Minggu, 11 Februari 2018

The Power of Audit, Mengawal Harta Negara

BPK, sumber: Tribunnews
Oleh Tahir Saleh

“Sekarang Rusia menolak Trias Politika sudah 22 tahun yang lalu, Sun Yat Sen juga menolak Trias Politika 30 tahun yang lalu. Jadi ada aliran yang menyatakan bahwa Trias Politika itu kolot,” kata Bung Karno, suatu ketika dalam sebuah rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), 11 Juli 1945.

Pernyataan Bung Karno dalam rapat menentukan hukum dasar negara ini menegaskan bahwa Trias Politika yang digagas pemikir John Locke (lalu disempurnakan Montesquieu) tak cukup kuat dalam mendukung penyelenggaraan negara. Pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dinilai tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan bersama bagi seluruh rakyat Indonesia atau dalam istilah Bung Karno, sociale rechtvaardigheid.

Faktanya demikian. Sejarah Indonesia mencatat, ada pilar lain yang juga menopang dan mengawasi penyelenggaraan negara yang bersih, transparan, dan adil yakni the power of press (media massa) dan the power of people (kekuatan publik). Pers dan aksi unjuk rasa masyarakat terbukti ampuh menentukan kebijakan negara ketika keputusan di tiga pilar tersebut tak mampu menjawab kebutuhan nyata di masyarakat.

Dan, ada satu kekuatan struktural lain yang berperan besar dalam menjaga penyelenggaraan negara lebih bersih, transparan, dan akuntabel yakni the power of audit, atau kekuatan auditif. Kekuatan auditif ini penting mengingat salah satu bentuk penyelewengan pengelolaan negara ialah korupsi, menyalahgunakan keuangan negara demi kepentingan pribadi.

Korupsi tak bisa dielakkan menjadi momok menakutkan bagi negara manapun. Imbasnya dahsyat, perilaku koruptif merusak tatanan negara, menjauhkan rakyat dari kesejahteraan. Korupsi bukan lagi dilakukan orang perorangan, tapi sudah berjamaah, dari pejabat tinggi hingga wakil rakyat. Bukan peristiwa baru jika di televisi, radio, media online, pemberitaan soal Operasi Tangkap Tangan (OTT) menjadi menu saban hari.

Tingkat korupsi Indonesia saat ini memang masih tinggi kendati angkanya turun. Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perseption Index 2017 yang dirilis Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ketiga se-ASEAN. Level itu mampu menyalip Filipina dan Thailand, meski masih kalah dari Singapura di urutan pertama.

Tingginya angka korupsi jugalah yang menjadi penjegal kenapa peringkat Indonesia dalam Indeks Kemudahan Berbisnis 2018 atau Ease of Doing Business (EOD) yang dirilis Bank Dunia pada November tahun lalu kurang melesat. Peringkat EOD Indonesia naik ke level 72 dari 190 negara yang disurvei, dari sebelumnya 106 pada 2015, lalu 91 pada 2016. Dalam Global Competitiveness Index 2017-2018 juga menyebutkan bahwa birokrasi dan inefisiensi menjadi tolok ukur perbaikan peringkat Indonesia yang naik dari posisi 41 ke posisi 36.

Pada kondisi demikian, hadirnya kekuatan auditif menjadi begitu penting dalam menjaga negara tetap berjalan dalam koridor demi sociale rechtvaardigheid sebagaimana ditegaskan Bung Karno dalam buku Badan Pemeriksa Keuangan, Dalam Proses Perubahan UUD Tahun 1945 terbitan 2012 itu.

Kekuatan auditif ini dimanifestasikan lewat eksistensi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang hadir sejak 1 Januari 1947. Kehadiran BPK guna mengawal harta negara. Hanya saja, perjuangan BPK bukan tanpa rintangan. Di zaman penjajahan Belanda, BPK, ketika itu bernama Algemene Rekenhamer, hanya menjadi alat pemerintah. Begitu pula di zaman pra-kemerdekaan, fungsi BPK masih sekadar tukang catat keuangan negara.

Ketika pemerintahan beralih ke Orde Lama di bawah Presiden Soekarno, kendali pemerintah tetap ada. Presiden Soekarno kala itu bertindak sebagai Pemeriksa Agung, sementara Ketua BPK hanya sebagai menteri yang berada di bawah komando Presiden. Peranan BPK di masa Orde Baru pun direduksi. Saat itu menjadi hal yang mustahil bagi BPK untuk memeriksa aset-aset utama sumber dana pemerintah seperti Pertamina, BNI, dan bank-bank BUMN. Buku saku Mengenal Lebih Dekat BPK mengungkapkan bahwa laporan-laporan yang disajikan BPK tidak mencerminkan kondisi keuangan negara yang sebenarnya, bahkan laporan tersebut juga haram dipublikasikan karena menjadi dokumen rahasia negara.

Hilangnya fungsi audit ini menyebabkan BPK ‘pincang’. Korupsi pun akhirnya merajalela di zaman Orde Lama dan Orde Baru karena ketiadaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Padahal, syarat penting tata kelola negara yang baik ialah transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.

Bagaimana mungkin menciptakan sociale rechtvaardigheid jika sang pengawas dan pemeriksa keuangan dikebiri? Bagaimana rakyat bisa sejahtera kalau anggaran negara bocor di sana sini, uang pajak disunat oleh oknum, dan kebijkakan ekonomi pemerintah kurang tepat sasaran lantaran asimetris informasi berkaitan dengan kondisi keuangan negara? Di sinilah peran BPK, memastikan bahwa pemerintah melaksanakan kebijakan yang tepat sasaran demi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Di tengah kondisi demikian, perbaikan dan amandemen terus dilakukan sehingga sejak era Reformasi, setelah Orde Baru runtuh tahun 1998, segala upaya memperkuat BPK semakin membuat lembaga ini kian independen dan mandiri. Pada akhirnya posisi BPK benar-benar berdiri sejajar dengan presiden lewat UU No.15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan UU No.15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Dua beleid tersebut tegas menetapkan kebebasan dan kemandirian di bidang pemeriksaan. Artinya, BPK bebas dan mandiri menentukkan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. Semuanya bebas dan mandiri.

Sejak disokong regulasi yang kuat, kinerja BPK positif dari tahun ke tahun. Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara dalamsiaran pers mengatakan hingga semester 1 2017, BPK berhasil menyelamatkan keuangan negara mencapai Rp13,70 triliun. Jumlah itu berasal dari penyerahan aset dan penyetoran ke kas negara, koreksi subsidi, dan koreksi cost recovery (pengembalian biaya operasi di sektor migas). Selain itu, pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), juga terjadi peningkatan capaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hampir sekitar 70% pada 2016.

Tak hanya itu, BPK juga memberikan 463.715 rekomendasi yang membuat pemerintah, BUMN/BUMD dan badan lainnya bekerja lebih tertib, hemat, efisien, dan efektif. Dari seluruh rekomendasi itu, 320.136 rekomendasi atau 69% sudah ditindaklanjuti sesuai dengan rekomendasi. Selama 4 tahun terakhir, atau sejak tahun 2013 sampai dengan 30 Juni 2017, BPK menerbitkan laporan hasil pemeriksaan penghitungan kerugian negara sebanyak 120 kasus senilai Rp10,37 triliun dan US$2,71 miliar atau ekuivalen dengan Rp46,56 triliun.

Tentu saja, peran BPK jauh lebih luas dari mencegah kebocoran korupsi. BPK juga sejatinya berperan dalam menopang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak keberhasilan penindakan KPK bukan hasil kerja lembaga anti-rasuah itu semata, melainkan banyak temuan besar BPK yang menjadi bahan bagi KPK menjalankan tugasnya, sebuah sinergi positif demi keadilan.

Berjalan baiknya kekuatan auditif melalui kinerja positif BPK ini diharapkan mampu menciptakan tata kelola keuangan negara yang sehat. Apalagi ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun membaik meskipun belum mencapai level pertumbuhan yang sesuai dengan target APBN.

Kabar baiknya, di mata internasional, ekonomi Indonesia masih dianggap salah satu yang bersinar. Tiga lembaga rating global bahkan sudah menyematkan peringkat layak investasi (investment grade) yakni S&P, Moody's, dan Fitch Ratings.

Awal tahun 2018 ini, lembaga rating Japan Credit Rating Agency bahkan meningkatkan peringkat utang Indonesia dari BBB- dengan outlook positif menjadi BBB dengan outlook stabil. Sebelumnya, tahun lalu, dalam survei kepercayaan masyarakat Gallup World Poll atau Government at a Glance 2017, Indonesia berada di posisi nomor satu untuk tingkat kepercayaan publik.

Semua sentimen positif tadi selayaknya tidak hanya menjadi sebuah angka di atas kertas, melainkan mestinya menjadi amunisi bagi para pemangku kebijakan pengelolaan negara untuk saling bersinergi, termasuk BPK dalam menciptakan pengelolaan keuangan negara yang bersih dan akuntabel.

Rabu, 07 Februari 2018

"Incredible Love", Kisah Anak Hiperleksia di Pasar Modal

Novel perdana Hendra Martono
Oleh Tahir Saleh

Hendra Martono memulai debutnya sebagai penulis fiksi Indonesia dengan novelnya berjudul Incredible Love. Daya tarik buku ini begitu kuat meski sampulnya amat sederhana.

Dikatakan kuat lantaran latar belakang Hendra Martono atau biasa disapa Pak Hokwan, adalah seorang analis, trader, investor, dan direktur perusahaan sekuritas di Bursa Efek Indonesia.

Semenarik apa novelnya?

Novel setebal 250 halaman itu berkisah tentang seorang anak berkebutuhan khusus atau berkemampuan berbeda, bernama Abinaya yang mengidap hiperleksia, kelainan seorang anak yang mampu membaca secara cepat di usia dini dan amat terobsesi dengan kode, huruf, dan angka, tapi sulit berkomunikasi dengan baik. Dengan bimbingan dan cinta kasih sang ibu, Abinaya berhasil menjelma menjadi seorang broker atau pialang saham paling andal di pasar modal.

Dari sudut tema cerita, sebagai perbandingan, ada beberapa novel yang mengulas soal autis, hiperleksia, disleksia, skizofrenia, atau semacamnya. Tapi tak banyak buku fiksi di Indonesia atau bahkan dunia yang mengupas seluk beluk dunia pasar modal dengan balutan cerita cinta yang menarik. Yang ada di pasaran, hanya buku-buku non-fiksi jenis biografi atau memoar tentang pasar modal yang kemudian difilmkan.

Beberapa di antara buku non-fiksi itu sebut saja Too Big to Fail karya jurnalis Amerika Andrew Ross Sorkin yang difilmkan pada 2011, bercerita tentang krisis finansial 2008, termasuk bangkrutnya Lehman Brothers.

Buku lainnya yakni Rogue Trader, autobiografi karya Nick Leeson yang difilmkan pada 1999. Ini buku yang ia tulis saat mendekam di penjara karena kasus fraud, lalu difilmkan pada 1999. Kemudian ada buku Enron: The Smartest Guys in the Roomyang ditulis dua reporter majalah Fortune, Bethany McLean dan Peter Elkind, tentang skandal di balik bangkrutnya Enron, perusahaan energi AS, pada akhir 2001.

Ada juga novel American Psycho karangan penulis Amerika, Bret Easton Ellis, 1991, tapi ini bukan drama cinta di pasar modal, melainkan cerita seorang psikopat pembunuh yang juga seorang pebisnis di Wall Street (New York Stock Exchange).

Dan, barangkali yang memorable yakni buku memoar Jordan Ross Belfort berjudul The Wolf of Wall Street (2007) dan memoar Chris Gardner  berjudul The Pursuit of Happyness(2006), keduanya juga difilmkan dan sangat menarik.

Di Indonesia, sepengetahuan saya, belum ada novel murni soal pasar modal. Hanya ada satu dua novel yang menyinggung dunia keuangan dan pasar modal seperti Pulang(2015) karya Tere Liye di mana porsinya cukup besar. Lainnya barangkali Critical Eleven (2015) karya Ika Natasha, meski tidak spesifik pasar modal.

Novel Incredible Love terbitan Januari 2017 sejauh ini adalah yang pertama memadukan dua unsur tadi, cerita anak berkemampuan berbeda dan pasar modal. Alasan ini yang memicu saya melahap buku ini lembar demi lembar dengan segera.

Alur cerita novel ini mengalir dengan baik dan enak dibaca mulai bab pertama hingga akhir. Tak banyak membuat kita akan berfikir atau sesekali kembali ke halaman-halaman awal sekadar memastikan atau mengonfirmasi teka-teki cerita sebagaimana kalau kita baca novel-novel berat macam Pramoedya atau Eka Kurniawan.

Jalan cerita yang sederhana itu yang membuat waktu membaca novel ini tidak terlalu lama. Tentu ide cerita itu menjadi poin utama kelebihan novel dengan gaya penulisan orang ketiga ini.

Hendra cukup piawai memainkan deskripsi suasana dan sosok, memilih diksi yang amat puitis termasuk mengutip sajak Sapardi Djoko Damono. Meski kadang puitis, tapi Hendra cenderung memakai gaya bahasa keseharian, jadi tak perlu membuka kamus Bahasa Indonesia untuk mencari tahu beberapa kosa kata yang belum kita tahu.

Yang menarik, Hendra terampil memasukkan unsur nakal dan humor dalam dialog-dialog tokoh utama sehingga pembaca kadang geli, senyum-senyum sendiri.

Namun sebuah karya mana pun tentu ada celah yang bisa dikritisi, begitu juga dengan novel ini. Sayang, novel ini tampaknya dipersiapkan kurang matang dalam editing dan terlalu cepat baik dari sisi penceritaan maupun teknis penulisan.

Banyak salah ketik (typo), salah orang saat dialog, keterangan waktu belum jelas, dan pembaca seolah-olah bisa menebak ending cerita sejak di bab awal karena penulis terlalu cepat 'menjahit' keterkaitan antara tokoh utama, tokoh pembantu, dan antagonis sehingga kurang memberikan sensasi twist.

Hendra juga kurang mendramatisasi peristiwa, padahal ada beberapa plot yang bisa dikembangkan untuk menguras lebih dalam emosi pembaca, salah satunya di bab awal ketika ayah Abinaya meninggal.

Angle cerita pun berkembang menjadi beberapa kesimpulan: pertama, kisah Abinaya, seorang pemuda hiperleksia yang sukses di pasar modal dan dibalut dengan kisah cinta dengan Niken, sahabat kecilnya. Kedua, kisah seorang pialang saham bernama Greg, rekan Abinaya, yang berhasil menjadi seorang pialang paling ulung di Bursa Efek Indonesia dengan bantuan Abinaya.

Satu kekurangan lain khususnya soal pasar modal. Bagi pembaca yang kesehariannya berkutat di pasar modal tentu tak akan banyak mengernyitkan dahi membaca istilah-istilah di novel ini. Tapi bagi pembaca yang belum banyak mengenal dunia pasar modal pasti bingung. Apa itu go public, tugas sekuritas, broker, banteng wulung, tickersaham, auto reject atas (ARA), mekanisme perdagangan saham, dan istilah lainnya.

Meski begitu di luar kekurangan, novel ini menjadi karya yang patut diapresiasi oleh insan sastra di Indonesia, apalagi cerita ini terbilang baru dan mendorong masyarakat untuk berinvestasi sejak dini, nabung saham. 

Ceritanya pun terinspirasi dari kehidupan masa kecil Hendra Martono yang termasuk anak autis. Jadi, selain mendorong investasi saham, novel ini memberi edukasi positif betapa anak yang memiliki kemampuan berbeda itu harus dibimbing, diarahkan dengan baik sehingga mereka menemukan jati diri. Faktanya, banyak orang-orang terkenal saat kecil termasuk autis, tapi berkat arahan yang tepat dari orang tua akhirnya mereka bisa sukses.

Salut untuk Pak Hokwan yang masih bisa menelurkan karya sastra bagus ini di tengah kesibukan sebagai direktur PT Henan Putihrai, salah satu perusahaan sekuritas anggota bursa. Luar biasa Pak.

Dan kabar baiknya, novel ini akan segera difilemkan. Proses syuting sudah dimulai sejak November 2017 yang digarap oleh Lingkar Film. Lokasi syuting di Jakarta dan New York dengan bintang utama di antaranya Roy Marten dan Ira Wibowo. Semoga film-nya sukses ya Pak. Amin


Words: 927
Dipublikasikan di Kompasiana, 18 Januari 2018

Pak Mul, Terasing di Usia Senja

Pak Mul
Oleh Tahir Saleh

"Kalau inget yang dulu-dulu, bisa stroke saya," kata Mulyono, kakek 80 tahun yang masih menjajakan kopi keliling dengan sepeda di suatu siang, Kamis 11 Januari, di depan Kementerian Dalam Negeri, Jalan Merdeka Utara, sepelemparan batu dari Istana Negara, Jakarta.

Deretan-deretan nostalgia hidup seketika bermain di dalam benaknya, kenangan saat harmonis bersama keluarga, juga memori terpahit dalam hidupnya: istri diketahuinya serong dengan saudara tirinya sendiri.

Peristiwa pahit itu yang kemudian memaksanya mengambil keputusan berani dan nekat hijrah ke Ibu Kota, tanpa uang cukup, tanpa saudara, dan tanpa harapan. Dan meski ia tidak menangis saat bercerita, matanya mulai berkaca dengan perasaan terasing seperti ini. Hidup seorang diri dijalani saja dengan apa adanya kendati sebetulnya dia memiliki lima orang anak dan dua cucu.

"Masih kuat mengayuh sepeda Pak?"

"Iya masih, tiap hari saya di sini [Merdeka Utara], mulai jam 4 biar enggak dirazia Tantrib."

"Lah kalau pagi dan siang ngider ke mana Pak?"

"Di pasar baru saja."

Saban hari, dengan berdagang kopi keliling---orang-orang mengenal pekerjaan ini sebagai penjual Starling atau Starbuck Keliling---dia memperoleh uang paling banyak Rp50.000 jika dagangan ramai, sebaliknya kalau sepi hanya sekitar Rp20.000. Duit segitu tentu saja tak bakal cukup memenuhi kebutuhan hidup, apalagi biaya kontrakannya di Mangga Besar bisa mencapai Rpp800.000 per bulan.

Untuk hemat, dia terpaksa makan hanya sekali sehari, hanya di siang hari di Warteg langganan dekat dengan Stasiun Juanda. Jika malam hari perut terasa lapar, dia menyeduh kopi dan menyeruputnya seakan-akan itu makanan terenak malam itu.

"Kopi Indocafe bikin kenyang, kalau Luwak [White Coffee] kurang," katanya.

Pantas saja dia sangat kurus, tulangnya sudah tampak menyembul, membentuk garis-garis di kemeja batik yang dikenakan sore itu. Bapak tua yang malang.

"Anak-anak Bapak ke mana Pak?"

"Ada di Jakarta dua orang, satu punya kios di deket Senen, satu lagi di Jakarta Timur."

Pak Mul dengan sepedanya
Entah apa salah Pak Mul sehingga anak-anaknya tak pernah memperhatikannya. Setua ini beliau masih memeras keringat, mengayuh sepeda untuk menjual kopi. Di usia 80 tahun, barangkali mestinya dia sedang bermain-main bersama cucu, di rumah, bersama keluarga. Tapi faktanya, dia di sini, dengan tersenyum menyapa, duduk membuatkan kopi panas di gelas air mineral untuk saya sore ini.
Pilihan hidup seperti ini dilakoninya semata-mata untuk bertahan hidup dengan cara yang halal, tanpa mau menggantungkan nasib dan meminta-minta pada dua anaknya yang bisa dbilang hidup berkecukupan di Ibu Kota ini.

Kebaikan hidup masih ia peroleh dari orang-orang di sekitarnya, yang bukan saudaranya sendiri. Masih ada orang baik ketika sepeda satu-satunya raib saat tertidur dan beberapa ibu-bu PNS di Kementerian Dalam Negeri memberinya uang untuk membeli sepeda bekas. Atau pemilik sebuah gedung di dekat Kios Es Krim Ragusa, deket Hotel Sriwijaya, yang memperbolehkan tempat security gedung itu sebagai hotel bagi Pak Mul, setiap malam, karena dia sudah tak sanggup membayar kontrakan.

Baginya, hidup dijalani saja, apa adanya, dan tetap bersyukur.


Words: 462
Dipublikasikan di Kompasiana, 14 Januari 2018
www.propertyandthecity.com
Oleh Tahir Saleh

Pada mulanya, Cikarang---daerah yang berjarak sekitar 45 Km dari Jakarta---adalah kawasan di ujung Bekasi yang tandus, kering, dan berbukit-bukit. Lokasinya yang jauh membuat tak banyak perusahaan properti melirik lahan di sana untuk dikembangkan.

Adalah Grup Lippo yang menjadi salah satu pengembang yang melihat potensi di wilayah di Kabupaten Bekasi itu. Setelah Lippo Karawaci masuk melalui PT Lippo Cikarang Tbk (anak usaha Lippo Karawaci), barulah pengembang lain mulai ikut mengembangkan Cikarang menjadi kota perdagangan industri, seperti Kota Deltamas (grup Sinarmasland, residensial pertama tahun 2002), PT Cowell Development Tbk dan PT PP Properti Tbk (anak usaha PT PP Tbk).

Sebetulnya sudah ada Kawasan Industri Jababeka milik PT Kawasan Industri Jababeka Tbk sejak tahun 1989, tapi geliat residensial baru tampak semarak setelah hadir Lippo Cikarang dan kini Cikarang menjadi kawasan bisnis, kota mandiri yang juga memacu perkembangan di wilayah sekitarnya.

Setelah Lippo membangun perumahan elite di sana dan merilis proyek residential baru yakni Orange County pada 2015 (megaproyek terintegrasi seluas 322 hektare), Grup Lippo memulai megaproyek Meikarta yang di Desa Cibatu, Kecamatan Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi. Rencananya Meikarta akan dialokasikan untuk pembangunan perumahan, taman, tower dan sarana lain seperti universitas, dan lain-lain dengan lahan yang disiapkan 130-140 hektare dan bakal berkembang sampai 500 hektare.

Kendati saat ini proyek Meikarta tengah menjadi perbincangan publik soal izin, tapi proyek senilai Rp278 triliun ini menurut James Riady, CEO Lippo Group, dalam situs resmi Meikarta, berpotensi mengalahkan DKI Jakarta, karena memang disiapkan menjadi pusat perekonomian terbesar di Nusantara.

Titik balik

Namun jauh sebelum Meikarta dicanangkan, titik balik bisnis Lippo di Cikarang sebetulnya terjadi pada tahun 1990, ketika Presiden Soeharto berkuasa di bawah era Orde Baru. Seperti diceritakan Mochtar Riady, pendiri LippoGroup, dalam buku otobiografinya terbitan Kompas tahun 2016 berjudul "Manusia Ide, Mochtar Riady", pada tahun 1990 itu terjadi masa penyesuaian ekonomi, tingkat suku bunga tinggi, ekonomi lesu, inflasi tinggi, dan banyak perusahaan mulai kesulitan modal. Kondisi yang tidak kondusif ini memicu tingkat kredit macet perbankan tinggi.

Dalam kondisi demikian, LippoBank, yang dikendalikan James Riady, putra Mochtar Riady, terpaksa mengambilalih tiga bidang tanah yang sangat luas sebagai barang sitaan kredit macet. Lahan tersebut berlokasi di luar Jakarta, dua bidang tanah yang tandus dan kering berada di timur Jakarta (Cikarang) berjarak sekitar 45 Km, dan satu bidang lagi di barat Jakarta (Karawaci), berjarak 25 km dari Jakarta dengan kontur yang sama: kering, gersang, tanpa tumbuh-tumbuhan.

"Tiga bidang lahan seluas 70 Km persegi itu mau diapakan? Masih menjadi tanda tanya besar bagi saya," begitu kata Mochtar Riady dalam buku setebal 336 halaman yang diedit oleh Tandjung KT itu.

Untuk mencari solusi bagaimana memanfatakan tiga lahan seluas itu, salah satu orang terkaya di Indonesia itu pergi ke beberapa kota maju di Asia seperti Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Taipe, hingga Shenzen. Nah di Shenzen-lah dirasa kondisinya mirip dengan tanah hasil sitaan kredit macet itu, untuk dikembangkan menjadi kawasan perdanganan dan perumahan elite.

Seperti kita ketahui tanah pertama di Karawaci kini berkembang menjadi kota mandiri yang begitu apik, nyaman, aman, dengan berbagai fasilitas modern. Setelah itu Lippo Karawaci mengembangkan lahan kedua di Cikarang lewat anak usahanya, Lippo Cikarang.

Di sana, pemilik awal sebetulnya ingin membangun kawasan industri seluas 5.000 hektare, tapi karena terjadi resesi 1991, rencana itu pun kandas, lahan akhirnya diteruskan Lippo Group untuk membangun kawasan industri.  Tahap pertama, mereka mengalokasikan 1.200 hektare dan dibagi menjadi 4 area. Area pertama, bekerja sama dengan Sumitomo Group dari Jepang (Kawasan EJIP), kedua bekerja sama dengan Hyundai (BIIE) dari Korea, lahan ketiga menggandeng pengusaha Taiwan, dan keempat dikelola oleh Lippo sendiri dan dijual kepada pengusaha industri lokal.

"Cikarang..., lahannya kumuh dan tandus yang hanya digunakan sebagai tempat pembakaran bahan genteng rumah," kata Mochtar. Kini, katanya, Cikarang menjadi kawasan indusrial park yang tertata rapi, kawasan terpadu antara area industri, perumahan elite, pusat perbelanjaan, sarana pendidikan dan olahraga, dan kesehatan.  Bahkan Grup Lippo juga menghibahkan sejumlah lahan ke pemda supaya memindahkan kantor pelayanan di Cikarang guna meningatkan kualitas kawasan. Tahun 2016, harga tanah di cikarang sudah mencapai US$500  per meter persegi.

Lahan ketiga, tepatnya berlokasi di 14 Km sebelah Cikarang, yakni di Karawang dengan 500 hektare. Lahan itu lebih parah lagi karena tak hanya tandus, kering, berbukit, tapi juga terpencil. Kita tahun lahan yang tandus, berbukit, dan terpencil itu kini 'disulap' menjadi San Diego Hills Memorial Park tahun 2007. Taman itu terinspirasi dari tempat pemakanan Taman Rose dan Forest Lawn Memorial Park and Mortuaries di California, AS. San Diego ini menjadi taman makam pertama di dunia dengan fasilitas terlengkap (musola, lapangan golf, jogging track, restoran Italia, gerung serbaguna, danau seluas 8 hektare )dan tentu aja area pemahaman untuk 5 agama (Islam, Katolik, Kristen, Budhha, dan Konghucu).

Inspirasi San Diego ini idatang saat keluarga Mochtar berziarah di pemakaman leluhur di Malang, Jawa Timur. Tanah pekuburan seluas 10 hektare tersebut penuh rumput liar, dan binatang kecil, tak terurus dan menyeramkan. Itu sebabnya pemakaman keuarga ingin dipindahkan ke Jakarta, tapi tak menemukan lahan pas. "Saya terfikir untuk memanfaatkan 500 hektare lahan di Karawang itu sebagai taman makan yang angun dan indah," cerita Mochtar.

Saat ini, jika kita ke Cikarang, daerah tersebut bukan lagi Cikarang sebelum tahun 1990 yang kurang dilirik, tapi denyut nadi perekonomian di sana kini sudah demikian hidup. Tak disangka, dari tiga lahan hasil sitaan kredit macet itulah menjadi titik balik bisnis properti Grup Lippo di Cikarang yang terus dikembangkan hingga hari ini.

Krisis ekonomi tahun 1991 justru membawa keuntungan bagi Grup Lippo, "di mana ada krisis, di situ ada peluang," tegas Mochtar.

Akhir tahun 2016, mengacu laporan keuangan Lippo Cikarang 2016, pendapatan perseroan tembus Rp1,54 triliun dengan laba bersih Rp540 miliar. Akhir 2016, laporan keuangan juga mencatat perseroan berhasil membangun lebih dari 14.000 hunian, dengan 50.720 populasi dan 484.300 orang yang bekerja tiap hari di 993 perusahaan manufaktur di kawasan industri Lippo Cikarang. Dengan adanya jalur LRT tahun 2018, Cikarang tentu bakal lebih menarik lagi.


Words: 961
Dipublikasikan di Kompasiana, 20 Agustus 2017

Entri Populer

Penayangan bulan lalu