Sabtu, 23 Januari 2010

Mba Sono

Chapter Two Jogja-Solo-Semarang
12 Januari 2009


Lelaki paruh baya ini sudah 27 tahun mengabdi di Keraton Jogjakarta. Darsono namanya, orang-orang memanggilnya Mbah Sono. Kulitnya hitam legam, tapi sorot matanya memancarkan ketulusan abdi dalem, tak meletakan materi sebagai pijakan utama, justru kesetiaan kepada sultan yang jadi panglima.

Potret kehidupan seperti ini jarang aku dan sahabatku Bolang temui di Jakarta, kota metropolis sumpek dengan orang orang pencari rizki seperti kami ini. Di keraton situs budaya bernama Ngayogyakarta Hadiningrat inilah persinggahan kedua kami berkelana selama 4 hari menelusuri 3 kota, Jogjakarta-Solo-Semarang.

Sejak berdirinya keraton ini pada 1755, abdi dalem sudah hadir menjadi bagian dari pemerintahan raja-raja keraton. Dan Mbah Sono, adalah satu dari ratusan abdi dalem lainnya yang tetap bertahan di pepet modernitas.

Seperti lazimnya abdi dalem keraton, siang itu ia berbalut kain pranakan, seragam kebesaran abdi dalem yang melambangkan persaudaraan. Warnanya biru tua dengan corak garis vertikal berjumlah 3-4 garis. Seragam itu berumur hampir 200 tahun lalu kala Sri Sultan Hamengkubuwono V menciptakan pakaian untuk para abdi dalem.

Awal mula pertemuan dengan Mbah Sono yang nyambi sebagai guide ini sebetulnya tak sengaja saat kami khusyuk memotret diri di depan sebuah bangunan setelah sebelumnya muter-muter sana sini tanpa arah bak dara putus cinta.

Lagipula sedari awal pun kami memang tak berniat memakai jasa guide, toh Bolang juga bisa bahasa Jawa minimal membalas tawaran penjaja makanan atau becak dengan kata 'mboten'. Kalau hanya 'mboten' sih aku bisa. Namun, ketika berhenti di depan bangunan tua itulah dia menghampiri, sok kenal, dan langsung menceritakan sejarah ruangan beretalase itu.

“Rumah ini menggambarkan proses pernikahan anak sultan dengan pemuda luar keraton,” katanya memecah keheningan kepada Bolang, sementara aku seperti biasa hanya angguk-angguk bengong sedikit tak paham, jadi dialog ini pun interpretasiku sendiri dalam bahasa Indonesia.

Di dalam ruangan persegi panjang itu, tepat di depan pendopo keraton dekat pintu keluar, ada barisan patung maniken sebagai gambaran pernikahan anak sultan, golongan yang ditahbiskan berdarah biru, dengan lelaki darah merah, simbol pribumi biasa.

"Kalau putri sultan dipersunting oleh pemuda di luar keraton maka nganten wanitanya digendong oleh nganten pria dan pamannya," jelasnya Mbah Sono lagi, kini dalam ejaan yang disempurnakan.

Mbah menuturkan Sri Sultan Hamengkubuwono ke-10 punya 5 putri. Ketiganya putrinya sudah menikah dengan orang luar keraton, tapi putri nomor tiga tidak seperti biasanya digendong meski menikah dengan orang luar karena sang paman tak kuat. Maklum, bobot sang putri menurut Mbah mencapai 170 kg, pantes aja engga kuat.

Obrolan itu pun mengalir sambil kami diajak mengitari keraton bersama hingga akhirnya menuju istal yang berseberangan dengan keraton. Mbah memanjakan kami bak turis dari Inggris dan dia terus mendongeng, sementara Bolang malah sibuk bermain mata dengan lensa sambil mengulik diagfragma. Siang itu sudut pandang fotografer memang bicara dan sayang untuk dilewatkan.

Akan tetapi setelah lama berbicara kami sedikit menaruh curiga. Entah kenapa si Mbah begitu semangat kepada kami, apa karena kami masih muda, punya ketertarikan atas sejarah, atau terlihat banyak duit padahal kami backpacker, atau ada alasan laten lainnya?

Benar saja, akhirnya Mbah mengajak kami ke sebuah toko lukisan batik sehingga dengan sangat santun kami ditawari membeli lukisan batik seharga di atas Rp200 ribu? Yah begitulah, meski abdi dalem, kami maklum karena mereka juga bapak-bapak yang butuh materi untuk kelangsungan hidup keluarga.


Terlepas dari itu semua, Mbah Sono mengajarkan kami sebuah kearifan lokal yang sangat berharga, bahwa ketulusan itu lebih berharga dari kekuasaan atau materi. Banyak orang terjebak pada meraih kedudukan tinggi dengan pangkat yang lebih tinggi.

Jabatan dan kekuasaan yang berujung pada eksploitasi materi sekadar memenuhi hasrat manusia bukan itu porosnya. Gaji mereka yang sejak dahulu sekitar Rp4.500 sampai Rp7.500 membuktikan itu.

Bahwa manusia butuh uang tentu tak terbantahkan, tapi uang tak bisa membahagiakan manusia bisa diperdebatkan. Seperti kata Al Ghazali, ada kebutuhan ruhiah yang tak bisa terpenuhi dengan materi dan Mbah sono membuktikan religiositas itu. Itu baru satu Mbah Sono, belum Sono Sono yang lain melayani dengan tulus.

Namun, menurutku hubungan antara abdi dalem dengan raja keraton tak hanya hubungan antara piminan dan bawahan, tetapi abdi dalem sebagai seseorang yang mengabdi kepada budayanya sehingga tidak ada ikatan penghambaan atau patronase melebihi penghambaan atas Yang Kuasa. Meninjam istilah Gabriel Tarde, sosiolog Prancis, semoga apa yang dilakukan abdi dalem bukan hanya kebiasaan turun temurun atau mengimitasi.

Dan kami beruntung, pelajaran moral kearifan lokal ini didapatkan hanya dengan merogoh kocek Rp6.000 untuk dua orang sebagai harga tiket masuk plus Rp1.000 untuk foto. Sebenar-benarnya liburan penuh makna…..


Foto: agust bolang

Rabu, 13 Januari 2010

Chapter one, Jogja-Solo-Semarang

“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu.masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna.” (Yogjakarta-Kla Project)



Senin, 11 januari 2010.

Fajar masih menggelayut, dian di pelataran raya pun enggan padam menggerayangi pagi yang sebentar lagi muncul. Aku bersama keinginanku sudah tak sabar menyelami kenikmatan kota yang dipuitiskan dengan elok dan romantis oleh Kla Project dalam lagu Yogjakarta di atas.


Rasa itu lantas menyulut api kembara, jadinya pagi pagi buta itu kumelaju di atas dua roda kuda besi milik iparku menerobos jalan Bekasi yang lowong menuju Stasiun Jatinegara. Dingin, tak mengapa baginya daripada ketinggalan kereta ke kota pelajar itu. Sepekan ini aku meminta cuti sekadar melepas penat, mengisi hari-hari dengan pengembaraan, berkelana kata Haji Rhoma Irama.


Pukul 05.15 pagi, aku sampai juga di salah satu stasiun tua di Jakarta itu. Sayang, kawan seperjuanganku, Bolang, tak nampak batang hidungnya, padahal sedari pukul 4 pagi, kawan yang dahulunya alumnus Pizza Institute itu sudah ‘menerorku’ agar tak terlambat.


Ternyata pemuda Pasar Minggu itu baru nongol pukul 05.45 berbalut pantalon hitam dengan sandal Eiger Pasar Poncol. Syukurlah, Bolang membawa dua senjata kami untuk berburu hiperealitas Jogjakarta melalui foto dan handycam, dua barang itu dipinjam Bolang. Penghasilan kami selama dua bulan di perusahaan pun belum cukup membeli barang itu. Lain lagi kalau mengandalkan duit esek-esek.


Dua insan berdarah muda ini yaitu kami, akhirnya memilih kereta Fajar Utama Jakarta-Jogjakarta kelas bisnis yang berangkat pukul 06.32. Sebetulnya, kami pengen kereta ekonomi sekadar merasakan bagaimana moda transportasi teririt di Indonesia bemandikan keringat, kicau pedagang asongan, tangisan pengemis, dan aroma penumpang yang penuh sesak.


Namun berhubung jadwal kereta kelas ekonomi berangkat siang, terpaksa duit Rp240 ribu melayang. Di stasiun yang mulai diresmikan pada 1875 dengan rute awal Jatinegara-Jakarta Kota itu, nampak penumpang seperti laron, mengerubungi peron-peron, sementara porter stasiun berbaju loreng lango juga tak henti melayangkan tatapannya tajam ke setiap penumpang, lapar rizki. Dan kami tetap semangat, seakan tak terganggu dengan rutinitas itu.


"Udah sekali-sekali boros dikitlah beli kelas bisnis, gw da bosen ekonomi mlulu," keluh Bolang memaki nasib yang tak bersahabat memecah suasana pagi itu.


Sayangnya, duit segitu yang lumayan besar bagi orang-orang gunung macam kami tidak diimbangi tepatnya jadwal.


Ngaret di Jakarta, tepatnya di negara ini sudah mengakar budaya. itulah sebabnya ketika salah satu menteri Kabinet Indonesia Bersatu II telat datang saat ditemui perwakilan Jepang pekan ini pun itu menjadi kelaziman bagi negara ini padahal waktu itu seperti pedang.


“Peliharalah waktu. Waktu laksana sebilah pedang. Jika Engkau tidak menebaskannya, ia yang akan menebasmu,” petuah Habib Abu Bakar bin Abdullah bin Thalib al-Attas dalam sebuah manuskrip yang akucopy-paste dari mozaik memoriku..


Tabiat Jakarta itu jua penyebab kereta ngaret sampai pukul 07.00 baru berangkat ke kota yang menghadirkan senyum abadi bagi penjaja cinta, kota budaya, kota penuh nuansa seni, kota pelajar, kota yang menghargai kearifan lokal, Jogjakarta. Kami anak muda memang diciptakan untuk selalu memuji dan mencinta apalagi ketika mencintai suasana yang jarang dinikmati.

***

Aku dan Bolang bersendawa ria, mengakrabkan diri dengan waktu dan tak terasa pukul 04.30 sore, kami sampai dengan selamat di Stasiun Jogjakarta atau dikenal dengan Stasiun Tugu, stasiun yang mulai beropreasi pada Mei 1887.


Stasiun ini, pada awalnya hanya digunakan untuk transit kereta pengangkut hasil bumi dari daerah di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun sejak 1 Februari 1905, stasiun ini mulai digunakan untuk transit kereta penumpang. Bolang sendiri sudah beberapa kali mampir di kota ini sementara aku baru 3 kali.


Dalam perjalanan berkelana, menebas rintangan, merangkul asa, memikul beban asmoro, menerjang kabut, mendaras keringat, menepis ancaman, mendarah-darah (lebay deh) sambil menatap mesra sawah ladang memaksa kami untuk merenung, ajang kontemplasi diri. Akankah semua masalah negara ini bisa dituntaskan.


Perjalanan itu banyak hal yang membuat miris meski sebagai wartawan kemarin sore, kami punya pengalaman dan bidang yang sebetulnya berkaitan tetapi ranah.


Kawankua, Bolang, mendapat amanah meliput di makroekonomi sementara aku biasa berkutat dengan isu mikrokeuangan. Bolang menganalisa APBN, aku menganalisa neraca, Bolang caper pada sekretaris menteri, aku digoda humas perusahaan, hmmm. Mirip miriplah. Yah begitulah perbedaan itu yang menyatukan dua insan ini dalam satu tujuan, menyokong etika profesi dan nama baik perusahaan kami.


Perasaan miris itu di antaranya dengan setumpuk pekerjaan rumah bangsa ini yang belum selesai. Kami merasa seperti orang penting saja. Dari mulai lebarnya defisit anggaran hingga ke inspeksi mendadak Denni Indrayana cs ke Lapas Pondok Bambu, dari Facebook ke pengetahuan fotografi.


Masalah kemenangan Hatta Rajasa di pemilihan ketua umum PAN juga kami dikait kaitkan. Bagiku yang notabene konstituen dari PKS, posisi PAN saat ini tak lebih dari cangkok politik SBY dengan Demokratnya.

Sepanjang jalan sekitar sembilan jam itu sesaat kami tersedak, terhentak, dan aneh sendiri. Kami sadar Tanah Air yang diberi kelebihan gemah ripah loh jinawi toto tentrom karto raharjo tetapi karunia itu tak bisa diejahwantahkan oleh pemerintah.


Kok bisa ya tanah Jawa Barat yang terbentang hingga Jateng terhampar berates-ratus ladang sawah sepanjang jalur kereta. Namun, ironisnya kelebihan itu tak mampu menyediakan stok pangan bagi masyarakat sehingga harus impor beras dari Thailand dan Vietnam.


"Ini perlu di tulis di status Facebook nih boy," tukas Bolang mendelik.


Di sela perbincangan itulah, Bolang membuka Facebook, jejaring sosial yang lagi ngetren belakangan ini sekadar menyegarkan suasana, berselancar ria, bergenit genit asoy, sepeti tak merasa waktu begitu kejamnya menahan mereka dengan kenikmatan virtual itu.


Facebook, Twitter, Gtalk, Yahoo Massenger, dan kawan-kawan adalah warga baru dunia, paralel libido manusia masa kini, bukan lagi mempertahankan status quo korespondensi cara lama yang sebetulnya bagiku justru lebih bernilai sosial, ada nilai silaturahim.


Bisa dibayangkan seandainya tak ada lagi nama-nama seperti Suteja, Nimin, atau Dedi. Yang ada dalam beberapa tahun mendatang itu mungkin Samsul Mark, mengambil nama pendiri Facebook, atau Agus Jobs sebagai konversi nama Steve Jobs pendiri Apple Inc.


Masyarakat bagi keduanya memang tak bisa menyalakan modernitas menyerbu Indonesia. Tak mungkin juga mengelak kebudayaan barat yang menyaru dalam preferensi teknologi informasi. Tugas masyarakat adalah lebih menghargai kebudayaan sendiri sehingga meminimalisir justifikasi aset budaya oleh bangsa jiran atau barat.


Teknologi informasi membuat Mekkah bisa berada di ujung jari, Italia bisa ada di kamar mereka, dan Paris bisa menganga dengan sentuhan tuts keybord laptop Bolang. Begitu dekat, begitu cepat dan begitu simpel. Dan di sini, Jogjakarta, hanya awal bagi kami untuk membuka selaksa baru petualangan.

Semangat….


bersambung seri dua Selasa 12 januari)

Foto: taher

Minggu, 03 Januari 2010

Obituari Gus Dur

Sepanjang hidup baru sekali saya bertemu dengan almarhum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden ke-4 RI. Beliau hadir di sebuah acara yang diadakan oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang saya liput di kantor pusat Nahdhlatul Ulama (NU) di Kramat Raya, Salemba, pertengahan 2008.

Gus Dur begitu tenang, dengan tongkatnya, beliau bejalan ke tengah acara sambil dipapah oleh beberapa pengawalnya sampai bersandar di kursi. Banyak politisi hadir saat itu, sayangnya saya lupa acara apa saat itu. Retorika Gus Dur sederhana, dibalut lelucon segar sarat makna khasnya sehingga suasana kala itu begitu cair.

Lama berselang, waktu pun seakan tak berpihak pada saya untuk berjumpa kembali dengan salah satu tokoh pro demokrasi ini hingga akhirnya beliau meninggal dunia pekan lalu. 30 Desember 2009. Saya juga tak begitu mengikuti perkembangan beritanya karena terlanjur dialihkan dari desk umum ke desk ekonomi.

Terakhir tayangan televisi swasta memberitakan putra mendiang Menteri Agama pertama RI KH Wahid Hasyim ini masuk rumah sakit. Kabar itu yang tak begitu mengejutkan mengingat kesehatannya sudah menjadi fokus kritikan yang dilayangkan padanya ketika menjadi orang nomor satu di negeri ini pada 1999.

Namun ketika seorang teman dari Harian Kontan menyampaikan Gus Dur berpulang ke rahmatullah saat di rawat di RSCM, adalah hal yang mengagetkan bagi saya, orang tak pernah dikenalnya.

Begitu cepatnya beliau meninggalkan bangsa ini yang masih didera PR besar. PR bagaimana menegakkan demokrasi yang sebenar-benarnya, agar demokrasi tak berpihak pada kekuasaan absolute yang bukan pada rakyat. Saat beliau menjabat meski singkat sekitar 22 bulan, tetapi banyak hal yang dilakukan Gus Dur untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Gus Dur adalah tokoh luar biasa dengan keterbatasan fisiknya. Beliau tak terpenjara dengan keterbatasannya, horizon pemikirannya membahana dan mempengaruhi anasir keagamaan kita, corak pemikiran NU, dan arah demokrasi bangsa ini. Dialah pionir sekaligus pelaku pluralisme agama.

“Demokrasi harus berlandaskan kedaulatan hukun dana persamaan setiap warga negara tenpa mebedakan latar belakang ras, suku agama dan asal muasal, di muka-undang-undang,” begitu pesannya.

Yang luar biasa ialah duka ini dirasakan hampir seluruh elemen masyarakat. Bukan hanya masyarakat muslim melainkan penganut agama minoritas pun merasa kehilangan. Wajar saja, cucu pendiri NU Hasyim Asyari ini dikenal tokoh prodemokrasi yang membela kamu minoritas, meretas jalan bagi orang-orang marginal.

Gus Dur adalah ilmu, Gud Dur adalah tawa. Menyimak apa yang terlontar dari mulutnya adalah teka-teki, sebuah misteri yang tak bisa ditebak. Siapa yang bakal meramal Gus Dur akan bilang apa terkait dengan isu-isu tertentu? Lucu, lugas, bernas, menohok, dan filosofis.

Saya masih ingat ketika Gus Dur suatu waktu ditanya kenapa ia sering mengunjugi makam, beliau menjawab, “Orang yang sudah meninggal tak punya kepentingan apa-apa,” selorohnya mengelitik politisi yang penuh kepentingan.

Atau suatu kali dalam sebuah acara di Metro TV, Wahyu Muryadi, mantan Kepala Protokoler Presiden era Gus Dur menceritakan kisah di Kuba, saat Fidel Castro secara mendadak mengunjungi Gus Dur yang masih tertidur sambil memakai pendek di sofa dan mendengarkan lagu.

Gus Dur berkata kepada Fidel bahwa semua presiden Indonesia itu gila. Presiden Pertama (Soekarno) gila perempuan, Presiden Kedua (Soeharto) gila kekuasaan, Presiden Ketiga (Habibi) gila teknologi, dan Presiden Keempat (dirinya) yang memilih itu gila.

Begitulah sosok kontroversial ini. Sosok yang memberi banyak warna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, salah satu putra terbaik yang pernah dilahirkan Ibu Pertiwi. Selamat jalan Gus, semoga Allah menempatkanmu bersama orang-orang saleh.Amin.

3/1/2010

Gambar: wikipedia.com

Entri Populer

Penayangan bulan lalu