Jumat, 31 Oktober 2014

MENARA KACA DARI SUNGAI THAMES

The Shard, by telegraph.co.uk
Ajang tahunan Skyscraper Award menahbiskan The Shard sebagai gedung pencakar langit terindah di dunia tahun lalu

Oleh M. Tahir Saleh

Wajah Wali Kota London Boris Johnson sumringah saat membuka secara resmi The Shard, gedung tertinggi di Eropa, pada 1 Februari tahun lalu. Dalam potret yang diunggah di situs resmi The Shard, Boris tampak siap menggunting pita merah dengan gunting raksasa.

Gedung setinggi 306 meter dan 73 lantai itu dimiliki oleh LBQ Limited—terdiri dari Qatar sebagai pemegang saham mayoritas dan Sellar Property—dengan sokongan dana Qatar National Bank. “The Shard bakal mengubah wajah kota, menarik bisnis baru, dan menciptakan ribuan lapangan kerja pada tahun-tahun mendatang,” ujar Boris kala itu. The Shard dijadikan kantor, apartemen mewah, restoran, dan Hotel Shangri-La. Dinding dan langit-langitnya sebagian besar dari kaca, menawarkan pemandangan sejauh 40 mil ke seluruh London.

Bulan Mei ini, The Shard dinobatkan sebagai gedung pencakar langit terbaik dalam Skyscraper Award 2013 yang digelar oleh perusahaan konstruksi global Emporis. Menara kaca di tepi selatan Sungai Thames, Inggris, itu menyingkirkan DC Tower 1 (Austria) karya Dominique Perrault Architecture. DC Tower yang tingginya mencapai 250 meter berada di urutan kedua. Sheraton Huzhou Hot Spring Resort (China) setinggi 102 meter hasil desain MAD Ltd. di urutan ketiga. Pemenang tahun 2012 adalah Absolute World 1 (Kanada) setinggi 176 meter yang diarsiteki oleh MAD Ltd. dan Burka Architects Inc. sementara Shard buah rancangan arsitek asal Italia, Renzo Piano, melalui Renzo Piano Building Workshop.

Penghargaan ini menekankan desain estetika dan fungsi bangunan. Uniknya, 95% bahan bangunan The Shard merupakan hasil daur ulang, 20% bajanya juga hasil daur ulang. “Konstruksi The Shard begitu rumit, karena itu diperlukan perencanaan inovatif yang menghasilkan gedung pencakar langit yang diakui dan menjadi lambang baru London,” ujar juri dalam situs resmi Emporis.

“Sebenarnya tak mudah membangun gedung tinggi di kawasan yang memiliki nilai sejarah seperti di London Bridge,” kata Ren Katili, arsitek Navia Dekalima Consultant, pekan lalu. Menurut dia bentuk gedung yang lancip, ringan, dan transparan mampu mereduksi wujud bangunan tertinggi di Eropa ini agar tidak terlihat terlalu menonjol dan arogan—seperti layaknya bangunan highrise lainnya. “Itu sebagai bentuk penghargaannya kepada lingkungan sekitar,” kata pengajar Universitas Bina Nusantara ini.

Bagi Ren, selubung kaca yang melingkupi bangunan tersebut sangat tepat karena Shard berada di daerah empat musim. Konsep itu membantu menyerap panas matahari sehingga dapat mereduksi penggunaan energi untuk ‘kenyamanan thermal’. “Kalau arsitek lain,  karyanya sudah bisa terlihat dari ciri khasnya. Contoh, Zaha Hadid atau Norman Foster. Kalau Renzo tidak mudah terlihat. Itu karena karyanya selalu adaptif dengan lingkungan di mana bangunan tersebut dibangun. Dia juga yang bikin Airport Kansai Jepang,” katanya. “Susah sih [mencari kelemahan]. Saya pengagum Renzo.” □

by Guardian
Profil si Lancip dari London
Tinggi                      : 306 meter
Awal konstruksi    : Maret 2009
Resmi                      : Juli 2012
Dibuka                    : Februari 2013
Arsitek                     : Renzo Piano
Lantai                      : 73
Pemodal             : Sellar Property Group dan Qatar Central Bank


by designboom
Urutan Kedua: DC Tower 1
Tinggi                                     : 250 meter
Awal konstruksi                  : 2010
Selesai                                    : 2013
Arsitek                                   : Dominique Perrault Architecture
Lantai                                     : 60







by Starwoodhotels
Urutan Ketiga: Sheraton Huzhou
Tinggi                                     : 102 meter
Selesai konstruksi               : Oktober 2013
Arsitek                                   : MAD Ltd.
Lantai                                                : 27
Biaya                                      : U$1.500.000.000





Sumber: Emporis, The Shard                      

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 2 Juni 2014

SATU JAM MENGAKRABI MERAPI

Merapi's track, doc
'Untuk Anda yang terhindar dari bencana, maka syukurilah hidupmu'

Oleh M. Tahir Saleh

DERU mesin Jeep Willys keluaran 1944 mulai terdengar nyaring. Dari balik kemudi, Mesran (30), siap tancap gas membawa saya menyusuri kawasan bekas erupsi Gunung Merapi. Sebuah wisata yang disebut Volcano Tour, menjadi salah satu alternatif pelesiran di Yogyakarta.

Untuk menuju ke sini, butuh sekitar 30-45 menit dari pusat kota menggunakan kendaraan pribadi. Ada pula angkutan umum, tapi harus beberapa kali naik turun. Ketika sampai, saya langsung diberi tiga pilihan. Mau rute pendek, menengah, atau panjang. Inginnya sih langsung rute panjang, tapi karena hari sudah siang, saya pilih rute pendek bertarif Rp250.000 (tarif turis bule Rp300.000). Harga ini bukan perorangan melainkan per satu jip. Sempat kaget juga karena mode transportasinya mobil bekas Perang Dunia II. Namun, begitu tahu medannya penuh liku dan batu, rasanya ini memang ‘makanan’ jip. Di 86 Merapi Jeep Tour Community, salah satu penyedia jasa, juga tersedia mobil four-wheel drive lain seperti Daihatsu Taft, Landcruiser, Suzuki Jimny, dan Land Rover.

Mesran, doc
Mesran mulai menggerakkan kemudi setir ke arah barat kaki Gunung Merapi. Jip beratap terbuka ini memberi sensasi unik karena penumpang bebas menghirup udara, adrenalin pun kian terpacu saat melewati bebatuan besar. Para penyuka petualangan ekstrem mesti mencobanya.

Tujuan pertama kami bekas Dusun Jambu. Kampung ini merupakan salah satu wilayah terdampak erupsi cukup parah. Tak ada lagi sisa 'bangkai' rumah. Hanya tampak sebuah batu besar mirip wajah seorang kakek yang dinamai Batu Alien. “Bagi yang percaya, batu ini dianggap keramat. Sejak muncul pasca-erupsi sudah berbentuk wajah kakek-kakek dan ndak bisa dipindahkan,” cerita Mesran. “Pakai alat apa pun, tetap ndak bisa dipindahkan.” Malahan beberapa penganut kepercayaan tertentu kerap mendatangi lokasi ini untuk berdoa dan menaruh sesajen. Mereka percaya batu tersebut 'hidup' dan wujud penghuni Merapi. “Ya, ada yang meyakini seperti itu. Tapi, diambil sisi positifnya saja bahwa Batu Alien ini kemudian menjadi salah satu objek menarik dalam Volcano Tour.”

Perjalanan dilanjutkan ke bekas bungker di Kampung Kaliadem. Letaknya tak jauh dan masih melewati jalanan curam penuh batu besar. Di tengah jalan, kami sempat berhenti melihat uap panas abadi yang keluar alami. Saya menjajalnya. Ternyata benar. Dari dalam pasir muncul uap halus, terasa hangat. “Sejak erupsi terakhir 2010 lalu, uap ini keluar terus, ndak pernah berhenti. Kalau ditaruh telur, lama-lama matang sendiri,” tuturnya. Pemandangan di dekat uap itu pun sangat indah karena tempat ini paling dekat dari puncak gunung. Banyak orang memanfaatkan spot tersebut untuk berbagai keperluan seperti syuting film atau foto pranikah.

Tak lama kemudian, kami tiba di bekas bungker yang selesai dibuat pada 2005. Bungker ini dulunya digunakan warga untuk berlindung dari ganasnya erupsi Merapi. Namun, sejak 2006 berhenti difungsikan lantaran tak sanggup menahan panas. "Waktu itu ada dua relawan yang tewas karena terjebak di dalamnya. Bungker ini menjadi tempat yang tidak aman karena ternyata panas Merapi bisa tembus,” ujar Mesran.

Kondisi bungker gelap gulita. Ada beberapa bagian ruangan, salah satunya kamar mandi. Ada pula meja bundar berukuran besar, di atasnya ada sesajen. Hawa di dalam terasa dingin dan lembab. Sedikit memunculkan kesan mistis yang menjadi daya tarik banyak orang. “Di sini sering dipakai lokasi uji nyali juga buat acara di televisi. Ya, bagi yang percaya, tempat ini dianggap mistis atau keramat, tapi bagi yang ndak percaya, biasa saja,” katanya. Di sekitar bungker, beberapa warga yang dulu bermukim di kaki Merapi mencoba berwirausaha dengan menyewakan toilet, menjajakan dagangan dari minuman, makanan, hingga bunga Edelweis.

“Saya sama kayak warga lain, sempat mengungsi. Hewan ternak saya mati semua. Saya dapat pinjaman bank Rp1 juta buat usaha,” cerita Yamirah, 42 tahun, penjual bunga Edelweis. “Kalau sedang ramai pengunjung, saya bisa dapat Rp300.000. Kalau sedang sepi, ya seadanya saja sudah alhamdulillah.”

Lokasi tersebut tidak begitu ramai, tapi menjadi pos peristirahatan bagi peserta Volcano Tour. Menjelang siang, Mesran lalu mengarahkan kami ke jalan pulang, tapi bukan langsung kembali ke pos awal, melainkan singgah di Museum Sisa Hartaku. Kalau mengambil rute menengah atau panjang, peserta tur bisa mampir di bekas rumah mendiang Mbah Maridjan, kuncen Gunung Merapi, dan lokasi menarik lain.

Museum, doc
Museum Sisa Hartaku ini unik, bisa dilihat dari struktur bangunan rumah yang dibiarkan asli dan seluruh barang di sana. Rumah yang dijadikan museum ini sebetulnya milik warga korban Merapi, keluarga Riyanto. Isinya berupa barang-barang yang menjadi saksi bisu dahsyatnya erupsi 2010. Tengoklah di bagian teras. Di situ, ada bangkai sapi yang tinggal tulang belulang, motor Suzuki yang hangus terbakar, patahan tembok bertuliskan 'Merapi tak pernah ingkar janji', juga kursi kayu yang tertutup debu.

Masuk ke dalam, pemandangan menyayat hati meninggalkan kesan mendalam. Diiringi lagu Ebiet G. Ade, semua sisa harta warga dibiarkan 'bicara'. Ada jam dinding yang berhenti pada angka 00.05 (waktu erupsi terjadi), sisa pakaian, foto-foto keluarga, alat-alat dapur, radio, televisi yang hangus, dan banyak lagi. Berada di sana seolah mengajak pengunjung kembali ke masa lalu, ketika erupsi dahsyat memorakporandakan kehidupan warga, saat kehangatan keluarga berubah sirna hanya dalam hitungan detik.

Rute pendek Volcano Tour yang hanya sekitar satu jam itu bukan wisata ekstrem semata. Selain dimanjakan panorama Merapi nan indah, beberapa lokasi justru menghadirkan renungan spiritual. Misalnya tulisan di salah satu tembok Museum Sisa Hartaku: 'Untuk Anda yang terhindar dari bencana, maka syukurilah hidupmu'. Erupsi Merapi memang terlalu menyakitkan bagi mereka yang kehilangan, baik keluarga maupun harta benda.

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 16 Juni 2014

MOGE KLASIK DARI INGGRIS

Tom Cruise in Mission Imposible 2, by superseries.kr
Komplet secara desain, kualitas mesin, dan kenyamanan berkendara, namun branding motor besar tertua di dunia ini belum kuat di Tanah Air.

Oleh M. Tahir Saleh

SALAH SATU adegan film Mission Imposible 2 yang menegangkan ialah aksi kejar-kejaran Ethan Hunt dengan sepeda motor. Ethan, diperankan Tom Cruise, memacu kencang motornya sambil melepaskan tembakan ke arah Sean, agen IMF yang menguber di belakang. Kejar-kejaran di jalanan pun berpindah ke medan off-road. Puncaknya, kedua motor itu beradu dan meledak di udara.

Tom mengendarai Triumph Street Triple warna hitam; sedangkan Dougray Scott, pemeran Sean, menunggangi Triumph Daytona warna merah. Kesuksesan film yang dirilis pada 2000 itu kian memperkuat merek Triumph yang memang sudah menguasai 19% pasar motor gede (moge) di sana. Dua motor tipe roadster 675 cc itu dibuat Triumph Motorcycles, pabrikan motor yang didirikan oleh Siegfried Bettman pada 1884.

Daytona, by motorcycle-usa.com
Secara historis, perusahaan ini baru berproduksi pada 1902 di Coventry, Inggris. Mereka memisahkan unit mobil, lalu fokus membuat motor pada 1935. Dua tahun berselang, motor twin engine Speed Twin dirilis. Tapi dampak Perang Dunia II—yang menghancurkan pabrik Triumph—memaksa mereka pindah ke Meriden, kota di luar Birmingham pada 1940. Setelah itu, Bonneville dirilis pada 1958.

“Varian ini sangat legendaris, ada yang enggak tahu tentang Triumph, tapi kenal Bonneville,” kata Manajer Umum PT Triumph Motorcycle Indonesia Paulus B. Suranto di Jakarta, Selasa pekan lalu. Perusahaan sempat menelurkan motor bermesin 1.200 cc dengan empat silinder, tapi kembali fokus ke tiga silinder karena dinilai lebih komplet, mudah dikendarai, dan memberi pengalaman mengesankan. “Ketika di-gir empat, tiba tiba melambat, ingin overtake, enggak perlu turun gigi rendah, langsung saja kita gas, dia akan dapat torsi akselerasi dan itu sangat diapresiasi,” kata Paulus.

Pada 1982, resesi ekonomi Eropa membuat pabrik tutup. Setahun kemudian Triumph bangkit lagi setelah konglomerat properti John Bloor mengambil alih. Selepas itu, pada 1990 perusahaan ini lahir kembali dan varian-varian kerennya—dari Speed Triple hingga New Bonneville yang dimiliki pesepakbola David Beckham—dijual ke pasar dunia.

Kini Triumph punya 7 pabrik: 2 di Inggris, 3 di Thailand, masing-masing 1 di Brasil dan India. Sampai 2011, total mereka memproduksi 500.000 unit, terjual di 54 negara dengan 26 varian motor. Tahun lalu, ketika pasar moge Eropa anjlok 52%, Triumph malah naik 22% dengan total penjualan 53.000 unit. Tahun ini perseroan membidik target penjualan 57.000 unit di beberapa negara yang diincar, di antaranya China, Yordania, Arab Saudi, Oman, India, dan Indonesia.

Secara kualitas motor bongsor ini sudah teruji karena setiap model dites hingga 35.000 kilometer dan tiap bagian mesin dirampungkan hingga 10 kali agar presisinya sempurna. Desain pun mempertahankan gaya British-nya. Namun, branding motor ini di Indonesia belum sekuat merek ‘bar and shield’ macam Harley-Davidson dari Amerika. “Karena itu kami berupaya meningkatkan brand,” kata Tito Sulistio, Direktur Utama PT Gerai Motor Terpadu, diler resmi Triumph di Indonesia.

Bonneville, by silodrome.com
Mengawali distribusinya di Tanah Air, Triumph bakal meluncurkan 12 model pada 17 September dengan banderol harga antara Rp307-575 juta. Gerai Motor mengincar 10% dari total penjualan moge di Indonesia yang diperkirakan 3.500-4.000 unit per tahun. Paulus optimistis dengan penjualan mengingat keunggulannya. Setiap motor yang keluar dari pabrik, dijamin membuat pengendara nyaman. “Experience penting karena mereka membeli moge, bukan functional bike, tapi emotional bike.

Itu pula yang dirasakan Rudy Sugono, Manajer Bisnis Triumph yang saking sukanya dengan merek itu memodifikasi Triumph Truxton 865 cc. “Dibantu teman, saya modifikasi sendiri, desain sendiri,” katanya seraya menunjuk motornya. Keunggulan lainnya adalah lengkapnya jenis Triumph, yakni Urban Sport (roadster–supersport), Adventure (adventure–touring), dan Icon (classic–cruiser)—meski beberapa kritikus mencermati Triumph kurang fokus pada jenis tertentu sebagaimana merek moge lain. Dengan alokasi 50% SDM di riset, Triumph bahkan memproduksi motor ber-cc terbesar di dunia, yakni Rocket III (2.300 cc), jauh di atas mobil keluarga semacam Avanza dan Ertiga yang hanya 1.300-1.500 cc.

Menyadari kelemahan branding, Tito bakal merangkul pemilik moge melalui komunitas. Semua pembeli langsung menjadi anggota klub Rider Association of Triumph (RAT) yang sudah eksis di beberapa negara. Gerai Motor juga mengalokasikan 1.000 meter persegi untuk lahan safety riding saban Sabtu dan Minggu. “Showroom kami akan menjadi salah satu dari lima terbesar di dunia dengan 420 meter persegi, belum lagi ditambah bengkel dan lahan safety riding,” kata pria berkumis pendiri Harley Owners Group (HOG) Indonesia ini.

Tentu tak mudah, akan terjadi persaingan sengit memperebutkan pasar moge yang cukup kecil dan sangat tersegmentasi ini. Selain Triumph, telah bercokol Harley-Davidson, lalu Indian Motorcycle, pabrikan Amerika yang juga baru masuk. Tapi Tito optimistis, apalagi daya beli masyarakat terus meningkat. “Prioritas kami membangun komunitas. Prinsipnya, orang beli moge bukan untuk dipakai sehari-hari. Dia pengen bergaul kok,” katanya. “Saya bisa klaim rata-rata pembeli moge itu sudah punya rumah dan mobil. Kalau enggak punya, tapi malah beli moge bisa-bisa digebukin sama istri lho.” □

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 25 Agustus 2014

Entri Populer

Penayangan bulan lalu