Kamis, 03 Oktober 2013

Efisiensi Avtur, Antara Keseimbangan Bisnis & Green Aviation

Photo by smartregion.org
Oleh M Tahir Saleh

PUJI Nur Handayani masih mengingat titah Dirut PT Garuda Indonesia Tbk. Emirsyah Satar yang disampaikan beberapa kali dalam rapat 3 bulanan maskapai pelat merah itu yaitu efisiensi, efisiensi, dan efisiensi.

Bekerja di Garuda sejak 18 tahun silam, baru 3 tahun Puji bertanggung jawab soal efisiensi operasi, salah satunya menangani perencanaan dan pengawasan penggunaan bahan bakar.

“Setiap rapat beliau selalu tekankan itu, efisiensi,” katanyasaat ditemui di Garuda City Center, Cengkareng, Jumat (13/9/2013).

Tugas mengawasi penggunaan bahan bakar pesawat yang dikenal dengan nama aviation turbine fuel (avtur) atau jet A1 itu cukup sentral dalam operasional maskapai yang memulai penerbangan perdana pada 1949. Kontrol terhadap avtur penting bagi maskapai pelat merah itu karena menggerus 30%-40% dari total biaya operasi.

Irit avtur ialah satu dari sekian banyak strategi Garuda, selain hemat penggunaan air, perbaikan teknologi dengan mengganti pesawat, dan efektivitas operasi. Pesawat Garuda mengisap miliaran  liter avtur. Tahun ini, Garuda membutuhkan 1,45 miliar liter jet A1, naik dari tahun lalu 1,21 miliar liter.

Dengan estimasi harga US$1 per liter, perlu anggaran avtur mencapai US$1,45 miliar atau setara dengan Rp14,5 triliun. Efisiensi itu mampu dilakukan dengan baik pada tahun lalu karena dari rencana 1,21 miliar liter terpakai 1,18 miliar liter atau hemat 24%.

Hal itu, lebih baik dari 2011 yang awalnya dianggarkan 1,13 miliar liter dan terpakai 1,10 miliar liter, atau hemat 22%. “Tiap tahun naik, karena memang pesawat kami bertambah,” ujarnya.

Pada tahun ini, lembaga riset penerbangan CAPA Center for Aviation memperkirakan Garuda Indonesia Group, termasuk Citilink, bersama dengan Lion Air menjadi maskapai dengan armada terbanyak di Asia Tenggara, menyalip Grup Singapore Airlines. Akhir tahun ini, Garuda akanmengoperasikan 139 unit pesawat, sedangkan Lion Air sebanyak 145 unit pesawat. Ini baru dari dua grup maskapai, belum ditambah dengan maskapai  lain misalnya Indonesia AirAsia, Merpati Nusantara, Sriwijaya Air, hingga Indonesia Air Transport. Sulit dihitung berapa miliar liter pertambahan avtur yang dibutuhkan oleh maskapai itu.

Pada tahun ini, Singapore Airlines (SIA), kompetitor Garuda untuk kelas full service juga  mengonsumsi jet A1 besar mencapai 1,29 miliar liter, naik dari tahun keuangan 2011/2012 yakni 1,23 miliar liter.

Manajemen Lion Air dan Citilink enggan membeberkan kebutuhan  avtur. Indonesia AirAsia memberikan data kebutuhan avtur pada tahun ini naik 25% dari tahun lalu untuk periode  Januari–Agustus meski Chief Operating Officer Indonesia AirAsia Ridzki Kramadibrata tak menyebutkan detailnya. “Total penerbangan kami pun naik 37%,” ujarnya.

Efisiensi avtur itu penting sebagai komitmen maskapai seiring dengan upaya pemerintah dan dunia, untuk mengurangi emisi gas karbondioksida (CO2). Pencemaran udara, salah satunya karena avtur, dinilai berbahaya bagi kehidupan terutama karena terkikisnya lapisan ozon yang melindungi bumi dari sinar matahari.

Selain efisiensi bahan bakar, langkah lain ialah mengistirahatkan atau mengembalikan pesawat lama yang boros avtur ke perusahaan penyewaan pesawat. Garuda sudah melakukannya dengan mengembalikan Boeing 737-300, diikuti oleh anak usahanya, Citilink. Sriwijaya Air juga menghentikan pemakaian B737-200 per 23 Agustus  2013, sedangkan Indonesia AirAsia menerapkan kebijakan memakai satu tipe yaitu Airbus A320, tipe sama yang juga digunakan Citilink. “Selain lebih nyaman, Airbus A320 juga dapat menghemat bahan bakar sehingga dapat mengurangi emisi karbon,” kata Ridzki.

 **

Tak bisa dipungkiri selain alasan demi atmosfer agar lebih hijau, tentu saja maskapai tak mau dibebankan cukup besar biaya operasi dari lini bahan bakar. Bagaimana bisa untung kalau menyedot avtur banyak apalagi dolar AS menguat terus.

Kapten Sudiman Riyanto Noto, VP Corporate Quality, Safety, and Environtment Management Garuda mengatakan pola efisiensi itu bukan terbatas pada bahan bakar. Industri penerbangan kini beralih mencari sumber alternatif lain selain minyak fosil atau dikenal dengan istilah energi terbarukan, salah satunya biofuel. Lantaran ongkos produksi biofuel sekitar 3 kali lipat dari harga jet A1, maka diambil jalan tengah agar biofuel dicampur dengan avtur. “Ini jadi isu dunia mencari sumber energi baru yang terbarukan, trial campur avtur di beberapa maskapai juga dilakukan, kami belum,” katanya.

Adalah, Lufthansa menjadi maskapai pertama di dunia yang menguji coba biofuel pada pertengahan Juli 2011. Pesawat A321 memakai campuran avtur dan 50% biosynthetic kerosene saat terbang reguler rute Hamburg-Frankfurt dalam 6 bulan. Hasilnya luar biasa, emisi karbon turun hingga 1.500 ton.

Bagi Glory Henriette, Manager Public Relations SIA, komitmen partisipasi dalam green aviation dilakukan dengan meningkatkan efisiensi operasi melalui praktik ramah lingkungan terbaik di semua bidang. Namun diakui, SIA belum menguji coba biofuel sebagaimana Lufthansa mengingat perlu ada kelayakan teknis yang dibentuk melalui sertifikasi internasional. Manager Corporate Communication Sriwijaya Air Agus Soedjono pun punya tanggapan serupa. “Penggunaan biofuel baik tetapi kami belum melakukan uji coba. Jangan sampai upaya itu juga mengabaikan safety. Biofuel itu bagus sekali,” katanya.

Dalam ulasan Bob Saynor, Ausilio Bauen, dan Matthew Leach dari Imperial College Centre for Energy Policy and Technology, Inggris, disebutkan beberapa opsi energi terbarukan yang bisa menjadi pilihan untuk bahan bakar pesawat.

Studi yang dipublikasikan dalam makalah “The Potential for Renewable Energy Sources in Aviation (PRESAV)” itu mengidentifikasi enam pilihan bahan bakar terbarukan untuk pesawat jet yakni biodiesel, metanol, etanol, minyak tanah fischer-tropsch (minyak tanah sintetis dengan metode fischer-tropsch, minyak tanah dihasilkan dari biomassa), hidrogen, dan bio-metana.

Meski begitu, ketiganya mengkhawatirkan perkembangan teknologi dalam meningkatkan penggunaan energi terbarukan belum mampu mengimbangi pertumbuhan signifikan dari industri penerbangan. “Akibatnya emisi dari sektor penerbangan akan meningkat,” papar mereka.

Di Tanah Air, Kementerian Perhubungan sudah memasang target bahwa pada 2016 mendatang, semua maskapai di Indonesia akan menggunakan komposisi bahan bakar campuran antara avtur dan biofuel. Uji coba awal bisa dilakukan antara 1%-2% biofuel dan sisanya menggunakan avtur.

Terdapat tiga hal yang menjadi fokus pemerintah yakni bandara ramah lingkungan (green airport), penerbangan ramah lingkungan (green flight), dan green space atau upaya dalam membuat rute penerbangan lebih efisien.

Itu sebabnya pada 23 September lalu, Kemenhub akhirnya menggandeng Organisasi Penerbangan Sipil International (ICAO) dalam program perlindungan lingkungan di bidang aviasi.  Dengan kerja sama itu, ICAO bakal memberi bantuan teknis dan pendampingan untuk memperkuat dan meningkatkan organisasi, regulasi, SDM, dan sistem berkaitan dengan penerapan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Gas Rumah Kaca.

Rencana aksi itu memang sudah dihembuskan Presiden SBY pada November 2007 dan pada 2009 diperkuat dengan komitmen presiden bahwa Indonesia dengan sukarela menerapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca 26% pada 2020, bahkan bisa berkurang 41% bila dibantu dana internasional.

Pesawat Sriwijaya Air tengah mengisi avtur,
photo by Poskota
PT Pertamina sebagai pemasok utama avtur bagi maskapai nasional pun tengah melakukan riset penggunaan biofuel pada pesawat. Hanya saja komitmen pemerintah khususnya dari sektor transportasi udara itu masih lambat realisasinya dengan berbagai kendala.

Pertama, Indonesia belum bisa membuat biofuel untuk pesawat karena membutuhkan syarat yang pelik.

Kedua, infrastruktur bandara di Indonesia yang kebanyakan sudah penuh kapasitasnya sehingga maskapai mengeluhkan antrian panjang dan holding (berputar-putar) di udara yang menyebabkan penambahan pembakaran avtur, itu beban juga bagi maskapai.

Ketiga, konflik sosial terancam mengemuka dari lahan pertanian misalnya bila bahan dasar biofuel dibuat dari kelapa sawit. Ini yang banyak ditentang oleh lembaga swadaya masyarakat sehingga diharapkan bahan dasar biofuel tidak terbatas pada sawit. Semakin banyak biofuel dibutuhkan dari sawit, makin besar potensi lahan sawit diperluas.

Manajer Advokasi Bioregion dan Perubahan Iklim Walhi Deddy Ratih paham betul soal ini. Oleh karena itu dia berpesan agar pemerintah mesti memperkuat industri dalam negeri khususnya industri hilir guna menghindarkan impor.

Pihaknya juga meminta pemerintah agar punya strategi yang tak hanya berpatokan bahwa Indonesia kaya bahan baku tapi bagaimana industri hilir bisa memproduksi. Bila tidak, dampaknya malah ke industri hulu karena akan terjadi perluasan lahan misalnya kelapa sawit.

“Bahan bakarnya dari mana? Siapa yang diuntungkan? Sementara kita belum siap, kalau tak ada upaya kesiapan industri hilir dampaknya ke hulu. Pemenuhan energi masih kurang. Kalau maskapai kita pakai biofuel, enggak diproduksi di sini, tapi kita masih impor,” katanya.

Dia menekankan jangan sampai, orientasi pengembangan industri penerbangan semata untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi jangka pendek tapi jangka panjang karena dunia, kini mengarahkan radarnya pada ekonomi hijau dengan penggunaan sumber energi yang lebih efisien.

Hanya saja baginya tugas pengurangan emisi karbon memang bukan hanya tanggung jawab operator udara dan kementerian terkait, melainkan perlu didukung sektor lain termasuk transportasi darat, laut, kereta api, dan lainnya.
**

Terbit di Harian Bisnis Indonesia edisi 30 September dan 1 Oktober 2013 dengan judul Ramai-ramai Mengirit Avtur Demi Atmosfer,

Rabu, 25 September 2013

Bila Kepincut Sekolah Penerbangan Murahan

Photo by dawhois.com
M. Tahir Saleh

KAPTEN OS Samson mulai curiga dengan keseharian putranya sekembali dari menempuh pendidikan sekolah pilot di Manila, Filipina, pada 2011. Sudah hampir 4 bulan pulang, sang anak belum juga kembali lagi ke Manila melanjutkan sekolahnya.

Tak puas mendengar jawaban anak, diam-diam Samson berkoresponden sekaligus mencari tahu kejelasan informasi sekolah penerbangan di Manila. Sejak awal, tak ada keanehan dengan sekolah penerbangan yang punya rekam jejak baik di Indonesia itu.

Itulah sebabnya, dia membolehkan anaknya menuntut ilmu di negeri itu.  Selain lebih murah setengahnya dari biaya sekolah pilot di Tanah Air, jarak antara Manila dan Jakarta lebih bisa ditempuh ketimbang AS atau Eropa.

“Katanya cuti, tapi cuti kok lama sekali. Ini sudah lewat Natal kok belum pada balik, Ya saya akhirnya koresponden untuk cari tahu,” cerita Samson, Senin (26/8).

Benar dugaannya, ada yang tak beres dengan sekolah itu menyusul informasi kekurangan bahan bakar untuk latihan dan bertubi-tubinya kecelakaan yang menimpa sekolah itu.

Belakangan, murid sekolah itu juga dimintai biaya tambahan untuk bahan bakar jika ingin melanjutkan latihan. Ini di luar perjanjian karena biaya fuel sudah termasuk dalam paket. Puncaknya ketika murid diusir dari pemondokan lantaran pihak sekolah  tidak membayar sewa ke pemilik gedung.

Agustus 2012, Samson terbang ke Manila mengecek langsung ke markas Aviatour Flight School, sekolah penerbangan yang dimaksud.

Didampingi oleh Atase Perhubungan Kedubes RI untuk Filipina, audiensi digelar dengan jajaran manajemen sekolah. “Saya bilang saya pilot, checker, juga  instruktur pilot, jadi mereka enggak bisa berkelit,” ungkapnya.

Berawal dari audiensi itulah sedikit demi sedikit sekelumit kisah pilu nasib murid Indonesia di sekolah penerbangan itu terkuak.

Nasib itu menyatukan mereka membentuk semacam paguyuban bernama Perwakilan Orang Tua Siswa Indonesia ex Aviatour Flight School dengan Samson menjadi ketua perwakilannya.

Menggandeng Federasi Pilot Indonesia, mereka menggelar konferensi pers terkait dengan pelanggaran kewajiban sekolah pilot yang beralamat di Aviatour Hangar,  Mactan-Cebu International Airport, Lapulapu City, Cebu, 6015 Filipina itu.

Sayang, paguyuban itu menolak mengutip surat pernyataan Jemar Bahinting, Presiden sekaligus Chief Operating Officer soal penolakan proposal refund yang ditawarkan  perwakilan orang tua murid.

Bahinting juga belum merespons surat elektronik yang dikirimkan pada Senin (26/8) sore.

Bisa dihitung berapa kerugian materi yang dialami oleh 92 siswa Indonesia yang mendominasi 80% murid sekolah itu.

Total biaya paket yang dikeluarkan per siswa sekitar US$31.000 atau setara dengan Rp310 juta. Tinggal dikalikan dengan jumlah siswa. Belum lagi ditambah dengan  hidden cost untuk fuel sekitar 10%-20% dari biaya paket sesuai dengan kekurangan jam terbang si murid.

Seorang perwakilan orang tua murid yang menolak disebutkan nama menceritakan alasan pertama mengirim anaknya ke Manila karena sekolah itu sudah menghasilkan  cukup banyak pilot di Indonesia. Rekam jejaknya bagus. Selain itu, biaya juga setengahnya dari biaya sekolah pilot Indonesia yang berkisar antara Rp600 juta.

Situs resmi Flyaviatour.co, dan Aviatourpilot.com mencatat lulusan sekolah ini sudah menyebar di sejumlah maskapai penerbangan di antaranya Cebu Pacific, Philippine  Airlines, Ariana Afghan Airlines, Lion Air, hingga Garuda.

Di tengah kisruh yang tengah berlangsung ini, mereka masih membuka pendaftaran siswa Angkatan ke-13 pada periode 2 Juli, 6 Agustus, 3 September, 1 Oktober, 5 November, dan 3 Desember tahun ini.

Belakangan, kata Samson, sekolah penerbangan itu berganti wujud untuk kembali beroperasi menyusul pembekuan yang dilakukan oleh otoritas penerbangan sipil Filipina. Nama sekolah itu menjadi Visayas Aerospace College and Technology.

PERLU EVALUASI
Presiden Federasi Pilot Indonesia (FPI) Kapten Hasfriansyah mengatakan pihaknya mendapatkan banyak keluhan dan pengaduan tentang para siswa yang mengalami masalah saat mengikuti pendidikan pilot tidak hanya di luar negeri tetapi juga dalam negeri.

Keluhan itu di antaranya selesai pendidikan tidak tepat waktu, siswa ditelantarkan selama pendidikan hingga biaya tak terduga. Lebih ironis lagi, setelah membayar lunas, nyatanya tak ada perkembangan kegiatan belajar secara berkelanjutan.

Saat ini, di Indonesia sudah ada 18 Sekolah penerbangan yang seluruhnya dikontrol oleh Kementerian Perhubungan. Langkah ini untuk mengeliminasi kegagalan pendidikan seperti pengalaman sebelumnya.

Menurutnya, FPI juga sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Badan Pengembangan SDM Perhubungan terkait dengan pengawasan kualitas pilot pada sekolah penerbangan di Indonesia.

Kerja sama itu meliputi penertiban sekolah penerbangan yang tidak sesuai standar seperti sekolah penerbangan yang memiliki siswa tetapi hanya diberikan pelatihan di darat tanpa pelatihan terbang.

“Pelan-pelan akan terkuak semuanya, tahun lalu sudah dibekukan dua sekolah dalam negeri. Masih ada lagi, di luar negeri pun sama. Bukan hanya dari Manila saja,  dengan laporan dari orang tua ini akan ketahuan karena kami ada fakta bukan katanya,” katanya.

Sekjen Indonesia Aviation Watch Oce Prasetya menilai kejadian yang dialami murid di sekolah penerbangan ini sudah diprediksi sebelumnya. Kejadian ini, katanya, bisa menjadi cerminan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk membenahi standardisasi pendidikan sekolah penerbang di Indonesia.

“Jangan ada dusta di antara kita, jadi bukan hanya melihat kesalahan di luar tetapi juga kebijakan di kita, peraturan dan sebagainya,” katanya.

Ketua Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Yurlis Hasibuan menegaskan standar sekolah penerbangan Indonesia sudah sama dengan luar negeri. Soal biaya, sekolah penerbangan milik negara lebih murah dibandingkan dengan kelolaan swasta atau sekolah serupa di luar negeri.

Pemerintah bahkan menanggung biaya pendidikan setiap siswa sekitar Rp300 juta selama 2 tahun pendidikan dengan Rp120 juta merupakan biaya bahan bakar dan perawatan. Biaya itu sudah ditambah dengan biaya instruktur dan simulator.

Orang tua siswa, katanya, hanya menanggung kebutuhan seragam dan perlengkapan pendidikan dengan perkiraan dana sekitar Rp26 juta per tahun.

Meski demikian perlu diakui, dengan 44 pesawat yang dimiliki oleh STPI, kapasitas murid baru dan siswa lulusan yang dihasilkan setiap tahun sekitar 150 siswa per tahun  padahal kebutuhan pilot di Asean saja mencapai 4.200 per tahun.

Samson mengatakan dengan kejadian ini menjadi peringatan kepada para orang tua yang ingin mengirimkan anaknya ke sekolah penerbangan agar berhati-hati dalam  memilih. Dia berharap orang tua jangan juga mudah percaya dengan hanya melihat brosur sekolah penerbang, iklan di media cetak, Internet atau dunia maya termasuk tayangan di media youtube.

Dia juga ingin mengingatkan adanya risiko yang mungkin timbul akibat menyekolahkan anak di sekolah penerbangan luar negeri terutama apabila muncul perselisihan ketidaksesuaian seperti yang dialami oleh ex-Aviatour.

Samson berpesan agar sebelum melakukan pembayaran, wajib meminta surat kesepakatan atau enrollment agreement yang memuat hak dan kewajiban kedua belah  pihak secara seimbang.

Pastikan juga dana pendidikan dikirim ke rekening resmi sekolah bukan rekening milik agen, sekolah lain, atau perorangan. ***

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Selasa, 27 Agustus 2013

Kamis, 29 Agustus 2013

KISAH BAKRIE LIFE

Photo by Bisnis.com
Nasabah: Tuhan Tidak Buta
Tahir Saleh

SUATU siang pada pertengahan Oktober 2009. Timoer Soetanto, Direktur Utama Asuransi Jiwa Bakrie mendatangi gedung Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).

Timoer rencananya akan membahas penyelesaian perselisihan dengan nasabah produk Diamond Investa, salah satu produk yang dijual perseroan, bersama dengan regulator.

Saya bersama rekan wartawan di ruang pers tak membuang waktu, segera kami memburu pria berkaca mata itu hingga ke lift. “Iya saya dipanggil mau ketemu Pak Isa [Isa Rahmatarwata, Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK].”

Entah sudah berapa kali Timoer menyambangi gedung otoritas jasa keuangan pasar modal dan lembaga keuangan itu sejak kasus gagal bayar produk Diamond Investa milik Bakrie Life mengemuka ke publik sejak Juli 2009.

Tapi dari tatapannya saat menjawab serentetan pertanyaan wartawan, Timoer nampak tak gugup sedikit pun meski utang gagal bayar itu miliaran. Dia begitu tenang bahkan saat kondisi perseteruan gagal bayar ini sudah menjalar ke aksi demonstrasi baik di Gedung Bapepam-LK hingga kantor pusat Grup Bakrie, Wisma Bakrie di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta.

Menjadi pertanyaan bila melihat awal berdiri perusahaan ini. Bagaimana bisa sebuah perusahaan yang didukung keuangan, manajemen, dan sumber daya manusia berkualitas dari Grup Bakrie bisa terjerat dengan kasus gagal bayar ini?

Hingga pertengahan 2012, sekitar ratusan nasabah yang menanamkan dana investasi di produk Diamond Investa itu belum sepenuhnya kembali. Mereka terus menuntut skema pengembalian dana nasabah.

Dana investasi yang belum dikembalikan sekitar Rp360 miliar pada 2008 dan pertengahan 2012, Bakrie Life baru melunasi sekitar Rp90 miliar. Kabar terakhir, hingga saat ini Bakrie Life dan perwakilan nasabah terus berdiskusi terkait dengan penyelesaian masalah pengembalian dana nasabah itu.

***
ASURANSI Jiwa Bakrie Life berdiri di Jakarta pada 1996 dengan fokus bisnis asuransi jiwa. Perusahaan ini lahir dari hasil akuisisi saham Asuransi Jiwa Centris pada 24 Oktober 1996. Sebelumnya, Centris Life juga terlebih dahulu mengambilalih Asuransi Jiwa Summa pada 1993.

Dari namanya saja, publik di Indonesia sudah paham siapa pengendali di balik perusahaan asuransi ini yakni Grup Bakrie, kelompok usaha berskala multi-nasional dan internasional yang berdiri pada 1942 oleh Achmad Bakrie (alm).
Lebih dari 40 perusahaan masuk dalam grup ini a. l sektor industri manufaktur, agroindustri, pertambangan batubara, pertambangan migas, real estate & properti.

Tak hanya itu sektor infrastruktur, jasa konstruksi, jasa telekomunikasi & media televisi, investasi & jasa keuangan, perdagangan, pendidikan SDM juga digarap oleh grup usaha yang kini dijalankan oleh putra sulung Achmad Bakrie, Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar.

Belakangan, kian fokusnya Aburizal Bakrie atau Ical dalam partai politik warisan orde baru dan berencana menjadi Calon Presiden pada 2014, kendali grup disetir oleh adik kandungnya, Nirwan Dermawan Bakrie. Tapi di Majalah Tempo, Bakrie menolak memiliki keterkaitan lagi dengan Bakrie Life, sudah terpisah.

Pascakrisis 2000-2004, perusahaan ini memang melakukan konsolidasi dan reposisi basis usaha perseroan. Periode berikutnya 2005-2006, program konsolidasi terus berlanjut hingga 2007-2008. Saham Bakrie Life dipegang oleh Bakrie Capital Indonesia sebesar 94% dan sisanya Koperasi Karyawan Bakrie Life (Mitra Sejahtera).

Sebelum kasus mencuat, perusahaan nyatanya berkali-kali menggondol penghargaan dari sejumlah media di antaranya Majalah InfoBank, Majalah Investor, Harian Bisnis Indonesia, dan Majalah Media Asuransi. Jadi bukan perusahaan ecek—ecek.

Saat terjadi gagal bayar, Bakrie Life dipimpin oleh Timoer Soetanto yang pernah menjabat Komisaris Independen Lipo General Insurance Tbk, perusahaan yang didirikan oleh bos Grup Lippo, Mochtar Riady.

Timoer di mata sejawatnya adalah pribadi yang cerdas dan baik, tak neko—neko. M Nashir sahabatnya saat di Universitas Airlangga Surabaya juga mengonfimasi hal itu. Bagi Nashir yang kini menjabat Dirut Trust Finance Indonesia Tbk ini, Timoer sosok yang baik dan pintar.

“Wah dulu tuh saya kejar kejaran jadi yang terbaik di Unair, saingan saya ya Pak Timoer. Di luar itu, menurut saya kasus Bakrie Life itu tak bisa disalahkan Pak Timoer, mungkin lingkungan di sekitar beliau,” katanya.

Kronologis Peristiwa

AWALNYA, kasus gagal bayar ini bermula dari krisis keuangan yang mendera pasar modal pada akhir 2008. Bakrie Life yang terlalu agresif dengan menempatkan 80% dana investasinya ke portofolio saham ternyata merugi investasi besar-besaran.

Kondisi itu makin diperparah dengan redemption atau penarikan dana besar-besaran polis tradisional karena krisis kepercayaan pemegang polis di tengah krisis.

Diamond Investa, salah satu produk Bakrie Life, memberikan janji imbal hasil atau return tinggi dan kemungkinan pemegang polis bisa dengan mudah menarik dananya saat masa garansi investasi habis tanpa terkena penalti.
Imbasnya perseroan akhirnya tak mampu menambal kerugian investasi itu yang menyebabkan gagal bayar manfaat investasi produk asuransi itu mencapai Rp350 miliar sejak Juli 2009—Agustus 2009.

Sekitar 600 nasabah, yang sebagian besar nasabah individu meminta pengembalian investasi mereka. Nasabahnya beragam mulai dari nasabah yang ‘menggadaikan’ uang dana pensiun milik orang tuanya hingga sengaja ‘memarkir’ dana milik saudara ke produk itu.

Pemerintah, dalam hal ini Bapepam-LK—yang kini bertransformasi menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pemegang saham lalu meminta manajemen Bakrie Life agar bernegosiasi dengan nasabah mengenai mekanisme penjadwalan ulang pembayaran dana.

Sayang, hingga batas waktu negosiasi yang ditetapkan belum berhasil diperoleh kesepakatan penuh dengan 100% nasabah.

Proses selanjutnya berjalan. Akhirnya diperoleh mekanisme baru yakni nasabah mendapatkan 25% pada 2010, 2011 diperoleh 25%, dan sisanya dibayarkan pada 2012, meski ada beberapa pemegang polis yang belum setuju.

Skema itu juga memuat perjanjian mengenai bunga yang dibayar setiap bulan senilai 9,5%, yang akan dijalankan mulai triwulan I/2010. Bunga ini turun dari perjanjian semula sebesar 12%-13%.

Di tengah proses itu, beberapa nasabah Bakrie Life mulai melobi wartawan agar bisa memberikan angin segar dalam berita termasuk media tempat saya bekerja.

“Tolong bantu kami para nasabah sampai 2012 berita jangan sampai kasar. Bahaya, telp saja sekarang ke 08XXXXXX….Wahjudi [Juru Bicara Nasabah],” tulis seorang nasabah yang dikirim pada 10 Juli 2010 pukul 21.50 ke ponsel saya.

Nasabah produk Diamond Investa ini sekitar 600 orang dengan total dana sekitar Rp350 miliar, seluruhnya berasal dari nasabah individu. Adapun nasabah produk asuransi tradisional Bakrie Life sebanyak 30.000 orang dengan total dana antara Rp175 miliar--Rp200 miliar.

***

NAMANYA juga perjanjian, kadang untuk dilanggar. Ada kalanya satu pihak tak mematuhi kesepakatan dengan alasan tertentu. Entah tak punya dana sampai ke cara klasik; mengulur waktu.

Kewajiban Bakrie Life bukan angka kecil, Rp350 miliar ini angka besar sama dengan kerugian akibat banjir bandang di Bondowoso dan Situbondo pada 2008 silam.

Mengulur waktu itu terlihat dari cara Bakrie Life memenuhi kewajiban. Terkadang hanya membayar beban pokok tanpa bunga, kadang juga tak menepati janji dan mengakumulasikan pada kuartal berikutnya.

Soal ini Timoer hanya menjawab “[Kami akan membayar]…sesuai dengan kesepatakan dengan nasabah. Intinya uang masih dicari, mudah mudahan cepat terealisasi. Begitu singkatnya.

Tapi jawaban ini tak memuaskan. Nasabah butuh duit bukan janji. Mereka bahkan membuat situs yakni http://diamondinvesta.blogspot.com. Blog ini pertama kali mengunggah berita dari The Jakarta Post berjudul “Frustrated Bakrie Life Customers Waiting to Get Their Savings Back terbitan 1 Juli 2010.

Mereka juga aktif berkoresponden, bahasanya demikian, ke sejumlah wartawan. Saya juga kembali menerima pesan singkat itu. Barangkali merasa tak punya kekuatan melawan korporasi kuat di negeri ini, jadi bisa mengandalkan media.

“Seharusnya nabung di asuransi aman izin Bapepam-LK Depkeu sah secara hukum tapi negara kita hukumnya hukum rimba yang kuat yang berkuasa, yang menang. [1 Agustus 2010, pukul 09.25 pagi].

“Hanya Tuhan yang bisa menegur Bakrie Life. Saya percaya Tuhan lagi pantau terius Bakrie Life. Suatu saat BL pasti ditegur oleh-Nya. Kalau Tuhan yang sudah menegur…manusia baru bertobat. Tuhan tidak buta, Tuhan Maha Tahu, Maha Kuasa. Derita, tangis, jeritan, kekuatiran nasabah pasti didengar dan dijawab oleh-Nya.Amin. [3 Agustus 2010, 1.32 siang]

Pesan singkat berikutnya berisi:

 “Ketika engkau dalam segala perkara, kemenangan akan terjadi atas orang-orang benar dan hukuman, kehancuran akan terjadi kepada orang-orang yang tidak benar. Itu suara yang saya dengar nyaring di telinga saya. Tuhan memberkati.” [21 Agustus 2010, 5.37 pagi]

“Sejarah uang, dari jaman nabi-nabi sampai sekarang, uang adalah alat untuk menjual dan membeli sesuatu (alat pertukaran). Pada zaman nabi, uang disimpan di peti (tidak berbungan dan bisa hilang). Zaman sekarang: uang disimpan di bawah bantal, celengan semar (tidak berbungan dan bisa hilang), bank, “Asuransi”, dsb (berbungan dan bisa hilang). Yang jadi pertanyaan penting, di manakah simpan uang yang aman terutama di Indonesia? [24 Juli 2010, 9.27 pagi]

Ketua Bapepam-LK Ahmad Fuad Rahmany yang kini menjadi Dirjen Pajak mengatakan para nasabah juga terlalu mudah tergiur dengan imbal hasil tinggi padahal investasi itu berisiko ringgi.

“Betul Sekali, kasihan tetapi juuga heran melihat mereka kenapa begitu mudah tergiur pada tawaran-tawaran yang menarik tetapi berisiko ringgi, padahal di industri banyak sekali pilihan yang baik meskipun kurang tinggi return-nya tetapi rendah risikonya.” kata Fuad, Juni 2010.

Pada bulan yang sama, 3 tahun kemudian, Anggota Dewan Komisioner Bidang Industri Keuangan Non Bank OJK Firdaus Djaelani, kepada wartawan, menegaskan permasalahan yang menimpa nasabah Bakrie Life akhirnya menemui jalan terang.

Tahap pertama pembayaran Rp62,5 miliar diberikan pada Juli, tahap kedua dengan besaran yang sama diberikan pada Agustus sehingga pada akhir tahun ini pembayaran klaim itu bisa rampung. “Kabar baiknya, Bakrie Life sudah ada penyelesaian.”

Intinya kasus ini menyentil kita dalam berinvestasi.  Jangan terlalu memberi tempat pada nasfu ingin memperbesar kekayaan dalam waktu singkat tetapi lebih baik proporsional antara kentungan dan risiko.

Dari segi regulasi, masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh korporasi untuk merugikan konsumen.

Terlalu tinggi keuntungan jika risiko tinggi akan berbahaya sebaliknya terlalu rendah keuntungan tapi risiko rendah pun tidak sebanding. Bagi pemerintah, sebaiknya perlu ada pengawasan yang lebih detil terkait dengan produk—produk njlimet tapi secara laten menawarkan return jauh dari kenyataan. ***


Words: 1.519

Jumat, 19 Juli 2013

Untung Rugi Menjual Merpati

Pesawat B727-200 Merpati, photo by indoflyer
Oleh M. Tahir Saleh

PADA Oktober 2006, secarik surat dilayangkan mantan Dirut Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan kepada Menteri BUMN kala itu Soegiharto

Isinya, soal rencana revitalisasi perusahaan penerbangan pelat merah yang dibangun pada 1962. Tidak berapa lama, rencana penyelamatan operator penerbangan dari kebangkrutan itu disetujui Soegiharto dengan tiga strategi yakni penambahan armada baru, restrukturisasi SDM, dan restrukturisasi utang.

Sayangnya, saat rencana itu direalisaikan, Merpati belum bisa men dapatkan pesawat Boeing 737. Iklan yang dipasang melalui situs www.speednews.com, 13 kali gagal menarik minat perusahaan penyewaan atau leasing dunia.

“Reputasi keuangan Merpati yang sangat buruk, lessor besar seperti GECAS, ILFC, atau pun Sumitomo menutup pintu,” katanya dalam buku Jangan Pidanakan Perdata  (2012).

Utang hingga Rp6 triliun tentu menjadi bahan pertimbangan bagi siapa pun pihak yang ingin menggandeng Merpati sebagai mitra bisnis. Utang itu seakan menjadi batu sandungan Merpati terbang setinggi maskapai BUMN lain yakni Garuda Indonesia.

Tak heran jika Kamis (11/7) pekan lalu, Menteri BUMN Dahlan Iskan kecewa dengan  perkembangan Mer pati dan akhirnya terpaksa akan menjual saham maskapai itu ke investor strategis lantaran kondisi keuangan makin memburuk.

Setengah utang itu memang diperoleh dari kerja sama dengan PT Angkasa Pura (AP) II, PT Pertamina, dan PT Bank Mandiri Tbk. Dengan restrukturisasi, ketentuan utang akan berganti baik dari sisi bunga maupun konversi utang menjadi saham.

Namun, restrukturisasi tak berjalan baik kendati masih berlanjut. Perta nyaannya, apakah ketiga BUMN itu mau begitu saja menjadi pemegang saham di Merpati yang tengah babak belur?

Bisnis inti ketiga kreditur itu ialah menjual jasa atau produk, tentu mereka menginginkan cuan bukan dibebani masuk ke perusahaan dengan utang besar.

Apalagi rating Merpati jelek, masuk dalam urutan 20 maskapai terburuk di dunia versi Skytrax bersama dengan Turkmenistan Airlines, Sudan Airways, Air Algerie, dan Ryanair.

Armada Merpati juga termasuk uzur seperti seri Boeing 737 classic yakni 737-200,  737-300, 737-400, dan 737-500.Bandingkan dengan armada Ga ruda, Sriwijaya, dan Lion Air di antaranya Boeing 737-800NG dan Boeing 737-900ER, atau AirAsia yang diperkuat Airbus A320.

Sulit bagi Merpati mengejar ketertinggalan meski saat ini manajemen menyatakan load factor sudah di atas 89%.

Semua kompetitor Merpati kini didukung pesawat modern, sedangkan maskapai pelat merah itu hanya memiliki pesawat lama ditambah pesawat baru buatan China yang masih asing di dunia penerbangan yakni MA-60.

Patut disyukuri, Merpati belum bangkrut di tengah banyak masalah, terakhir kecelakaan di Bali, padahal Batavia Air sudah lebih dahulu gulung tikar dengan utang yang lebih rendah yakni Rp2,5 triliun.

Merpati sebetulnya layak di pertahankan. Ini sama halnya dengan upaya mempertahankan perusahaan pelayaran nasional PT Djakarta Lloyd.

Pemerintah juga pernah melakukan restrukturisasi mulai dari suntikan dana,  pengurangan karyawan, revita lisasi armada, pemindahan kantor pusat, hingga penjualan aset tak pro duktif. Namun, belum berhasil juga.

OPSI PAILIT
Upaya masuknya operator jalan tol Citra Marga Nusaphala Persada gagal. Konversi  utang juga berpotensi gagal, sementara beberapa anggota DPR menginginkan Merpati dipailitkan saja karena dianggap banyak merongrong anggaran negara daripada memperkuatnya.

Pernyataan Dahlan bakal melego maskapai ini ke investor strategis menjadi pertanda pemerintah hampir putus asa. Potret Merpati adalah kegagalan direksi, kementerian terkait, dan negara yang gagal mengelola aset dan sumber daya.

Entah karena inefisiensi atau korupsi di tubuh Merpati karena masih da lam ingatan bagaimana pengadaan MA-60 yang tidak transparan hingga tak baiknya pengelolaan  manajemen.

Padahal Merpati mulai berbenah. Misalnya, mereka bakal mendatangkan Airbus A320 atau Embraer guna ekspansi ke wilayah barat Indonesia.

Selama ini, mereka melayani rute terpencil terutama bagian timur. Bila segala upaya pembenahan ini tak dukung, sulit rasanya membuat maskapai ini bertahan.

Toh jauh sebelum rencana konversi, Merpati juga pernah mengonversi utang menjadi saham dengan Garuda, besarannya 4,21% saham seperti tercatat dalam laporan keuangan Garuda.

Pada 1989, Merpati dan Garuda bah kan pernah menggelar operasi terpadu guna meningkatkan efisiensi.  Sebanyak 37 pesawat Garuda, DC-9 dan F-28 dialihkan, beberapa rute domestik  Garuda pun dialihkan ke Merpati.

Perlukah seluruh BUMN dipaksa menggunakan Merpati untuk angkutan pegawai dan kargo? Bila pembelian oleh investor strategis merupakan satu-satunya jalan keluar bagi masa depan Merpati, perlu ada sokongan pemerintah da lam bentuk penawaran tertentu.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia pada 2011 melalui PM Mahathir bin Mohammad ba rangkali patut jadi contoh dalam menjaga aset maskapai penerbangan AirAsia milik BUMN Malaysia, DRB-Hicom.Maskapai itu ditawarkan kepada Tony Fernandes, pendiri Tune Air Sdn Bhd, seharga RM1 atau setara dengan US$0,25 dengan beban utang AirAsia saat itu mencapai RM40 juta.

Kini, tak bisa ditampik AirAsia menjadi maskapai LCC yang ber kembang signifikan  di bawah Tony Fernandes.

Sejarah mencatat pada era 1985-1986, pemerintah juga pernah mengintervensi BUMN yang merugi, ketika itu PT Perkebunan (kini PTPN) IV di Sumatra Utara harus diselamatkan melalui intervensi Menteri Pertanian Achmad Affandi.

Di China, BUMN bukan hanya kendaraan mencari keuntungan, melainkan juga perpanjangan politik mereka dalam menggeser kendali BUMN di belahan bumi ke Asia dan Pasifik dari AS.

Di Singapura, negara memprakarsai pendirian BUMN yang memang dirancang memenuhi kebutuhan domestik dan pasar dunia.

Miris rasanya jika Merpati bangkrut, padahal kontribusi maskapai itu cukup besar menerbangi sejumlah daerah perintis yang tidak dilakukan maskapai komersial lain. Tentu dukungan tak cukup bila Merpati  secara internal tak termotivasi meningkatkan efisiensi dan inovasi.

Barangkali menarik apa yang dikemukakan, Nabiel Makarim, bekas anggota YLKI era 1980-an dan mantan Menteri Lingkungan Hidup, bahwa swastanisasi itu bukan menjual BUMN kepada swasta, melainkan memperkuat rule of game struktur tanggung jawab antara pengelola dan pemilik.

Bila setelah swastanisasi tapi sebuah BUMN terkait masih juga belum bergerak, di sinilah baru diperlukan pemecahan manajemen dan kesempatan pasar.

Seperti halnya pada perusahaan swasta, bila Merpati tetap tidak berkembang pascaswastanisasi jawabannya adalah menyuntik mati maskapai itu. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Senin, 15 Juli 2013



Minggu, 14 Juli 2013

Karena Air Begitu Berharga

Gempa bumi itu mengguncang Flores. Saya baru delapan tahun ketika lindu berkekuatan 7,8 skala richter di lepas pantai Flores itu ikut menggoyangkan desa kami di Pulau Adonara.

Usia yang tak begitu mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Suasana begitu kalut. Guncangan hebat itu memaka orang-orang berlarian keluar rumah menuju lapangan, di sana sudah banyak pula berjongkok menjaga keseimbangan.

“Barero, barero,” teriak orang-orang dengan Bahasa Adonara. Histeria itu masih terngiang sampai kini. Pilu rasanya. Puluhan rumah di desa kami, Desa Waiburak, retak, miring, bahkan roboh. Beberapa kawan dan saudara kehilangan rumah, tapi saya bersyukur rumah hanya retak.

Gempa pada 12 Desember 1992 itu juga menyebabkan gelombang tsunami setinggi 36 meter, menghabiskan rumah di pesisir pantai Flores. Tsunami itu tak mengenai desa kami tapi korban tewas dalam bencana alam itu mencapai 2.100 orang, 500 orang hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000 orang menjadi pengungsian. Kami termasuk di antara pengungsi.

Tiap malam, rasanya tak enak karena tidur di bawah tenda terpal, persediaan makanan juga tak banyak. Air bersih pun terbatas apalagi kampung kami di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memang terkenal dengan sulitnya air bersih.

Sebelum gempa terjadi warga mesti turun ke bawah dekat dengan pantai untuk mengambil air, tapi saat gempa siapa yang mau turun? Jadinya dengan terbatasya air minum pun tidak boleh sembarangan, kami mesti memikirkan yang lain.

Saya berupaya melupakan bencana alam itu setelah pindah sekolah ke Bekasi, Jawa Barat, sampai kuliah di Ciputat. Tapi salah satu kegiatan kampus yang mengajar ke daerah-daerah terpencil di Pulau Jawa membuat ingatan itu terngiang lagi.

Ingatan susahnya air bagi masyarakat, susahnya sarana yang disediakan oleh pemerintah setempat agar warga dengan mudah bisa terhindar dari kesulitan air bersih.

Ditjen Sumber Daya Air Kemeterian Pekerjaan Umum dalam situs resminya punya catatan soal kekurangan air di Indonesia.

Disebutkan bahwa Jawa, Bali, dan Papua merupakan daerah yang kekurangan air baku, sedangkan Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Kalimantan adalah daerah dengan surplus air baku.

 Air baru maksudnya air yang berasal dari sumber air pemukaan, cekungan air tanah dan atau air hujan yang memenuhi ketentuan baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum.

Adapun Total kebutuhan air baku di Indonesia mencapai 175 juta m3/tahun, dari jumlah itu sebesar 6,4 juta m3/tahun merupakan kebutuhan domestik, 141 juta m3/tahun kebutuhan sektor pertanian, dan 27,7 juta m3/tahun kebutuhan industri.

Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik mengemukakan di Indonesia, pemenuhan air minum yang aman baru 55,04% dan masih 80 juta masyarakat belum terpenuhi. Kondisi itu diperkirakan meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk.

Kalau datanya demikian, bagaimana negara ini mencapai target millenium development goals (MDGs)? Bagaimana mencetak sumber daya mumpuni kalau kebutuhan dasar manusia dalam kehidupan belum terpenuhi atau terpenuhi tapi tak layak?

Maka ketika Aqua Danone beberapa tahun lalu membuat iklan soal sulitnya air di NTT membuat bangsa ini seperti tergelitik sekaligus miris.

“Sekarang sumber air sudekat. Beta sonde pernah terlambat lagi. Lebih mudah bantu mamak ambil air untuk mandi adik. Karna mudah ambil air, katong bisa hidup sehat,” begitu sepenggal kalimat berlogat Kupang itu meluncur dari seorang anak.

Pariwara itu bukan hanya sebagai bukti pelaporan kepada masyarakat bahwa mereka, Aqua, sebagai salah satu perusahaan besar telah melakukan suatu bentuk program kepeduliannya.

Lebih dalam lagi pesan itu mendedahkan secara gamblang bagaimana sebuah kekurangan negara ini dipertontonkan; daerah Timur Indonesia masih kekurangan air bersih. Mengapa pemerintah tak bisa mengentaskannya sejak Indonesia merdeka.

Padahal tiap tahun anggaran pemerintah daerah naik, target penerimaan pajak juga naik. Bahkan jumlah orang kaya di Indonesia yang masuk daftar majalah Forbes terus bertambah tapi kepedulian soal hajat hidup manusia itu kurang mendapat jaminan, terutama di daerah-daerah terpencil.

Saya tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah semata. Pernah saya membaca tulisan Sarwono Kusumaatmatja, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup era 1993-1998, dalam buku Manajemen Presiden Soeharto penuturan 17 Menteri terbitan 1996.

Menurut dia, dalam pengelolaan lingkunan hidup, bukan hanya peran pemerintah tapi dunia ekonomi secara umum, swasta, dan BUMN.

Mesti ada peranan yang lebih besar dari sektor swasta. Baginya tak ada pekerjaan yang bisa didorong sendiri karena pemerintah punya kemampuan dalam hal akses dan pengetahuan tetapi keunggulan itu bahkan kini juga dimiliki oleh swasta.

Bagi Sarwono, Indonesia jangan menutup diri jika ada kekurangan soal lingkungan. “Kita tidak boleh defensif. Kalau ada kekurangan diakui tapi yang harus disodorkan ke dunia luar itu bahwa kita bekerja keras untuk memenuhi komitmen global kita,” katanya.

Kendati demikian, tentu saja sudah menjadi kelaziman bahwa pemerintah punya kewajiban khusus untuk menuntaskan kemiskinan di mana kesehatan merupakan satu satu aspeknya dan kesehatan pun berkaitan dengan kebutuhan air minum bersih.

Jumat, 05 Juli 2013

Wajah Merak, Wajah Penyeberangan Kita

Antrian truk masuk ke salah satu dermaga
Pelabuhan Penyeberangan Merak, Jumat (28/6)
Oleh M Tahir Saleh

TRUK itu berhenti di depan jalur masuk Dermaga 4 Pelabuhan Penyeberangan Merak, Banten, Jumat siang, 28 Juni. Seorang pria berpantalon bergegas turun, melengok kanan kiri lalu duduk di dekat bemper mobilnya.

Sembari melihat truk antrean di depannya, sopir Perum Damri, sebut saja namanya Badu, 39 ta hun. Sejak pukul 6 pagi, dia tiba di Pelabuhan Merak dan ikut antrean menuju kapal penye berangan atau kapal feri (roll onroll off/roro) yang sandar di dermaga 4. Namun, hingga pukul 12.30 siang, antrean hanya bergerak sejengkal.

“Bosan juga Mas, begini-begini terus,” kata bapak tiga anak itu, Jumat (28/6).

Menjelang Ramadan ini, Badu mendapatkan banyak order membawa barang PT Pos Indonesia yang menyewa jasa Perum Damri. Barang itu diangkut dari Kantor Pos Jakarta Pusat di Lapangan Banteng menuju Merak. Dia membayar tarif masuk Rp825.000.

Tiba di Bakauheni, dia akan menempuh jalan darat ke Jambi lewat Batu Raja dan Muara Enim, tetapi tak ada yang bisa dilakukannya saat itu kecuali menunggu.

Antrean panjang di Merak bukan hal baru bagi pelabuhan penyeberangan yang dikelola oleh ASDP Cabang Utama Merak, anak cabang PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Pela buhan ini bahkan diklaim menjadi pelabuhan feri terpadat di dunia.

BUMN yang didirikan pada 1973 ini tak hanya punya cabang di Merak. Total ada 31 cabang tersebar di Indonesia di antaranya Merauke, Biak, Ambon, Kupang, Bakauheni, hingga Jepara. Ruas Merak-Baka uheni dan Ketapang-Gilimanuk menjadi lintasan gemuk.

Saat Lebaran tahun lalu, data ASDP Merak mencatat terdapat 27.419 pejalan kaki dan 94.254 penumpang di atas kendaraan sehingga total 121.673 penumpang menyeberang dari Merak ke Bakauheni dalam sehari pada puncak mudik H-3.

Sepeda motor saat itu juga mencapai 19.085 unit, kendaraan kecil 8.325 unit, bus 619 unit, dan truk 9.263 unit dalam sehari. Adapun selama mudik Lebaran tahun lalu total  mencapai 909.281 penumpang, 72.759 sepeda motor, 86.810 mobil kecil, dan 11.293 truk.

Data sepanjang tahun lalu belum diperoleh, tetapi selama 2010 seluruh ASDP mengangkut penumpang mencapai 5,72 juta, kendaraan roda dua dan tiga mencapai 2,43 juta, dan kendaraan roda empat ke atas 1,36 juta.

Manajemen ASDP Merak mengatakan ada lima faktor penyebab kepadatan Merak yakni cuaca, kapal yang sering masuk dok, prasarana dermaga, hari libur, dan hari libur dadakan atau kejepit.
Waktu kedatangan pemudik dan kendaraan yang serentak mengejar hari H Lebaran juga menjadi faktor tambahan dibandingkan dengan arus balik mudik yang lebih fleksibel.

Tahun ini, sejumlah langkah memang dilakukan ASDP sebagai operator dermaga sekaligus operator kapal. Perbaikan misalnya terlihat dari perluasan area parkir dengan daya tampung sekitar 400 kendaraan kecil, perawatan, dan perbaikan dermaga secara bertahap.

Selain itu BUMN ini juga menambah satu unit kapal baru yakni Por tlink III untuk memperkuat armada lintas Merak-Bakauheni pada angkutan Lebaran tahun ini. Kapal bekas 1979 bernama Sechang Kordelia itu bisa menampung 1.000 penumpang, 350 kendaraan kecil, dan 250 kendaraan campuran.

Pengelolaan jadwal juga sudah diambilalih oleh Otoritas Pelabuhan Penyeberangan (OPP), wakil Kementerian Perhubungan, dari tahun lalu yang masih diatur oleh ASDP.

Namun sejauh mata memandang, nampaknya kesiapan yang di dengung kan belum nyata di lapangan. Betul bahwa prasarana membaik karena ada koridor penumpang ke kapal layaknya garbarata di bandara.

Namun beberapa fasilitas dermaga mesti dibenahi guna meningkatkan layanan dan terpenting mendukung keselamatan penumpang.

Berdasarkan pantauan langsung, dari lima dermaga hanya dermaga 1 dan 3 yang kondisinya lebih baik dibandingkan dengan tiga dermaga lain. Dermaga 1,2,3, dan 5 dikelola oleh ASDP, sedangkan Dermaga 4 dikelola oleh swasta, PT Infinity.

Di dermaga 2, fasilitas side ramp tidak difungsikan meski dibangun 2 tahun lalu. Fasilitas ini berfungsi sebagai jalan masuk bagi mo bil pribadi ke dek atas kapal di burit an.

Akibatnya, antrean masuk truk ke dalam haluan kapal feri menjadi lama karena mobil pribadi terpaksa mengular di jalur yang sama dengan truk besar melalui mobile bridge.

Dolphin nomor dua juga tidak dilengkapi dengan fender. Dolphin ini semacam undakan semen yang berfungsi mengikat kapal tetap berada di tepi dermaga, sedangkan fender ialah bantalan guna menjaga lambung kapal tidak rusak saat membentur dermaga.

Dermaga 5 setali tiga uang. Ada koridor penumpang tapi pintu masuk ke kapal tidak ada. Pejalan kaki juga menyemut bersama kendaraan via mobile bridge, side ramp juga  belum dioperasikan.

Selain itu, breakwater yang dibangun juga tak berfungsi baik. Kapal Shalem yang berlabuh Jumat siang itu di Dermaga 5 beberapa kali membentur fender, mengguncang  dermaga karena pemecah ombak itu tak berfungsi. 

Terparah adalah Dermaga 4. Hampir semua fasilitas tidak normal kecuali mobile bridge. Tidak ada side ramp dan koridor penumpang. Al hasil, pejalan kaki masuk ke jalur masuk truk. Sampah juga berserakan di Dermaga 4.
Parahnya, semua fender dolphin memakai ban truk bekas, besi-besi dari dolphin juga keluar karena semen terkelupas, ini mengancam lambung kapal. Di pintu masuk pe la buhan juga hanya ada dua timbangan truk. Akibatnya, antrean semakin pan jang.

SALING LEMPAR
Lalu siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan dermaga 4? Kepala Cabang ASDP Merak Supriyanto tak mau berkomentar banyak.

“Saya juga sudah rewel [soal perbaikan], mestinya begitu [ASDP saja yang atasi] tapi bukan kewenangan saya, sampeyan tanya ke ASDP pusat,” katanya di Kantor Cabang ASDP Merak, Jumat (28/6).

Christine Hutabarat, Sekretaris Perusahaan ASDP pusat, enggan menjawab pertanyaan soal tanggung jawab dermaga 4. Apakah dermaga ini masih di bawah wewenang Infinity atau ASDP?. Pesan singkat yang dikirimkan juga tak berbalas.

Padahal bagi Djohanipar, wakil dari Infinity, secara pengelolaan memang Infinity tetapi kerusakan menjadi tanggung jawab ASDP sesuai dengan peraturan.

“Kami berniat perbaiki, tapi belum ada kejelasan kerja sama dengan ASDP. Kami sudah ajukan surat, bahkan Ditjen Darat juga sudah meminta mereka [ASDP] tapi belum juga,” katanya.

Sudirman Lambali, Direktur Lalu Lintas ASDP Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub, merasa kontrak antara ASDP dan Infinity sudah berakhir jadi BUMN itu bisa memperbaiki, sedangkan operasional koridor pe numpang di dermaga 5 belum uji coba.

“Kalau tidak salah sudah berakhir [kerja sama], artinya sudah boleh, langkah ASDP [perbaiki],” katanya.

Bambang S Ervan, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub, menegaskan perbaikan menjadi tanggung jawab business to business antara ASDP dan Infinity, pemerintah hanya membantu untuk membangun dermaga 6 dan rehabilitasi dermaga 3 dan 5.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Ferry (Gapasdaf) Syarifuddin Malarangeng menyayangkan hal ini. Sebagai pengelola, mestinya lempar tanggung jawab semacam ini tidak terjadi. Pengelola seharusnya mendorong agar fasilitas dermaga diperbaiki dan tidak mencari keuntungan semata.

Ditemui di kantor Gapasdaf, Ketua DPC Gapasdaf Cabang Bakauheni,  Sunaryo bahkan mempertanyakan biaya perawatan perusahaan pelat merah itu. Toh kondisi dermaga baik di Merak maupun Bakauheni belum membaik, jembatan timbangan juga  kurang.

Padahal pelaku usaha yang tergabung dalam Gapasdaf dibebankan biaya yang mestinya dipakai mer awat dermaga.

“Biaya sandar itu Rp65 dikali GT dan jam, hitung saja berapa tuh,” kata Sunaryo yang juga Kepala Cabang PT Dharma Lautan Utama ini.

Sejak BBM subsidi dinaikkan, tarif penyeberangan pun disesuaikan. Per menhub No.63/2013 yang dirilis pada 24 Juni lalu, mengatur tarif penumpang dewasa naik dari Rp11.500 menjadi Rp13.000 dan tarif golongan kendaraan paling besar (IX) mencapai Rp2,84 juta dari Rp2,35 juta.

Dari tarif penumpang Rp13.000 itu, ASDP mendapat Rp1.675 sebagai jasa pas masuk, biaya Asuransi Jasa Raharja Rp800, dan biaya tanggung jawab pengangkut (asuransi muatan) Rp525. Sisanya Rp10.000 masuk ke kas perusahaan feri

Jumlah Rp10.000 itu dipakai untuk biaya operasional langsung yakni biaya tetap dan tidak tetap di antaranya penyusutan, bunga modal, asuransi kapal, awak kapal, BBM,  pelumas, air tawar, lingkungan di pelabuhan, leasing, perniagaan dan promosi, dan perbaikan serta pemeliharaan suku cadang.

Ambil contoh kendaraan golongan IX dengan tarif Rp2,84 juta. Dari angka ini, masuk ke kantong ASDP untuk pas masuk Rp259.515 dan jasa dermaga Rp204.415, sedangkan kas perusahaan feri mendapatkan Rp2,35 juta.

Pada 2010, pendapatan ASDP mencapai Rp921 miliar naik dari 2009 Rp884 miliar, dengan laba bersih Rp72 miliar naik dari 2009 Rp56 miliar.

“Kalau tidak ada [perawatan] ambruk dong. Perbaikan tidak mudah, dalam beberapa hal jika ada yang diganti, dermaga harus ditutup karena bahaya,” kata Kepala Humas ASDP Merak Mario Sardadi Oetomo.

Pihaknya siap menyambut angkutan Lebaran setelah saban sepekan berkoordinasi dengan Gapasdaf dan OPP. Kapal juga sudah ditambah menjadi 28 unit per hari dengan minimal operasi 26 unit dari total 42 unit kapal di lintasan Merak-Bakauheni dari 18 perusahaan feri.

Satu kendala ialah kondisi angin antara 25 knot-30 knot dan gelombang hingga 3 meter. Sosialisasi juga terus dilakukan mengantisipasi kemacetan.

“Intinya kami siap,” tegas Mario.

Direktur The National Maritime Institute Siswanto Rusdi memandang perlunya swasta lain masuk mengelola dermaga mengingat kinerja ASDP belum maksimal. Gapasdaf juga harus perlu mengevaluasi diri.

“Mereka [Gapasdaf] hampir tanpa terobosan selama ini selain meminta tarif naik. Mereka tidak kompak dalam melakukan upaya memperbaiki sektor merek sendiri. Tidak seperti asosiasi lain mereka masih nafsi-nafsi,” katanya.

Gambaran Merak menjadi potret bagaimana sebuah tradisi mudik Lebaran selalu berulang; antrean padat tanpa diimbangi kesiapan pra sarana yang baik. Pantas, bisa di pahami mengapa orang-orang k ecil macam Badu atau supir lainnya banyak mem buang  waktu di pelabuhan, ongkos logistik yang terlalu mahal.


Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi Jumat, 5 Juli 2013

Senin, 10 Juni 2013

Warteg

PARDI, sebut saja begitu namanya. Saya juga lupa menanyakan namanya lengkapnya. Dia tukang becak, baru kenal beberapa jam karena mengantar kami; saya dan Firda ke Terminal Tegal dari kediaman kawan. Usianya barangkali 50 tahun yah.

Sebetulnya tak tega juga rasanya menyuruh kakek tua ujur itu mengayuh becak membawa beban kami berdua sekitar 100 kg itu menuju Terminal Tegal dari Desa Sidakaton, tapi tak ada transportasi lain selain becak.

Tak mungkin juga saya turun gantian dengan Pak Pardi dan mengayuh becak dengan penumpangnya Firda dan bapak tua itu. Apa kata dunia...

Nah...cerita saya bukan soal Pardi yang punya tiga istri, pernah kerja di Jakarta, dan cukup tahu nama-nama pejabat di Indonesia ini. Saya hanya mau sharing soal bagaimana cerita Pardi ketika kami melewati rumah-rumah mentereng di desa itu sambil cas cis cus dalam perjalanan malam itu. Nama desanya Sidakaton, Tegal, Jawa Tengah.

“Yang itu Mas, rumah petani, kalau yang itu (menunjuk rumah bercat putih, tingkat dua, dan megah) usaha warteg, sukses dia,” kata Pardi sambil gowes.

“Wah hebat ya Pak?” kata saya.
"Iyah, kalau petani rumahnya biasa-biasa saja".
"Kalau yang itu warteg juga Pak?" tanya saya.
"Lah iya, rata-rata di sini mah warteg, sukses di Jakarta."

Rumah yang ditunjuk Pardi besar menurut kami. Yah, hampir sama dengan rumah rumah yang ada di Pondok Indah.

Kami hanya geleng-geleng di dalam becak. Hebat, meski warteg atau warung tegal di Jakarta itu masih dipandang makanan kelas bawah menengah dari tukang becak, montir bengkel, hingga pekerja biasa lainnya--termasuk mahasiswa kere, ternyata penghasilan dari usaha makanan itu mampu membuat sang empunya usaha membangun istana lokal di kampung.

Awalnya kami fikir, rumah-rumah besar di desa itu lantaran pemiliknya TKI di Arab atau negara Asia lain seperti di sejumlah daerah misalnya Sukabumi dan Indramayu.

Kami meleset. Dari Pardilah kami baru sadar terlalu banyak stigma yang melekat pada warteg. Stigma itu membunuh pikiran kami bahwa dari usaha itu, berapa banyak ayah yang mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi, berapa banyak orang tua naik haji, betapa besarnya status sosial di Tegal dalam usaha warteg ini. Hebat sekali usaha ini.

Warti, seorang karib yang kami kunjungi di hari bahagianya itu di Desa Sidakaton, Dukuhturi, Tegal, mengakui satu kata yang melekat pada daerahnya itu ialah warteg, warung makan sederhana yang begitu terkenal sejak tahun 60-70-an di Jakarta.

Satu keunikan bisnis ini, katanya, ada periodesasi pertukaran tempat antara tiap pengelola warteg, katanya sih biar semua kebagian. Warti juga pengusaha warteg. Beberapa kali saya makan gratis di warungnya.

Saya pernah dengar anekdot soal warteg, konon ide brilian teknologi touch screen yang diterapkan mendiang Steve Jobs itu terinspirasi ketika dia ke Jakarta, melihat ada warteg ramai sekali. Apa yang dipesan konsumen hanya dengan menujukan jarinya ke arah makanan di etalasi langsung ada di piring. Yah namanya juga konon kabarnya, tentu derajat sahih-nya cuma 0,01%.

Jujur, sampai sekarang saya juga masih menjadi pelanggan setia warteg samping kantor kalau lagi kepepet tengah bulan. Awal bulan gajian masih gaya makan di warung padang, tengah bulan makan di warteg, akhir bulan yah terpaksa numpang makan di rumah mertua....

Entri Populer

Penayangan bulan lalu