Selasa, 21 September 2010

Resensi Film Sang Pencerah

Perubahan datang dari anak Muda

Oleh Taher Saleh

Hidup hanya sekali, maka gunakanlah sebaik baiknya bagi kepentingan umat. Kira kira itulah pesan Film Sang Pencerah garapan sutradara brilian Hanung Bramantyo. Film yang menceritakan kisah hidup KH Ahmad Dahlan, ulama besar abad 19, pendiri Muhammadiyah organisasi masyarakat terbesar kedua di Indonesia.

Muhammadiyah adalah bayi murni yang lahir dari sebuah pertanyaan mengenai praktek keagamaan pada masa itu, masa penuh TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat) meski Islam sudah masuk ke dalam paru-paru Jawa. Saat itu (1800-am) masa kebodohan tertanam di hampir seluruh pelosok negeri ini yang sedang dalam penjajahan Belanda. Muhammadiyah adalah salah satu jawaban yang dilontarkan Dahlan muda kepada masyarakat untuk memurnikan ajaran Islam.

Kelahirannya mewujudkan perjuangan lembaga keagamaan dalam menghadapi berbagai praktek dan etiket yang bersumber dari agama lain yang cenderung memperlemah jiwa dan semangat pribumi sehingga menjadi budak bangsa asing di negeri sendiri.

Namun kehadiran organisasi ini juga jawaban luhur yang disertai dengan keyakinan bahwa Muhammdiyah bukan paling benar dan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW tetapi menggarisbawahi ternyata kita mesti saling menghormati perbedaan bagaimana menginterpretasikan agama.

"Saya justru menghormati orang yang berbeda pendapat dengan saya," kata Dahlan dewasa yang diperankan dengan baik oleh aktor muda berkarakter terbaik di negeri ini Lukman Sardi.

Jawaban ini meng-counterperbedaaan cara pandang Islam yang dibawa selepas ia berguru di Mekkah. Dahlan menjawab lontaran ini juga ketika segala perbedaan itu lantas membuatnya dijauhkan karena dianggap kafir, terpengaruh modernitas dari pemikiran Muhammad Abduh dan Jamaluddin al Afghani, pemikir modernitas di Timur Tengah.

Film ini menandaskan keberhasilan Hanung memoles cerita dengan urutan yang nyaman ditonton, tak pernah membawa kita kilas balik atau flashback. Dari sisi plot cerita memang tak ada kejutan yang berarti seiring dengan durasi filem yang begitu panjang, 2 jam.

Hanung pun bisa dikatakan berhasil karena sanggup menghidupkan atmosfer dan lanskap kota Jogyakarta akhir 1800-an. Mengembalikan dan mereka-ulang bangunan Masjid Agung Kauman, Kota Gede, Bintaran dan wilayah keraton, termasuk sudut-sudut Kota Yogyakarta mundur ke belakang 100 tahun lalu.

Ini pekerjaan besar tentunya bahkan Kompleks Kebun Raya Bogor disulap menjadi jalanan Malioboro dan Tugu Yogyakarta. Satu yang mengganggu dalam film ini ialah penampilan Nyai Ahmad Dahlan atau Ibu Walidah (Zaskia Adya Mecca) yang begitu Indonesia, padahal hampir seluruh pemain di film ini beraksen Jawa medhoktapi Zaskia tak berhasil menampilkan kekhasan Jawa dari lisannya.

Selain itu yang tak bisa dilepaskan yaitu tema kristenisasi yang tidak begitu ditonjolkan oleh Hanung. Sejarah padahal mencatat, kelahiran Muhammadiyah pun didorong oleh keadaan ekternal saat itu ketika negeri ini dihadapkan pada kristenisasi yang digemborkan oleh penjajah Belanda dengan pameonyagold, ghospel, and glory.

Namun di luar itu Hanung dalam film ini sebetulnya ingin memberi pesan kepada anak muda, “Hidup hanya sekali apa yang akan kamu lakukan?” Lalu pertanyaan “Apa yang kamu lakukan pada usia 21 tahun bagi umat?”

Sekali lagi apa yang kamu lakukan? Apa sibuk melahap buku, menuntut ilmu sejauh mampumu, berkelebatan di malam hari beribadah, pejuang sosial, atau malah terjebak dengan hedonisme dunia modern?

Itulah menurutku pesannya, bukan seperti pendapat kontroversi yang menyatakan film ini hanya menonjolkan keunggulan Muhammadiyah dibandingkan dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan terbesar di negeri ini. Meski pada kenyataanya kelahiran NU salah satunya juga didasari konfrontasi pembaharuan oleh Muhammadiyah.

Pertanyaan kepada anak muda itu memang begitu menohok apalagi di tengah arus globalisasi, atau jika meminjam istilah Presiden RI pertama Soekarno bahwa era ini adalah NEKOLIM neokolonialisme dan imperialism. Yah penjajahan dari nikmatnya modernitas yang tak mampu kita bendung. Maka anak muda tontonlah film ini tanpa ada pretensi persinggungan antara Muhammadiyah dan NU. Tontonlah film ini atas perubahan bagi kaum muda.

Gambar: www.kedaiopini.com


Selasa, 14 September 2010

Indahnya Masjid Rasa Roma di Semarang...

Oleh Taher Saleh

Senja perlahan mengendap di kaki langit saat kami baru sampai di Kota Semarang. Tak berpanjang waktu, perjalanan pun kami teruskan ke salah satu tempat ibadah kebanggaan masyarakat muslim di sana sekaligus objek wisata rohani, Masjid Agung Jawa Tengah.

Ketika tiba menjejakkan kaki di pelataran masjid, sontak kami pun sibuk mencari sudut pandang yang pas buat mengabadikan prasasti sejarah yang mulai dibangun pada 6 September 2002 ini.

Rasanya hilang semua rasa letih perjalanan panjang kami dari Solo, yang tersisa hanya kekaguman atas bangunan yang berdiri di Jalan Gajah Mada, Kelurahan Sambirejo. Kecamatan Padurungan, Semarang ini.

Masjid Jawa Tengah juga dikenal sebagai obyek wisata rohani selain fungsi utamanya untuk ibadah apalagi di bulan suci seperti Ramadhan tentunya pengunjung bisa bertambah dari bulan biasa. Di masjid ini juga terdapat pusat pendidikan, perpustakaan, museum, dan pusat akltifitas syiar Islam.

Sebelum masuk ke masjid, kita akan melewati gerbang lengkung yang menyerupai colosseum di Romawi, satu bangunan dunia yang dikenal sebagai kuburan bagi para gladiator. Unik memang karena masjid yang diresmikan pada 14 November 2006 ini dibangun dengan desain Jawa-Islam-Romawi yang diarsiteki oleh Ahmad Fanani hasil memenangi sayembara.

Gerbang lengkung ini bernama Al-Qanatir, artinya “megah dan bernilai". Gerbang ini ditopang 25 tiang, simbol bahwa ada 25 Rasul Allah. Setelah melewati gerbang, sudah berdiri dengan pongah enam buah payung hidrolik yang menutup dan membuka secara otomatis, berfungsi sebagai atap halaman utama masjid di mana bisa menampung 10.000 jamaah. Tepat di bawah halaman utama ini tempat parkir.

Belum ada masjid di Indonesia yang mengadopsi payung hidrolik yang mirip di Masjid Nabawi ini selain masjid yang kami kunjungi ini. Sayangnya, saat tiba, payung hidrolik masih menguncup. Tapi untung juga kami tiba sore, bisa dibayangkan kalau berdiri siang bolong karena lantai marmer pelataran masjid masih terasa panas "membakar” telapak kaki. Mungkin saja payung itu dibuka kalau hujan.

Selain berbentuk joglo yang mewakili bangunan khas jawa, masjid ini memiliki kubah putih berdiameter 20 m dengan 4 minaret dengan ketinggian 62 m yang berdiri empat sisi kubah sebagaimana dikutip dari situs resmi masjid. Sebelum naik ke lantai utama masjid (lantai 2) kita mesti ke lantai dasar tempat wudhu.

Di dalam masjid, ornamen-ornamen penghias masjid begitu elok. Di pojok kanan belakang, terdapat bedug raksasa, bernama Bedug Ijo Mangunsari karya KH Achmad Sabri, Tinggarjaya Jati Lawang, Purwokerto. Panjangnya 310 meter. Konon, selama pembuatan, si pembuat (tukang) harus dalam keadaan berpuasa. Adapun alat pemukul bedug diberikan oleh sultan Hasanah Baulqiyah, Brunai Darussalam.

Setelah sibuk ria di dalam masjid, langsung kami beranjak ke salah satu keunikan masjid ini yakni Menara Al Husna. Menyusuri menara kita akan melewati Convention Hall yang berdaya tampung 2000 orang yang biasanya digunakan untuk acara resepsi pernikahan dan rapat para pejabat.

Sesampainya di menara kita mesti merogok kocek Rp3.000 untuk tiket masuk, bonusnya diberikan beberapa makanan ringan. Di menara ini hampir setiap sore ramai dikunjungi masyarakat. Tinggginya 99 meter atau simbol dari asma Allah yang terdiri dari 99 nama. Menara ini terdiri dari 19 lantai dan di puncaknya kita bisa memakai teropong seperti layaknya di Monas Jakarta.

Di lantai satu, kita bisa mendengarkan kajian-kajian Islami di Radio Dakwah Islam (DAIS) lalu di lantai dua dan tiga terdapat museum di mana kita dapat mengetahui perkembangan Islam dari tahun ke tahun. Nah untuk lantai empat sampai 17 belum ada informasi ditel sepertinya hanya lorong kosong.

Di lantai 18 terdapat restoran bertaraf Internasional dan cafe muslim. Tapi jangan kaget jika pelan pelan restoran ini akan berputar 360 derajat layaknya tempat makan Kampus yang terletak di Menara Imperium Jakarta.

Nah sampailah kami di puncak menara lantai 19 yang berdaya tampungnya 80 orang. Ada lima teropong yang bisa dimanfaatkan. Hanya dengan koin Rp500,-per menit kita bisa mengintip sekilas kontur ibu kota Jawa Tengah ini.

Dari atas kita bisa melihat pertokoan yang ada di sebelah kanan masjid, suasana cuaca kota Semarang, dan sekilas pemandangan kapal-kapal yang sedang berlalu-lalang di pelabuhan Tanjung Emas dari kejauhan.

Menikmati pemandangan dari atas lumayan menahan kami di lantai ini lagipula saat kami di sana bulan lalu masjid memang banyak di kunjungi wisatawan yang berasal dari berbagai daerah. Bahkan beberapa turis manca negara, khususnya muslim banyak yang melunangkan waktu berkunjung ke masjid ini. Dan tak terasa hari sudah menjelang magrib. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Lawang Sewu saat senja tak malu lagi menampakkan diri.

foto: taher by nokia e71

Entri Populer

Penayangan bulan lalu