Jumat, 26 September 2008

Menanti gebrakan wibawa kepala Bappebti

Ada yang bilang membangun sebuah lembaga itu lebih mudah ketimbang mempertahankan wibawanya. Mungkin hal itulah yang dirasakan Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang baru, Deddy Saleh.

Belum dua bulan menjadi orang nomor satu di lembaga pemerintah itu, kredibilitasnya kini diuji publik. Bagaimana dia berjibaku memfasilitasi, mendorong, dan mengawasi tiga masalah pelik, perdagangan berjangka komoditas, resi gudang, dan pasar lelang. Mana yang didaulat terlebih dahulu menjadi prioritas?

Di luar tiga persoalan itu sebenarnya ada satu lagi yang sedang 'panas', penyelesaian pengembalian dana mantan nasabah PT Graha Finesa Berjangka (GFB) yang dicabut izinnya 24 Juli.

Pada Kamis pagi pekan lalu, kantor Bappebti di Plaza Bumi Daya 'diserbu' puluhan mantan nasabah yang tergabung dalam Lembaga Perjuangan Hak Konsumen Indonesia (LPHKI). Sedikitnya 30 nasabah baru dari GFB kembali menduduki kantor di lantai 4 gedung tersebut setelah sebelumnya mencari keadilan ke Bursa Berjangka Jakarta (BBJ).

Bukan kali ini saja para mantan nasabah berunjuk rasa di Bappebti. Bulan lalu sudah tiga kali markas otoritas pengawas bursa itu 'disatroni' mantan nasabah.
Mereka menganggap Deddy Saleh terlalu 'lelet' mengakomodasi kepentingan nasabah pialang yang notabene di bawah otoritasnya. Sebagai pejabat baru, dia ingin membangun Bappebti lebih berwibawa, kooperatif, dan transparan.

Biang kerok masalah adalah ketika Bappebti pada pemerintahan sebelumnya tertantang mengurusi perdagangan valuta asing dan indeks saham asing di luar bursa (over the counter) melalui sistem perdagangan alternatif (SPA).

Pasalnya, kewenangan Bappebti sesuai dengan UU No. 32/1997 adalah mengurusi perdagangan komoditas. Bukan SPA.

Tiga pekerjaan
Dus, masalah yang dihadapi mantan Direktur Kerjasama Bilateral, Regional, dan Multilateral Depdag ini tidak hanya SPA, nasabah, pialang, dan lainnya. Seperti disinggung di muka, ada tiga hal yang coba ditingkatkan oleh Deddy dan pasukannya.
Pertama, perdagangan berjangka komoditas. Sebagai pengawas dan otoritas pembuat peraturan, Bappebti sudah menjalankan fungsinya dengan baik walaupun 'agak terlambat' setelah adanya pelanggaran dari pelaku pasar dalam hal ini pialang sehingga sedikitnya sudah tujuh pialang diberangus dari tahun 2005-2008.

Seperti diketahui kontrak berjangka dengan underlying komoditas yang diperdagangkan di BBJ hanya kontrak indeks emas (KIE), kontrak gulir emas, emas, dan olein.
Kabar gembiranya, rencananya dalam waktu dekat seperti kata Direktur BBJ Jahja W Sudomo, kontrak kakao akan diluncurkan setelah mendapat persetujuan dari Bappebti.
Kedua, penerapan sistem resi gudang (SRG). Saat ini sudah ada empat daerah yang menerapkan SRG yang sesuai dengan UU No. 9/2006, yakni di Jombang, Indramayu (Haurgeulis), Banyumas, dan Makassar.

Realitasnya petani tidak mendapat informasi harga yang sesuai. Di sisi lain petani juga diberatkan dengan biaya penyimpanan di gudang sehingga mereka lebih tertarik menjual komoditasnya lewat pengijon.

Persoalan ketiga bagaimana mengembangkan pasar spot atau fisik yang saat ini sudah ada sebanyak 17 lokasi pasar lelang.

Deddy bersama jajarannya diharapkan dapat melakukan pendekatan dalam mengembangkan pasar lelang lebih jauh lagi dengan membangun sistem, menyiapkan mekanisme lelang, menyusun ketentuan lelang, sosialisasi kepada petani dan pelaku pasar, serta pengadaan pelatihan bagi pengelola dan pelaku.

Potensi keuntungan dari pasar lelang ini luar biasa. Selama kuartal I/2008 saja Bappebti berhasil meraup Rp230,35 miliar dari pelaksanaan pasar lelang komoditas pertanian pada 17 provinsi. Pasar lelang dapat mendukung pelaksanaan sistem resi gudang. Petani pemilik resi dapat membawa resi gudangnya ke pasar lelang tanpa harus membawa komoditasnya.

Tiga soal inilah yang menjadi pekerjaan Deddy demi mengembangkan otoritas pengawas bursa ini lebih baik lagi. Meminjam istilahnya, Bappebti sekarang harus lebih wibawa. Publik menantikan gebrakan selanjutnya. (redaksi@bisnis.co.id)


Ditulis oleh M Tahir, dipublikasikan di Harian Bisnis Indonesia edisi 7 Agustus 2008

Sorot KOMODITAS dunia


Geliat harga jagung dunia di tengah perubahan cuaca AS

oleh: M Tahir Saleh

Harga jagung di pasar internasional akhirnya kembali terperosok ke level US$5 per bushel setelah sebelumnya sempat 'anteng' di angka US$6 per bushel. Entah sudah berapa kali harga komoditas itu turun naik seumpama roda, kadang di atas kadang di bawah. Ternyata penggerak harga salah satu bahan pangan itu adalah kondisi cuaca di AS.

Harga jagung melorot di tengah spekulasi hujan akan mengobati kekhawatiran petani AS akan hasil panennya karena hujan tentunya dapat memulihkan kondisi lahan tanam di negara produsen dan eksportir terbesar di dunia itu.

Dari pantauan Global Weather Monitoring, para petani di Midwest kemungkinan diguyur air hujan lebih dari 2,5 cm pada 6 Agustus seiring dengan perpindahan cuaca dari Selatan Kanada.

Kawasan wilayah Midwest AS yakni Ohio, Indiana, Illinois, Iowa, dan Missouri dikenal sebagai corn belt karena menjadi daerah penghasil jagung yang menyumbang 50% dari total produksi jagung di AS. Iowa dan Illinois merupakan dua ladang terbesar di AS.

Selain AS, dua negara di Amerika Selatan, Brasil dan Argentina juga menjadi negara produsen jagung terbesar dunia. Ketiganya memasok sekitar 70% jagung untuk pakan ternak dan 30% diolah untuk kebutuhan pangan. AS mampu memasok 40% dari total produksi jagung dunia berkat pengelolaan pertanian yang baik dan modern.

Spekulasi cuaca kering dan panas akhir bulan lalu di wilayah produsen jagung terbesar itu tentu mendorong harga komoditas ini sempat menanjak.

Pada saat itu beberapa analis memperkirakan temperatur udara beberapa wilayah di Midwest kemungkinan tidak kondusif untuk panen. Cuaca diperkirakan 12 derajat di atas normal dalam tujuh hari ke depan dan mencapai 98 derajat Fahrenheit (30o celcius).

Lebih parah lagi, QT Information System Inc, salah satu lembaga penyedia informasi harga komoditas yang bermarkas di Chicago Board of Trade, bahkan menyatakan wilayah negara bagian Nebraska hingga Indiana kemungkinan akan kering karena hujan masih berada di wilayah Selatan.

Beberapa analis di AS memproyeksikan panen jagung akan turun. Apalagi lahan pertanian juga semakin berkurang akibat tergerus hujan. USDA dalam laporannya menyatakan panen 15 Juni hanya mampu menghasilkan 57% jagung berkualitas baik.

Produksi jagung pada periode itu lebih rendah dibandingkan dengan awal pekan yang mampu menghasilkan 60% jagung. Bahkan tahun lalu, 70% jagung berkualitas tinggi dapat dihasilkan.

Pada perdagangan akhir Juli harga jagung untuk pengiriman Desember naik 11,25 sen atau 1,8% menjadi US$6,24 per bushel di bursa Chicago Board of Trade (CBOT). Harga jagung naik 9% sejak bergerak pada level rendah selama 17 pekan.

Namun, kemarin harga jagung untuk pengiriman Desember di CBOT turun 1,7% menjadi US$5,75 per bushel. Harga kontrak teraktifnya melonjak 20% pada Juli dan melorot 28% dari rekor US$7,99 pada 27 Juni.

Selain cuaca, pemicu lainnya adalah laporan Departemen Pertanian AS mengenai jumlah ekspor dari negeri Paman Sam itu. AS, sesuai dengan data USDA, mengekspor 152.400 ton jagung ke Jepang pada pekan lalu dan 112.000 ton padi-padian ke Korea Selatan. Dua negara langganan AS.

Pertengahan Juli harga komoditas itu turun ke level US$5,81 per bushel yang merupakan level terendah sejak 30 Mei. Penurunan saat itu terpicu rencana negara pengimpor jagung seperti Jepang yang memangkas impor jagungnya.

Di Tanah Air, masyarakat di Madura dan Nusa Tenggara Timur menjadikan jagung sebagai bahan pangan pokok.

Jagung juga menjadi bahan baku penting untuk pakan ternak di dalam negeri. Umumnya, lonjakan harga jagung akan langsung diikuti dengan kenaikan harga telur dan ayam potong.

Ketergantungan pada jagung impor berdampak buruk terhadap keberlanjutan penyediaan jagung di dalam negeri mengingat komoditas ini di negara produsen utama telah digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk untuk bahan baku biofuel. (redaksi@bisnis.co.id)

Dipublikasikan di Harian Bisnis Indonesia edisi 5 Agustus 2008

Kamis, 25 September 2008

Lintas Garapan, sorot implementasi SRG/UKM


Memperkenalkan resi gudang kepada petani
M Tahir Saleh

Saat panen tiba pada April lalu, Suparman, petani di Karawang, terpaksa langsung menjual gabahnya kepada tengkulak, meski harga jualnya anjlok. Kebutuhan dana saat itu membuat dia tak bisa menunggu saat harga jual tinggi.

Panenan Suparman cukup banyak, sekitar sebanyak 1.000 ton gabah kering, yang dijualnya Rp2.500 per kg. Padahal, beberapa bulan kemudian, harga komoditas itu Rp3.500 per kg.

Suparman berangan-angan, seandainya dia bisa menggadaikan gabahnya, tentu dia akan bisa mendapatkan untung lebih besar dari gabah yang dijual beberapa bulan kemudian. Bukan hanya Rp2,5 miliar yang dia dapat, tetapi Rp3,5 miliar.

Tak hanya Suparman, petani umumnya selalu menghadapi kondisi yang kurang menguntungkan. Justru saat panen tiba, karena harga komoditas hasil jerih payah mereka anjlok.

Suparman dan rekan-rekan petani yang lain seharusnya bisa mendapatkan dana itu, dengan mengagunkan gabahnya, melalui sistem resi gudang. Gabah disimpan di gudang, lalu mendapatkan resi dari pengelolanya, untuk kemudian ditukarkan dengan dana pinjaman.

Sesuai dengan UU No. 9 tahun 2006 tentang Resi Gudang. Resi gudang merupakan surat berharga berupa dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang.

Di negara yang pemerintahnya mulai mengurangi otoritas stabilisasi harga komoditas, seperti India, Malaysia, Filipina, dan Ghana, sistem ini akrab disebut warehouse receipt.

Ini adalah satu instrumen yang dapat diperdagangkan, atau dipertukarkan dalam sistem pembiayaan perdagangan.

SRG juga dijadikan sebagai jaminan atau bukti penyerahan barang untuk pemenuhan kontrak derivatif yang jatuh tempo, sebagaimana dalam kontrak berjangka.

Hanya saja, resi gudang bagi Suparman dan banyak petani lain masih menjadi sekadar angan-angan, karena sistemnya butuh beragam syarat yang tak ringan. Pengelola gudang, disyaratkan modal dasar minimal Rp1,5 miliar,

dengan modal setor Rp600 juta, kekayaan bersih Rp500 juta. Mereka juga harus menguasai minimal satu gudang yang diakui Bapppeti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi).

Pengelola gudang juga harus memiliki standard mutu dan ISO 9000. Lha, kalau itu harus dipenuhi semua, siapa yang bisa?

Menurut Direktur Utama PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) Surdiyanto Suryodarmodjo, komoditas yang akan disimpan di gudang juga harus memenuhi standar tertentu yang dibuktikan oleh lembaga penilai kesesuaian, seperti Sucofindo dan Surveyor Indonesia.

Semacam fit and proper test, barang diuji sifat, jenis, jumlah, mutu, dan lain. Setelah itu, giliran perusahaan asuransi yang beraksi menilik ganti rugi menanggung risiko apabila barang rusak, hilang, atau musnah.

Selesai asuransi, KBI akan meregistrasi dan mengkonfirmasi proses tadi hingga menerbitkan kode registrasi, lalu lahirlah resi gudang. Ini adalah proses yang menimbulkan biaya.

"Belum biaya penyimpanan atau sewa gudang, biaya registrasi, biaya penilaian mutu, asuransi, termasuk biaya bunga pinjaman dengan agunan resi tersebut," ujar Wakil Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Trisula Majalengka Boy Supanget.

Biaya itu memang dapat ditutup margin harga komoditas setelah disimpan. Di situlah sistem regi gudang berperan.

Tetapi, dia menilai UU resi gudang belum dapat diimplementasikan sepenuhnya, karena masih banyak kendala.

Kesiapan bursa berjangka juga masih dipertanyakan. Hal yang pasti gabah belum termasuk komoditas yang diperdagangkan di bursa berjangka komoditas, meski banyak petani mengharap manfaat sistem resi gudang itu.

Skema pendanaan

Terkait dengan hal tersebut, Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah mengembangkan Skema Pendanaan Komoditas KUKM Dengan Jaminan Resi Gudang, sekaligus menyambut lahirnya UU No 9 tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang.

Skema ini dimaksudkan sebagai fasilitas pembiayaan modal kerja dengan agunan berupa barang persediaan, seperti gabah, yang dibuktikan dengan kepemilikan 'resi gudang', yang diterbitkan pengelola gudang.

Pada 2006, Kementerian Koperasi dan UKM menganggarkan dana penguatan modal bagi koperasi untuk pembelian gabah petani melalui sistem 'resi gudang' sebesar Rp24 miliar.

Tahun lalu anggaran ini dinaikkan menjadi Rp26 miliar. Setidaknya ada lima koperasi yang sudah mendapatkan penguatan modal melalui dana bergulir itu.

Skema pendanaan ini mencakup, KUKM individu anggota kelompok atau anggota koperasi paling banyak Rp100 juta per transaksi, sedangkan KUKM massal yang dikoordinasikan oleh kelompok atau koperasi lebih besar dari Rp100 juta.

Plafon pembiayaan ini 70% dari nilai komoditas yang dijaminkan, jangka waktu paling lama tiga bulan, sedangkan bunga atau jasa pinjaman sebesar bunga sertifikat Bank Indonesia + 3% per tahun.

Memang tak hanya gabah saja yang bisa 'diresigudangkan' dalam skema ini, tetapi juga beras, jagung, kopi, karet, kakao, lada, rumput laut serta komoditas lain yang memang memenuhi persyaratan untuk memperoleh pendanaan komoditas.

Volume transaksi minimal yang dapat dibiayai dengan skema ini, adalah gabah kering simpan 14 ton, beras 7 ton, jagung dan gula pasir 7 ton, pupuk 3 ton, kacang kedelai 7 ton, atau komoditas lain berdasarkan kelayakan usaha.

Ispandie, KUD Warga Bhakti - koperasi di Karawang, Jawa Barat yang memperoleh bantuan modal skema itu, mengatakan bantuan modal Rp250 juta dengan limit pengembalian maksimal tiga bulan telah digunakan untuk membiayai komoditas gabah dan beras.

Dana itu dipakai untuk meningkatkan stok gabah dan beras di gudang untuk hedging (lindung nilai) saat harga komoditas itu anjlok.

Ispandie menilai ada banyak manfaat dari pinjaman itu. Stok padi yang awalnya hanya 150 ton bisa digelembungkan menjadi 300 ton.

"Ya, walaupun harusnya bisa mencapai 500 ton, seperti idealnya resi gudang, tetapi itu sudah membantu."

'Resi gudang' Warga Bhakti itu belum bisa dikatakan sebagai resi gudang, karena gabah dan beras memang belum diatur dalam ketentuan bursa berjangka komoditas.

Ini pula yang menjadi salah satu alasan kenapa bank tak mau membiayai resi gudang beras atau gabah, yang belum bisa diperdagangkan di bursa berjangka komoditas.

Meski demikian, 'resi gudang' ini diakui sudah bisa membantu petani anggota koperasi mendapatkan margin penjualan gabah yang lebih tinggi di kemudian hari? (Moh. Fatkhul Maskur) (redaksi@bisnis.co.id)

dipublikasikan di Jurnal UKM edisi sisipan Harian Bisnis Indonesia

Senin, 22 September 2008

Sabtu kelabu di Islamabad


Kini giliran JW Marriot Pakistan
Oleh Tahir Heringuhir

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan peristiwa penting yang menyita perhatian kita semua saat itu. Bahkan dunia pun berteriak mengutuk peristiwa yang terjadi tepat 5 Agustus 2003. Bom meledakkan Hotel JW Marriott di kawasan Mega Kuningan Jakarta Selatan, sekitar pukul 12.45 WIB.

Sumber ledakkan bom bunuh diri itu berasal dari mobil Toyota Kijang dengan nomor polisi B 7462 ZN. Sedikitnya 12 orang meregang nyawa dan 150 orang cedera. Hotel bintang lima dengan 33 lantai itu pun ditutup selama lima minggu. Itu seonggok kisah yang layak dibingkai sambil mengambil hikmahnya.

Miris memang, karena kebanyakan masyarakat awam yang tidak tahu apa-apa dan berpenghasilan kecil menjadi korban, termasuk satpam hotel. Pastinya, incaran bom itu bukan masyarakat kecil tetapi ekspatriat yang bermukim di hotel tersebut.

Sebab itulah Marriott dipilih, apalagi kawasan Kuningan bertebaran hampir separuh kantor duta besar negara-negara seluruh dunia. Seperti kata pepatah, maksud hati membunuh lalat, justru nyamuk yang jadi korban.

Meskipun ditilik dari kedahsyatan, bom di Kuta, Bali, 12 Oktober 2002 sebenarnya lebih bertenaga dari Marriott, tetapi tetap saja bom adalah bom, tinggal atur waktu lalu Blegerrrr....meledak. Ada korban, ada kerugian fisik, ada kepentingan, dan ada tangis.

Begitulah. Dan lagi-lagi bom kembali ‘berteriak’ di Pakistan. Negara yang dahulunya merupakan bagian dari India itu jadi sasaran serangan entah dari mana, entah siapa? Tidak mungkin tuduhan dialamatkan ke Amrozi, Abu Bakar Baasyir, atau Hambali?

Negeri asal pemikir Muhammad Iqbal itu digoyang bom. Di kala masyarakat Indonesia merayakan gempita ramadhan dengan petasan dan kembang api, di Pakistan iklim itu tidak nampak, yang terlihat hanya duka mendalam.

Bukan karena kain hitam masih menyelimuti negara bekas wilayah India itu pasca terbubuhnya Benazir Bhutto 27 Desember tahun lalu, tetapi bom, lagi-lagi Marriott menjadi pilihan.

Sabtu, 21 September 2008, sebuah bom mobil meledak sangat dahsyat di depan hotel hotel milik Marriott International yang berada di Islamabad itu. Bahkan CNN memberi kemungkinan bangunan hotel itu akan ambruk.

Bisa dibayangkan berapa kekuatan tempur bom itu. Ledakannya tergolong dahsyat karena suara ledakan terdengar dari kejauhan, setidaknya hingga sejauh 15 kilometer.

”Kami langsung berlarian untuk mencari perlindungan, saya melihat banyak orang yang cedera,” cerita Imtiaz Gul, seorang wartawan, tulis KOMPAS mengutip Reuters dan AP.

Bahkan salah satu pegawai hotel berseru "Saya tidak menyadari apa yang terjadi tetapi seperti dunia serasa kiamat," ungkap Mohammad Sultan. Bahkan satu WNI menuturkan ”Ada hembusan angin yang sangat kencang. Saya semula menduga ada bencana alam. Setelah saya membuka jendela dan melongok keluar, masih merasakan adanya hembusan angin yang sangat kuat itu. Beberapa detik kemudian, TV setempat menyiarkan adanya ledakan bom di Marriot.”

KOMPAS minggu melaporkan, bom tersebut menelan korban sementara 60 orang, rata-rata wanita dan anak-anak, termasuk juga petugas satuan pengamanan dan tamu hotel yang merupakan warga negara asing.

Minimal korban cedera sudah mencapai 200 orang, jumlahnya bisa bertambah karena masih banyak orang yang terjebak di dalam hotel

Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini? Sejauh ini belum ada pihak yang menyatakan bertanggung jawab atas peledakan itu. Kita tahu bahwa Pakistan adalah negara yang menjadi sasaran terorisme, terutama kelompok Taliban yang menentang kerja sama Pakistan-AS dalam perang melawan terorisme. Seperti Indonesia, Pakistan juga seringkali didera bom.

Yang masih hangat mungkin bom bunuh diri yang menyerang mantan PM Pakistan 1988 dan 1993, Benazir Bhutto. Wanita aktivis gembelangan Harvard dan Oxford itu terbunuh setelah meninggalkan Liaquat national Bagh di Rawalpindi dalam rangka kampanye pemilu 2008. Bagian lehernya ditembus peluru pembunuh yang kemudian juga meledakkan sebuah bom bunuh diri.

Ledakan terjadi pada hotel dengan 290 kamar itu hanya beberapa jam setelah Presiden Asif Ali Zardari yang notabene suami Bhutto, menyampaikan pidato pertama di gedung parlemen, yang berjarak hanya beberapa ratus meter di sebelah timur Marriott. Saat berbicara di parlemen, Zardari mengatakan bahwa akar terorisme akan dikikis habis.

Marriott yang tersebar di 37 negara termasuk Indonesia itu sudah pernah dua kali terkena ledakan di Pakistan namun ledakan Sabtu itu adalah terparah di Islamabad sejak Pakistan bergabung dengan program AS untuk memerangi militansi sejak 2001. Bagi kita ini menjadi tolak ukur sebuah penerapan demokrasi dengan tumbal nyawa manusia, ataukah ada alternatif pendapat lain?

Minggu, 07 September 2008

tulisan Erie Sudewo, dompet dhuafa

PEMIMPIN BUKAN PEMIMPI


Pemimpin galibnya bukan pemimpi. Makna kata pemimpin dan pemimpi antara langit dan bumi. Pemimpin menjejak bumi, pemimpi gentayangan di langit. Pemimpin pasti punya mimpi. Sedang yang dijuluki pemimpi, kaya akan mimpi. Tapi dari sekian mimpi pemimpi, belum tentu mimpinya hendak jadi pemimpin. Jumlah pemimpin yang pemimpi tak terhitung. Tapi pasti lebih banyak jumlah pemimpi yang bukan pemimpin.

Pemimpin harus beresi masalah. Sementara pemimpi hanya mimpi selesaikan. Resiko pemimpin bisa dipenjara atau malah terbunuh. Resiko pemimpi, cuma buyar mimpinya. Maka hanya karena berbeda pendapat, masa depan pemimpin bisa berakhir di tabir pekat penjara. Sedang pemimpi cukup bilang: “Untung saya cuma mimpi. Jika betulan, saya pun meringkuk di situ”.

Itulah pemimpin. Dekat dan bahkan penuh resiko. Apapun kebijakannya pasti punya resiko. Mustahil pemimpin bisa diterima semua pihak, dicintai semua orang dan terhindar dari cela. Pemimpin yang yakin kebijakannya bisa rengkuh semua orang, dia bukan pemimpin. Pemimpin harus sadar, ada pihak yang tak sependapat. Di sinilah pemimpin diuji. Dia bisa jadi the real leader, jika mampu ramu yang tak sependapat jadi kekuatan. Berbeda pendapat bukankah rahmat. Namun berapa banyak pemimpin yang justru membungkam yang tak sependapat.

Belasan tahun Nelson Mandela di penjara. Saat ditanya apakah ia ingin balas dendam pada rezim Apartheid, jawabnya menggetarkan: “Jika tak ada kata maaf, tak ada masa depan bagi Afrika Selatan”.

Mimpi boleh. Tapi pemimpin yang pemimpi berbahaya. Bangsa bisa jadi korban, terjerumus dalam mimpi-mimpinya. Pemimpi yang mimpi jadi pemimpin, sama sekali tak berbahaya. Perlu dikasihani malah. Maka pemimpin harus punya mimpi. Mimpi itu harus dikawal dan dipupuk. Agar bisa terwujud, mimpinya memang musti berangkat dari bumi. Pohon tak ada yang jatuh dari langit. Muncul dari biji, jadi kecambah dan akhirnya menjulang ke atas.

Maka ada yang bilang, pemimpin cukup punya prinsip hidup hanya hari ini. Dengan cuma hidup hari ini, dia akan sibuk. Tiap detik dia pasti benahi keadaan, kembangkan potensi dan berbuat kebaikan. Negara dibenah, yang pembenahan hari ini jadi landasan bagi pembenahan berikut. Karena hanya hidup di hari ini, tak ada lagi waktu berkhayal. Yang ada bersihkan diri dari korupsi, rapihkan kabinet dan bantu rakyat agar tak susah. Yang gemar gusur tanah rakyat, segera diadili. Karena tidak ada lagi hari esok. Pemimpin yang yakin hidup di hari ini saja, pasti benahi ahlaknya dan luruskan kesalahan sendiri.

Pemimpin yang pemimpi, cenderung abaikan hari ini. Dia konsen pada hari esok dan masa depan. Pemimpin yang pemimpi bermain dengan khayal. Menjual diri hanya untuk sebuah dugaan. Pemimpi yakin betul, hari esok akan tiba. Padahal memburu sesuatu di esok hari tak ada jaminan. Esok memang belum dicipta, belum berwujud dan belum bisa dirasa. Maka mengapa sibukkan diri dengan persoalan esok, cemas akan dugaan kesialan esok, takut akan bencana. Senang atau sedih di esok hari, jelas tak satu mahluk pun bisa jamin.

Pemimpin yang pemimpi, selalu menunda soal. Hari esok adalah akumulasi soal hari sebelumnya. Terus bertumpuk. Akhirnya di ujung esok, alih-alih selesai persoalan malah meletup. Pemimpin yang pemimpi, juga tunda berbuat kebaikan. Untuk bantu yang susah, ditunda karena masih ada hari esok. Untuk jenguk yang sakit, tunjukan jalan bagi yang sesat, memberi makan yang lapar serta bantu yang miskin, tak usah hari ini karena masih ada esok.

Pemimpin sejati akan biarkan hari esok datang. Tak usah tanya kabar esok dan tak usah khawatir bencana esok. Karena hari ini pemimpin sudah sibuk berbuat kebajikan. Mungkin pemimpin seperti ini akan dikasihani orang. Seolah tak punya perencanaan ke depan. Padahal yang harus dikasihani, banyak orang berandai-andai tentang esok yang belum tentu matahari akan terbit. Pemimpi terjebak di angan-angan tanpa berbuat di hari ini.

Pemimpin mustinya selalu menjejak tanah. Jika jatuh masih di tanah juga. Menjejak tanah artinya dekat dan tahu persoalan rakyat. Maka pemimpin sejati tak resah kebaikannya dicampakkan orang. Karena itulah realitas kehidupan. Juga tak goyah meski kebaikan itu dibayar dengan permusuhan. Pemimpin tak terkejut pena yang diberikan, ternyata digunakan untuk menghujat dirinya. Pemimpin juga tak kaget, tongkat yang dihadiahkan dipakai untuk menghadang dirinya.

Kebajikan itu sebajik namanya. Keramahan seramah wujudnya. Dan kebaikan itu sebaik rasanya. Pemimpin sejati tak akan menghitung-hitung itu semua. Khalifah fil’ardh, begitu Al Quran menyebut. Tiap orang punya potensi kepemimpinan. Tinggal bagaimana mengeksplorasinya. Maka jika tiap orang bakal ditanya tentang apa yang dipimpinnya, mengapa masih banyak orang yang berebut jabatan dan kedudukan. Hidup jelas bukan sebatas hari ini. Bukan juga cuma untuk esok di dunia. Tapi ada kehidupan setelah mati.

Maka di jelang 2009, berbondong-bondong pemimpi bersiap-siap hendak jadi pemimpin Indonesia. Sementara pemimpin yang sungguh-sungguh the real leader, pasti gentar hadapi persoalan Indonesia. Pemimpi bersumpah dengan sejumlah janji. Pemimpin sejati bicara pun berhati-hati. Lebih-lebih mengumbar janji. Pemimpin memang menjejak tanah. Pemimpi ada di atas langit.

Entri Populer

Penayangan bulan lalu