang lebih efisien.

Hanya saja baginya tugas pengurangan emisi karbon memang bukan hanya tanggung jawab operator udara dan kementerian terkait, melainkan perlu didukung sektor lain termasuk transportasi darat, laut, kereta api, dan lainnya.
**

Terbit di Harian Bisnis Indonesia edisi 30 September dan 1 Oktober 2013 dengan judul Ramai-ramai Mengirit Avtur Demi Atmosfer,

Entri Populer

Penayangan bulan lalu