Mimpi
Sekeping Saham Publik di Freeport
Menyoal transparansi tambang dunia di Indonesia
JAUH DI NEGERI Belanda, 53 tahun silam, Forbes Wilson
menghabiskan waktu berbincang-bincang di kediaman kolega lamanya, Jan Van Gruisen.
Keduanya bertemu pada 1959 ketika bersama-sama mengeksplorasi nikel di Sulawesi.
Kala itu, Wilson menjabat Kepala Eksplorasi
Freeport Sulphur Company, sebuah perusahaan penambang belerang di dasar laut.
Di tengah obrolan, Gruisen menyodorkan sebuah
laporan penemuan Gunung Bijih (Erstberg) di wilayah yang kini dikenal masuk
Kabupaten Mimika, Papua, Indonesia. Laporan yang didedahkan itu ditulis ahli geologi
Dr Jean Jacques Dozy di majalah geologi di Leiden, Belanda, pada 1939.
Awalnya, Gruisen tak begitu menaruh hati soal
itu karena menanggap wilayah penemuan Erstberg
begitu sulit, antah berantah, dan terpencil. Akan tetapi bagi Wilson
sebaliknya. Tatkala laporan itu terpampang di depannya, naluri sebagai geolog
terguncang.
Perasaan itu di gambarkan dalam buku The
Conquest of Copper Mountain yang ditulis pada 1980, 21 tahun setelah pertemuan
di Negeri Kincir Angin itu.
“Bulu roma saya berdiri,” begitu curahan hati
Wilson, seperti dikutip dari buku AR Soehoed, Membangun Tambang di Ujung Dunia.
Buku ini adalah seri perdana dari empat seri buku yang diterbitkan oleh
manajemen PT Freeport Indonesia pada 2002.
Berbekal laporan Dozy, penjelajahan dimulai.
Berkunjunglah punggawa Freeport Sulphur hingga berujung pada lahirnya Freeport
Indonesia yang saat itu (1967) masih memakai nama Freeport Indonesia
CompanyDelaware Incorporated.
Freeport Indonesia adalah perusahaan penanaman
modal asing (PMA) pertama yang ma suk ke
Indonesia dengan menjalankan kontrak karya (KK) sejak 1967, menyusul
kemudian PMA lain seperti PT Newmont
Nusa Tenggara pada 1986.
Newmont adalah perusahaan patungan yang sahamnya
di miliki oleh Nusa Tenggara Partnership (Newmont & Sumitomo), PT Pukuafu
Indah, dan PT Multi Daerah Bersaing (mayoritas dimiliki oleh PT Bumi Resources
Minerals Tbk).
Setelah Freeport dan Newmont, bermunculan PMA
baik melalui KK yang dikeluarkan pemerintah pusat maupun kuasa pertambangan—kini
beralih menjadi izin usaha pertambangan (IUP) sesuai dengan UU No.4/2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara—dari pemerintah daerah.
Sayang, kehadiran Freeport dan Newmont belum
bisa memberikan kesejahteraan yang cukup bagi masyarakat setempat, pun secara
umum bagi pengelolaan kekayaan negara. Mogok kerja karyawan Freeport akhir
tahun lalu menjadi markah, ada yang salah.
Betul bahwa sejak Freeport masuk 45 tahun silam,
masyarakat sekitar dilibatkan menjadi karyawan mulai dari staf rendahan hingga
tenaga profesional. Namun, kesenjangan terjadi. Karyawan menuntut penyesuaian gaji,
dan—yang tragis—menuntut transparansi.
Disebut tragis, karena Freeport Indonesia adalah
bagian dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc yang merupakan perusahaan
publik di New York Stock Exchange (NYSE), sehingga—idealnya—aspek transparansi
bukanlah azimat yang disimpan di bungker, hingga karyawan sendiri harus menuntutnya
untuk dibuka.
Segerombol dengan Freeport dan Newmont, Asosiasi
Pertambangan Indonesia (API) mencatat ada 47 korporasi global yang mengeksploitasi
kekayaan alam Indonesia. Sebagian adalah asing, yang tidak perlu transparan
kepada publik karena bukan perusahaan terbuka.
Beberapa di antaranya adalah BHP Billiton, Rio
Tinto. Di luar itu, ada beberapa perusahaan lain di luar data API yang
menggarap tambang Indonesia, seperti Avocet Mining Plc, Archipelago Resource
Plc, Kalimantan Gold Corporation Ltd, dan Churchill Mining Plc. Mereka
perusahaan terbuka di negara asalnya, London, tapi tidak di sini.
Persoalan
transparansi
Menyoal transparansi perusahaan tambang global
di Indonesia, pelaku pasar modal dan politisi sebenarnya cukup kompak. Salah
satu yang paling getol menyuarakan itu adalah Ketua Asosiasi Emiten Indonesia
(AEI) Airlangga Hartarto.
Pebisnis yang memiliki jaring an luas di
parlemen, sebagai anggota DPR dan Ketua Komisi IV dari Partai Golongan Karya
ini berkali-kali mendorong hal tersebut, tapi hasilnya nihil.
“Negara sudah memberikan banyak konsesi,
sebaiknya mereka [PMA tambang kontrak karya] membuka akses kepemilikan
masyarakat sekaligus memperkuat pasar modal kita,” tegasnya.
Dengan begitu, mesti nya ada aturan mewajibkan
perusahaan tambang di Indo nesia yang induknya listing di luar negeri agar
wajib IPO sekian persen saham. Dengan catatan, aset perusahaan itu secara
substansial cukup berperan terhadap induk usaha, misalnya berkontribusi secara
pendapatan atau cadangan lebih dari 30%.
Untuk kasus Freeport, Airlangga tak keliru.
Sebagai bagian dari Freeport McMoran yang juga mengendalikan Freeport McMoran
Corporation, kontribusi Freeport Indonesia tidaklah sedikit.
Mengacu pada laporan ke uangan FCX 2010,
cadangan dari Papua, Indonesia, untuk tembaga mencapai 32,7 miliar pon dari
total cadangan mereka sebesar 120,5 miliar pon, terbesar setelah Amerika Utara
dan Amerika Selatan.
Untuk emas, lebih dahsyat lagi. Cadangan emas
Freeport dari tanah Papua mencapai 33,7 juta troy ons, atau 95% dari total cadangan
emas yang dimiliki oleh FCX, sebanyak 35,5 juta troy ons.
Pada 2010, mereka menjual 3,9 miliar pon
tembaga. Dari angka itu, 1,2 miliar pon berasal dari Papua dengan harga
rata-rata US$3,69 per pon. Mereka juga menjual 1,9 juta troy ons emas, di mana
1,8 juta ons berasal dari Papua dengan harga rata-rata US$1.271 per ons.
Dus, mereka meraup US$4,43 miliar dari tembaga
Papua, dan US$2,29 miliar dari emas Papua. Total mereka meraup penjualan
US$6,72 miliar tahun lalu, dari wilayah Indonesia yang tergolong terbelakang
tersebut.
Dengan asumsi, kurs Rp9.000, total hasil
penjualan Freeport McMoran yang tercatat di NYSE dengan kode saham FCX ini mencapai
Rp60,48 triliun. Catat, angka ini hanya dari Indonesia. Jadi, bukan rahasia
lagi jika Papua adalah jauhar atau berlian di mata mereka.
***
Melihat pentingnya posisi Freeport Indonesia
untuk Freeport McMoran, tidak heran mogok kerja di tambang Grasberg Papua tahun
lalu cukup untuk membuat raksasa global itu ‘bertekuk lutut’.
Maklum, ini bukan lagi era Soeharto ketika represi
aparat menjadi jalan keluar yang bisa dengan mudah diambil untuk membekap
tuntutan buruh. Walhasil, mereka menanggapi tuntutan karyawan, karena aksi
tersebut cukup efektif membuat pendapatan Freeport menciut.
Tengok saja laporan keuangan per kuartal
IV/2011—yang dibukukan beriringan dengan aksi pekerja tersebut—penjualan konsolidasi
FCX dilapor kan sebesar 823 juta pon tembaga dan 133.000 ons emas, anjlok dari estimasi
semula 915 juta pon tembaga dan 305.000 ons emas.
“Kalau IPO terlaksana, kasus yang menimpa
Freeport bisa termi tigasi karena ada transparansi. Kami sudah berbicara dengan
bursa karena regulasinya ada di PT Bursa Efek Indonesia [BEI],” tegas Airlangga mengomentari kasus tersebut.
Pemerintah dan otoritas bursa, lanjutnya,
memiliki kewenangan untuk melakukan itu, mengingat pasar modal memiliki fitrah
hukum lex specialist, sehingga pengaturan tertentu bisa dilakukan.
Menanggapi wacana IPO Freeport, Direktur Utama
PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito—yang dikenal cukup
diplomatis—mengatakan dorongan IPO bagi perusahaan pengelola sumber daya alam
(SDA) di Indonesia semestinya datang dari pemerintah.
“[Desakan] Itu wewenang pemerintah lah untuk
mendorong mereka untuk IPO. Tetapi kami juga memiliki prioritas agar perusahaan
SDA besar atau kecil masuk bursa,” kata Ito.
Mewakili otoritas bursa, dia mendorong tiga
sektor lain mencatatkan sahamnya di BEI. Mereka adalah BUMN, pengelola SDA, dan
debitur kakap perbankan. Alasannya, mereka mengelola dan terkait langsung
dengan sumber vital yang menyangkut kepentingan rakyat banyak.
Selain itu, dalam kaca-mata bursa, ketiganya
memiliki kans yang sangat besar untuk mendorong kapitalisasi pasar modal nasional.
Menurut catatan Bisnis, saat ini saham-saham pertambangan dan BUMN merupakan pendorong
utama transaksi bursa, dengan porsi 50%-60%.
Sebanyak 17 raksasa batu bara menjadi primadona,
seperti PT Adaro Energy Tbk, PT PT Bumi Resources Tbk, Berau Coal Energy Tbk,
dan PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk. Di luar itu, ada enam emiten tambang
logam dan mineral, di antaranya PT Aneka Tambang Tbk dan PT Timah Tbk.
Ketika saya meminta pendapat Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Nurhaida, dia justru
berharap AEI dan DPR menginisiasi itu, dan bukannya berkomitmen mendorong usulan tersebut ke
menteri.
“Itu wacana yang bagus sekali, tentunya kami
menyambut dengan baik. Kami harapkan AEI
dan DPR bisa mengajak mereka untuk go public,” kata Nur haida.
Saat ini, mantan Kepala Biro Transaksi Lembaga
Efek (TLE) tersebut mengakui belum punya regulasi yang bisa mewajibkan perusahaan
tertentu untuk melepas saham perdana di bursa. Selama ini, yang bisa dilakukan hanya
sosialisasi.
Wajib dual
listing
Padahal, salah satu cara yang paling efektif
membuat perusahaan-perusahaan tersebut masuk bursa ialah memaksanya melalui
pembentukan regulasi yang mewajibkan dual listing bagi perusahaan asing di
Indonesia. Tapi hingga saat ini belum ada tanda-tanda itu.
Bagaimana dengan Freeport sendiri? Ketika saya
menghubungi Juru Bicara Freeport Indonesia Ramdani Sirait berjanji menanggapi
desakan sejumlah pihak mengenai listing tersebut.
“Kami akan siapkan jawabannya,” jawabnya.
Selanjutnya, tidak ada kabar. Pertanyaan melalui e-mail tidak berbalas. Ketika
berupaya menemuinya di Plaza 89, Kuningan, Jakarta, Ramdani tengah rapat.
Sekretarisnya, Emi Rosmilia, berjanji membuat jadwal wawancara. Namun hingga
tulisan ini diturunkan, 2 bulan setelah janji itu, belum juga ada jawaban.
Ya, perlu 2 bulan bagi Freeport menyiapkan janji
berbicara kepada publik melalui media. Dari sini, saya bisa mengukur sejauh
mana komitmen Freeport bersikap transparan kepada masyarakat Indonesia.
Bandingkan, misalnya, dengan komitmen transparansi induk mereka terhadap masyarakat
yang ribuan mil di New York sana.
Direktur Centre for Petroleum & Energy
Studies Kurtubi menegaskan perusahaan tambang KK seharusnya masuk bursa dan
mengajak masyarakat Indonesia memiliki saham mereka, guna meredam kecurigaan rakyat atas tata kelola yang
tetutup.
“Masa kalah dengan Newmont? Newmont saja
sekarang berencana untuk IPO. Mestinya Freeport IPO agar bisa dikontrol oleh
rakyat dan publik lewat kepemilikan saham. Harapannya, minimal 20% dari saham
bisa jual ke publik,” kata pakar perminyakan ini.
Dengan IPO, Freeport memberi kesempatan
masyarakat luas memiliki saham. Jika untung, tak hanya dinikmati pemegang saham
pertama atau induk, tapi juga dinikmati pemegang saham publik melalui dividen.
Dan yang terpenting, operasi mereka semakin transparan di mata masyarakat
sekitar, Papua (khususnya) dan Indonesia (umumnya).
Tentu saja, tidak ada peraturan hitam-putih yang
mewajibkan eksploitasi SDA harus melibatkan publik, dan membawa perubahan ke
arah lebih baik bagi ma sya rakat sekitar. Namun, kita juga tidak boleh lupa
bahwa SDA adalah sesuatu yang vital, yang secara ideal harus diupayakan untuk
kemakmuran rakyat banyak.
Mewajibkan perusahaan SDA berstatus terbuka,
sehingga bisa transparan dan membagi dividen, adalah salah satu langkah kongkret
untuk mencapai amanat UU Dasar 1945, yang konon adalah
hu kum dasar negara ini.
Sejauh ini, baru Newmont yang mewacanakan masuk bursa
(initial public offering/IPO)—itu pun setelah mendekati batas waktu pengalihan
saham ke pe merintah. Sampai sekarang rencana itu belum juga terwujud, persis
seperti yang diduga banyak pihak.
Demikian juga BUMN minyak negara ini, PT
Pertamina, yang me canangkan IPO pada tahun
depan. Bagaimana dengan Freeport? Jangan bertanya pada rumput yang
bergoyang, tanyakan pada pemerintah. (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Words 1.645
Foto: inilah.com, bisnis.com
Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia
edisi 23 Februari dan 24 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar