Rabu, 25 September 2013

Bila Kepincut Sekolah Penerbangan Murahan

Photo by dawhois.com
M. Tahir Saleh

KAPTEN OS Samson mulai curiga dengan keseharian putranya sekembali dari menempuh pendidikan sekolah pilot di Manila, Filipina, pada 2011. Sudah hampir 4 bulan pulang, sang anak belum juga kembali lagi ke Manila melanjutkan sekolahnya.

Tak puas mendengar jawaban anak, diam-diam Samson berkoresponden sekaligus mencari tahu kejelasan informasi sekolah penerbangan di Manila. Sejak awal, tak ada keanehan dengan sekolah penerbangan yang punya rekam jejak baik di Indonesia itu.

Itulah sebabnya, dia membolehkan anaknya menuntut ilmu di negeri itu.  Selain lebih murah setengahnya dari biaya sekolah pilot di Tanah Air, jarak antara Manila dan Jakarta lebih bisa ditempuh ketimbang AS atau Eropa.

“Katanya cuti, tapi cuti kok lama sekali. Ini sudah lewat Natal kok belum pada balik, Ya saya akhirnya koresponden untuk cari tahu,” cerita Samson, Senin (26/8).

Benar dugaannya, ada yang tak beres dengan sekolah itu menyusul informasi kekurangan bahan bakar untuk latihan dan bertubi-tubinya kecelakaan yang menimpa sekolah itu.

Belakangan, murid sekolah itu juga dimintai biaya tambahan untuk bahan bakar jika ingin melanjutkan latihan. Ini di luar perjanjian karena biaya fuel sudah termasuk dalam paket. Puncaknya ketika murid diusir dari pemondokan lantaran pihak sekolah  tidak membayar sewa ke pemilik gedung.

Agustus 2012, Samson terbang ke Manila mengecek langsung ke markas Aviatour Flight School, sekolah penerbangan yang dimaksud.

Didampingi oleh Atase Perhubungan Kedubes RI untuk Filipina, audiensi digelar dengan jajaran manajemen sekolah. “Saya bilang saya pilot, checker, juga  instruktur pilot, jadi mereka enggak bisa berkelit,” ungkapnya.

Berawal dari audiensi itulah sedikit demi sedikit sekelumit kisah pilu nasib murid Indonesia di sekolah penerbangan itu terkuak.

Nasib itu menyatukan mereka membentuk semacam paguyuban bernama Perwakilan Orang Tua Siswa Indonesia ex Aviatour Flight School dengan Samson menjadi ketua perwakilannya.

Menggandeng Federasi Pilot Indonesia, mereka menggelar konferensi pers terkait dengan pelanggaran kewajiban sekolah pilot yang beralamat di Aviatour Hangar,  Mactan-Cebu International Airport, Lapulapu City, Cebu, 6015 Filipina itu.

Sayang, paguyuban itu menolak mengutip surat pernyataan Jemar Bahinting, Presiden sekaligus Chief Operating Officer soal penolakan proposal refund yang ditawarkan  perwakilan orang tua murid.

Bahinting juga belum merespons surat elektronik yang dikirimkan pada Senin (26/8) sore.

Bisa dihitung berapa kerugian materi yang dialami oleh 92 siswa Indonesia yang mendominasi 80% murid sekolah itu.

Total biaya paket yang dikeluarkan per siswa sekitar US$31.000 atau setara dengan Rp310 juta. Tinggal dikalikan dengan jumlah siswa. Belum lagi ditambah dengan  hidden cost untuk fuel sekitar 10%-20% dari biaya paket sesuai dengan kekurangan jam terbang si murid.

Seorang perwakilan orang tua murid yang menolak disebutkan nama menceritakan alasan pertama mengirim anaknya ke Manila karena sekolah itu sudah menghasilkan  cukup banyak pilot di Indonesia. Rekam jejaknya bagus. Selain itu, biaya juga setengahnya dari biaya sekolah pilot Indonesia yang berkisar antara Rp600 juta.

Situs resmi Flyaviatour.co, dan Aviatourpilot.com mencatat lulusan sekolah ini sudah menyebar di sejumlah maskapai penerbangan di antaranya Cebu Pacific, Philippine  Airlines, Ariana Afghan Airlines, Lion Air, hingga Garuda.

Di tengah kisruh yang tengah berlangsung ini, mereka masih membuka pendaftaran siswa Angkatan ke-13 pada periode 2 Juli, 6 Agustus, 3 September, 1 Oktober, 5 November, dan 3 Desember tahun ini.

Belakangan, kata Samson, sekolah penerbangan itu berganti wujud untuk kembali beroperasi menyusul pembekuan yang dilakukan oleh otoritas penerbangan sipil Filipina. Nama sekolah itu menjadi Visayas Aerospace College and Technology.

PERLU EVALUASI
Presiden Federasi Pilot Indonesia (FPI) Kapten Hasfriansyah mengatakan pihaknya mendapatkan banyak keluhan dan pengaduan tentang para siswa yang mengalami masalah saat mengikuti pendidikan pilot tidak hanya di luar negeri tetapi juga dalam negeri.

Keluhan itu di antaranya selesai pendidikan tidak tepat waktu, siswa ditelantarkan selama pendidikan hingga biaya tak terduga. Lebih ironis lagi, setelah membayar lunas, nyatanya tak ada perkembangan kegiatan belajar secara berkelanjutan.

Saat ini, di Indonesia sudah ada 18 Sekolah penerbangan yang seluruhnya dikontrol oleh Kementerian Perhubungan. Langkah ini untuk mengeliminasi kegagalan pendidikan seperti pengalaman sebelumnya.

Menurutnya, FPI juga sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Badan Pengembangan SDM Perhubungan terkait dengan pengawasan kualitas pilot pada sekolah penerbangan di Indonesia.

Kerja sama itu meliputi penertiban sekolah penerbangan yang tidak sesuai standar seperti sekolah penerbangan yang memiliki siswa tetapi hanya diberikan pelatihan di darat tanpa pelatihan terbang.

“Pelan-pelan akan terkuak semuanya, tahun lalu sudah dibekukan dua sekolah dalam negeri. Masih ada lagi, di luar negeri pun sama. Bukan hanya dari Manila saja,  dengan laporan dari orang tua ini akan ketahuan karena kami ada fakta bukan katanya,” katanya.

Sekjen Indonesia Aviation Watch Oce Prasetya menilai kejadian yang dialami murid di sekolah penerbangan ini sudah diprediksi sebelumnya. Kejadian ini, katanya, bisa menjadi cerminan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk membenahi standardisasi pendidikan sekolah penerbang di Indonesia.

“Jangan ada dusta di antara kita, jadi bukan hanya melihat kesalahan di luar tetapi juga kebijakan di kita, peraturan dan sebagainya,” katanya.

Ketua Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Yurlis Hasibuan menegaskan standar sekolah penerbangan Indonesia sudah sama dengan luar negeri. Soal biaya, sekolah penerbangan milik negara lebih murah dibandingkan dengan kelolaan swasta atau sekolah serupa di luar negeri.

Pemerintah bahkan menanggung biaya pendidikan setiap siswa sekitar Rp300 juta selama 2 tahun pendidikan dengan Rp120 juta merupakan biaya bahan bakar dan perawatan. Biaya itu sudah ditambah dengan biaya instruktur dan simulator.

Orang tua siswa, katanya, hanya menanggung kebutuhan seragam dan perlengkapan pendidikan dengan perkiraan dana sekitar Rp26 juta per tahun.

Meski demikian perlu diakui, dengan 44 pesawat yang dimiliki oleh STPI, kapasitas murid baru dan siswa lulusan yang dihasilkan setiap tahun sekitar 150 siswa per tahun  padahal kebutuhan pilot di Asean saja mencapai 4.200 per tahun.

Samson mengatakan dengan kejadian ini menjadi peringatan kepada para orang tua yang ingin mengirimkan anaknya ke sekolah penerbangan agar berhati-hati dalam  memilih. Dia berharap orang tua jangan juga mudah percaya dengan hanya melihat brosur sekolah penerbang, iklan di media cetak, Internet atau dunia maya termasuk tayangan di media youtube.

Dia juga ingin mengingatkan adanya risiko yang mungkin timbul akibat menyekolahkan anak di sekolah penerbangan luar negeri terutama apabila muncul perselisihan ketidaksesuaian seperti yang dialami oleh ex-Aviatour.

Samson berpesan agar sebelum melakukan pembayaran, wajib meminta surat kesepakatan atau enrollment agreement yang memuat hak dan kewajiban kedua belah  pihak secara seimbang.

Pastikan juga dana pendidikan dikirim ke rekening resmi sekolah bukan rekening milik agen, sekolah lain, atau perorangan. ***

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Selasa, 27 Agustus 2013

Entri Populer

Penayangan bulan lalu