Jumat, 14 November 2014

ANAK BANDUNG MENGGEBRAK LAS VEGAS


Chevalier
Mengutip bahasa Prancis untuk nama merek, sepatu lokal ini merambah tanah Amerika
 
Oleh M Tahir Saleh

PEMUDA belia ini datang bersama kekasihnya, Shilviana Herman. Tampilannya modis, khas anak muda zaman sekarang: tas ransel JanSport, jam tangan Fossil, sepatu biru, dan celana jins yang bagian bawahnya digulung. Kami menemui mereka pada suatu siang pertengahan September di gerai The Goods Dept, Pondok Indah Mall 2, Jakarta Selatan.

Dengan tampilan simpel itu, barangkali tak banyak yang menyangka pria 22 tahun ini pemilik Chevalier: merek sepatu bot lokal yang banyak dipakai kalangan artis—sebut saja desainer Priyo Oktaviano, grup musik Yovie & Nuno, artis Kirana Larasati, dan Pongki Barata.

Menariknya, Chevalier merangsek ke peringkat pertama sebagai 'Most Wanted Leather Boots' oleh Mass Drop, situs yang terafiliasi dengan reddit.com, salah satu komunitas daring tertua di dunia. Chevalier menyalip merek sepatu bot kelas dunia semacam Wolverine Rockford, Viberg Boot, Allen Edmonds, dan Red Wings Shoes. Sekadar informasi, Wolverine merupakan produsen sepatu Amerika sejak 1883; Viberg asal Kanada, umurnya lebih dari 80 tahun; Allen Edmonds dari Amerika, berdiri pada 1922; sedangkan Red Wing yang juga dari Amerika hadir sejak 1905. Hal itu luar biasa bagi sebuah merek sepatu lokal buatan anak negeri. Chevalier pun kebanjiran order dari luar negeri.

Setelah digandeng Yovie & Nuno, Chevalier tengah menyelesaikan kerja sama dengan salah satu merek elektronik ternama di dunia. Sang pemilik merek belum bisa membeberkan nama korporasi tersebut. “Pekan depan semoga bisa rampung, doakan saja,” katanya rendah hati.
**

Egar, by Chevalier
Namanya Egar Putra Bahtera, lulusan teknik pertambangan Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 2009. Orangtuanya ibu rumah tangga dan ayah bekerja di Bank Indonesia. “Kata orangtua, ‘bahtera’ itu singkatan dari bahagia dan sejahtera. Amin,” katanya. Tapi pekerjaannya bukan bergerak di pertambangan, dia malah menjadi pengusaha sepatu. “Terbalik dengan saya, lulusan manajemen, saya malah kerja perusahaan tambang,” timpal Shilvi (23) yang saat ini berkarier di Direktorat Gas PT Pertamina. Gadis ini sudah menemani Egar sejak mereka sekolah di SMAN 78 Jakarta.

Di tengah obrolan, Egar langsung mengeluarkan dua pasang sepatu Chevalier. Harganya bisa mencapai Rp2 jutaan—paling murah sekitar Rp800.000. Satu pasang lagi Cannes, merek second liner dengan harga sekitar Rp500.000. Bobotnya lumayan, tapi lunak dipakai. Komposisi Cannes lebih ringan lagi, bahan juga tidak kaku, tapi lentur dan fleksibel. Dia mengklaim Cannes merupakan sepatu bot pertama di Indonesia yang eco-friendly karena sol sepatu sudah diteliti di Italia.
Chevalier
Sepatu Chevalier seolah buatan mesin, tapi jangan salah, sepatu ini 100% hasta karya pengrajin Bandung, Jawa Barat. Egar tengah mengembangkan kulit lokal, kerja sama dengan produsen dalam negeri. Saat ini dia masih memakai kulit impor Horween Leathers Company, produsen dari Chicago yang berumur lebih dari 100 tahun. Horween juga dipakai banyak merek sepatu dunia di antaranya Wolverine. “Supaya dipandang dunia kita harus pakai material yang diakui dunia,” ujarnya. Koleksi jenama lokal ini cukup beragam. Dalam situs tercatat ada enam season dan satu edisi costum order untuk sepatu bot pria. Ada juga ladies series, dompet, dan baju.

Kesukaan Egar terhadap sepatu sebetulnya terbentuk sejak lama. Ketika SMA, dia hobi kongko bersama teman-teman di Pasar Taman Puring, Kebayoran Baru, tempat penjualan sepatu berkualitas (original dan KW alias bajakan). Koleksi sepatu yang dia beli cukup banyak, mulai dari sneaker Nike dan Adidas hingga bot. “Terus saya mikir, someday kalau saya bisa punya brand sepatu sendiri dan di-KW-in di sana kayaknya gokil banget.”

Kegemaran itu terus berlangsung sampai kuliah di ITB. Suatu ketika Egar merasa sudah saatnya membuat merek sepatu sendiri. Sekitar sembilan bulan dia habiskan untuk riset, mempreteli sepatu-sepatu mahal dunia yang dibeli seharga Rp3-5 jutaan. Egar lalu pergi ke pengrajin sepatu, memesan sepatu dengan konsep elegan, berkelas, dan mewah. Berbekal modal Rp10 juta dari bisnis pra-order jaket dan kaos di situs Kaskus, sepatu impiannya terealisasi pada 25 April 2011 dengan nama Chevalier—kata dari bahasa Prancis, artinya ksatria. Pertimbangan nama itu karena Prancis merupakan kiblat mode dunia. Merek Eropa juga dianggap punya kasta lebih ‘tinggi’ ketimbang nama lokal dan Amerika. “Banyak banget orang menyangka ini brand luar, pas tahu dari Indonesia mereka heran, ‘Ini seriously dari Indonesia?’” Modal itu menghasilkan 12 pasang sepatu, termasuk pembuatan situs yang menggandeng rekan dari ITB.

by darahkubiru.com
Sepatu Chevalier belum sebagus sekarang. Waktu itu dia masih dihadapkan pada sekat yang tinggi karena sering terjadi disonansi etos kerja dengan pengrajin. Kondisi itu memaksa dia gonta-ganti pengrajin sampai akhirnya berjodoh dengan 12 pengrajin yang kini menjadi pekerja tak langsung. Jumlah pekerja bakal bertambah setelah Egar berencana menggenjot kapasitas produksi dua kali lipat dari saat ini—sekitar 500 pasang per bulan. Dia mewanti-wanti benar penggunaan Shoelast—cetakan sepatu dan membentuk geometri. Shoelast-lah yang menjaga bentuk sepatunya punya ciri khas. “Moto saya, jangan menjual di awal itu sempurna karena biayanya sangat tinggi,” kata Egar yang kini mengambil program magister bisnis di ITB.

Produk awal Chevalier memakai kulit lokal dengan kualitas baik, tapi setelah mengindahkan saran pelanggan, masukan dari forum komunitas yang diikuiti, Egar beralih ke kulit impor. “Mulanya belum ada brand lokal yang berani pesan kulit impor. Sebab, kuantitas pesanan harus minimal 300 square feet [sekitar 27,87 meter persegi]. Butuh modal. Tapi saya berani, nekat, karena saya mencoba dengarkan saran customer.

Chevalier
Keputusan itu menjadi berkah karena selama ini pengrajin lokal sering dijejali material kelas rendah. “Mereka enggak bisa merasakan material kelas wahid karena merek lokal takut bersaing dengan merek internasional, dan akhirnya takut nggak laku,” katanya. “Saya juga mau edukasi mereka buat ngerasain material terbaik dunia, jadi level mereka naik. Namun, Egar tak mau terus-terusan mengimpor kulit luar. Oleh sebab itu, dia tengah mendekati produsen dalam negeri untuk membuat kulit yang berkualitas seperti Horween.

Egar kemudian rajin ikut pameran untuk menjajakan barang, termasuk membuat The Goods Dept—gerai ritel di Jakarta yang berbasis kurasi—kepincut. Jadilah Chevalier menjadi salah satu brand di gerai yang tersebar di Pacific Place, Lotte Shopping Avenue, dan Pondok Indah Mall 2 tersebut. “Buyer kami yang menemukan Chevalier saat gelaran Brightspot Market. Kualitasnya bagus. Saya punya satu dan awet,” kata Presiden Direktur The Goods Dept Anton Wirjono, pekan lalu. Brightspot Market diselenggarakan oleh toko ritel ini pertama kali pada 2009 sebagai ajang bagi pengusaha muda di bidang fesyen dan desain produk berkualitas.

Barang yang dijual Goods Dept 85% buatan lokal, tapi desainnya tak mirip sama sekali dengan label luar. “Setiap produk punya ciri khas desain dan memang itu kami tekankan ke vendor,” kata Anton. “Untuk produk lokal lain, kualitas mesti dijaga. Harus efisien, artinya kualitas sama dengan luar negeri, tapi harga bisa lebih murah. Brand juga harus punya nyawa,” tambah pria yang berencana membuka satu gerai Goods Dept di Plaza Indonesia tahun depan.

Barangnya [Chevalier] cepat habis,” kata Anton. Memang benar, ketika saya mencoba mengeceknya di Pacific Place dan PIM 2, hanya tersedia satu model ladies. “Habis terus Mas, belum menyetok lagi ke mereka,” kata salah satu penjaga Goods Dept Pacific Place. “Saya rutin mengirim sekitar 100 pasang, tapi sales-nya cepet banget,” kata Egar.

Egar pun terpilih menjadi satu dari 22 label lokal yang diajak Kementerian Perdagangan ikut pameran fesyen terbesar di Amerika, Sourcing at Magic Show, di Las Vegas, Agustus lalu—situs resmi Magic mencatat jumlah pengunjung menembus 60.000 orang. Merek lain di antaranya Nushock dan OBS! (pakaian); BNV dan League (sepatu); dan Koi-Koi Silver (aksesoris). Hebatnya lagi, Chevalier (plus Cannes), Nushock—milik Piyu, gitaris Padi—dan BNV menjadi tiga merek nasional yang sangat potensial diincar pembeli dunia. “Produk yang mereka jual itu merek sendiri, bukan merek milik buyers,” kata Atase Perdagangan Republik Indonesia di Washington Ni Ayu Made Marthini, dalam siaran persnya. “Dengan kualitas premium dan harga kompetitif, saya yakin merek kita bisa berkompetisi dengan label terkenal dunia lainnya. Chevalier telah membuktikannya.” Keberhasilan ini melecut semangat Egar agar bisa mengikuti Capsule 2015, pameran label lokal terbesar di seluruh dunia.

Yovie & Nuno with Chevalier, by Hot Detik
Saat ini dia ingin menyempurnakan lagi geometri sepatu mengingat kompetisi makin ketat. Merek sepatu bot lokal tak hanya Chevalier, ada Brodo—juga dari ITB—dan BNV. Kenyamanan pelanggan menjadi perhatian utama. Barangkali itu yang dirasakan Pongki Barata, pentolan grup band The Dance Company. “Terus terang awalnya kurang nyaman, tapi setelah beberapa kali pemakaian sudah cocok dengan kaki baru terasa nyaman sekali,” kata mantan vokalis band Jikustik ini. “Saya pakai untuk acara resmi, konser juga. Saran saya, harus ada keunikan buat pengusaha lokal, misal 100 pengusaha memasarkan lewat Twitter membosankan juga,” kata Pongki.

Tantangan lain ialah ekspansi bisnis. Tak mungkin Egar terus bergerak sendirian. “Saya sudah sampai pada titik di mana enggak bisa jalan sendiri. Butuh tim. Ada pepatah if you want to walk fast, walk alone, if you want to walk far walk together. Saya sudah cukup walk fast dan saya harus walk together.” Egar enggan mengungkapkan omzet, tapi dengan harga Rp800.000-2 juta dan produksi 100 per bulan untuk The Goods Dept—belum via penjualan daring, bisa dikalkulasi berapa isi tabungan anak muda ini.

Selama ini 35% produksinya dijual ke luar negeri. Di Amerika, sepatu Egar dinilai lebih murah karena dibanderol hanya US$250, bandingkan dengan merek lain dengan kualitas sama yang dipatok US$400-500 per pasang. Hanya saja bagi pakar pemasaran dan CEO Markplus Hermawan Kertajaya, Egar perlu memperkuat branding sebelum ekspor. “Hanya dengan branding, dia jadi price maker [penentu harga] bukan price taker. Lagi pula kalau ekspor itu sebenarnya cuman tukang jahit tanpa papan nama. Bahaya, bisa dialihkan ke negara lain. Mumpung ada profit silakan brand building,” ujarnya.

Pengamat pemasaran Yuswohady pun sependapat. Ia menegaskan perlunya memperkuat merek juga di dalam negeri. “Sepeda Polygon ekspor awalnya bukan merek sendiri, tapi original equipment manufacturer [ditempel merek baru di negara ekspor]. Setelah brand-nya kuat, infrastruktur kuat, baru mereka berani memakai merek sendiri,” kata penulis buku Beat The Giant ini.

Kini Egar berhasil, tapi dia pernah gagal ketika membuka usaha restoran Dapoer Bambu di Bandung. “Sekarang sudah tutup karena enggak prospektif,” kata Shilvi. “Dari sisi pegawai dan lokasi masih kurang.” Di mata Shilvi, Egar sosok ulet dan punya kepemimpinan kuat. Cita-cita Egar membuat Chevalier menjadi brand dunia dengan ekspansi ke produk lain. Dia juga ingin membuat sekolah wirausaha untuk mentransfer kemahirannya kepada pengusaha muda. “Sebentar lagi saya mau buat jam Chevalier. Saya mau bikin merek ini seperti Zara-nya Indonesia di masa depan. Jadi harus menjadi sebuah kesatuan dalam satu brand,” katanya optimistis.

Terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 22 September 2014
Words: 1.676

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu