Minggu, 26 Februari 2012

Freeport IPO

Mimpi Sekeping Saham Publik di Freeport
Menyoal transparansi tambang dunia di Indonesia
M Tahir Saleh


JAUH DI NEGERI Belanda, 53 tahun silam, Forbes Wilson menghabiskan waktu berbincang-bincang di kediaman kolega lamanya, Jan Van Gruisen. Keduanya bertemu pada 1959 ketika bersama-sama mengeksplorasi nikel di Sulawesi.

Kala itu, Wilson menjabat Kepala Eksplorasi Freeport Sulphur Company, sebuah perusahaan penambang belerang di dasar laut.

Di tengah obrolan, Gruisen menyodorkan sebuah laporan penemuan Gunung Bijih (Erstberg) di wilayah yang kini dikenal masuk Kabupaten Mimika, Papua, Indonesia. Laporan yang didedahkan itu ditulis ahli geologi Dr Jean Jacques Dozy di majalah geologi di Leiden, Belanda, pada 1939.

Awalnya, Gruisen tak begitu menaruh hati soal itu karena menanggap wilayah penemuan  Erstberg begitu sulit, antah berantah, dan terpencil. Akan tetapi bagi Wilson sebaliknya. Tatkala laporan itu terpampang di depannya, naluri sebagai geolog terguncang.

Perasaan itu di gambarkan dalam buku The Conquest of Copper Mountain yang ditulis pada 1980, 21 tahun setelah pertemuan di Negeri Kincir Angin itu.

“Bulu roma saya berdiri,” begitu curahan hati Wilson, seperti dikutip dari buku AR Soehoed, Membangun Tambang di Ujung Dunia. Buku ini adalah seri perdana dari empat seri buku yang diterbitkan oleh manajemen PT Freeport Indonesia pada 2002.

Berbekal laporan Dozy, penjelajahan dimulai. Berkunjunglah punggawa Freeport Sulphur hingga berujung pada lahirnya Freeport Indonesia yang saat itu (1967) masih memakai nama Freeport Indonesia CompanyDelaware Incorporated.

Freeport Indonesia adalah perusahaan penanaman modal asing (PMA) pertama yang ma suk ke  Indonesia dengan menjalankan kontrak karya (KK) sejak 1967, menyusul kemudian PMA lain  seperti PT Newmont Nusa Tenggara pada 1986.

Newmont adalah perusahaan patungan yang sahamnya di miliki oleh Nusa Tenggara Partnership (Newmont & Sumitomo), PT Pukuafu Indah, dan PT Multi Daerah Bersaing (mayoritas dimiliki oleh PT Bumi Resources Minerals Tbk).

Setelah Freeport dan Newmont, bermunculan PMA baik melalui KK yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun kuasa pertambangan—kini beralih menjadi izin usaha pertambangan (IUP) sesuai dengan UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara—dari pemerintah daerah.

Sayang, kehadiran Freeport dan Newmont belum bisa memberikan kesejahteraan yang cukup bagi masyarakat setempat, pun secara umum bagi pengelolaan kekayaan negara. Mogok kerja karyawan Freeport akhir tahun lalu menjadi markah, ada yang salah.

Betul bahwa sejak Freeport masuk 45 tahun silam, masyarakat sekitar dilibatkan menjadi karyawan mulai dari staf rendahan hingga tenaga profesional. Namun, kesenjangan terjadi. Karyawan menuntut penyesuaian gaji, dan—yang tragis—menuntut transparansi.

Disebut tragis, karena Freeport Indonesia adalah bagian dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc yang merupakan perusahaan publik di New York Stock Exchange (NYSE), sehingga—idealnya—aspek transparansi bukanlah azimat yang disimpan di bungker, hingga karyawan sendiri harus menuntutnya untuk dibuka.

Segerombol dengan Freeport dan Newmont, Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) mencatat ada 47 korporasi global yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Sebagian adalah asing, yang tidak perlu transparan kepada publik karena bukan perusahaan terbuka.

Beberapa di antaranya adalah BHP Billiton, Rio Tinto. Di luar itu, ada beberapa perusahaan lain di luar data API yang menggarap tambang Indonesia, seperti Avocet Mining Plc, Archipelago Resource Plc, Kalimantan Gold Corporation Ltd, dan Churchill Mining Plc. Mereka perusahaan terbuka di negara asalnya, London, tapi tidak di sini.

Persoalan transparansi
Menyoal transparansi perusahaan tambang global di Indonesia, pelaku pasar modal dan politisi sebenarnya cukup kompak. Salah satu yang paling getol menyuarakan itu adalah Ketua Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Airlangga Hartarto.

Pebisnis yang memiliki jaring an luas di parlemen, sebagai anggota DPR dan Ketua Komisi IV dari Partai Golongan Karya ini berkali-kali mendorong hal tersebut, tapi hasilnya nihil.

“Negara sudah memberikan banyak konsesi, sebaiknya mereka [PMA tambang kontrak karya] membuka akses kepemilikan masyarakat sekaligus memperkuat pasar modal kita,” tegasnya.

Dengan begitu, mesti nya ada aturan mewajibkan perusahaan tambang di Indo nesia yang induknya listing di luar negeri agar wajib IPO sekian persen saham. Dengan catatan, aset perusahaan itu secara substansial cukup berperan terhadap induk usaha, misalnya berkontribusi secara pendapatan atau cadangan lebih dari 30%.

Untuk kasus Freeport, Airlangga tak keliru. Sebagai bagian dari Freeport McMoran yang juga mengendalikan Freeport McMoran Corporation, kontribusi Freeport Indonesia tidaklah sedikit.

Mengacu pada laporan ke uangan FCX 2010, cadangan dari Papua, Indonesia, untuk tembaga mencapai 32,7 miliar pon dari total cadangan mereka sebesar 120,5 miliar pon, terbesar setelah Amerika Utara dan Amerika Selatan.

Untuk emas, lebih dahsyat lagi. Cadangan emas Freeport dari tanah Papua mencapai 33,7 juta troy ons, atau 95% dari total cadangan emas yang dimiliki oleh FCX, sebanyak 35,5 juta troy ons.

Pada 2010, mereka menjual 3,9 miliar pon tembaga. Dari angka itu, 1,2 miliar pon berasal dari Papua dengan harga rata-rata US$3,69 per pon. Mereka juga menjual 1,9 juta troy ons emas, di mana 1,8 juta ons berasal dari Papua dengan harga rata-rata US$1.271 per ons.

Dus, mereka meraup US$4,43 miliar dari tembaga Papua, dan US$2,29 miliar dari emas Papua. Total mereka meraup penjualan US$6,72 miliar tahun lalu, dari wilayah Indonesia yang tergolong terbelakang tersebut.

Dengan asumsi, kurs Rp9.000, total hasil penjualan Freeport McMoran yang tercatat di NYSE dengan kode saham FCX ini mencapai Rp60,48 triliun. Catat, angka ini hanya dari Indonesia. Jadi, bukan rahasia lagi jika Papua adalah jauhar atau berlian di mata mereka.

***

Melihat pentingnya posisi Freeport Indonesia untuk Freeport McMoran, tidak heran mogok kerja di tambang Grasberg Papua tahun lalu cukup untuk membuat raksasa global itu ‘bertekuk lutut’.

Maklum, ini bukan lagi era Soeharto ketika represi aparat menjadi jalan keluar yang bisa dengan mudah diambil untuk membekap tuntutan buruh. Walhasil, mereka menanggapi tuntutan karyawan, karena aksi tersebut cukup efektif membuat pendapatan Freeport menciut.

Tengok saja laporan keuangan per kuartal IV/2011—yang dibukukan beriringan dengan aksi pekerja tersebut—penjualan konsolidasi FCX dilapor kan sebesar 823 juta pon tembaga dan 133.000 ons emas, anjlok dari estimasi semula 915 juta pon tembaga dan 305.000 ons emas.

“Kalau IPO terlaksana, kasus yang menimpa Freeport bisa termi tigasi karena ada transparansi. Kami sudah berbicara dengan bursa karena regulasinya ada di PT Bursa Efek Indonesia [BEI],”  tegas Airlangga mengomentari kasus tersebut.

Pemerintah dan otoritas bursa, lanjutnya, memiliki kewenangan untuk melakukan itu, mengingat pasar modal memiliki fitrah hukum lex specialist, sehingga pengaturan tertentu bisa dilakukan.

Menanggapi wacana IPO Freeport, Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito—yang dikenal cukup diplomatis—mengatakan dorongan IPO bagi perusahaan pengelola sumber daya alam (SDA) di Indonesia semestinya datang dari pemerintah.

“[Desakan] Itu wewenang pemerintah lah untuk mendorong mereka untuk IPO. Tetapi kami juga memiliki prioritas agar perusahaan SDA besar atau kecil masuk bursa,” kata Ito.

Mewakili otoritas bursa, dia mendorong tiga sektor lain mencatatkan sahamnya di BEI. Mereka adalah BUMN, pengelola SDA, dan debitur kakap perbankan. Alasannya, mereka mengelola dan terkait langsung dengan sumber vital yang menyangkut kepentingan rakyat banyak.

Selain itu, dalam kaca-mata bursa, ketiganya memiliki kans yang sangat besar untuk mendorong kapitalisasi pasar modal nasional. Menurut catatan Bisnis, saat ini saham-saham pertambangan dan BUMN merupakan pendorong utama transaksi bursa, dengan porsi 50%-60%.

Sebanyak 17 raksasa batu bara menjadi primadona, seperti PT Adaro Energy Tbk, PT PT Bumi Resources Tbk, Berau Coal Energy Tbk, dan PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. Di luar itu, ada enam emiten tambang logam dan mineral, di antaranya PT Aneka Tambang Tbk dan PT Timah Tbk.

Ketika saya meminta pendapat Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Nurhaida, dia justru berharap AEI dan DPR menginisiasi itu, dan bukannya  berkomitmen mendorong usulan tersebut ke menteri.

“Itu wacana yang bagus sekali, tentunya kami menyambut dengan baik. Kami  harapkan AEI dan DPR bisa mengajak mereka untuk go public,” kata Nur haida.

Saat ini, mantan Kepala Biro Transaksi Lembaga Efek (TLE) tersebut mengakui belum punya regulasi yang bisa mewajibkan perusahaan tertentu untuk melepas saham perdana di bursa. Selama ini, yang bisa dilakukan hanya sosialisasi.

Wajib dual listing
Padahal, salah satu cara yang paling efektif membuat perusahaan-perusahaan tersebut masuk bursa ialah memaksanya melalui pembentukan regulasi yang mewajibkan dual listing bagi perusahaan asing di Indonesia. Tapi hingga saat ini belum ada tanda-tanda itu.

Bagaimana dengan Freeport sendiri? Ketika saya menghubungi Juru Bicara Freeport Indonesia Ramdani Sirait berjanji menanggapi desakan sejumlah pihak mengenai listing tersebut.

“Kami akan siapkan jawabannya,” jawabnya. Selanjutnya, tidak ada kabar. Pertanyaan melalui e-mail tidak berbalas. Ketika berupaya menemuinya di Plaza 89, Kuningan, Jakarta, Ramdani tengah rapat. Sekretarisnya, Emi Rosmilia, berjanji membuat jadwal wawancara. Namun hingga tulisan ini diturunkan, 2 bulan setelah janji itu, belum juga ada jawaban.

Ya, perlu 2 bulan bagi Freeport menyiapkan janji berbicara kepada publik melalui media. Dari sini, saya bisa mengukur sejauh mana komitmen Freeport bersikap transparan kepada masyarakat Indonesia. Bandingkan, misalnya, dengan komitmen transparansi induk mereka terhadap masyarakat yang ribuan mil di New York sana.

Direktur Centre for Petroleum & Energy Studies Kurtubi menegaskan perusahaan tambang KK seharusnya masuk bursa dan mengajak masyarakat Indonesia memiliki saham mereka, guna  meredam kecurigaan rakyat atas tata kelola yang tetutup.

“Masa kalah dengan Newmont? Newmont saja sekarang berencana untuk IPO. Mestinya Freeport IPO agar bisa dikontrol oleh rakyat dan publik lewat kepemilikan saham. Harapannya, minimal 20% dari saham bisa jual ke publik,” kata pakar perminyakan ini.

Dengan IPO, Freeport memberi kesempatan masyarakat luas memiliki saham. Jika untung, tak hanya dinikmati pemegang saham pertama atau induk, tapi juga dinikmati pemegang saham publik melalui dividen. Dan yang terpenting, operasi mereka semakin transparan di mata masyarakat sekitar, Papua (khususnya) dan Indonesia (umumnya).

Tentu saja, tidak ada peraturan hitam-putih yang mewajibkan eksploitasi SDA harus melibatkan publik, dan membawa perubahan ke arah lebih baik bagi ma sya rakat sekitar. Namun, kita juga tidak boleh lupa bahwa SDA adalah sesuatu yang vital, yang secara ideal harus diupayakan untuk kemakmuran rakyat banyak.

Mewajibkan perusahaan SDA berstatus terbuka, sehingga bisa transparan dan membagi dividen, adalah salah satu langkah kongkret untuk mencapai amanat UU Dasar 1945, yang konon adalah
hu kum dasar negara ini.

Sejauh ini, baru Newmont yang mewacanakan masuk bursa (initial public offering/IPO)—itu pun setelah mendekati batas waktu pengalihan saham ke pe merintah. Sampai sekarang rencana itu belum juga terwujud, persis seperti yang diduga banyak pihak.

Demikian juga BUMN minyak negara ini, PT Pertamina, yang me canangkan IPO pada tahun  depan. Bagaimana dengan Freeport? Jangan bertanya pada rumput yang bergoyang, tanyakan pada pemerintah. (tahir.saleh@bisnis.co.id)


Words 1.645
Foto: inilah.com, bisnis.com
Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia edisi 23 Februari dan 24 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu