Kamis, 28 Maret 2013

Di Mana Alternatif Pengganti Priok?

Pelabuhan Tanjung Priok, 1935,. Photo By google
Oleh M. Tahir Saleh

SEJARAH kereta api di Sumatra Selatan tidak bisa dilepaskan dari peran serta RA Eekhout. Orang Belanda ini yang pertama kali mengajukan permohonan konsesi kontruksi dan eksploitasi kereta api listrik di provinsi itu pada 1895.

Eehout pernah mengajukan konsensi serupa tapi pemerintah berpendirian pembangunan kereta api (KA) mesti dilakukan oleh negara sehingga permohonan swasta ditolak.

Saat itu, penjajah Belanda, memang galau dalam membangun KA karena khawatir jika konsesi diberikan ke swasta, mereka menjadi kuat dan membentuk negara dalam negara.

Insinyur Logtvoet akhirnya diperintahkan meneliti soal KA ini pada 1902 dan 6 tahun kemudian penelitian itu dilanjutkan oleh Insinyur Richter.

Sejak itu dimulailah proses pembangunan sederhana rel KA, mulai dari lintas Telukbetung–Prabumulih dan Muara Enim–Palembang seperti diceritakan M. Gani dalam bukunya berjudul Kereta Api Indonesia (1979).

Sejak 1 abad lalu, pembangunan rel KA di Pulau Sumatra itu sudah digagas oleh Belanda. Namun, entah bagaimana perlahan-lahan, rel KA yang dibangun itu kini beberapa jalurnya ditempati oleh warga baik untuk hunian maupun tempat usaha.

Padahal, Belanda dari awal sudah memandang KA adalah alat transportasi yang lebih efisien ketimbang kendaraan darat lain seperti truk dan mobil. Kenyataannya di Indonesia, KA seperti kalah bersaing dengan moda transportasi darat lain khususnya mengangkut komoditas.

Inilah yang baru disadari PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia Port Corporation. Tahap awal, salah satu pelabuhan yang dikelola oleh BUMN itu yakni Pelabuhan Panjang, Lampung, mulai merevitalisasi jalur KA yang sudah ada sejak zaman Belanda itu.

Pelabuhan itu letaknya di provinsi paling selatan Sumatra dan berbatasan dengan Bengkulu dan Sumatra Selatan di utara.

Dengan revitalisasi jalur KA sepanjang 3 km dari Pidada ke pelabuhan itu akan meningkatkan efisiensi distribusi barang yang selama ini hanya mengandalkan truk. Rencanya, awal 2013 proyek itu dimulai.

“Rel kereta ke pelabuhan sudah dibangun Belanda dahulu, tapi kita masih merasa lebih pintar lalu menggunakan truk, jalan jadi rusak, tidak efisien, sehingga kami akan revitalisasi,” kata Doso Agung, General Manager Pelindo II Cabang Panjang.

Total lokasi Panjang mencapai 105 hektar dengan panjang dermaga 1.419 meter, lebar dermaga 176,7 meter persegi. Kedalamannya hingga 14 meter meski di beberapa titik masih ada yang 12 meter tetapi akan diperdalam kembali.

Pada 2011, jumlah peti kemas tercatat 106.000 TEUs dan hingga triwulan III/2012 mencapai 99.051 TEUs. Memang masih kalah dari peti kemas di Priok yang menembus 5,6 juta TEUs pada 2011 dan ditargetkan 7 juta TEUs pada 2012.
“Rel kereta ke pelabuhan sudah dibangun Belanda dahulu, tapi kita masih merasa lebih pintar lalu menggunakan truk, jalan jadi rusak, tidak efisien, sehingga kami akan revitalisasi,”
Bagi Siswanto Rusdi, Direktur The National Maritime Institute, alternatif pelabuhan lain pengganti Priok yakni Pelabuhan Bojonegara, Banten dan Pelabuhan Sabang, NAD. Ironisnya, fasilitas megah Bojonegara yang menelan triliun rupiah dibiarkan terbengkalai, sedangkan Sabang sendiri fasilitasnya masih terbatas.

“Padahal laut [Bojonegara] punya kedalaman alami, tidak terlalu jauh dari hinterland di Jawa Barat yakni Bekasi, Karawang dan sekitarnya, tapi ini wacana sudah tenggelam. Soal Sabang, jika pemerintah ada kemauan mengembangkan menjadi hub port internasional, dahsyat sekali,” katanya.

Namun, dirinya tak sepaham jika Panjang dikatakan menjadi penopang Priok karena hingga saat ini belum ada jaringan KA antara Jawa dan Sumatra. Truk yang ada melintasi Pelabuhan Merak pun menyimpan banyak masalah.

Dengan kondisi itu yang ada di depan mata barangkali Pelabuhan Cilamaya, Karawang, Jawa Barat. Kuncinya, kata Siswanto, jangan ada perlakuan khusus sebagaimana proyek Terminal Peti Kemas Kalibaru atau New Priok sehingga proyek itu lebih baik ditender mengingat kepelabuhan Indonesia saat ini cenderung monopolistik. Padahal UU No.17/2008 tentang Pelayaran membuka pintu liberalisasi.

“Swasta juga bisa kok menjalankan bisnis pelabuhan. Ya melalui tender. Kabarnya kalangan pelayaran mau buat konsorsium atau Cimalaya. Operator terminal yang ada juga mau.

Sayangnya, lagi-lagi pembangunan Pelabuhan Cimalaya ini masih jauh. Pemerintah menargetkan pembangunan pelabuhan yang akan mengurangi beban Priok baru akan ditender 2013 dan mulai dibangun 2014, atau paling lambat 2015.

KENDALA
Peneliti ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam Optimistis bakal terjadi pertumbuhan yang tinggi pada industri maritim jika pemerintah memiliki visi kelautan yang tinggi mengingat saat ini persaingan global makin ketat.

Dia memprediksikan 5 tahun ke depan Indonesia memiliki hub internasional yang bisa menyaingi Singapura.

“Perlu ada terobosan tinggi untuk daya saing kita,” katanya.

Baginya peran pelabuhan di Indonesia belum optimal sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah karena lemahnya kuantitas dan kualitas pelabuhan.

Indonesia, katanya, hanya punya 18 pelabuhan samudera dan 52 pelabuhan perikanan, padahal panjang pantai Nusantara mencapai 81.000 km. Rasionya, itu satu pelabuhan untuk setiap 1.157 km panjang pantai.

Siswanto juga memandang pemerintah terlalu jauh melangkah sehingga untuk membangun pelabuhan baru yang jauh dari Jakarta atau Jawa menjadi hampir mustahil. “Itulah masalah kita dalam mengembangkan pelabuhan, Priok dijadikan titik pangkalnya.”

Dia juga menegaskan imbas kebijakan yang belum pro maritim menyebabkan Indonesia belum punya perusahaan pelayaran nasional yang bisa disejajarkan dengan Neptune Orient Line (NOL) Singapura untuk trayek luar negeri.

PT. Djakarta Lloyd, yang disebut-sebut sebagai flag carrier, bahkan kini merangkak naik keluar dari zona kebangkrutan karena pengelolannya amburadul.

Kondisi ini juga diakui oleh Dirut Pelindo II R.J. Lino. Dalam presentasinya, dia memetakan sejumlah persoalan masa lalu yang berimbas pada biaya logistik yang tinggi. Itu sebabnya, harga semen, misalnya di Papua, 20 kali lipat lebih mahal dari Jakarta dan jeruk Mandarin lebih murah ketimbang jeruk Pontianak.

Beban masa lalu itu yakni kapasitas Priok penuh, produktivitas pelabuhan rendah, terbatasnya akses jalan tol dan kereta menuju pelabuhan, hingga investasi pelabuhan yang rendah 15 tahun terakhir.

Soal lainnya, yakni kedalaman pelabuhan, kurangnya terminal peti kemas, SDM kurang, kurangnya efektivitas keterhubungan antarpulau, dan perlu adanya revitalisasi dan konsolidasi kargo dan operasi logistik. Bila semua bisa diatasi, kendala pertumbuhan bisa dibongkar.

Dia mengatakan pada kurun 1980-1996, sekitar 60% lebih kapal berjenis kontainer dengan ukuran di bawah 3.000 TEUs yang masuk Priok.

Pada 2012, kapal dengan ukuran Post Panamax atau yang lebih besar, persentasenya akan semakin dominan masuk ke Priok. Lino yakin dengan adanya Terminal Kalibaru, kapal CMA-CGM berkapasitas 16.000 TEUs segera hadir.

Upaya peningkatan kapasitas kepelabuhan bukan hanya dengan pembangunan Kalibaru tetapi juga dengan membangun pendulum pelabuhan Indonesia atau Main Sea Corridor.

Proyek ini menghubungkan pelabuhan sentral di Indonesia terdiri dari Pelabuhan Belawan, Batam, Jakarta, Surabaya, Makassar, dan Sorong. Dengan luas laut yang dua-pertiga lebih besar dari daratan, Indonesia tak pelak lagi adalah negara kepulauan bahkan sesungguhnya negara kepulauan terbesar di dunia.

Oleh karenanya, cukup beralasan jika pemerintah mestinya menjadikan lautan sebagai salah satu sumber, jika tidak mau disebut sebagai sumber utama, perekonomian bangsa. Jangan sampai potensi sedemikian tinggi dalam industri maritim berubaj menjadi petaka.

Sampai saat ini, Indonesia belum punya satu pun pelabuhan laut yang berkelas dunia seperti PSA, Singapura, atau Tanjung Pelepas, Malaysia, Pelabuhan Tanjung Priok tidak pernah bisa bebas dari kemacetan manakala tiba waktu closing pemuatan barang ke atas kapal.

Ketiadaan hub port itu, membuat 3 juta TEUs peti kemas setiap tahun menguap keluar dari Indonesia dan hampir sebagian besar singgah sebentar atau transshipment di Port of Singapore untuk selanjutnya didistribusikan ke tujuan akhirnya di berbagai belahan dunia.

Kondisi itu menyebabkan Indonesia kehilangan devisa US$ 450 juta per tahun. Dengan memiliki hub port berarti Indonesia bisa menutup kehilangan devisa yang tidak sedikit itu. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia 7 Januari 2013, suplemen Arah Bisnis dan Politik 2013. Judul asli, Mencari Alternatif Pengganti Priok.

Mencari Keberpihakan pada Kereta Ekonomi

Pengunjuk rasa di Stasiun Bekasi, 25 Maret 2013, Photo By Metro TV

Oleh M Tahir Saleh

WAJAH Kepala Stasiun Bekasi Hariyanto seperti penuh beban. Massa pengunjuk rasa yang menduduki rel kereta di peron satu stasiun itu seakan menekannya. Keringat mulai mengalir di balik kerah bajunya.

Di atas peron, ia memulai berbicara di depan ratusan orang yang memblokade stasiun itu pada Senin (25/3/2013). Namun belum semenit dia menyapa, teriakan pengunjuk rasa sudah memotongnya.

“Ah lagu lama, kaset baru, sama aja kebanyakan janji,” teriak salah seorang pengunjuk rasa.

“Ini membunuh rakyat pelan-pelan,” timpal yang lain.

Massa kembali berteriak tak karuan dengan segala tuntutan. Forum itu bak ajang penghakiman kepada kepala stasiun meski Hariyanto saat itu aman diapit oleh aparat dari Kodim dan Polres Bekasi.

“Tuntutan saudara-saudara akan dibahas dengan pimpinan. Segera sebelum tanggal 1 April mendatang sudah dihasilkan keputusan,” janjinya.

Alasan penghapusan itu sebetulnya untuk meningkatkan pelayanan kepada penumpang karena kondisi KRL Ekonomi sudah tidak layak, sangat berbahaya, dan berisiko tinggi terhadap keselamatan dan keamanan penumpang.

Setelah itu pengunjuk rasa pun kembali tenang dan mendengarkan hasil kesepakatan dengan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Blokade Stasiun Bekasi sejak pukul 06.00 WIB itu akhirnya berakhir pukul 10.20 WIB. Perjalanan kereta kembali normal.

Blokade sejak pagi hari ini bukan hanya berdampak pada lumpuhnya KRL Commuter Line di stasiun itu tetapi juga mengganggu jadwal kedatangan kereta jarak jauh dari Jawa. Langkah PT KAI yang akan menghapus KRL Ekonomi Lintas Serpong dan Bekasi per 1 April mendatang itu membuat ratusan penumpang merapatkan barisan menolak kebijakan yang dinilai tak merakyat itu, dimulai dari Stasiun Bekasi.

“Mereka [KAI] pikir semua orang bisa beli tiket Commuter Line Rp8.500?,” kata Ferry, salah satu orator dalam unjuk rasa itu.

Lima tuntutan dari massa yang menamakan dirinya Paguyuban Penumpang Kereta Ekonomi itu ialah penolakan penghapusan KRL, penambahan jadwal perjalanan, penurunan tarif Commuter Line, penghapusan sistem transit, dan semua KRL Ekonomi harus berhenti di Stasiun Bekasi.

“Kami akan coba evaluasi dulu tuntutan mereka,” kata Kepala Humas PT KAI Daop 1 Agus Sutjiono singkat kala itu.

Alasan penghapusan itu sebetulnya untuk meningkatkan pelayanan kepada penumpang karena kondisi KRL Ekonomi sudah tidak layak, sangat berbahaya, dan berisiko tinggi terhadap keselamatan dan keamanan penumpang.

Banyaknya gangguan yang terjadi pada kereta non-AC itu juga kerap mengganggu kenyamanan perjalanan kereta secara keseluruhan dan sangat berdampak terhadap pelayanan KRL.

Mateta Rizalulhaq, Kepala Humas PT KAI, mengatakan kondisi kereta ekonomi itu sudah tidak layak lagi sehingga diperlukan peningkatan pelayanan. Asal tahu saja, kereta ekonomi bahkan ada yang dibuat pada 1970-an dan suku cadang kereta sudah tidak tersedia.
Namun, yang paling utama dalam penghapusan itu ialah untuk keselamatan. Baginya konsep kereta komuter yang baik itu sebetulnya ada dua yakni pola operasinya tunggal dan dioperasikan secara satu kelas.

“Kami layani 450.000 orang per hari, untuk publik, kereta ekonomi itu sudah tidak andal dalam beroperasi, sering gangguan, suku cadangnya tidak ada lagi, dan kalau nanti ada kecelakaan korban jiwa, nah PT KAI lagi yang disalahkan,” tegas Mateta.

BELUM SEPAKAT
Meski KAI telah mengambil kebijakan, ternyata langkah itu belum direstui Kementerian Perhubungan. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub Bambang S. Ervan mengatakan pemerintah sebetulnya belum sepakat. Peningkatan kualitas pelayanan yang digaungkan oleh KAI bukan berarti KRL Ekonomi dipensiunkan.

Kedua pihak perlu menghitung bersama berapa biaya yang dikeluarkan untuk pengoperasian kereta baik KRL maupun kereta jarak jauh. Menurutnya pengoperasian kereta ekonomi sebetulnya tidak untuk memberatkan KAI, sebaliknya itu membantu masyarakat sehingga pemerintah membayar melalui skema public service obligation atau PSO sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 23/2007 tentang Perkeretaapian.

Ditjen Perkeretaapian juga sudah memerintahkan BUMN pimpinan Ignasius Jonan itu agar tetap mengoperasikan kereta K3 untuk kepentingan masyarakat berdasarkan Surat Dirjen Perkeretaapian kepada Dirut PT KAI No. 007 Perihal Penarikan KRL Ekonomi Dinasan Tahun 2013 tanggal 18 Februari 2013.

“Jadi, jelas kebijakan pemerintah bahwa pelayanan kereta Ekonomi tetap diberikan. KRL ekonomi tak layak bukan jadi alasan dihilangkan. Masalahnya, perawatan K3 itu tidak dilakukan dengan benar sehingga kinerjanya tidak andal,” tegas Bambang.

Kemenhub mencatat dana PSO tahun ini Rp704,78 miliar, lebih kecil dari kontrak PSO tahun lalu Rp770 miliar, tapi masih di atas serapan KAI yang hanya Rp624 miliar. “PSO selalu ada, tahun lalu malah sisa,” katanya.

Direktur Utama PT KAI Commuter Jabodetabek, anak usaha KAI, Tri Handoyo mengatakan berdasarkan catatan sepanjang tahun lalu, terjadi 1.228 pembatalan perjalanan kereta ekonomi. Itu dampak dari rangkaian yang rusak dan imbasnya 4.217 perjalanan kereta ikut terganggu.

“PT KAI Daop 1 dan pusat perawatan KRL Balai Yasa Manggarai mengalami kesulitan untuk melakukan perbaikan pada kereta non-AC yang selama ini beroperasi karena suku cadang sudah tidak tersedia,” katanya dalam siaran pers, Senin (25/3/2013).

Pada kesempatan terpisah, Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Darmaningtyas mengatakan jika belum ada alternatif lain yang bisa mengakomodasi penumpang ekonomi, mestinya kereta Ekonomi itu jangan dulu dihapus.

Seperti tertuang dalam UU Perkeretaapian, PSO sebetulnya menjadi tanggung jawab dari pemerintah sehingga sepatutnya Kemenhub lebih inisiatif menambah armada kereta khusus layanan ekonomi.

“Mestinya ini juga tanggung jawab pemerintah, mereka harus tambah armada baru karena kereta ekonomi sudah tua semua, selain itu harusnya dana PSO dari pemerintah itu jangan dikasih belakangan, kasihan KAI cari talangan,” katanya.

Sulit rasanya mencari keberpihakan pada rakyat kecil dalam kondisi seperti ini sementara KAI punya niat baik dalam hal keselamatan. “Kami sih mau saja KRL Ekonomi diganti AC semua, tetapi tolonglah ini disubsidi, ini menyengsarakan rakyat pelanpelan,” kata Leonardus Abi, pengunjuk rasa. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Selasa, 26 Maret 2013

Entri Populer

Penayangan bulan lalu