Rabu, 16 Desember 2009

Pembiayaan Elektronik Kian Dilirik

Hampir setahun Ahmad Fajar bergabung di PT Adira Quantum Multifinance (Adira Quantum) sebagai tenaga pemasar. Setiap hari dia nongkrong di markas perusahaan, lantai 3 di gedung Bekasi Cyber Park.

Fajar, biasa dia dipanggil, masih sempat menanggapi pertanyaan saya meskipun tampaknya dia sibuk mengecek data aplikasi yang masuk. Maklum saja, dia mengungkapkan tren pembiayaan elektronik meningkat belakangan ini.

Kondisi itu, katanya, terlihat dari aplikasi yang diterima. Hal itu selaras dengan menjamurnya produk elektronik merek baru jenis televisi, pendingin ruangan (AC), layar LCD, lemari es, dan tentunya laptop yang laris bak kacang goreng.

"Kalau dihitung-hitung aplikasi yang masuk rata-rata 10 konsumen sehari tapi belum tentu di-approved [disetujui] oleh credit analyst. Permintaan memang cukup tinggi apalagi laptop ya," kata warga Jati Asih Bekasi ini ramah.

Saat ini saja, satu sales membukukan penjualan sekitar Rp60 juta atau 10-15 konsumen dengan nilai kredit kisaran Rp3 juta per konsumen. Mengantisipasi tren kenaikan itu, Ahmad mengklaim pihaknya menguasai kerja sama dengan 85% gerai elektronik di pusat perbelanjaan tersebut.

Bisnis pembiayaan elektronik memang tengah 'naik daun'. Masyarakat kini bisa bermimpi memiliki peralatan elektronik tanpa harus menabung dalam jangka waktu yang lebih lama. Itu peluang bisnis bagi jasa pembiayaan.

Berbeda dengan Adira yang membidik segmen menengah ke bawah, PT AEON Credit Service Indonesia yang hadir sejak 2006 mengincar kelas menengah atas ketika berhasil bermitra dengan gerai Best di lantai 3 Ritz Carlton Pasific Place, Jakarta.

Keduanya tak sendiri, 'pemain' lain di antaranya PT BNI Multifinance, PT Bhakti Finance, PT Finansia Multifinance, dan PT Federal International Finance (FIF). Ada beberapa yang sudah ancang-ancang target tapi ada yang pasang target awal tahun depan.

FIF misalnya dengan produknya Spektra bahkan sudah menerawang pendapatan hingga 2012. Anak usaha Astra ini tak tanggung-tanggung memasang target booking [pembiayaan baru] elektronik Rp3 triliun.

"Tahun ini, saja kira-kira booking pembiayaan elektronik mencapai Rp900 miliar, 2010 bsia Rp1,5 triliun, dan pada 2012 diprediksi mencapai Rp3 triliun," kata Presiden Direktur FIF Suhartono, yakin.

Tak mau kalah, Adira Quantum, yang sempat kena musibah ketika gempa berkekuatan 7,3 SR merobohkan kantor cabang di Padang pada 30 September, juga mematok target tinggi tahun depan meski belum spesifik.

Tahun ini, prediksi booking pembiayaan elektronik anak usaha Bank Danamon ini Rp1,2 triliun-Rp1,4 triliun, tak jauh berbeda dengan tahun lalu Rp1,2 triliun.
"Meski tahun ini sepertinya flat, kami optimistis memandang tahun depan mengingat fundamental ekonomi kuat dan daya beli naik," ungkap Ruslim Muljadi, Direktur Penjualan dan Distribusi Adira Quantum.

Margin bunga
Dengan ramainya multifinance menggeluti pembiayaan elektronik baik menempatkan kredit elektroniknya sebagai inti bisnis maupun hanya sebagai diversifikasi bisnis menyebabkan strategi yang beragam tercipta.

Salah satunya dengan kembali mendiversifikasi kebutuhan rumah tangga, menerapkan bunga yang sesuai serta kemudahan layanan dan aplikasi cepat. Multifinance yang biasanya membiayai sebatas alat rumah tangga, kini juga sudah menggarap barang complement lain seperti BNI Multifinance. Perusahaan yang 99,9% dimiliki oleh Bank Negara Indonesia ini pun membiayai alat-alat musik seperti piano dan gitar.

Pelaku industri pembiayaan tampaknya telah berhasil menangkap potensi tersebut sejalan dengan tingkat inflasi, makroekonomi, dan keadaan global yang mulai pulih. Laporan World Bank edisi September juga memperkirakan konsumsi masyarakat meningkat sejak kuartal II/2009.

Selain itu bunga pun didapuk menjadi strategi berikutnya meski perbandingannya tak jauh berbeda antara satu dengan lainnya.

Adira Quantum misalnya memberikan bunga 2% untuk barang elektronik seharga Rp6 juta tenor 12 bulan sehingga per bulan cicilan menjadi Rp620.000, sementara cicilan AEON untuk harga dan tenor yang sama Rp623.000.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Dennis Firmansjah menilai bunga menjadi satu hal yang juga menjadi poin persaingan. Toh, margin pembiayaan elektronik dibandingkan dengan pembiayaan motor atau mobil jauh lebih tinggi.

"Selisih [bunga] cukup besar dibandingkan dengan kredit motor atau mobil. Oleh sebab itu seiring dengan permintaan elektronik sebagai kebutuhan konsumen membuat bisnis ini prospektif tahun depan," katanya.

Menanggapi itu, Sekretaris Perusahaan Bhakti Finance Yudhananta sepakat margin memang besar sekitar 2%-5% antara bunga kredit yang diberikan dan bunga pinjaman yang didapat dari bank. "Tapi ini setara dengan risiko yang juga besar," katanya.

Terlepas dari itu semua, di tengah maraknya pembiayaan elektronik yang notabene juga dilakukan bank seperti Bank Central Asia, Citibank, dan lainnya, maka satu hal yang menjadi perhatian ialah proporsi keutungan yang pantas dan tidak memberatkan konsumen.

Tidak hanya itu, layanan juga ihwal yang penting terkait dengan karakter konsumen yang heterogen sehingga multifinance tak hanya memikirkan kuatnya daya setrum pembiayaan tetapi pelayanan yang baik dan bunga yang sesuai bisa benar-benar tidak memberatkan konsumen.
Kalau layanan kian mantap, segala prediksi 2010 bukan hanya isapan jempol dan Fajar pun makin tersenyum melayani nasabah. (faa) (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Ditulis M. Tahir, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi Selasa, 15 Desember 2009
Gambar: kontan.co.id

The Giant Leap, Menteorikan Praktik

Judul buku : Making the Giant Leap, How to Unleash the Extraordinary Human Potential Penulis : Stanley Setia Atmadja
Penerbit : PT Gramedia, cetakan pertama November 2009
Tebal : 262 Halaman


Making the Giant Leap seperti kunci yang menyingkap tabir kesuksesan PT Adira Dinamika Multifinance Tbk (Adira Finance) langsung dari pelaku sejarah, Stanley Setia Atmadja, Chief Executive Officer sekaligus pendiri perusahaan pembiayaan kendaraan sejak 1990 itu.

Dari narasi buku ini jelas terdedahkan bagaimana perjalanan bisnis dari proses pembelajaran, fase pertumbuhan, hingga fase pendewasaan Adira Finance sampai akhirnya saham perusahaan diminati oleh PT Bank Danamon dalam penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) pada 2004.

Seperti diungkapkan penulis saat peluncuran buku itu awal pekan ini, Making the Giant Leap lahir dari proses kilas balik terhadap fenomena perjalanan bisnis Adira Finance selama hampir 20 tahun. Fenomena tersebut menjadi perjalanan yang sangat mengesankan sehingga diabadikan menjadi prasasti tulis.

Satu kisah yang patut disimak ialah ketika pembaca digiring mengingat krisis moneter 1997-1998. Ekonomi yang terpuruk, menurunkan penjualan mobil, sangat drastis. Kenaikan penjualan mobil nasional yang sempat menebus kisaran 390.000 unit sebelum krisis moneter, akhirnya menyerah dan terempas menjadi hanya 58.000 unit. Adira Finance pun kemudian banting setir ke pembiayaan sepeda motor dan sukses hingga kini. (Hal.17,18, 229).

Yang mengagumkan adalah keputusan diversifikasi segmen bisnis itu juga tak lepas dari intuisi pemimpin, hal yang kadang dinegasikan dalam bisnis modern.

Dari sini, melalui analisis yang dalam, penulis akhirnya menemukan rahasia di balik kinerja perusahaan yang mengesankan itu adalah orang. Strategi bisnis, struktur organisasi, sistem, dan tools manajemen memang penting, tetapi di atas itu semua, oranglah sumber utama kinerja organisasi dengan lompatan raksasa.

Enam konsep Giant-Leap Organization-sekaligus menjadi bab-bab dalam buku- yang berbasis manusia itu, yakni Leader-Driven Enterprise, Managing by Values, The Power of Team Synergy, People-Focused Execution, Winning Spirit, dan Human Empathy.

Teorikan praktik
Sebagai CEO, buku ini menjadi testimoni bagaimana entrepreneur yang lahir pada 24 Agustus 1956 di Jakarta ini meneorikan praktik, tidak mempraktikan teori seperti lazimnya. Nyatanya, apa yang ditulis dalam buku ini sebetulnya bukan pertama dan luar biasa, toh banyak juga wirausahawan yang juga telah menuangkan idenya meski dengan konsep yang berbeda.

Buku setebal 262 dengan kualitas kertas nyaman ini juga menyimpan sedikit persamaan dengan buku-buku motivator ulung lainnya. Setiap halaman, terdapat dua istilah baik Inggris maupun Indonesia yang sebetulnya bisa dipilih salah satunya, agar tak mubazir, karena tak akan mengganggu pembaca.

Lain halnya jika sedari awal pembaca yang dituju lulusan MBA di University of La Verne, USA ini ialah memang entrepreneur atau ekspatriat yang paham bahasa Indonesia sehingga pengalamannya secara cepat bisa tertularkan. Buku ini kaya akan konsep ketimbang sebuah memoar seorang pemimpin bisnis yang memulai kariernya di Citibank N.A. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Diresensi oleh M Tahir, judul "Menterorikan Praktik", dimuat di Tabloid Bisnis Indonesia Minggu, edisi 13 Desember 2009
Gambar: forum-ngo.com

Selasa, 24 November 2009

Berakhirnya Monopoli Pegadaian

Tak lama lagi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pergadaian, yang kini digodok oleh Panitia Antar-Departemen (PAD) bentukan pemerintah, akan selesai.Jika disetujui Presiden dan akhirnya diamini parlemen dalam sidang paripurna, monopoli Perum Pegadaian sejak tahun 1901 akan segera berakhir.

Swasta, perseorangan, bahkan pihak asing pun punya kans yang sama untuk membentuk perusahaan jasa pergadaian, kondisi yang pernah terjadi ketika penjajah masih bercokol di bumi Indonesia.

Berakhirnya monopoli lembaga yang lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada 1 April 1901 itu barangkali sudah lama ditunggu-tunggu oleh sebagian pihak yang tak sabar mengeruk keuntungan.

Bukan saat ini saja usaha gadai dibidik swasta, melainkan saat zaman penjajahan swasta juga melirik usaha ini. Bahkan, sedari awal sebagaimana dalam buku Pegadaian dan Rakyat Kecil terbitan Perum Pegadaian, 2009, sejak pertama menjejakkan kaki di Nusantara, usaha gadai salah satu primadona bisnis Belanda melalui Bank Van Leening, lembaga bentukkan Vereenidge Oost Indische Compagnie (VOC) pada abad ke-17 ketika dia berkuasa.

Saat Inggris masuk ke Tanah Air(1811-1816), bank ini dibubarkan lalu sebagai gantinya, usaha gadai boleh dilakukan masyarakat (swastanisasi) asal mendapat izin namanya Licentie Stelsel.

Ketika Belanda masuk lagi, gadai tetap menjadi perhatian, tetapi karena banyak pengijon/rentenir, monopoli pemerintah atas gadai pun terjadi hingga saat ini oleh institusi bernama Pegadaian Negeri sampai berubah menjadi Perum Pegadaian.

Perusahaan yang kini dipimpin Chandra Purnama ini mampu mengeruk laba kotor Rp793,7 miliar pada kuartal III/2009. Fantastis memang, apalagi segmen bisnis pun mulai mengincar saham dengan dibukanya kembali produk investasi, gadai saham.

Kondisi inilah yang mendorong hipotesis bahwa sebuah bisnis kian berkembang apabila didukung perluasan regulasi. Singkatnya, menyesuaikan diri dengan perubahan kalau mau maju.

Ketertarikan mencicipi 'kue' ini juga sebenarnya sudah terlihat manakala M. Ihsanuddin, Kepala Biro Pembiayan dan Penjaminan Bapepam-LK, menyatakan sudah mengantongi sekitar 10 pihak dari pemda dan swasta yang mengajukan pendirian jasa gadai. Alamak betapa sengitnya nanti persaingan gadai.

Kepastian hukumKepala Bagian Hukum Jasa Keuangan dan Perjanjian Biro Hukum Departemen Keuangan Arif Wibisono menjelaskan RUU tersebut sebetulnya dilatari oleh kegiatan usaha gadai serupa yang berisiko jika tidak dipayungi.

Hal itu berpotensi menimbulkan masalah seperti kurang terlindunginya keamanan barang jaminan, tingginya sewa modal, tidak cermat menaksir nilai barang agunan, dan kurang transparannya lelang barang.

Lebih parahnya lagi jika tidak diatur dikhawatirkan pihak-pihak yang secara laten melakukan gadai tersebut menerapkan bunga yang di luar kemampuan konsumen."Ini supaya hal hal itu tidak terjadi, tidak ada praktik gelap. Gunanya untuk menciptakan usaha yang kondusif, lindungi nasabah dan kepastian hukum," tegas Arif.

Kepastian hukum itu juga yang menjadi perhatian M. Ihsanuddin yang mengatakan regulasi pergadaian selama ini masih mengacu pada Padhuis Reglement (Aturan Dasar Pegadaian) Staatsblad tahun 1928 No.81.

Dengan adanya RUU itu, katanya, praktik gadai gelap yang tidak sesuai dengan aturan bisa dihindari dan untuk merealisasikan itu pihaknya sangat membutuhkan saran dari sisi modal disetor atau masukan lain sehingga RUU bisa terlengkapi.

Direktur Utama Perum Pegadaian Chandra Purnama yang tak gentar dengan persaingan dari pemda atau swasta yang ingin masuk ke bisnis pergadaian hanya menekankan perlunya orientasi lembaga yang tak hanya bisnis, tetapi juga prorakyat.

Hal yang senada diungkapkan Direktur Keuangan Perum Pegadaian Budiyanto mengingat asing juga bisa masuk sebagaimana bank. Jika demikian, RUU Pergadaian tidak menempatkan Perum Pegadaian pada posisi sulit karena selama ini pihaknya mengedepankan fungsi sosial ketimbang bisnis.

"Kami masih saja memberi pinjaman Rp20.000 per nasabah dengan barang gadai seperti kain atau alat memasak. Untuk pinjaman itu kami hanya memperoleh penghasilan bunga 0,6% per 15 hari, atau Rp1.200, padahal biaya untuk kertas bukti kredit saja Rp2.000," ujarnya.

Tak heran, ada satu dua kantor cabang yang merugi dengan skema itu tetapi tak masalah karena kepercayaan tetap ada.

Maka, kebijakan swastanisasi ini mestinya bisa mencegah praktik gadai ilegal sekaligus menekan potensi pengijon yang berkedok institusi atau asing, tanpa mematikan keuntungan Perum Pegadaian. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Ditulis M Tahir, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi Jumat, 20 November 2009
Gambar: pulaumadura.com

Senin, 23 November 2009

Nurani Pers

Thomas Jefferson, bekas Presiden AS, pernah berkata “Lebih baik ada pers tanpa negara, dari pada punya negara tanpa pers”. Begitu pentingnya peran media massa dalam mengontrol jalannya proses demokrasi suatu bangsa sehingga tak ayal kata itu terlontar dari mulut Jefferson.

Bagaimana jadinya kalau aktifitas seorang presiden negara tak bisa disebarluaskan ke masyarakat atau bahkan ke negara lain. Bayangkan juga bila sebuah negara, ratusan tahun dijajah dan berusaha memperjuangkan kemerdekaannya tetapi tanpa didukung pers. Negara mana yang melirik dan secara naluri ingin membantu kalau apriori?

Media dikenal menjadi pilar keempat demokrasi selain lembaga eksekutif (pemegang kekuasaan), legislatif (pembuat undang-undang) serta yudikatif (pelaksana kehakiman). Tugasnya tentu saja kembali ke khittah pers yakni social control, memberikan informasi yang bermanfaat, bermutu, dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Kondisi ini pulalah yang kian disoroti saat ini kala pemberitaan media dipojokkan karena dinilai melupakan objektifitasnya tetapi menggunakan subjektifitasnya. Media dituduh tak netral lagi dan jauh dari khittah-nya dalam mewartakan peristiswa.

Media membetuk opini masyarakat sehingga terjadi aksi unjuk rasa berlebihan mendukung salah satu dari dua kubu yang sedang berseteru, antara buaya dan cicak (Polri Vs KPK). Tentu dalam hal ini media tidak menjadi godzila atau kadal yang ikut nimbrung bahkan membela satu kubu dari yang lain.

Imbasnya, pada pekan ini, pimpinan dua media Nasional, yakni Kompas dan Seputar Indonesia dipanggil oleh Kepolisian atas laporan pencemaran nama baik oleh Anggodo Widjojo dan kuasa hukumnya. Anggodo memang ‘sakti’. Rekaman setengah biadab-meminjam bahasa Ahmad Syafii Maarif-yang melibatkan dirinya dan sejumlah bukti lainnya pun tak mampu menyeretnya menjadi tersangka.

Alih-alih menjadi tersangka, hingga dua pekan lebih berlalu, adik kandung Buronan KPK Anggoro Wdjojo ini masih saja lenggang kangkung menjadi saksi. Lucu memang, lawong namanya sudah rusak kok menuduh media mencemarkan namanya. Dan anehnya lagi, kenapa cuma dua media dari seluruh media yang memberitakan rekaman tersebut?

Parahnya lagi Presiden dengan legitimasi penuhnya pun enggan bertindak padahal sudah membentuk Tim 8 yang telah memberikan rekomendasinya. Seperti kata Eep Saefullah Fatah, dalam hal ini terjadi ‘disfungsi presiden’ sama halnya dengan disfungsi seksual.

Polri sendiri memang membantah pemanggilan dua media tersebut sebagai kriminalisasi pers. “Tidak ada niat mengkriminalkan pers, kami jsutru tengah berupaya memproses Anggodo segera jadi tersangka,” sergah Nanan Soekarna, Kepala Divisi Humas Mabes Polri di Kompas, 21 November.

Pers saat ini disudutkan saat membeberkan kejahatan yang terstruktur oleh para makelar kasus, Pemanggilan Kepolisian itu menjadi tanda tanya besar, apa itu adalah wujud pembungkaman pers hingga ke kriminalisasi pers. Pemerintah semestinya melihat pers sebagai penutur sejarah yang tak lelah mendedahkan fakta dengan analisa yang kuat.

Mungkin kita masing ingat skandal Watergate, lokasi mabes Partai Demokrat di Washington DC, yang menjatuhkan Presiden Richard Nixon dari peraduannya pada 1972 berkat liputan investigatif dua wartawan Washington Post, Bob Woodward dan Carl Berstein. Itulah kekuatan media yang mampu menjadi pengontrol pemerintah yang salah jalan. Ada naluri yang tak bisa dibohongi oleh alibi apapun.

Naluri yang menggetarkan ketika gerakan mahasiswa lahir pada 1998 dan didukung persuasi media sehingga menjadi satu kekuatan moril bagi perjuangan menegakan benang reformasi. Mendiang Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun pun lengser.

Maka meminjam kata Napoleon Bonaparte, “Pena lebih tajam daripada ujung bayonet” atau menyitir perkataan Winston Churcill, “Saya lebih takut pada wartawan dari pada menghadapi seratus meriam” setidaknya menegaskan satu hal, pers bekerja atas nama nurani kebenaran dan kejujuran meski kadang ada saja media gadungan yang jauh dari itu.

Nurani bukan hanya milik manusia dalam masyarakat, Pers yang notabene merupakan kumpulan masyarakat dan bagian dari masyarakat pun memiliki hati nurani.

Nurani ketika mengungkapkan Minah, si pencuri dua buah kako-yang nilainya tak lebih dari Rp2.000- ketika dihukum1 bulan 15 hari oleh Pengadilan Negeri Purwokerto. Nurani ketika sebuah institusi penuh harapan diobrak-abrik. Dan nurani itu masih terpatri di sini, dalam hati.

22/11/9

Gambar: kabarindonesia.com

Minggu, 15 November 2009

Keruwetan Jakarta

Belum hilang kekesalan saat terjadi pemadaman bergilir bersamaan dengan kerusakan sistem kelistrikan sejak September, pendukuk Jakarta kembali diresahkan oleh datangnya musim hujan.

Artinya siap-siap banjir lagi.Jumat pekan ini (13 November), menjadi saksi betapa kekhawatiran itu terjadi. Seorang teman bahkan bercerita sempat tertahan di kantor Bank Indonesia meski dia naik sepeda motor karena lalu lintas tak bisa jalan.

Di kawasan Sudirman, Thamrin, dan Gatot Subroto yang dikenal sebagai segitiga emasnya Jakarta lantaran pusat bisnis ini pun seperti biasa tak berdaya. Jalur lalu lintas padat merayap di bawah kendali air hujan. Buruknya sistem drainase di kota terkotor ketiga dunia, menurut Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP) ini, menjadi salah satu sebab pembangunan kota semakin ruwet.

Tak hanya Jakarta Pusat, kawazan Cempaka Putih misalnya, juga tak jauh berbeda. Lebih parahnya lagi lalu lintas arah ke Senen dan Monas pun tak bisa bergerak karena tepat di depan ITC Cempaka Mas itu air hujan menggenang setinggi lutut orang dewasa. Dan sekali lagi masalah klasik ini repetisi tiap tahun.

Penduduk Jakarta sebetulnya lebih was-was lagi karena ini baru hujan di rumah sendiri. Bisa dibayangkan kalau terjadi banjir susulan, sesuatu yang menjadi kambing hitang banjir di Jakarta, dari Bogor dan sekitarnya. Kalau banjir Jakarta, ya berarti yang disalahkan bukan Bogor atau daerah lain.

Masyarakat Jakarta haruslah bisa berdisiplin dan tidak melimpahkan dosa massal ke kampung lain apalagi diprediksi intensitas dan curah hujan pada bulan ini dan bulan depan kian meningkat hingga awal tahun depan.

Dengan keadaan ini tentu saja yang menjadi ancaman serius adalah fasilitas publik dan laju perekonomian kota yang agak tersendat. Fasilitas public yang sedianya diandalkan masyarakat terancam terganggu seperti telpon, jaringan internet, gas, air, dan jaringan listrik bisa terputus.

Gubernur Fauzi Bowo, yang waktu kampanye mengaku sebagai ahlinya Jakarta, ternyata tak mampu mengantisipasi banjir di Jakarta. Tiap tahun pada Januari dan Februari ritual banjir nyaris tak berubah. Oleh sebab itu, amanah adalah hal yang paling berat sebagaimana petuah al Ghazali terhadap muridnya, Jadi jangan sembarang menebar janji Bang Foke.

Mengatasi ini sebaiknya memang perlu adanya komitmen bersama, bukan hanya datang dari doktor tata kota lulusan Jerman ini melainkan juga datang dari daerah lain yang berdekatan di antaranya Bekasi, Depok, dan Tangerang. Meminjam kata Emil Salim, mantan Menteri Negara
Lingkungan Hidup, dalam sebuah seminar properti pekan ini, Jakarta harus di tata ulang. Ya ditata ulang.

Jangan ada lagi penyusutan lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) daripada ruang yang tertutup bangunan. Hutan beton yang tak mampu meresap air harus dikurangi atau setidaknya disediakan lebih banyak RTH.

Kita tahu dalam sejarahnya Jakarta yang bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun lalu ini penuh dengan rawa. Makanya banyak wilayah di Jakarta yang dinamakan rawa sehingga memang semestinya daerah ini menjadi penampung hujan di wilayah Buitenzorg/bogor.

Oleh sebab itu perlu ada situ-situ baru tidak hanya mengandalkan Banjir Kanal Timur yang hampir selesai ini. Nyatanya rawa sudah hilang, situ sudah berkurang. Tak ada lagi yang bisa menampung air hujan. Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan di Jabodetabek pada 1960-an terdapat 218 situ kini tinggal 50-an saja.

Jangan ada lagi sampah rumah tangga yang tidak terurus. Dari 10.000-an ton sampah Jakarta, masa iya 30% nya dibuang ke sungai? Parah sekali dan memang itu terjadi. Hutang mangrove (bakau) juga berubah jadi Pantai Indah Kapuk. Kita tidak ingin Jakarta akan tetap tenggelam seperti tahun-tahun sebelumnya. Di sinilah sebuah janji dipertaruhkan tentu dengan dukungan bersama.

Menjadi satu hal yang naïf apabila tanggung jawab membebaskan Jakarta dari keruwetan ini hanya dibebankan kepada Bang Foke, masyarakat Jakarta pun layaknya memiliki sense of belonging yang tinggi meski kebanyakan masyarakat kota ini berasal dari kaum pendatang. Entah Jawa, Madura, Sunda, Batak, atau Flores toh juga mengais rizki di kota ini. Dus, ini sebuah tanggung jawab bersama bukan?

Gambar: afp, noscadgie.file.wordpress.com








Sabtu, 07 November 2009

Dagelan Markus

Skenario sialan
M Tahir Saleh

Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebahUsirlah mereka dengan revolusiBila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasiBila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusiTapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan (adhie m massardi)

Pekan ini menjadi kenangan terburuk penegakan hukum Indonesia. Rekaman yang diputar dalam sidang terbuka Mahkamah Konstitusi pada Selasa pekan ini selama 4,5 jam ini benar-benar memalukan, lucu, sekaligus menodai pelaksanaan penegakan hukum di Tanah Air.

Komjen Susno Duadji, Kabareskrim Mabes Polri yang kini non-aktif, namanya ikut-ikutan masuk dalam skenario bedebah itu.

Mantan Kapolda Jabar ini merusak citra institusi Polri di mata publik. Rekaman itu tersirat ia menerima suap untuk memuluskan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Bibid dan Chandra Hamzah. Entah siapa yang benar, karena kebenaran hingga kini begitu sulit menampakkan dirinya padahal people power sudah turun ke jalan, parlemen online lewat facebook pun sudah tak terhitung jumlahnya.

Para bedebah itu, orang-orang yang terlibat dalam percapakan itu nampaknya begitu berani, lihai, dan iciknya. Satu aktor utama Anggodo Widjojo, adik Anggoro yang menjadi buronan KPK dalam kasus tender Departemen Kehutanan, mampu membuat aparat polisi takluk. Ia seperti ular, belut, dan bunglon.

Dalam hal ini, uang dan kekuasaaan bagai dua mata uang yang tak bisa dilepaskan. Siapa punya uang dia menguasasi, sebaliknya siapa berkuasa tentu butuh uang untuk mepertahankan eksistensi.

Susno sebelumnya sudah menyangkal terlibat sebelumnya. Publik pun terlanjur membencinya sejak ia memperkenalkan istilah Cicak vs Buaya yang akhirnya membuat Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri turun tangan minta maaf.

Masih ingat dalam laporan majalah mingguan Tempo edisi 6-12 Juli 2009 yang memuat wawancara dengan Susno. Dia menuding penyadapan yang dilakukan oleh KPK merupakan perbuatan bodoh. Dia sekaligus membantah soal suap.

"Kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa dia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya,” tulis majalah itu.

Akhirnya ia pun sesenggukan minta maaf dan klarifikasi dalam rapat dengan Komisi III DPR pekan ini. Membawa nama keluarga yang juga terganggu dengan apa yang dituduhkan padanya. Dia menangis, bersumpah, dan seperti drama cinta anggota DPR pun terpana.

***
Adalah hal yang dipahami masyarakat bahwa seorang pengusaha dekat dengan aparat. Selain pengusaha butuh pelindung jalannya bisnis halal atau haram, aparat pun perlu persekot yang bisa menambah pundi-pundi kantongnya karena menggantungkan dana dari gaji pokok mungkin tak cukup.

Namun kejahatan dalam sebuah persekongkolan tak bisa diterima oleh nurani, apapun bentuknya. Kasus perselisihan antara Polri dan KPK ini mencerminkan panegakan hukum Indonesia masih belum bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme, UUD, ujung ujungnya duit.

Kepercayaan masyarakat runtuh seketika. Satu-satunya harapan instistusi independen yang dibentuk guna mengokohkan penegakan hukum karena mandulnya Polri dan Kejaksaaan yakni KPK kini diobok-obok.

Oleh sebab itu, masyarakat kini butuh kejelasan terkait kasus ini. Hampir seluruh elemen masyarakat turun tangan dan melek isu-isu seperti ini. Kredibilitas presiden pun dipertaruhkan jika tak mampu membuka persoalan ini. Kita berharap jangan ada lagi drama palsu yang memalukan bangsa yang mulai dipandang baik di mata dunia.

Gambar: lenteradiatasbukit.blogspot.com

Skenario Sialan

Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebahUsirlah mereka dengan revolusiBila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasiBila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusiTapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan (adhie m massardi)

Pekan ini menjadi kenangan terburuk penegakan hukum Indonesia. Rekaman yang diputar dalam sidang terbuka Mahkamah Konstitusi pada Selasa pekan ini selama 4,5 jam ini benar-benar memalukan, lucu, sekaligus menodai pelaksanaan penegakan hukum di Tanah Air.

Komjen Susno Duadji, Kabareskrim Mabes Polri yang kini non-aktif, namanya ikut-ikutan masuk dalam skenario bedebah itu.

Mantan Kapolda Jabar ini merusak citra institusi Polri di mata publik. Rekaman itu tersirat ia menerima suap untuk memuluskan kriminalisasi terhadap dua pimpinan KPK, Bibid dan Chandra Hamzah. Entah siapa yang benar, karena kebenaran hingga kini begitu sulit menampakkan dirinya padahal people power sudah turun ke jalan, parlemen online lewat facebook pun sudah tak terhitung jumlahnya.

Para bedebah itu, orang-orang yang terlibat dalam percapakan itu nampaknya begitu berani, lihai, dan iciknya. Satu aktor utama Anggodo Widjojo, adik Anggoro yang menjadi buronan KPK dalam kasus tender Departemen Kehutanan, mampu membuat aparat polisi takluk. Ia seperti ular, belut, dan bunglon.

Dalam hal ini, uang dan kekuasaaan bagai dua mata uang yang tak bisa dilepaskan. Siapa punya uang dia menguasasi, sebaliknya siapa berkuasa tentu butuh uang untuk mepertahankan eksistensi.

Susno sebelumnya sudah menyangkal terlibat sebelumnya. Publik pun terlanjur membencinya sejak ia memperkenalkan istilah Cicak vs Buaya yang akhirnya membuat Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri turun tangan minta maaf.

Masih ingat dalam laporan majalah mingguan Tempo edisi 6-12 Juli 2009 yang memuat wawancara dengan Susno. Dia menuding penyadapan yang dilakukan oleh KPK merupakan perbuatan bodoh. Dia sekaligus membantah soal suap.

"Kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa dia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya,” tulis majalah itu.

Akhirnya ia pun sesenggukan minta maaf dan klarifikasi dalam rapat dengan Komisi III DPR pekan ini. Membawa nama keluarga yang juga terganggu dengan apa yang dituduhkan padanya. Dia menangis, bersumpah, dan seperti drama cinta anggota DPR pun terpana.

***
Adalah hal yang dipahami masyarakat bahwa seorang pengusaha dekat dengan aparat. Selain pengusaha butuh pelindung jalannya bisnis halal atau haram, aparat pun perlu persekot yang bisa menambah pundi-pundi kantongnya karena menggantungkan dana dari gaji pokok mungkin tak cukup.

Namun kejahatan dalam sebuah persekongkolan tak bisa diterima oleh nurani, apapun bentuknya. Kasus perselisihan antara Polri dan KPK ini mencerminkan panegakan hukum Indonesia masih belum bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme, UUD, ujung ujungnya duit.

Kepercayaan masyarakat runtuh seketika. Satu-satunya harapan instistusi independen yang dibentuk guna mengokohkan penegakan hukum karena mandulnya Polri dan Kejaksaaan yakni KPK kini diobok-obok.

Oleh sebab itu, masyarakat kini butuh kejelasan terkait kasus ini. Hampir seluruh elemen masyarakat turun tangan dan melek isu-isu seperti ini. Kredibilitas presiden pun dipertaruhkan jika tak mampu membuka persoalan ini. Kita berharap jangan ada lagi drama palsu yang memalukan bangsa yang mulai dipandang baik di mata dunia.




Rabu, 14 Oktober 2009

Perlukah Deposit Taking di Multifinance?

Tidak butuh lama bagi Stanley Atmadja untuk menarik perhatian para peserta seminar yang membahas risiko dan tantangan bisnis jasa pembiayaan pascakrisis dan turbulensi ekonomi di Jakarta baru-baru ini.

"Bagaimana kalau kami sebagai perusahaan pembiayaan yang sudah menerapkan standar bank bisa menarik dana masyarakat atau deposit taking?" ujar Presiden Direktur PT Adira Dinamika Multifinance Tbk (Adira Finance) ini.

Arguman Stanley beralasan. Menurut dia, multifinance perlu diversifikasi pendanaan selain mengandalkan pinjaman bank, pasar modal, dan modal sendiri. Ide yang langsung diamini Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Wiwie Kurnia tersebut memang tidak salah.
Diskursus ini sebenarnya muncul tak bisa ditampik lantaran langkah perbankan yang berkali-kali mengetatkan likuiditas sehingga sempat menghentikan aliran dana, padahal sumber dana terbesar bagi ekspansi kredit multifinance berasal dari bank.

Menurut Wiwie kebijakan uang ketat dan keengganan perbankan memberikan kredit terjadi sejak 1992, berkali-kali, dan puncaknya terlihat pada kuartal IV/2008.

Bagi Wiwie, belum ada jaminan bahwa perbankan tidak akan mengulangi kebiasaannya yang suka mengerem kredit pada masa yang akan datang. Perbankan menurutnya terlalu menggeneralisasi seluruh sektor tanpa menganalisa sektor mana yang lemah dan kuat.
Akibatnya, multifinance yang disebutnya sebagai 'angsa bertelur emas' itu pun mengalami keterpurukan pada kuartal IV/2008.

Saking gemasnya dengan langkah sejumlah bank itu, Wiwie ?menuduh? bank menjadi awal mula krisis di Indonesia. "Perbankan memang bukan penyebab krisis tetapi mereka yang mulai," tegasnya di depan Halim Alamsyah, Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia, yang turut menjadi pembicara.

Wacana tersebut bagi Stanley tidak main-main karena sudah dipertimbangkan dengan saksama dalam tempo yang tidak singkat. Salah satunya ialah jumlah multifinance yang dimiliki bank ada 21 perusahaan, sehingga secara langsung standar kinerja dan operasional juga memakai standar bank.

Perlunya rating
Oleh sebab itu, dia menyarankan regulator dalam hal ini Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) bisa mengadakan pemeringkatan atau rating multifinance.

Rating itu sebagai upaya menjaring multifinance mana yang layak melakukan deposit taking ataupun tidak dengan catatan maksimal jumlah deposit taking itu antara 20%-30% dari modal perusahaan.

Jika demikian halnya, bagaimana dengan skema deposit taking? Stanley menjelaskan bisa saja skema perbankan seperti penarikan dana pihak ketiga dilakukan jika wacana ini direalisasikan. Dan jika ini terkabul, akan terjadi persaingan penarikan dana masyarakat oleh perbankan versus multifinance.

Wiwie dan Stanley tidak merasa khawatir dengan persaingan tersebut mengingat industri pembiayaan memiliki segmentasi bisnis yang berbeda dengan bank sementara bank punya wilayah bisnis yang lebih luas.

"Kami bukan saingan dengan Bank Danamon atau Bank Mega karena Adira dan Mega Finance lebih spesifik," begitu kesimpulan keduanya.

Tidak tinggal diam, Halim Alamsyah dalam kesempatan yang sama langsung menimpali bahwa wacana tersebut selayaknya dipertimbangan terlebih dahulu dengan baik risiko maupun kendalanya.

Dia mengingatkan krisis ekonomi global yang terjadi di Amerika Serikat (AS) juga disebabkan pengumpulan dana masyarakat oleh lembaga keuangan nonbank (shadow bank).

Nah, masih menurut Halim, tanpa ada regulasi yang ketat guna memproteksi dana nasabah yang ditarik oleh lembaga keuangan yang bukan bank, maka risiko sangat tinggi. Apalagi, lanjutnya, terjadi disparitas antara regulasi perbankan dan lembaga keuangan.

Halim mengungkapkan jika terjadi ketimpangan pengawasan karena regulasi di mana dipayungi oleh dua institusi yang berbeda juga dapat memunculkan risiko yang besar bagi ekonomi rakyat.
Pernyataan Halim itu sebenarnya mengukuhkan apa yang termaktub dalam UU No.10/1998 tentang Perbankan, yang menyatakan bank masih menjadi badan usaha yang bertugas menghimpun dana masyarakat.

Kendala regulasi
Serupa tetapi dengan retorika yang berbeda, kendala regulasi ini pun diungkapkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Bapepam-LK M Ihsanuddin. Menurutnya, regulasi belum memungkinkan diterapkan adanya deposit taking.

Akan tetapi, peluang direalisasikan wacana tersebut bisa saja terjadi jika parlemen sudah mengubah UU yang berlaku pada saat ini.
Ihsanuddin mengungkapkan segmen bisnis perusahaan pembiayaan sangat berbeda dengan perbankan sehingga regulasi perbankan lebih ketat karena bisa melakukan penghimpunan dana masyarakat.

Analoginya, jika perbankan bangkrut eksesnya besar karena menyangkut dana masyarakat, tetapi jika multifinance bangkrut dan regulasi tidak ketat sementara mereka juga menghimpun dana masyarakat maka risiko benar-benar tinggi. Siapa yang menjamin dana yang hilang tersebut? Mungkin begitu kesimpulannya.

Apalagi jika pembahasan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) saat ini di DPR tidak memasukkan lembaga keuangan nonbank dalam hal ini multifinance, maka bisa diprediksi bagaimana nasib wacana deposit taking ini.

Jika demikian, sepertinya wacana perluasan bisnis multifinance ini perlu dikaji kembali mengingat regulasi multifinance yang belum sempurna saja sudah banyak 'makan korban' pencabutan izin apalagi kalau tambah ketat, bisa-bisa yang perusahaan kecil gulung tikar. (redaksi@bisnis.co.id)

Ditulis M Tahir, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi Kamis, 18 Juni 2009
Gambar: sms-mesinuang.com

Kamis, 17 September 2009

Berkah Ramadan bagi multifinance

Sudah hampir 2 pekan Yusuf Unyil, 25, menunggu turunnya surat tanda nomor kendaraan (STNK) Honda Revo Absolute yang bulan lalu dikreditnya melalui salah satu perusahaan pembiayaan di wilayah Jati Asih, Bekasi.

Padahal hari raya tinggal menghitung hari antara 20 September atau 21 September, tetapi surat sakti tanda bukti identitas kendaraan itu tak juga nongol. Jika STNK urung didapatnya, pria asli Kalimantan yang ingin mudik ke keluarga istrinya di daerah Cirebon, Jawa Barat itu terancam tertunda.

"'Saya pengennya sih sebelum Lebaran sudah ada (STNK) biar malam takbiran di kampung istri, tetapi belum ada juga nih. Dijanjiin diler sih maksimal 14 hari kerja,'' gerutunya.

Tahun lalu, karyawan perusahaan yang bergerak di jasa penagihan (debt collector) sebuah bank swasta ini mudik ke kota istrinya itu dengan menggunakan kereta api, sedangkan tahun ini dia ingin alternatif baru menunggangi 'kuda besi' karena lebih irit dan fleksibel.

Yusuf tak sendiri, pertengahan Juli, Aswin, 29, juga mengajukan aplikasi kredit motor Yamaha Jupiter. Menurut rencana, untuk keperluan mudik Lebaran tahun ini. Bedanya, STNK sudah di tangan sehingga momen sakral tahunan itu bisa dirasakan di kampung halamannya di Purwodadi, Jawa Tengah.

"'Mudik pake motor emang berisiko. Berangkat pukul 4 pagi, sampai ke sana kadang-kadang jam 6 petang. Saya masih bujang jadi masih amanlah naik motor, lagian juga bareng rekan-rekan kerja yang sama satu kampung,"' kata Aswin, karyawan pabrik garmen di Kawasan Berikat Pulo Gadung, Jakarta Timur ini.

Mudik saat Lebaran merupakan tradisi yang tak pernah hilang. Para pemudik menempuh berbagai cara agar dapat merayakan Idulfitri bersama keluarga di kampung halaman. Hal ini pula yang dirasakan Muhammad Syuaib, 29, karyawan multifinance kendaraan bermotor, yang sudah 5 tahun terakhir memilih mudik ke Magelang dengan mengendarai sepeda motornya.

"Ogah numpang angkutan umum karena padat. Kalau naik bus kan tiket cepet banget habis. Kalau motor kan nyantai," katanya.

Pulang kampung dengan mencicil sepeda motor guna menekan pengeluaran ini setiap tahun terjadi, sehingga dimanfaatkan oleh hampir semua perusahaan pembiayaan untuk menarik konsumen dengan bunga yang rendah dan proses mudah.

Sebagian pemudik memang memilih menggunakan motor sebagai alat transportasi ketimbang kereta api, bus, dan pesawat. Selain murah, penetrasi kendaraan yang dijuluki 'raja jalanan' ini menjadi kelebihan tersendiri.

Dengan momen Lebaran ini, permintaan kredit kendaraan khususnya roda dua diperkirakan meningkat hingga 20% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Bahkan, sebagian pelaku usaha meyakini penjualan kendaraan bermotor mengalami puncaknya pada Agustus. Bulan lalu, angka penjualan motor menembus level tertinggi pada tahun ini.
"'Penjualan motor peak-nya adalah Agustus karena permintaan jelang hari raya ini naik tajam terutama motor. Entah untuk kendaraan mudik sekalian pamer di kampung halaman. Bulan puasa ini naik 15%-20% dari sebelumnya,'' ujar Hafid Hadeli, Direktur PT Adira Dinamika Multifinance Tbk (Adira Finance).

Selain Adira yang juga mencatatkan kinerja booking hingga Rp8,6 triliun sampai dengan Agustus, PT Bussan Auto Finance (BAF) juga mengklaim menjadi multifinance dengan penyaluran kredit terbesar pada bulan lalu seiring dengan naiknya penjualan Yamaha dari Juli sebanyak 262.799 unit menjadi 287.560 unit pada Agustus.

"Lebaran memang memberi berkah bagi pemudik maupun perusahaan pembiayaan," kata Armando Lung, Direktur BAF.

Gunadi Sindhunata, Presdir Indomobil Group, menegaskan kebutuhan atas kendaraan roda dua terus meningkat setiap tahun bukan hanya persoalan untuk Lebaran. Apalagi di Tanah Air rasio kepemilikan kendaraan bermotor masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya.

"Kita delapan orang satu motor, Thailand dan Malaysia empat orang satu motor, maka kita harus berlari dua kali lipat. Selain itu masyarakat membutuhkan transportasi yang murah dan kebutuhan ini belum dipenuhi oleh proyek pemerintah,'' katanya.

Awasi NPL
Direktur Biro Riset Infobank Eko B Supriyanto menilai dengan meningkatnya pembelian kendaraan menjelang Lebaran maka yang perlu diperhatikan adalah peningkatan tingkat kredit bermasalah (NPL) akibat tingginya suku bunga dan penurunan aktivitas ekonomi sebelumnya.

"'Indikasi naiknya permintaan bisa dilihat dari peningkatan aktivitas di beberapa showroom yg mempunyai kerja sama dengan perusahaan pembiayaan, tetapi multifinance juga perlu memperhatikan kredit macet," katanya.

Eko mengatakan persoalan suku bunga dan likuiditas sudah tidak menjadi halangan saat ini. Pasalnya, tren penurunan suku bunga dan ketersediaan likuiditas perbankan yang mencukupi. Kondisi ini berbeda dengan triwulan pertama tahun ini.

Kehati-hatian memberikan kredit terhadap pemudik yang mengajukan kredit baru semestinya menjadi perhatian multifinance tidak hanya mengejar target bulan puasa. Saiful Ichlas, Corporate Secretary PT Summit Oto Finance (SOF), menegaskan dengan permintaan kredit menjelang Lebaran yang tinggi ini mendorong perusahaan menerapkan manajemen yang baik guna menekan kredit macet bermasalah.

Dengan usaha yang selama ini dilakukan perusahaan pembiayaan memudahkan masyarakat membeli kendaraan secara mencicil semestinya tidak dimanfaatkan secara tidak adil oleh pemudik sehingga NPL tetap terjaga dengan baik.

Jika hal ini bisa terwujud, puluhan ribu motor yang mengantarkan pemiliknya untuk bersilaturahmi dengan keluarga pada hari raya Idulfitri bisa kembali dengan melaksanakan kewajibannya sesuai dengan akad yang ada. Selamat jalan... Selamat hari raya Idulfitri. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Ditulis oleh M Tahir, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi 17 September 2009
Gambar: tawvic.wordpress.com

Rabu, 16 September 2009

Pensiun, tak harus jadi PNS

Perempuan berkerudung putih itu terus saja mengeluh, bibirnya merapal kalimat seolah-olah tak henti mendongeng kegagalan anaknya mengikuti ujian pegawai negeri sipil (PNS) sebuah departemen belum lama ini. Nurhayati, 45 tahun, sebut saja namanya.

Dari ceritanya tampak kekecewaan setelah putra ketiganya gagal dalam tahap pertama tes pegawai negeri sehingga dia khawatir dengan masa depan anaknya yang fresh graduated sekolah menengah kejuruan itu.

"Gagal lagi nih, padahal anak saya sudah nyiapin diri buat ikut, yah mau gimana lagi saingannya banyak banget," keluhnya saat ditemui di Kampung Teluk Pucung, Bekasi Utara.

Wajar Nurhayati kecewa, toh ribuan harapan sudah disemai, berkali-kali usaha pun dilakoni, tetapi tetap saja impian anaknya mengenakan pantalon dan baju safari pegawai negeri sirna begitu saja, padahal jika terpaksa menyediakan 'persekot', dirinya pun sudah siap.

Nasib ibu enam orang anak itu adalah sebagian kecil dari sekian banyak orang tua yang sangat mendambakan putra-putrinya diterima menjadi abdi negara. Pekerjaan menjadi pelayan masyarakat itu sepertinya masih menjadi status sosial yang masih mendapat poin lebih pada era modern, saat zaman sudah berubah, tidak lagi seperti zaman kerajaan masih mendominasi nusantara.

Terbukti, setiap kali ada pendaftaran PNS, tak hanya ratusan bahkan ribuan orang turut serta. Anakronis sekaligus tragis memang. Dulu, jabatan abdi dalem memang sempat menduduki posisi status profesi paling bergengsi ketika itu.

Lantas apa sebenarnya alasan orang tua-kadang termasuk juga anaknya-masih menggantungkan harapan menjadi PNS dibandingkan dengan profesi lain? Apakah karena sistem kerja reguler, pergi pagi pulang sore, gaji tetap, atau mungkin keinginan kuat itu berangkat pada salah satu alasan yaitu tersedianya jaminan hari tua.

Kepala Bagian DPLK BRI Wahyuni Marhaenis menilai jawaban ini paling mewakili alasan sebagian anak muda mendaftar PNS. "Menjadi PNS memang terkadang masih menjadi satu prioritas sebagian anak muda karena pensiunnya terjamin nanti," begitu kata Wahyuni.
Jaminan pensiun pada kenyataannya belum wajib diakomodasi oleh perusahaan swasta selama ini sehingga PNS menjadi satu keniscayaan meski dari sisi pengelolaan tabungan pensiun pegawai negeri pun belum optimal.

Jaminan masa tua ini menjadi satu kelebihan pekerjaan ini apalagi pada 3 Agustus silam dalam pidatonya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berencana menaikkan gaji pegawai negeri.

Kepala Negara menegaskan dalam RAPBN 2010, alokasi belanja pegawai direncanakan mencapai Rp161,7 triliun atau naik 21% dari perkiraan realisasi dalam RAPBN 2009.
Alokasi anggaran juga antara lain untuk kenaikan gaji pokok dan pensiunan rata-rata 5% dan pemberian gaji ke-13 (bonus). Pegawai negeri golongan rendah juga gajinya naik dari Rp674.000/bulan menjadi Rp1.721.000/bulan, bandingkan dengan UMR Provinsi DKI sebesar Rp1.069.865.

Dengan kelebihan ini, tak heran masa kini seperti déjà vu, kembali ke paham monarki feodal kedaluwarsa dari zaman purba, PNS masih diprioritaskan sebagian masyarakat.

Alternatif baru
Jika bijak menyikapi, sebetulnya saat ini, ketika sejumlah lembaga keuangan seperti asuransi dan bank sudah melirik dana pensiun sebagai lahan usaha, mestinya masyarakat jangan terlalu berharap tinggi terhadap PNS hanya karena jaminan hari tua.

Soalnya ada yang namanya dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) yang merupakan lembaga yang menyelenggarakan program pensiun iuran pasti (PPIP) bagi perusahaan/ pemberi kerja maupun perorangan. Di sinilah maksud dari adanya lembaga yang didirikan oleh bank umum dan perusahaan asuransi jiwa ini.

Orang-orang seperti Nurhayati, sebetulnya bisa tersenyum lantaran sejak diberlakukan UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun, ada dua lembaga yang dapat menyelenggarakan program dana pensiun yakni dana pensiun pemberi kerja (DPPK) dan DPLK. Yang pertama adalah khusus internal perusahaan, sementara peserta DPLK terbuka bagi perusahaan atau individu.

Dengan terbukanya peluang ini, kata Wahyuni, kaum muda jangan terlalu berambisi menjadi PNS hanya karena ingin mendapat manfaat pensiun. Dengan dana relatif terjangkau tiap bulan, peserta individu bisa lebih dini mempersiapkan tabungan hari tuanya sekaligus menentukan kapan ia ingin pensiun.

"Jadi tidak usahlah ingin jadi PNS terus, kan masih banyak pekerjaan lain yang juga mulia," katanya.

Bahkan Arief Fauzan, Koordinator Bidang Investasi DPLK Muamalat, mengatakan dengan uang iuran minimal Rp50.000, peserta bisa mempersiapkan hari tuanya dengan menetapkan usia pensiunnya sendiri. "Di kami minimal Rp50.000 per bulan sudah bisa tenang pada hari tua, bila merasa kurang tinggal ditambah saja apalagi dana juga kami investasikan," kata Arief.

Presiden Direktur Dapen Pertaminan Torang M Napitupulu mengakui saat ini ada alternatif bagi individu untuk tidak terlalu bergantung kepada dana pensiun yang diadakan oleh perusahaan. Hal itu lantaran sudah tersedia lembaga benefit yang mengurus jaminan hari tua.

Ketua Pengurus Lembaga Standar Profesi Dana Pensiun (LSPDP) Arif Hartanto mengatakan masa pensiun sudah bisa dipersiapkan sejak dini, jika perusahaan tempat bekerja sudah mengikutsertakan ke DPLK, peserta juga bisa secara sukarela menambah iuran sendiri secara individu untuk menambah manfaat pensiun nanti. "Jadi bukan hanya PNS yang dapat pensiun, dari sekarang kita juga bisa."

Perusahaan memang belum diwajibkan mengikutsertakan pegawainya dalam pensiun, hanya Jamsostek dan pesangon. Jika terus menunggu rampungnya regulasi, sulit jika tidak dipersiapkan sejak dini.

Hadirnya DPLK dalam dunia yang sudah bermetamorfosis ini bisa membuka mata, karena ada begitu banyak pekerjaan mulia saat ini selain PNS. Jadi dokter, karyawan, analis, ekonom, wartawan, juga bisa dapat uang pensiun kok. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Ditulis oleh M Tahir, judul asli "Memperoleh Jaminan Pensiun tak Harus dengan Menjadi PNS", dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi 10 Agustus 2009.
Gambar: winsufmaulana.blogpspot.com

Jumat, 21 Agustus 2009

Siapa mau izin multifinance?

Dahulu, cerita sehari-hari soal multifinance tak lepas dari pertanyaan calo-calo pencari informasi lisensi perusahaan pembiayaan mana yang mau dijual.

Maklum saja, pasar gelap izin multifinance terjadi. Pemicunya adalah KMK No.185/KMK.06/ 2002 yang dikeluarkan 24 April 2002 oleh Boediono selaku Menkeu saat itu, di mana tidak ada lagi pemberian izin usaha baru bagi perusahaan pembiayaan.

Keputusan pemerintah untuk tidak izin baru ini karena banyak perusahaan dari total 255 multifinance belum pulih sepenuhnya dari krisis moneter. Darmin Nasution, yang kala itu menjadi Dirjen Lembaga Keuangan merasa jumlah perusahaan pembiayaan yang ada sudah optimal.

Itu bicara 7 tahun lalu, kini sejak lahirnya PMK No. 84/2006, pemerintah akhirnya memberikan izin baru untuk mendirikan perusahaan pembiayaan kepada perusahaan swasta nasional, patungan maupun koperasi.

Dengan dikeluarkannya beleid itu, otomatis KMK No. 448/2000, KMK No. 172/2002, KMK No.185/002 dinyatakan dicabut. Namun, bagaimana dampaknya sekarang?

Idealnya antara kualitas dan kuantitas harus proporsional, tetapi kenyataannya terlalu banyak perusahaan 'bodong' menyulitkan pengawasan dan memberi borok yang lain. Industri jasa pembiayaan seakan memasuki periode yang berulang. Pada awal 1990-an, kondisinya mirip di mana banyak multifinance bermunculan bak jamur pada musim hujan.

Kini, pembiayaan konsumen menjadi dominan di tengah kondisi ekonomi nasional yang tetap positif serta sektor konsumsi menjadi primadona penggerak sendi perekonomian. Tak pelak, minat untuk membuka perusahaan pembiayaan sangat besar di masyarakat, para pemodal pun berharap diizinkan membuka perusahaan multifinance baru. Nama-nama pemain baru pun bermunculan di sela-sela gedung perkantoran.

Logikanya, keran izin yang dibuka sejak 2006 mampu mendongkrak jumlah pemain. Namun, yang baru hanya identitas, izinnya ternyata banyak barang lawas. Jika 7 tahun lalu ada 255 pemain yang diakui Depkeu, saat ini berkurang drastis dan hanya 204 izin multifinance yang resmi mendapatkan persetujuan dari pemerintah. Bukannya jumlah pemain harus bertambah?

Mantan Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Freddy Saragih mengatakan tak mudah mendapatkan izin baru. Freddy yang kini ditarik di kantor pusat Depkeu, menuturkan dirinya hanya meneken tiga izin baru.

Kemampuan calon investor yang ingin mendapatkan izin usaha menjadi alasan kuat bagi pemerintah. "Kalau Anda menyatakan mau menyetor Rp100 miliar, buktikan kalau Anda punya harta lebih dari itu. Bukan hanya dengan pernyataan, kalau kami tidak puas dengan bukti itu, sorry tidak bisa keluar izin," tegas Freddy.

Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), satu-satunya wadah industri ini, mengungkapkan sebagian besar dari jumlah multifinance saat ini belum beroperasi dalam kapasitas penuh.

Lebih ketat

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan siapa pun yang ingin masuk ke industri pembiayaan dan ini juga sekaligus menjadi alasan berkurangnya jumlah pelaku usaha saat ini. Pertama, seperti tercantum dalam Bab III pasal 7 PMK No. 84/ 2006, multifinance harus memenuhi ketentuan minimum permodalan yang memang kian besar.

Multifinance yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas (PT), modal disetor ditetapkan minimal Rp100 miliar, adapun bentuk koperasi minimal Rp50 miliar dan tidak berlaku surut. Apalagi ada embel-embel, modal harus disesuaikan kembali jika terjadi perubahan pemegang saham. Ini yang sebenarnya jadi faktor pemberat karena sebelumnya pemerintah hanya mensyaratkan modal Rp10 miliar bagi PT dan Rp5 miliar terhadap koperasi.

Kepala Biro Pembiayan dan Penjaminan Bapepam LK yang baru M. Ihsanuddin mengatakan persoalan permodalan menjadi salah satu yang dominan mengapa belum banyak yang mengajukan izin baru.

Jumlah multifinance baru ternyata kalah jauh dengan perusahaan yang menjadi almarhum karena dicabut izinnya.

Jika selama kurun waktu Januari-Juni 2009 saja sudah sembilan multifinance yang almarhum, sejak PMK itu terbit 3 tahun lalu, cuma ada tambahan enam perusahaan sehingga jumlah multifinance yang aktif hingga Juni mencapai 204 perusahaan, padahal akhir tahun lalu tercatat 212 perusahaan.

Kedua, selain harus ada izin menteri, ekuitas multifinance juga diwajibkan minimal 50% dari modal disetor. Banyak manajemen multifinance pun harus pintar-pintar mengatur arus kasnya. Jangan cuma dapat izin lalu tak mampu bertahan dan akhirnya musnah.

Dan persoalan terakhir ialah ketegasan regulator. Biro Pembiayaan dan Penjaminan kini punya julukan 'malaikat pencabut nyawa' dan selalu memelototi kinerja perusahaan yang tidak serius.

Bukti nyata sudah ada di depan mata, bisa dihitung berapa banyak pelaku usaha yang tinggal menunggu peringatan berikutnya (pembekuan) hingga berujung pada pencabutan izin usaha.

Paling tidak, dengan ketegasan ini, siapa yang masih berani tidak memenuhi piutang minimal 40% dari aktiva dan masih mempraktikkan jual beli izin usaha? (tahir.saleh@bisnis.co.id/fahmi.achmad@bisnis.co.id)

Ditulis oleh M Tahir dan Fahmi Achmad, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi 21 Agustus 2009

Gambar: bikez.com

Rabu, 05 Agustus 2009

Krisis (seolah) tak mampir di Singapura

Las Vegas Sands Corp seolah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa krisis tak mampir di Singapura. Melalui anak usahanya Marina Bay Sands Pte Ltd, perusahaan properti internasional itu memublikasikan tahap akhir pembangunan (topping-off) Marina Bay Sands. Proyek properti ini menelan dana hingga 5,25 miliar dolar Singapura atau sekitar Rp36 triliun.

Saat perekonomian di sebagian besar belahan dunia terseok-seok, industri properti merupakan salah satu sektor yang terkena hantaman paling keras. Saat perekonomian melambat, permintaan ruang-ruang kantor pun dipastikan berkurang, tingkat okupansi hotel menurun karena perjalanan bisnis yang menurun drastis, dan pusat perbelanjaan menjadi lebih sepi karena orang harus melakukan pengiritan.

Kondisi ini membuat transaksi di sektor properti relatif sepi. Pengembang harus menahan diri. Tak sedikit, proyek yang sudah dalam perencanaan terpaksa harus dikaji ulang. Pengkajian ulang yang berarti penghentian sementara kegiatan konstruksi. Namun, itu sepertinya tidak menciutkan nyali sejumlah pengembang.

"Siapa bilang saya rugi, kadang kalian [pers] salah dalam menulis. Duit saya masih banyak," kata Sheldon G Adelson, pemilik Las Vegas Sands Corp, di hadapan wartawan dari berbagai negara yang sengaja diundang untuk menyaksikan perkembangan Marina Bay Sands pada awal bulan ini.

Pernyataan yang dibuat untuk memastikan bahwa bisnis properti yang digelutinya hingga saat ini masih baik-baik saja, meskipun krisis ekonomi global menghantui sebagian besar aspek kehidupan masyarakat dunia saat ini.

Dua tahun lalu, tepatnya 8 Februari 2007, Sheldon, si raja kasino, menancapkan batu pertama pembangunan kawasan Marina Bay Sands. Dalam kawasan terdapat Hotel Marina Bay Sands yang memiliki tiga tower, masing-masing mempunyai 55 lantai dengan jumlah kamar 2.600.
Puncak ketiga tower hotel tersebut akan disulap menjadi SandSky Park seluas 1 hektare. Taman tersebut dihiasi tiga kolam renang dengan panjang 50 meter dan akan diisi dengan 1,6 juta liter air.

Di kawasan Marina Bay Sands juga ada ruang kasino bergaya Las Vegas dan memiliki Paiza Club eksklusif untuk para pemain kelas atas. Selain itu ada Sands Expo and Convention Centre yang memiliki luas lebih dari 120.000 meter persegi.

Kurt Vella, Project Manager Marina Bay Sands mengatakan fasilitas itu memiliki ruangan konvensi dan pameran yang fleksibel dan mampu mengakomodasi 2.000 ruang pameran, 250 ruang rapat, serta lebih dari 45.000 delegasi. Grand ballroom seluas 8.000 meter persegi memiliki kapasitas tempat duduk sedikitnya 6.600 orang.
Melihat beragam fasilitas yang dijejalkan di kawasan Marina Bay Sands, jelas terlihat bahwa kawasan ini memang dirancang untuk menjadi ajang pelaksanaan beragam kegiatan pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE).

Seperti tak ingin uang para tamu yang datang dibelanjakan di tempat lain, Marina Bay Sands dirancang untuk dapat memenuhi semua kebutuhan pengunjung mulai dari tempat menginap, hiburan, pertemuan bisnis, hingga ruang kasino yang diperuntukkan bagi tamu yang ingin bersenang-senang atau sekadar menghamburkan uang.

Ruang kasino yang diharapkan dapat memberikan kesenangan yang sama kepada para tamu yang pernah singgah di tempat kasino lainnya yang juga dimiliki dan dikelola oleh Las Vegas Sands Corp di berbagai negara. Perusahaan ini merupakan pemilik dan operator Venetian Casino Resort, Palazzo and Sands Expo di Las Vegas, Nevada. Properti lainnya adalah Venetian Macao-Resort-Hotel dan Sands Macao Casino di Macau, serta Sands Casino Resort Bethlehem di Pennsylvania Timur.

Tak sekadar nekat
Sesumbar Sheldon, pemilik Las Vegas Sands Corp, mengenai uang yang dia miliki untuk tetap melanjutkan proyek Marina Bay Sands seperti ingin mematahkan keragu-raguan banyak pihak. Wajah perekonomian dunia saat ini jelas berbeda jauh dibandingkan dengan kondisi 2 tahun lalu, saat batu pertama untuk pembangunan proyek itu ditancapkan.
Itulah yang membuat banyak pihak ragu terhadap kelanjutan proyek-proyek properti berskala besar. Keraguan yang coba dibantah oleh Sheldon dengan rencananya untuk membuat Marina Bay Sands pada Januari atau Februari tahun depan.

Namun, tidak hanya Sheldon yang nekat melanjutkan megaproyeknya. Pengembangan Resort World di Sentosa yang dikembangkan oleh Genting International juga tetap berlanjut. Ada juga Gardens by the Bay yang akan dibuka tahun depan.

Resort World, sebagaimana dikutip Channel NewsAsia, bahkan mengklaim bisa mendatangkan 13 juta pengunjung saat proyek tersebut rampung. Pihak pengembang berharap dua pertiga bangunan hotel akan selesai pada kuartal I/2010. Proyek resor yang disokong S$6,6 miliar tersebut baru ditargetkan rampung dalam 2 tahun ke depan.

"Seiring dengan membaiknya perekonomian, mendorong kami untuk yakin proyek ini akan mendatangkan angka-angka yang lebih baik bagi kami," kata Michael Chin, Executive Vice President of Project Resorts World.

Keyakinan para pengembang megaproyek di Singapura itu memang tak terlepas dari peta perekonomian di kawasan Asia yang dinilai jauh lebih baik dibandingkan dengan yang dialami oleh negara-negara di Eropa dan Amerika. Belum lagi keberadaan China, yang dekat dengan Asia, sebagai kekuatan ekonomi baru dunia.
Denyut aktivitas bisnis inilah yang membuat kawasan Asia masih mengantongi nilai positif dan membuat sejumlah pengembang masih melirik kawasan ini, termasuk Singapura tentunya. Sheldon bahkan mengklaim beberapa acara besar seperti Industrial Fabrics Association International Expo Asia, Glasstech Asia, dan acara berkelas dunia lainnya sudah memesan tempat di Marina Bay Sands.

Acara berskala besar itu dipastikan akan digelar di Marina Bay Sands, tempat yang diharapkan pemiliknya menjadi magnet bagi pihak-pihak yang membutuhkan tempat 'layak' untuk kegiatan MICE mereka.

Saat Singapura masih dilirik oleh para pengembang besar, bagaimana dengan Indonesia? Bukankah kita berada di kawasan yang sama dengan mereka? Saat krisis dianggap tak mampir di sana, apakah Indonesia akan mendapatkan anggapan yang sama? (tahir.saleh@bisnis.co.id)


Ditulis oleh M. Tahir, judul asli "Krisis (seolah) Tak Mampir di Singapura, Proyek Kontrsuksi tetap Berjalan", dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi 25 Juli 2009
Gambar: ezta wahyudi

Kamis, 11 Juni 2009

Infantil Politik, ‘Bukan Pemilihan Kepala Suku’

Isu Jawa dan non-Jawa menyeruak sejak tiga pasang Capres dan Cawapres mendeklarasikan diri bulan ini. Bahkan setelah ketiga pasangan itu sudah mendapatkan nomor urut pada Pemilihan Presiden 9 Juli (Pilpres), isu primordial itu pun masih menghangat.

Pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto (JK-Win) yang notabene hasil kloning antara Jawa (Solo) dan non-Jawa (Bugis) itu tentu menjadi sorotan karena berbeda dengan dua pasang calon lainnya.

Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono (SBY-Berboedi) adalah pasangan Jawa. SBY berasal dari Pacitan sementara Boediono lahir di Blitar, sama seperti Presiden pertama Soekarno. Pasangan Jawa berikutnya Megawati Soekarno Putra dan Prabowo Subianto. Meskipun demikian, jika ditelusuri ada darah campuran yang mengalir dalam diri Megawati sebab ayahnya, Soekarno, lahir dari ibu Bali dan menikah dengan wanita Bengkulu (Fatmawati).

Adapun Prabowo lahir di Jakarta tetapi tetap keturunan Jawa karena ayahnya ekonom terkenal Soemitro Djojohadikoesoemo dari Kebumen, Jawa Tengah.

Dengan demikian isu dominasi etnis tertentu dan adanya perbedaan etnis pada Pilpres 2009 ini yang kemudian digunakan oleh semua tim kampanye baik dalam mendukung atau bahkan menggunakan diskursus ini untuk menyerang lawan politiknya.

Baru-baru ini di harian Bisnis Indonesia, Priyo Budi Santoso, anggota DPR dari Partai Golkar yang kembali melanggeng ke Senayan, yang juga Ketua Umum DPP Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong, mengatakan pasangan JK-Win merupakan kombinasi paling Nusantara, paling Indonesia, dan mewakili suku suku terbesar Republik ini.

Pernyataan ini membuktikan masih adanya sentimen kedaerahan yang melekat pada ajang empat tahunan ini padahal kita tahu bangsa Indonesia sedari awal merupakan bangsa yang beraneka macam suku, agama, ras, dan budaya.

Karena banyaknya perbedaan budaya yang beragam itulah seorang calon pemimpin bangsa bukan dilihat berdasarkan dari mana dia lahir, dibesarkan, dan tumbuh dewasa. Namun calon pemimpin bangsa tersebut memiliki kemampuan dalam segala hal untuk memimpin demi kesejahteraan rakyat. Entah itu terejahwantahkan melalui pribadinya, pengetahuannya, maupun akhlaknya. Sekali lagi bukan etnis.

Apakah negara ini akan makmur sentosa tentram dan damai jika seorang pemimpin merupakan kombinasi dari dua daerah tertentu? Lalu apakah negara ini kian tercerabut dari akarnya atau menegasikan suku lainnya karena dominasi pemimpin dari suku itu-itu saja?

Tidak ada yang bisa menjamin hal tersebut. Karena mencari pemimpin ialah mencari sosok yang mampu merealisasikan apa yang diharapkan rakyat. Dalam teori leadership categorization (Lord & Maher,1991) menyatakan ketika seorang menjadi bawahan, maka orang itu memiliki seperangkat harapan dalam bentuk prototype harapan.

Masyarakat sebagai hirarki ‘terbawah’ dari sistem demokrasi, meski secara substantif masyakarat atau rakyatlah yang duduk pada hirarki tertinggi, tentu menggantungkan harapan besar kepada calon pemimpin bangsa. Harapan itulah yang kemudian menjadi keharusan dari setiap calon pemimpin bangsa untuk mewujudkannya. Tentu saja baik Jawa maupupn non-Jawa punya kesempatan yang sama. Lagipula belum ada kepastian jika masyarakat Jawa secara keseluruhan menginginkan pemimpin ideal sesuai dengan prototype Jawa.

Nasionalisme

Tidak dapat dipungkiri, sejarah mencatat sederet Presiden RI mayoritas dari etnis Jawa. Saat ini hanya Baharuddin Jusuf Habibie yang bukan dari Jawa (lahir di Sulawesi Selatan-Makassar, meski ibunya pun dari Yogyakarta). Selebihnya, Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid/Gusdur, Megawati, dan terakhir SBY adalah satu rumpun bernama Jawa.

Dalam diri setiap pemimpin, tidak bisa dilepaskan dari budaya asal. Budaya itu merasuk ke dalam perilaku melalui lingkungan dan interaksi dengan sekitar. Kemudian, baik disadari maupun tidak, kecenderungan budaya tertentu meresap dalam tipikal kepemimpinan seseorang. Namun, jika satu budaya secara implisit mendominasi budaya tertentu dalam satu negara yang heterogen budaya maka negara tersebut sangat dekat dengan sifat sebuah dinasti.

Sondang P Siagian (2003:108) menyatakan kepemimpinan selalu bersifat situasional, kondisional, temporal dan spatial yang berarti bahwa gaya kepemimpinan orang misalnya gaya demokratik tidak mungkin dapat diterapkan secara sangat konsisten tanpa memperhitungkan situasi dan kondisi yang dihadapi, faktor waktu dan faktor ruang. Artinya memang budaya berpengaruh dengan kepemimpinan seseorang.

Karena budaya adalah seluruh cara hidup dari sebuah masyarakat. Ada nilai, praktik hidup, simbol, lembaga, dan hubungan antarmanusia. Budaya merupakan salah satu kontributor, dipahami sebagai jawaban terhadap aneka pertanyaan tentang mengapa ada perbedanaan pada tingkat keterampilan, kemakmuran, kecakapan di antara berbagai pribadi.

Peristiwa Pilpers AS yang dimenangkan oleh seorang kulit hitam bernama Barrack Obama menjadi tolok ukur bagaimana sebuah demokrasi tanpa tedeng aling-aling dari apa yang disebut primordialisme, meskipun pendukung utama Obama juga berasal dari rumpun Afro-Amerika.

Akan tetapi setidaknya ini membuktikan dalam membenahi sebuah negara yang dibutuhkan bukan etnis seseorang. Bustanuddin Agus (2006), mengatakan fungsi suku sebagai ikatan solidaritas saat ini sudah tidak berfungsi lagi, sudah sangat menipis biarpun memilki ikatan primordial.

Budaya hanya satu dari sekian elemen pemersatu nasionalisme. Nasionalisme atas dasar pancasila yang semestinya dikedepankan. Atas dasar itu, fokus Pilpres 2009 kali ini haruslah bukan mengaksentuasikan pada siapa suku yang akan menang, tetapi siapa pemimpin yang mampu mewujudkan apa yang diharapkan rakyat Indonesia.

Masih banyak permasalahan negeri ini yang belum tuntas, dari pelanggaran HAM hingga ke lumpur Lapindo, dari masalah ekonomi ke masalah sosial, pendidikan dan lain-lain. Seharusnya semboyan Bhineka Tunggal Ika menjadikan Pilpres tahun ini tidak menenggelamkan visi misi yang berujung pada kesejahteraan rakyat, entah dengan nama ekonomi kerakyatan , ekonomi yang pro rakyat, atau ekonomi jalan tengah yang pro rakyat.

Sekadar mengingatkan, Bung Hatta dalam pidatonya di depan para mahasiswa Universitas Islam Aligard India 29 Oktober 1955, memberi pesan, penjelmaan dari sifat pengasih dan penyayang ialah persaudaraan yang bukan atas dasar suku. Betapa pun besarnya perbedaaan antara partai dengan partai persatuan bangsa tetap dipelihara (I Wangsa Widjaja, Meutia F Swasono, 2002)

Publik seharusnya jangan terjebak pada perkataan dari sejumlah tim sukses Capres-Capwapres tertentu yang secara implisit mewacanakan pemimpin yang merupakan kombinasi etnis tertentu. Biarlah rakyat yang bicara toh ini bukan pemilihan kepada suku.



Ditulis sehari setelah penulisa ikut menghadiri acara kunjungan JK ke kantor Harian Bisnis Indonesia.

Gambar: weblacktricks.wordpress.com

Kamis, 23 April 2009

Menanti sistem informasi debitur multifinance

Miftakh Mawlia belum lama ini dihubungi oleh salah satu pria asing yang mengaku sebagai calon debitur di wilayah Bekasi. Si lawan bicara menanyakan proses kredit mobil.

Staf kredit PT Trihamas Finance ini pun sigap memberikan penjelasan yang profesional mengenai prosedur pengambilan kredit mobil.

Sederhana dan lugas. Ternyata kredit mobil tak rumit prosesnya. Tinggal menghubungi kantor cabang dekat rumah dan mengajukan keinginan mau jenis mobil apa, warna apa, tahun berapa, atau merek apa.

Selang beberapa waktu, kantor cabang akan mencari mobil yang dimaksud di diler-diler yang sudah kerja sama. Jika kosong, alternatifnya konsumen akan ditawari opsi lain. "Kalau enggak ada ya kami usahakan menawari dengan pilihan lain, siapa tahu cocok," tuturnya.

Jika barang yang dimaksud ada, konsumen diminta datang langsung ke kantor cabang untuk memastikan benarkah pemilik suara di seberang itu hanya mau kenalan atau memang calon pengutang.

"Kalau benar ya langsung didata identitasnya, rumahnya, kerjanya di mana, tujuannya untuk survei," ujar Miftakh.

Ya survei, ini proses standar yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan (multifinance) guna menghindari debitur abu-abu yang suka menggelembungkan kredit macet (non performing loan/NPL).

Tentu survei yang dilakukan memakan waktu yang lama dan tidak efisien bagi konsumen yang kadung butuh cepat.

Rekam jejak

Yang jadi pertanyaan bagaimana lembaga keuangan nonbank (LKNB) bisa tahu rekam jejak calon debitur sebelum keputusan bisnis dikeluarkan tanpa harus survei terlebih dahulu seperti halnya perbankan?

Sebenarnya, sejak Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Muliaman D. Hadad menandatangani kerja sama dengan Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany pada medio 2007, LKNB seperti multifinance bisa menggunakan SID atau Sistem Informasi Debitur.

Ini adalah pengejawantahan Peraturan Bank Indonesia No. 1/7PBI/ 1999 tentang Sistem Informasi Debitur.

Singkatnya, SID merupakan sistem yang menyediakan informasi mengenai debitur, hasil laporan yang diterima BI dari pelapor SID yang terdiri dari Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan LKNB. Output yang diperoleh dari pengecekan itu disebut Informasi Debitur Individual (IDI).

Dengan ini, multifinance-tidak hanya kantor pusat, tetapi cabang-bisa tahu hal-hal yang berkaitan dengan kondisi pembayaran debitur, track record tunggakan dan kualitas kredit, apakah status pembayarannya lancar, kurang lancar, seret, dalam perhatian khusus, diragukan atau macet.

Bukan hanya ratusan debitur, multifinance bisa mengakses data debitur dari 126 bank umum, 575 BPR yang total aset di atas Rp10 miliar, dan 6 LKNB dengan jumlah total debitur sekitar 36,9 juta per Februari 2009.

Sayangnya, meskipun BI saat ini terus mendorong LKNB mengikuti SID, tapi baru ada 6 LKNB yang sudah menjadi pelapor dan akan menyusul 8 LKNB yang kini mempersiapkan kepesertaannya.

Keenam itu ialah PT GE Finance, PT AEON Credit Services, PT Buana Finance Tbk, PT IFS Capital Indonesia, PT Bhakti Finance, dan PT Permodalan Nasional Madani.

Adapun 'murid baru' lainnya yakni PT Olympindo Multi Finance, PT BII Finance Center, PT Mashill International Finance, PT Orix Indonesia Finance, dan PT Batavia Prosperindo Finance, PT Cahya Gold Prasetya Finance, PT Consumer Finance Indonesia, dan PT Sarana Multikriya Finansial (Persero).

Positifnya, Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Bapepam-LK M Ihsanuddin menambahkan, perlahan tapi pasti akan ada 25 multifinance yang menjajaki SID. Baru menjajaki, tapi itu sudah jadi kabar menggembirakan guna kepentingan bersama.

Ibarat bayi prematur, SID belum lengkap benar. Salah satu masalah utama ialah perbedaan karakteristik perbankan dan LKNB dalam format pelaporan debitur.

Masalah lain ialah, sejumlah multifinance besar juga mengeluhkan perbedaan jumlah debiturnya dengan milik multifinance yang dikategorikan kecil.

Hal itu yang kemudian menjadi batu sandungan bagi multifinance besar mendaftar SID.

"Yang jadi kendala kami belum ikut SID adalah bagaimana kami mendata konsumen lama yang sudah eksis, sementara yang mudah bagi kami dan sebagian besar perusahaan lain baik kecil dan besar itu adalah data konsumen baru," kata Gunawan, Direktur PT Indomobil Finance Indonesia.

Parahnya, ada kekhawatiran sebagian multifinance jika data konsumennya dibagi kepada multifinance lain, takutnya terjadi perebutan konsumen oleh oknum-oknum tertentu.

Apalagi saat ini bisnis pembiayaan belum meningkat pesat sebagaimana tahun lalu yang melejit. Singkatnya, siapa yang mau nasabahnya direbut?

Akses data

Mengatasi hal wajar dalam bisnis ini, Joni Swastanto, Direktur Perizinan dan Informasi Perbankan BI, mengatakan pihaknya sudah mengantisipasi hal tersebut dengan memberikan akses tertentu bagi sedikitnya 3 otoritas dalam satu perusahaan.

"Jadi jangan khawatir karena setingkat pegawai biasa tidak akan bisa sembarangan masuk ke sana [SID]," kata Jony.

Untuk menarik perusahaan lain, Ketua Umum APPI Wiwie Kurnia juga mengharapkan BI segera memperbaiki sistem reply data agar memudahkan data reguler yang diperlukan mengenai konsumen bisa cepat didapat.

Dan satu lagi, SID harus didukung oleh single indentity number atau nomor identitas tunggal seperti yang diterapkan di luar negeri guna mempermudah pencarian data dan memperlancar proses pemberian kredit.

Dengan dukungan sejumlah pihak serta kemauan dalam meningkatkan perekonomian, seharusnya SID tersebut dapat segera disempurnakan bagi multifinance.

Mengingat, kuartal II/2009 ini diproyeksikan bisnis multifinance kembali menggiat lagi. Jangan sampai tingkat NPL juga ikutan melejit. (redaksi@bisnis.co.id)

Ditulis oleh M. Tahir, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi 16 April 2009
Gambar: matanews.com

Selasa, 14 April 2009

Lieberman, kerikil tajam perdamaian di Timteng

Dengan lantangnya, ketika konflik Gaza pada Januari 2009, dia menegaskan Israel "harus terus memerangi Hamas seperti saat Amerika Serikat menyerang Jepang dalam Perang Dunia II. Bahkan sebelumnya dia mengatakan negosiasi tanah demi perdamaian adalah satu kesalahan yang akan menghancurkan bangsanya.

Tak berhenti di situ, mantan tukang pukul di klub pelajar "Shablul" semasa jadi mahasiswa ini pun kembali berkoar pada saat inaugurasi jabatan barunya sebagai Menlu Israel awal bulan ini.

Dia menolak hasil konferensi damai di Annapolis yang selenggarakan pada November 2008. Konferensi itu merupakan kelanjutan dari solusi yang digagas oleh kwartet perdamaian dalam Peta Jalan Damai (Road Map) 2003 yakni AS, Rusia, PBB dan Uni Eropa.

"Saya selalu kontroversial karena saya menawarkan ide-ide baru. Bagi saya menjadi kontroversial, saya pikir ini adalah positif,” kilahnya santai.

Pernyataan itu kini membawa aroma ketidakharmonisan hubungan Israel dan AS. Juga merubah skenario perdamaian di Timur Tengah yang sudah kesekian kalinya diupayakan. Ini pun akan menjadi simalakama bagi pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Barrack Obama.

Satu sisi Israel adalah sekutu bagi AS bertahun-tahun, di sisi lain Barrack Obama yang baru dilantik belum lama ini ingin dinilai berhasil membangun kredibiltasnya sebagai pemimpin negara Paman Sam, Presiden AS kulit hitam pertama AS yang mampu menyatukan konflik keagamaan dalam balutan politik.

AS sendiri mengusung solusi dua negara sejak ditawarkan, Israel dan Palestina berdampingan secara damai.

Tak hanya itu, perdamaian di Timur Tengah yang diharapkan sebagian kelompok pro-AS seperti Mesir, Jordania, dan Otoritas Palestina di bawah pimpinan Mahmud Abbas pun luruh. Kerikil tajam ini sangat menggangu konstelasi perdamaian di bumi Palestina.

Akan lebih parah kondisinya jika pimpinan partai ultranasionalis Yisrael Beiteinu ini juga menyelaraskan ideologi dengan partai lain yang sebelumnya juga sejalan memusuhi Islam misalnya Partai Ortodoks Shas pimpinan Eli Yishai, partai kanan radikal The Jews Home, dan partai Likud, entah apa jadinya keputusan politik di Israel nanti. Pasalnya, partai-partai itu adalah suara ‘Tuhan’ di Israel.

Partai Yisrael Beiteinu didirikan oleh imigram Rusia yang dikenal punya padangan politik yang lebih keras terhadap dunia Islam. Lieberman adalah pemimpin partainya yang berhasil meraih 15 kursi Knesset pada pemilu legislatif pada 10 Februari lalu. Bukan kali ini sosoknya menjadi kontroversial.

Lieberman yang bernama asli Evet Lieberman mengabdi kepada Benjamin Netanyahu sejak 1988. Setelah Netanyahu terpilih sebagai pemimpin partai, Lieberman menjabat sebagai Direktur Jenderal dari partai Likud dari 1993-1996, setelah itu jabatan lain diembannya sebagai Direktur Jenderal Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Media massa memandang sosok kelahiran Kishinev, Uni Soviet (sekarang Moldova) pada 5 Juni 1958 ini sebagai pribadi yang kanan sekali atau ultarnasionalis dan terkadang sayap kanan atau kerakyatan.

Berbagai media Arab, media dunia, dan politisi juga menilai Lieberman fasis dan anti-Arab. Rekam jejaknya penuh pergerakan politik dan dilumuri juga oleh isu tak sedap. Misalnya saja pada 1998, ada laporan yang dia adalah salah satu ‘tangan’ di balik bom di Bendungan Aswan, Mesir.

Dia juga ditengarai terlibat dengan beberapa pengusaha lokal dan asing dan diduga menerima uang jutaan dari berbagai pengusaha saat menjabat sebagai anggota Knesset. Sadisnya lagi, pada 24 September 2001, Lieberman diakui melalui Pengadilan Distrik Yerusalem bahwa dia yang menyerang pemuda 12 tahun dari Tekoa, yang telah memukul anaknya.

Sebagai Yahudi, Lieberman tentu sadar dengan apa yang diperbuat dan apa yang menjadi keputusannya saat ini. Karena bagi kaum Yahudi, termasuk Lieberman, bangsa selain mereka adalah manusia yang rendah derajatnya. Namun, harapan akan adanya perdamaian selalu ada. Apakah bahasa politik masih berbicara ketimbang kekuatan? (13/4/9)

Gambar: ap (associated press)

Minggu, 25 Januari 2009

Perdagangan alternatif dikekang, komoditas dikokang

Perhatian bagi pialang berjangka! Sebulan lagi, seluruh broker anggota bursa berjangka diwajibkan melakukan transaksi kontrak komoditas.

Artinya, mau tak mau, pialang yang selama ini mengeruk komisi dari duit nasabah yang ditransaksikan lewat valas valuta asing dan indeks saham asing atau melalui sistem perdagangan alternatif (SPA), harus 'mampir' ke komoditas.

Ketika berbincang di ruang kerjanya pada akhir pekan lalu, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Deddy Saleh mengatakan paling tidak Februari akan diterapkan kebijakan wajib transaksi komoditas. "Persentasenya nanti akan dibicarakan dengan BBJ [Bursa Berjangka Jakarta]."

Rasanya kewajiban baru itu cukup berat bagi pialang. Di satu sisi, kontrak komoditas belum banyak ditransaksikan di BBJ dan belum menarik bagi pialang, sehingga tidak ada patokan harga. Di sisi lain, transaksi melalui SPA sangat likuid. Bukan bisnis namanya kalau pialang melepaskan kesempatan likuidnya transaksi.

Sekelumit kalimat sakti di atas sering kali dijadikan alasan pialang belum hijrah ke komoditas. Maka jadilah, kontrak komoditas di BBJ ada, tapi tiada berwujud.

Usulan ini sebenarnya sempat diajukan BBJ dan PT Kliring Berjangka Indonesia (KBI) sejak 3 tahun lalu kepada Kepala Bappebti pada era sebelumnya, Titi Hendrawati, tetapi mental. Mungkin saat itu kebijakan 'pemaksaan' belum sesuai, atau memang ada alasan riil yang lain.

Pada Mei 2008, juga sempat diusulkan agar pialang wajib bertransaksi komoditas minimal 2% dari total perdagangan bulanannya. Namun, sekali lagi, tidak ada dukungan.

Bappebti berusaha mendorong volume transaksi komoditas primer. Pasalnya, sejak BBJ berdiri hampir 9 tahun lalu, volume transaksi di bursa komoditas itu justru dikuasai SPA.

Sekadar mengakrabkan istilah, BBJ punya dua jenis kontrak. Pertama, kontrak berjangka komoditas yang terdiri dari lima kontrak yaitu olein, kontrak indeks emas, kontrak gulir emas, dan kontrak gulir emas denominasi dolar AS.

Kedua, kontrak yang diperdagangkan di luar bursa (over the counter/OTC) melalui sistem perdagangan alternatif yaitu kontrak indeks saham asing, valas, dan kontrak komoditas perdagangan amanat bursa luar negeri (PALN). Kontrak komoditas itu biasa disebut multilateral dan OTC disebut bilateral.

SPA sendiri pada awalnya hanya dijadikan motor penggerak bagi keuangan BBJ. Maklum, pada saat itu BBJ belum sehat secara finansial dan tidak disubsidi pemerintah. Pendanaan utama sebetulnya diharapkan dari kontrak komoditas, tetapi sayang masih melempem.

Bumi dan langit
Perbandingan antara total volume transaksi OTC dan komoditas sepanjang 2008 memang ibarat bumi dan langit. Transaksi OTC mencapai 5,56 juta lot, sedangkan komoditas hanya 53.788 lot.

Ketika dibuka pada awal tahun, kontrak komoditas sempat mencapai 5.426 lot lebih tinggi dibandingkan dengan Januari 2007 yang hanya 1.740 lot. Pada akhir tahun masih melorot jadi 1.383 lot. Padahal pada pengujung 2008, BBJ menambah satu kontrak yakni kontrak gulir emas denominasi dolar AS. Kenaikan tertinggi 10.394 lot hanya terjadi pada Oktober akibat kenaikan kontrak indeks emas.

Dengan paparan ini sudah selayaknya Bappebti bisa mengambil langkah tegas dengan mewajibkan pialang masuk ke komoditas, asalkan ada jaminan keringanan, kompensasi, atau insentif. Biar bagaimanapun pengusaha tetap pengusaha yang mencari keuntungan. Hari gini siapa yang tak mau untung.

BBJ dan KBI sempat mengimingi pialang dengan membebaskan biaya transaksi sebesar Rp5.000 per lot, iuran bursa Rp2 juta per bulan, iuran KBI Rp3 juta per bulan, dan biaya bulanan frame relay atau pembayaran komunikasi melalui sistem BBJ (JAFeTS2) yang seharusnya Rp3 juta per bulan. Namun, tetap saja SPA jauh lebih menggoda. Keuntungan SPA jauh lebih besar dari pada insentif itu.

Celaka 12 jika sampai dari total 70 pialang, hanya 10 pialang yang ikut meramaikan transaksi kontrak komoditas di BBJ. Apalagi BBJ juga dihadapkan pada calon pesaing baru, PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia.

Lalu apakah harus diberikan sanksi bagi pialang yang membandel? Terkadang memaksakan kehendak juga tidak bisa menyelesaikan masalah, lagipula yang namanya peraturan kadang muncul kebiasaan jelek dan membudaya bahwa sebuah peraturan diciptakan untuk dilanggar.

Terlepas dari itu semua, inti kebijakan ini tentu dengan harapan visi dan misi BBJ sebagai sarana untuk melakukan lindung nilai, spekulasi, dan penentuan harga khususnya kontrak komoditas bisa terwujud. Kapan bisa mencatut informasi harga CPO tidak lagi di Mdex Malaysia atau Rotterdam Belanda?

Perlu ada kejernihan pikiran melihat apakah kewajiban ini adalah pil pahit atau tidak, entahlah, yang jelas pil ini harus ditelan. (redaksi@bisnis.co.id

Ditulis oleh M Tahir, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi Rabu, 21 Januari 2009

Gambar: daniel acker/bloomberg

Minggu, 11 Januari 2009

Quo vadis pialang berjangka?

Kalau Bursa Efek Indonesia punya Asosiasi Emiten Indonesia, Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) memiliki Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) atau Indonesian Futures Company Association.

Namanya juga asosiasi, himpunan, atau organisasi tentu jumlah anggotanya lebih dari satu. Begitu pula dengan APBI, sekitar 34 perusahaan mendirikan dan membesarkan organisasi ini hingga sekarang.

APBI lahir di Jakarta pada 8 Januari, sehingga pekan ini genap 9 tahun kumpulan ini eksis di industri perdagangan berjangka komoditas meski perannya masih diragukan sebagian pelaku industri berjangka.

Ibarat anak umur 9 tahun, belum banyak asam garam pengalaman yang direguk atau pahit getirnya cobaan yang dirasakan. Namun, setidaknya pergolakan yang terjadi di industri berjangka belakangan ini pada galibnya menjadi tolak ukur revitalisasi organisasi. Jika tidak, apa jadinya wajah APBI di tahun bershio kerbau ini.

Benarlah kata Rene Descarte, cogito ergo sum, bahwa keraguan menandakan eksistensi. Singkatnya keberadaan APBI masih tanda tanya. Betapa tidak, sudah lebih dari tiga pialang lenyap dari peredaran setelah dicabut izin usahanya oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Menjelang terompet tahun baru dibunyikan, otoritas yang akan pindah kantor di Salemba itu masih sempat mencabut izin usaha satu pialang yakni PT Quantum Futures pimpinan Gamal Putra, meski BBJ 'memaafkan' pialang itu dengan mencairkan pembekuan SPAB.

Apabila direnungkan, mengapa perusahaan yang dicabut izinnya itu tidak belajar dari pengalaman pialang lain? Apakah gugurnya PT Graha Finesa Berjangka, Artha Berjangka Nusantara, Caymant Trust, dan lainnya tidak bisa dijadikan pelajaran? Sekali lagi peran APBI dipertanyakan. Hendak kemana organisasi ini kalau anggotanya tidak taat peraturan?. Quantum seharusnya menjadi kontemplasi bagi pialang lainnya.

Pamor meredup
Pamor APBI terlihat mulai redup ketika Inez Fairuz, pada saat itu menjabat Bendahara APBI, merupakan Direktur Graha Finesa sehingga muncul spekulasi di mata mantan nasabahnya, jangan-jangan duit nasabah lari ke kantong lain.

Tubuh APBI kian limbung bak dihantam palu ketika Suparman, Ketua APBI periode lalu, ternyata orang nomor satu di Caymant Trust Futures.
Perusahaan pialang itu juga mendapat kartu merah dari Bappebti. Citra asosiasi kembali tercoreng.

Tujuan organisasi itu sendiri adalah melindungi dan memelihara persatuan sesama anggota.
Sebuah organisasi juga berfungsi sebagai forum silaturahmi dan kerja sama antaranggota untuk memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan usaha anggota khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Ini menjadi pekerjaan rumah bagi jajaran asosiasi pialang berjangka itu, khususnya I Gede Raka Tantra yang didaulat menggantikan Suparman sebagai Ketua APBI pada 15 Oktober 2008.
Selama setahun, Direktur Utama PT Harumdana Berjangka ini bertekad memberikan perubahan yang lebih baik bagi asosiasi.

''Meski saya hanya melanjutkan kepemimpinan sebelumnya, tetapi semoga bisa lebih baik lagi,'' ikrarnya pada saat itu.

Gede juga memperkenalkan beberapa misi asosiasi di antaranya pendidikan dengan memberikan penjelasan dan pemahaman atas sejumlah ketentuan-ketentuan baru yang diterbitkan Bappebti.

Ada yang bilang keroposnya wewenang asosiasi itu disebabkan pengurus APBI bukan pengambil kebijakan di perusahaan atau bahasa lainnya bukan owner pialang.

Jika memang demikian, wajar kebijakan APBI sulit untuk diterima dan dijalankan perusahaan anggotanya karena dapat dipastikan 'mentah' di tingkat atas. Oleh karenanya momen ulang tahun sebaiknya dijadikan titik pijak perubahan organisasi agar lebih bertenaga.

Apalagi beberapa tokoh yang tergabung dalam Dewan Pakar APBI cukup berpengalaman seperti Arifin Lumban Gaol yang merupakan mantan Kepala Bappebti dan kini Komisaris Utama BBJ yang tentu saja paham betul perdagangan berjangka.

Namun, tugas pembinaan bukan hanya di pundak APBI, Bappebti dan BBJ juga tidak bisa lepas. Pialang anggota layaknya anak yang terus dibina dan diperlakukan dengan adil.
Apabila ada pelanggaran, berarti ada ketidakpahaman peraturan atau telmi, telat mikir. Forza, APBI. (redaksi@bisnis.co.id)

Ditulis Oleh M Tahir, dikutip dari Harian Bisnis Indonesia, edisi 8 Januari 2009.

Gambar: en.vivanews.com

Entri Populer

Penayangan bulan lalu