Rabu, 30 Juli 2008

Islam dan Sains

ada apa dengan ISRA ’ MI ’ RAJ
Oleh : Taher heringuhir

Bahagia sekali kita masih diberi kesempatan oleh Allah Swt menikmati usia sampai kini kita memasuki salah satu bulan yang istimewa yaitu bulan rajab. Bulan ini memiliki keistimewaan seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an surat at-Taubah.
Allah Swt menyatakan ada empat bulan yang dihormati yaitu Rajab, Zulkaidah, Zulhizah, dan Muharram.

Selain itu bulan Rajab merupakan bulan bersejarah, bulan dimuliakan, diperingati kaum muslimin karena disemisil bulan ini kejadian luar biasa menimpa Rasulullah SAW yakni di-isra’ mi’rajkan beliau dari Masjidil Haram (Mekkah) menuju Masjidil Aqsa di Baitul Maqdis ( Palestina / kota yang disebut juga Haikal Sulaiman), kemudian diperkenankan oleh Allah Swt naik menembus langit ketujuh serta kembali lagi setelah menerima perintah sholat lima waktu bagi seluruh umatnya.

Peristiwa besar ini kita yakini sebagai mukjizat Nabi SAW setelah Al-Quran. Namun orang-orang yang berusaha belajar Islam lalu kemudian mencari titik lemah umat Islam untuk dihancurkan (orientalis) mencoba mengedepankan logika berfikir yang berujung pada ketidakpercayaan akan peristiwa tersebut. Bagaimana penjabaran singkat akan hal tersebut. Dalam surat al-Isra’ ayat pertama Allah SWT berfirman:

“Mahasuci (subhana) yang telah memperjalankan hamba-Nya ( biabdihi-Muhammad ) pada suatu malam ( asra’) dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebahagian dari tanda-tanda ( kebesaran ) Kami, sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat”.

Al-Qur’an dan tafsirnya terbitan UII Yogyakarta melansir bahwa kata subhana ( kalimat tasbih ), sebagian mufassirin mengatakan bahwa kata tersebut menandakan suatu peristiwa besar, sedangkan kata biabdihi (kesatuan antara jasad and ruh) mempertegas bahwa peristiwa itu (isra’mi’raj) dilalui Nabi dalam keadaan sadar, bukan karena tidur.

Asra’ dalam bahasa arab berarti kejadian yang terjadi di malam hari dan kata lailan adalah untuk menguatkan pengertian bahwa peristiwa itu memang benar-benar terjadi di malam hari, karena waktu itulah yang paling utama bagi para hamba untuk mendekatkan diri pada-Nya. Disini tidak diterangkan secara pasti waktunya hanya saja yang diterangkan adalah dimulai dari Mekkah ke Palestina.

Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Masjidil Aqsa yang dipilih, dikatakan pula bahwa Masjidil Aqsa itu dan daerah disekitarnya merupakan tempat turunnya wahyu kepada Nabi-Nabi dan disuburkan tanahnya diantara tempat ibadah lain.
Surat al-Isra’ hanya menjelaskan peristiwa isra’, sedangkan mi’raj ( naiknya Rasulullah dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha /mustawa) diisyaratkan oleh Allah SWT pada bagian pertama surat an-Najm, diantaranya ayat 13 dan 14.

“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain”.(13). “(yaitu) di Sidratul muntaha.” (14).

Dalam peristiwa naiknya Nabi Saw ke tempat yang paling tinggi di atas langit ke tujuh (sidratul muntaha-wajib percaya adanya tempat ini, tetapi sebaiknya tidak menerangkan sifat-sifatnya dengan keterangan yang berlebihan kecuali dari hadis, karena ini ghaib), menurut ayat di atas bahwa Nabi SAW melihat malaikat Jibril as dua kali dalam bentuk aslinya yaitu sekali pada saat menerima wahyu pertama dan kedua pada saat isra’ mi’raj.

Kejadian luar biasa ini terjadi pada malam 27 Rajab, satu tahun sebelum tahun Hijriyah – riwayat mashur demikian. Karen Amstrong – penulis buku laris A History of God – menulis dalam bukunya “Muhammad Sang Nabi”, bahwa peristiwa isra’ mi’raj terjadi pada saat Nabi SAW sedang mengunjungi saudara sepupunya Ummu Hani’, saudara perempuan Ali dan Ja’far (anak pamannya Abi Thalib) yang tinggal di dekat Ka’bah. Beliau bangun tengah malam dan membaca Al-Qur’an, kemudian beliau memutuskan tidur sejenak di Hijr, sebuah daerah tertutup di barat daya Ka’bah, kemudian beliau merasa seperti dibangunkan oleh Jibril ; dinaikan ke kuda surgawi yang dinamakan Buraq dan terbang melesat ke Masjidil Aqsa (isra’).

Karen juga melanjutkan bahwa mereka berdua (Muhammad dan Jibril) turun di kuil Mount dan disambut Ibrahim, Musa Yesus (Isa), dan sejumlah Nabi-nabi lain. Mereka memilih minum susu diantara pilihan lain – hal ini menandakan dua pilihan itu sebagai simbol bahwa Islam berusaha mengarahkan “ pertapaan” yang ekstrim dan hedoisme di sisi lain –yang ditawarkan pada mereka.

Sejarah lain dinukilkan dari hadis Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Ahmad bahwa didatangkan pada Nabi Buraq (binatang putih) lebih besar dari khamar dan susu. Selain itu riwayat Bukhari dari Anas bin malik dikatakan bahwa Jibril membeli hati lalu mencucinya kemudian dituangkan iman dan hikmah ke dada beliau.

Selepas isra’, Nabi SAW dan Jibril selanjutnya naik ke langit melalui “tangga/mi’raj”. Dari sumber yang sama dikatakan ketika Nabi naik ke tingkat pertama dari tujuh surga dan mulai menuju tahta Allah SWT (arash), beliau melihat surga pertama dikepalai oleh Nabi Adam, Yesus (Isa), dan John the Baptist (Yahya) di surga kedua, Yusuf di surga ketiga, Noch (Nuh) di surga keempat, Aaron (Harun)di surga kelima, lalu Musa di surga keenam, dan terakhir Nabi Ibrahim di surga ketujuh.

Itulah gambaran peristiwa isra’mi’raj–walaupun belum lengkap–yang sepenuhnya bagi kita merupakan sebagian dari keyakinan .

Bagaimana posisi peristiwa isra’ mi’raj sekarang? Saat ini, kita hidup di era millennium, segalanya serba modern. Hal-hal yang pada zaman dahulu belum mampu dilakukan kini terwujud misalnya pergi ke bulan dengan pesawat ruang angkasa atau menciptakan makhluk hidup dari rekayasa genetika – misalnya dolly (domba cloning), andi (monyet kloning) dan teman-temannya.

Bila kita korelasikan dengan peristiwa isra’mi’raj maka hal ini kemudian membuat orang-orang yang mulai sombong berseloroh melecehkan agama dan menganjurkannya untuk ditinggalkan.

Realita Islam–sejak,dari dahulu–lebih mengetahui IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) ketimbang kaum-kaum yang merasa baru mengecap dunia ilmiah, Islam lebih dahulu ilmiah. Bagaimana jelinya al-Qur’an menerangkan penciptaan awan, manusia, gunung, pemisah dua laut serta kejadian alam semesta yang sesuai dengan sains dan apa yang diteliti oleh para ahli fisika dan astronomi, kita tahu bahwa pada saat al-Qur’an diturunkan ilmu-ilmu tersebut belum lahir. Namun tentu saja sejarah ini bukan men-justifikasi ketertinggalan umat Islam sekarang dengan peradaban barat.

Manusia menurut mereka (orang-orang musyrik) hanyalah sekedar balutan kulit, daging, tulang dan bentuk fisik lainnya. Manusia adalah lebih dari itu.

Menurut psikologi islam manusia adalah ruh dan tubuh. Saat keduanya bertemu maka muncul jwa yang merupakan suatu sistem di mana komponen-komponen yang ada dalam diri berada dalam jiwa itu. Manusia dengan demikian memiliki potensi-potensi di antaranya kemampuan memasuli dunia ghaib dan kemampuan berada di dua lokasi (bilocation).
Isra’ mi’raj merupakan sesuatu yang harus kita percayai, yakini, dan imani karena benar-benar terjadi. Dalam surat Fushilat Allah Swt menyatakan dengan jelas adanya tujuh alam yang diciptakan-Nya bersama-sama dengan alam yang kita huni ini:

“Maka Allah menjadikan tujuh langit (ruang alam) dalam dua hari dan mewahyukan perintah-Nya pada tiap-tiap langit(ruang alam) itu; dan kami hiasi langit dunia itu dengan pelita/bintang-bintang.”

Dengan demikian ada enam alam lain yang tak dapat kita hubungi itu adalah alam ghaib yang memiliki hukum-hukumnya sendiri (sunnatullah) sesuai dengan perintahnya Allah SWT.

Menurut Quraish shihab sesuatu yang mustahil dapat dibagi menjadi dua. Mustahil karena akal kita dan mustahil menurut kebiasaan. Kita sering menilai sesuatu itu mustahil karena akal kita telah terpaku dengan kebiasaan atau dengan hukum-hukum alam/hukum sebab dan akibat yang kita ketahui sehingga bila ada peristiwa yang tidak sesuai dengan hukum itu kita langsung spontan mengatakan tidak rasional/mustahil. Enam alam ghaib yang dijelaskan oleh surat Fushilat tadi memiliki hukum yang berbeda dengan alam kita ini, oleh karenanya hal-hal yang akan kita alami di alam itu merupakan keanehan yang irasional.

Ketika isra’ mi’raj Rasulullah menyaksikan hal-hal yang tidak dapat terjadi di alam kita, maka kita dapat mengatakan bahwa perjalanan itu terjadi di alam lain yang ghaib, tidak berhubungan dengan kita, sehingga tak dapat kita teliti hukum-hukum pengaturannya.

Lain halnya dengan pendapat salah satu ahli astrofisika dengan different point of view, mengatakan bahwa jika berdasarkan teori relativitas Albert Einstein yaitu E=m.c.2, pesawat ruang angkasa apa pun apabila tidak dapat mentransformasikan massa menjadi foton (sesuatu tanpa materi, hanya energi) maka tidak akan mampu melesat secepat kecepatan cahaya (c).

Buraq, sebagaimana diibaratkan “pesawat ruang angkasa”, tentunya mampu menyamai kecepatan cahaya bahkan lebih (belum dipastikan bahwa di dunia ini apakah kecepatan cahaya adalah yang tercepat). Oleh karena itu, benda apapun bila dapat merubah massanya menjadi tak bermateri maka pastilah dapat menembus ruang angkasa ini.

Apapun penelitian mengenai isra’ mi’raj pada dasarnya bukan karena subyektifitas agama akan tetapi diikut sertakan pula alasan-alasan yang ilmiah. Ketika umat Islam memperingati peristiwa dasyat sekitar 14 abad yang lalu maka hendaklah menjadi barometer dalam meningkatkan dan memacu keimanan kita saat diingatkan dengan makna yang terkandung di dalamnya. Perintah sholat lima waktu yang menjadi kewajiban bagi setiap muslim, disamping sholat menempati kedudukan yang tinggi dalam rukun Islam.

Kita patut bersyukur, bagaimana jadinya bila shalat dijalankan 50 waktu sehari? Oleh sebab itu tradisi sholat lima waktu menunjukan bahwa agama tidak dimaksudkan sebagai beban yang memberatkan akan tetapi ini merupakan penerapan disiplin waktu, kebersihan tangggung jawab sebagai manusia terhadap penciptanya.

Semoga tanda-tanda kebesaran Allah yang diperlihatkan kepada Nabi-nya dapat menyadarkan dan menguatkan iman kita akan betapa luasnya jagat raya serta betapa agungnya sang pencipta. Wallahu a’lam bi shawab

01\09\200506\08/20071/08/2008

Wanita "The Second Sex"


kesan akan buku the princess
By taher heringuhir

(maaf bahasa di bawah ini sarkastik, aku hanya sekedar mencoba berontak atas mainstream bahasa sastra. Hasilnya aneh juga sih, tapi simak aja dulu deh)

Dari dulu diskursus tentang wanita telah mengundang banyak pendapat atau persepsi yang tak pernah habis juntrungannya. Dari mulai awal penciptaannya ampe perannya (roles of women) dalam peradaban manusia. Tapi intinya wanita adalah makhluk halus bukan setan, genderuwo en sejenisnya yang yang begitu indah bila dipandang dari sisi mana pun, kaga pernah ngebosenin.

Btw, dulu, cewek biasanya disebut perempuan, cuman karna muncul banyak kata yang menyanding kata perempuan itu terlalu menegasikan aspek-aspek kemuliaan wanita (perempuan jalang, perempuan malam, lacur, dll) maka istilah perempuan lambat laun diganti ama wanita (istilah pemburukan makna itu bahasa indonesianya: peyorasi, kalo ga salah, dah lama banget kaga belajar sih).

Tau ah, apa pun kata yang digunain buat nampilin sosok nan elok ini, baik wanita, perempuan, cewek, atau wadon yang penting adalah ia merupakan manusia yang paling berjasa dalam perjuangan mempertahankan eksistensi manusia di planet bumi ini. Sepakat kan.

Dalam perjalanannya, wanita (gue pake nomenklatur wanita aja) selalu menjadi fenomena yang selalu terpahat dalam lembaran sejarah dunia. Kenal Cleopatra kan? Ratu yang dibuang oleh kakaknya kemudian akhirnya ia berhasil kembali untuk menaklukan Kaisar omawi. Ada lagi Ratu Balqis dan Hatsepsuit. Nama terakhir yang disebut itu sepengetahuan gue dari buku bahwa dia memerintah Mesir selama lebih dari 20 taon. Gila betah amat, tapi yang jelas masih kalah sih sama Presiden Soeharto, 32 tahun memerintah kita.

Nah kalo di dunia sufi lo mungkin inget satu nama: Rabiatul Adawiyah yang populer dengan konsep mahabbah-nya pada Sang Khalik (gue jadi inget lirik sufistiknya ……mau gue tulis tapi lupa, kalo kaga salah Rabiatul nyembah Allah bukan karena ngarep surga atau takut neraka, tapi emang karena Allah semata, subhanallah ya).

Wah pokoknya bejibun dah tokoh wanita di dunia enni. Nah dalam kaitan ini gue mau ngasi kesan tentang sebuah novel (di covernya tertulis kisah nyata, berarti memoar ya) yang baru gue pinjem bersama lima novel lainnya (hehe…minjem atau ngerampok, dasar kaga modal).

Judul tu buku "Princess: Kisah Tragis Putri Kerajaan Arab Saudi". Dikisahkan oleh Sultana tokohnya) lalu kemudian ditulis oleh sahabatnya Jean P Sasson (penulis). Yah ceritanya menyangkut ma kaum wanita seperti yang gue perkenalkan di atas.

Menurut gue, Sultana salah satu cewek yang mengukir sejarah walaupun pengaruhnya belum sepenuhnya diekspos dunia, sebagaimana tokoh-tokoh populis di atas. Dari judul buku gue da dapat konklusi apa aja isinya, meskipun banyak yang melenceng dari prediksi gue.

Banyak banget yang gue dapat dari baca buku ini. Gue jadi tahu posisi wanita di Arab pada umumnya yakni berada pada: second sex (benar-benar jadi jenis kelamin kedua), maksudnya jadi subordinate laki-laki, marjinal. Padahal dalam agama Islam derajat antara wanita dan pria ga ada hierarki, yang membedakan adalah kedekatan kita pada-Nya walaupun wilayah praksis dalam ibadah pria adalah pemimpin namun bukan berarti wanita lebih rendah kan.

Kesian banget ya (kadang gue jadi bersyukur dilahirkan sebagai laki-laki, sigh). Apa pun itu gue prihatin banget. Dari bab atu mpe selesai gue disuguhin kisah tragis yang sebenarnya bermuara pada satu persoalan yang sama dan ini sudah berada pada tahap kultural dan struktural (ilmiyah ya kedengerannya). ah biar enak gue ambil inti-intinya ya:

- Gue jadi paham kenapa Pria Arab memperlakukan istri-istri (umumnya empat istri sesuai jumlah maksimal yang diperbolehkan dalam agama Islam), mereka se'enae dewek. Gila, mas kawin/maharnya aja ampe 27.000 USD (100.000 Real) gimana kaga miris yang mau kawin (h. 294).

Kalo tu cowok miskin bakal jadi bujang apuk deh. Pantes aja, logikanya begini : "Gue dah beli mahal-mahal yah terserah gue dong mau diapain? Ya kan?

- Gue jadi mahfum orang Arab yang pake paham Wahhabi emang ekstrim.
Patriarki banget. Tafsir-tafsir dari paham ini juga bias gender banged. Wanita ga boleh nyetir, ga boleh keluar rumah tanpa didampingi muhrim dll.

- N Gue jadi tahu (pake h ) kenapa TKW kita pada disiksa di Arab, wong wanita selain Arab dianggap rendah kelasnya udah gitu pendidikan TKW kita rendah juga. Mereka mempekerjakan pembantu itu artinya mereka membayar gaji mereka, konsekuensinya mereka berhak atas diri tu pembantu. Terserah mau diapain, lazimnya babu "digarap" oleh majikan sama anaknya, salome.

Menyedihkan. Emang maniak seks banget ya (lo tau? bener ga sih, "dick" orang Arab itu lebih "large" dari yang bukan orang Arab, btw berapa centimeter ya? Diameternya berape?,heheh jadi piktor deh gue. Tapi kata temen gue emang "gede". Ah yaudalah

-,Terus, gue jadi ngertos (sebenarnya dah tahu sebelum baca ini buku) pria punya sex appeal yang berbeda dengan wanita. Tabiat dan nafsuseks pria ditandai dengan nafsu yang keras dan mendesak-desak seperti halnya pemburu mengejar mangsa kaya di pilem dokumenter National Geography. Karakternya cenderung kepada insting kehewanan (bahasa Arabnya al-anthrus: setengah di bawah derajat hewan, setengah lebih tinggi dari budak—ini bahasa buku, cuman gue lupa referensinya).

- Gue juga jadi tahu kenape sebagian wanita-wanita Arab itu desperate. WAnita yang notabene pake abaya dan cadar serba item ini ternyata ga sesuci yang kita kira. Mereka melakukan free sex karena tidak ada harapan akan masa depan.

Yah kaya sebagian mahasiswi di Indonesia. Cuma alasannya di Indonesia berbeda jauh. Ngebahas kemunafikan teringat kepura-puraan para selebritis kita. Tau kan kasus Rosa ciuman bibir ma Ivan Gunawan? padahal da punya suami (hehe doyan gossip juga ya), wah kaga pantes tuh nyanyi soundtrack Ayat-Ayat Cinta (ngerusak makna tulagu), semoga aja para pemeran pilem yat-Ayat Cinta kaya Rianti Cartwright, Fedi Nuril, Carissa, dan Zaskia sesuai sama karakter yang diperankan, minimal mendekatilah. Kok jadi ngalor ngidul gini.Nah gue mau menyoroti kasus di atas. Sesuai apa yang diceritakan si Sultana (tokoh) dalam kehidupannnya bahwa sebagian wanita Arab melakukan perlawanan dengan cara yang laten (terselubung).

Mereka mau pria-pria Arab yang akan menjadikan mereka istri di mana sebelumnya telah terbiasa menjamah wanita lainnya (entah libanon,Amerika dsb) mendapati istri mereka masih perawan. Struggle for revenge mungkin, jadi sebelum malam pertama wanita Arab telah lebih dahulu melakukan hubungan seksual walaupun ga ampe penetrasi.

Biar adil mungkin. Ada juga yang menyembunyikan ketidakperawanan mereka dengan melakukan operasi selaput dara. Dan yang lebih mengerikan dan jijiknya lagi wanita yang tak perawan meletakan beberapa helai hati domba dalam vaginanya (h.273).

Huuh. Gimana rasanya yah? au ah (sabar her, nikah dulu…)Tentang hal ini gue pernah diceritain temen gue (cewek):

"Her lo tau ga?" sapa temen gue
"Ga"
"Kenapa emang."
"Gini, temen gue kan baru merit kemarin."
"Trus, lo mau nyusul?" jawab gue.
"Yee, ngarang, bukan gitu"
"Lah trus?""Gini, temen gue yang baru merit cerita kalo dia takut banget pasmalam pertama anunya kaga bedarah." Temen gue mulai serius, gue juga.
"Wah kacau berarti kaga perawan dong?" sahut ue nyelidik
"Dasar cowok kaga ngerti, ga bedarah bukan berarti tu cewek gaperawan, tapi mang selaput daranya elastis." Temen gue ngejelasin lebih serius, seserius mukanya
"Wah enarik nih, trus?"
"iya dia takut banget dicurigai udah ga perawan sebelumnya, dia was-was banget gimana caranya biar suaminya percaya, akhirnya lo tau apa yang dia lakuin?" GUe geleng kepala so' paham
"Dia nyiletin tangannya pas di WC, nah pas di ranjang, darahnya dicipratin di seprai, yah ampun her dia cerita ke gue ampe nangis, gue ga tega banget."
"Astagfirullah"

Sumpah ini cerita beneran gue alamin.Asli Cccck………… Inilah potret kelam kalau bicara masalah ini: virgin.Keperawanan adalah satu hal yang disinggung dalam kisah Sultana ini.

Selaput dara hanyalah sebuah organ tubuh yang fungsinya sama pentingnya dengan organ-organ yang lain, tapi kenapa jadi icon sebuah "kehormatan". Kalo ada wanita yang selaput daranya elastis dan memang sangat comfortable (dapat melar, melebar dan mengkerut) pada saat penetrasi dari si pria dan itu tidak mnyebabkan pendarahan nah sudah pasti menunggu diceraikan oleh pihak suami padahal tu wanita masih suci, gadis, mateng, dan ranum (emang mangga?)

Nah seharusnya kaum pria Arab (juga seluruh pria konservatif bin kolot di belahan bumi) dirubah pemahamannya. Kalo kaya gitu terus kesian banget si wanita kalo malam pertama seprai ga da bercak merah.

Merubah mindset emang susah karena kultur Arab sudah dari sononya begitu, butuh perjuangan dari siapa pun (dalam novel ini wanita) yang ga mudah seperti apa yang dilakukan Sultana. Padahal Mr.Simone De Beauvoir (feminis tulen) nyang nulis buku second sex bilang :….perempuan bukan merupakan tiruan laki-laki yang tak berguna, melakinkan merupakan tempat yang mempesona di mana aliansi yang hidup antara laki-laki dan alam semesta dihadirkan. Jika perempuan lenyap,laki-laki akan sendirian, orang asing tanpa paspor dalam dunia yang membeku. Ia adalah bumi itu sendiri yang diangkat menuju kehidupan tinggi, bumi menjadi peka dan senang; dan tanpa dirinya, bagi laki-laki bumi terasa SUNYI dan MATI…..

Wah bener banget tuh. Kalo elo pada hormat ma wanita, sama aja lo mengangkat harkat derajat kaum dari nyokap lo, ibu sebuah generasi. Nah nyambung lagi, kalo kasus yang diceritain temen gue terjadi pada umumnya wanita-wanita di Indonesia berarti kaum pria kudu dikasi penataran keperawanan atau seminar sex kali. Setuju?

Terakhir tentang novel ini singkat aja, Dalam novel ini mengajarkan kita bagaimana menciptakan komunikasi yang asertif antara dua jenis manusia. Meskipun ngebaca ni novel, jujur gue belum dapat klimaks dari kisah ini coz datar aja gitu, dari bab satu ampe terakhir. Semuanya hampir seragam kisahnya. Tetapi bagian terakhir di epilog pengetahuan sejarah gue nambah juga sih.hehe..

Novel ini bagus apalagi buat perjuangan kaum feminis yang tetap concern dalam mengobarkan gairah kesetaraan antara pria dan wanita. Karena apa pun jenis kelamin bukan hukuman tapi sebuah anugerah agung dari maha agung yakni Allah SWT. Keseimbangan perlu dibina, perbedaan harus disyukuri, dan keadilan tentunya mutlak ditegakkan.

Seperti sebuah adagium : pria bagai jarum dan wanita adalah magnet yang selalu mempunyai daya tarik yang luar biasa kuatnya.

08/02/08Kritik dan saran tas esai lepas ini dapat dilayangkan ke:tahersale@gmail.com//tahernovosellic@plasa.com

Minggu, 13 Juli 2008

Tulisan Goenawan Mohamad

Majalah Tempo, Edisi 16-21 Juni


Di luar sel kantor Kepolisian Daerah Jakarta Raya itu sebuah statemen dimaklumkan pada pertengahan Juni yang panas: “SBY Pengecut!”Yang membacakannya Abu Bakar Ba’asyir, disebut sebagai “Amir” Majelis Mujahidin Indonesia, yang pernah dihukum karena terlibat aksi terorisme. Yang bikin statemen Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam, yang sedang dalam tahanan polisi dan hari itu dikunjungi sang Amir.

Dari kejadian itu jelas: mencerca Presiden dapat dilakukan dengan gampang. Suara itu tak membuat kedua orang itu ditangkap, dijebloskan ke dalam sel pengap, atau dipancung.

Sebab ini bukan Arab Saudi, wahai Saudara Shihab dan Ba’asyir! Ini bukan Turki abad ke-17, bukan pula Jawa zaman Amangkurat! Ini Indonesia tahun 2007.

Di tanah air ini, seperti Saudara alami sendiri, seorang tahanan boleh dikunjungi ramai-ramai, dipotret, didampingi pembela, tak dianggap bersalah sebelum hakim tertinggi memutuskan, dapat kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam Kepala Negara.

Di negeri ini proses keadilan secara formal dilakukan dengan hati-hati–karena para polisi, jaksa, dan hakim diharuskan berendah hati dan beradab. Berendah hati: mereka secara bersama atau masing-masing tak boleh meletakkan diri sebagai yang mahatahu dan mahaadil. Beradab: karena dengan kerendahan hati itu, orang yang tertuduh tetap diakui haknya untuk membela diri; ia bukan hewan untuk korban.

Keadilan adalah hal yang mulia, Saudara Shihab dan Ba’asyir, sebab itu pelik. Ia tak bisa digampangkan. Ia tak bisa diserahkan mutlak kepada hakim, jaksa, polisi–juga tak bisa digantungkan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana pun. Keadilan yang sebenarnya tak di tangan manusia.

Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya kepada yang tak alang kepalang jauhnya di atas kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak dapat kita capai dan samai. Dengan kata lain, iman adalah kerinduan yang mengakui keterbatasan diri. Iman membentuk, dan dibentuk, sebuah etika kedaifan.

Di negeri dengan 220 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di 17 ribu pulau ini, tak ada sikap yang lebih tepat ketimbang bertolak dari kesadaran bahwa kita daif. Kemampuan kita untuk membuat 220 juta orang tanpa konflik sangat terbatas. Maka amat penting untuk punya cara terbaik mengelola sengketa.

Harus diakui (dan pengakuan ini penting), tak jarang kita gagal. Saya baca sebuah siaran pers yang beredar pada Jumat kemarin, yang disusun oleh orang-orang Indonesia yang prihatin:


”… ternyata, sejarah Indonesia tidak bebas dari konflik dengan kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakan Darul Islam sejak Indonesia berdiri sampai dengan pertengahan 1960-an. Sejarah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflik antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua, sampai dengan pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir.”Ingatkah, Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, semua itu? Ingatkah Saudara berapa besar korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut karena kita menyelesaikan sengketa dengan benci, kekerasan, dan sikap memandang diri paling benar? Saudara berdua orang Indonesia, seperti saya. Saya mengimbau agar Saudara juga memahami Indonesia kita: sebuah rahmat yang disebut “bhineka-tunggal- ika”. Saya mengimbau agar Saudara juga merawat rahmat itu.Merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama halnya dengan meniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbeda untuk memperbaiki keadaan. Indonesia yang rumit ini tak mungkin berilusi ada sebuah sistem yang sempurna. Sistem yang merasa diri sempurna–dengan mengklaim diri sebagai buatan Tuhan–akan tertutup bagi koreksi, sementara kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di surga yang tak perlu dikoreksi.

Itulah yang menyebabkan demokrasi penting dan Pancasila dirumuskan. Demokrasi mengakui kedaifan manusia tapi juga hak-hak asasinya–dan itulah yang membuat Saudara tak dipancung karena mengecam Kepala Negara. Dan Pancasila, Saudara, yang bukan wahyu dari langit, adalah buah sejarah dan geografi tanah air ini–di mana perbedaan diakui, karena kebhinekaan itu takdir kita, tapi di mana kerja bersama diperlukan.

Pada 1 Juni 1945, Bung Karno memakai istilah yang dipetik dari tradisi lokal, “gotong-royong”. Kata itu kini telah terlalu sering dipakai dan disalahgunakan, tapi sebenarnya ada yang menarik yang dikatakan Bung Karno: “gotong-royong” itu “paham yang dinamis,” lebih dinamis ketimbang “kekeluargaan” .

Artinya, “gotong-royong” mengandung kemungkinan berubah-ubah cara dan prosesnya, dan pesertanya tak harus tetap dari mereka yang satu ikatan primordial, ikatan “kekeluargaan” . Sebab, ada tujuan yang universal, yang bisa mengimbau hati dan pikiran siapa saja–“yang kaya dan yang tidak kaya,” kata Bung Karno, “yang Islam dan yang Kristen”, “yang bukan Indonesia tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”

“Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan sikap beradab, sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama Tuhan–atau justru karena membawa nama Tuhan–siapa pun, juga Saudara Ba’asyir dan Saudara Shihab, tak boleh mengutamakan yang disebut Bung Karno sebagai “egoisme-agama.”

Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanah air ini akan jadi tempat yang mengerikan jika “egoisme” itu dikobarkan. Pesan 1 Juni 1945 itu patut didengarkan kembali: “Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara leluasa.”

Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, Saudara Shihab dan Ba’asyir. Ataukah bagi Saudara ia tak punya arti apa-apa?

Goenawan Mohamad

Entri Populer

Penayangan bulan lalu