Chevalier |
Oleh
M Tahir Saleh
PEMUDA belia ini datang bersama kekasihnya, Shilviana Herman. Tampilannya modis, khas anak muda zaman sekarang: tas ransel JanSport, jam tangan Fossil, sepatu biru, dan celana jins yang bagian bawahnya digulung. Kami menemui mereka pada suatu siang pertengahan September di gerai The Goods Dept, Pondok Indah Mall 2, Jakarta Selatan.
Dengan
tampilan simpel itu, barangkali tak banyak yang menyangka pria 22
tahun ini pemilik Chevalier: merek sepatu bot lokal yang banyak
dipakai kalangan artis—sebut saja desainer Priyo Oktaviano, grup
musik Yovie & Nuno, artis Kirana Larasati, dan Pongki Barata.
Menariknya,
Chevalier merangsek ke peringkat pertama sebagai 'Most
Wanted Leather Boots'
oleh Mass Drop, situs yang terafiliasi dengan reddit.com, salah satu
komunitas daring tertua di dunia. Chevalier menyalip merek sepatu bot
kelas dunia semacam Wolverine Rockford, Viberg Boot, Allen Edmonds,
dan Red Wings Shoes. Sekadar informasi, Wolverine merupakan produsen
sepatu Amerika sejak 1883; Viberg asal Kanada,
umurnya lebih dari 80 tahun; Allen Edmonds dari Amerika, berdiri pada
1922; sedangkan Red Wing yang juga dari Amerika hadir sejak 1905. Hal
itu luar biasa bagi sebuah merek sepatu lokal buatan anak negeri.
Chevalier pun kebanjiran order dari luar negeri.
Setelah
digandeng Yovie & Nuno, Chevalier tengah menyelesaikan kerja sama
dengan salah satu merek elektronik ternama di dunia. Sang pemilik
merek belum bisa membeberkan nama korporasi tersebut. “Pekan depan
semoga bisa rampung, doakan saja,” katanya rendah hati.
**
Egar, by Chevalier |
Namanya
Egar Putra Bahtera, lulusan teknik pertambangan Institut Teknologi
Bandung (ITB) angkatan 2009. Orangtuanya ibu rumah tangga dan ayah
bekerja di Bank Indonesia. “Kata orangtua, ‘bahtera’ itu
singkatan dari bahagia dan sejahtera. Amin,” katanya. Tapi
pekerjaannya bukan bergerak di pertambangan, dia malah menjadi
pengusaha sepatu. “Terbalik dengan saya, lulusan manajemen, saya
malah kerja perusahaan tambang,” timpal Shilvi (23) yang saat ini
berkarier di Direktorat Gas PT Pertamina. Gadis ini sudah menemani
Egar sejak mereka sekolah di SMAN 78 Jakarta.
Di
tengah obrolan, Egar langsung mengeluarkan dua pasang sepatu
Chevalier. Harganya bisa mencapai Rp2 jutaan—paling murah sekitar
Rp800.000. Satu pasang lagi Cannes, merek second
liner
dengan harga sekitar Rp500.000. Bobotnya lumayan, tapi lunak dipakai.
Komposisi Cannes lebih ringan lagi, bahan juga tidak kaku, tapi
lentur dan fleksibel. Dia mengklaim Cannes merupakan sepatu bot
pertama di Indonesia yang eco-friendly
karena sol sepatu sudah diteliti di Italia.
Chevalier |
Sepatu
Chevalier seolah buatan mesin,
tapi jangan salah, sepatu ini 100% hasta karya pengrajin Bandung,
Jawa Barat. Egar tengah mengembangkan kulit lokal, kerja sama dengan
produsen dalam negeri. Saat ini dia masih memakai kulit impor Horween
Leathers Company, produsen dari Chicago yang berumur lebih dari 100
tahun. Horween juga dipakai banyak merek sepatu dunia di antaranya
Wolverine. “Supaya dipandang dunia kita harus pakai material yang
diakui dunia,” ujarnya.
Koleksi jenama lokal ini cukup beragam. Dalam situs tercatat ada enam
season
dan satu edisi costum
order
untuk sepatu bot pria. Ada juga ladies
series,
dompet, dan baju.
Kesukaan
Egar terhadap sepatu sebetulnya terbentuk sejak lama. Ketika SMA, dia
hobi kongko bersama teman-teman di Pasar Taman Puring, Kebayoran
Baru, tempat penjualan sepatu berkualitas (original dan KW alias
bajakan). Koleksi sepatu yang dia beli cukup banyak, mulai dari
sneaker
Nike dan Adidas hingga bot. “Terus saya mikir,
someday
kalau saya bisa punya brand
sepatu sendiri dan di-KW-in
di sana kayaknya gokil
banget.”
Kegemaran
itu terus berlangsung sampai kuliah di ITB. Suatu ketika Egar merasa
sudah saatnya membuat merek sepatu sendiri. Sekitar sembilan bulan
dia habiskan untuk riset, mempreteli sepatu-sepatu mahal dunia yang
dibeli seharga Rp3-5 jutaan. Egar lalu pergi ke pengrajin sepatu,
memesan sepatu dengan konsep elegan, berkelas, dan mewah. Berbekal
modal Rp10 juta dari bisnis pra-order jaket dan kaos di situs Kaskus,
sepatu impiannya terealisasi pada 25 April 2011 dengan nama
Chevalier—kata dari bahasa Prancis, artinya ksatria. Pertimbangan
nama itu karena Prancis merupakan kiblat mode dunia. Merek Eropa juga
dianggap punya kasta lebih ‘tinggi’ ketimbang nama lokal dan
Amerika. “Banyak banget
orang menyangka ini brand
luar, pas tahu dari Indonesia mereka heran, ‘Ini seriously
dari Indonesia?’” Modal itu menghasilkan 12 pasang sepatu,
termasuk pembuatan situs yang menggandeng rekan dari ITB.
by darahkubiru.com |
Sepatu
Chevalier belum sebagus sekarang. Waktu itu dia masih dihadapkan pada
sekat yang tinggi karena sering terjadi disonansi etos kerja dengan
pengrajin. Kondisi itu memaksa dia gonta-ganti pengrajin sampai
akhirnya berjodoh dengan 12 pengrajin yang kini menjadi pekerja tak
langsung. Jumlah pekerja bakal bertambah setelah Egar berencana
menggenjot kapasitas produksi dua kali lipat dari saat ini—sekitar
500 pasang per bulan. Dia mewanti-wanti benar penggunaan
Shoelast—cetakan sepatu dan membentuk geometri. Shoelast-lah yang
menjaga bentuk sepatunya punya ciri khas. “Moto saya, jangan
menjual di awal itu sempurna karena biayanya sangat tinggi,” kata
Egar yang kini mengambil program magister bisnis di ITB.
Produk
awal Chevalier memakai kulit lokal dengan kualitas baik, tapi setelah
mengindahkan saran pelanggan, masukan dari forum komunitas yang
diikuiti, Egar beralih ke kulit impor. “Mulanya belum ada brand
lokal yang berani pesan kulit impor. Sebab, kuantitas pesanan harus
minimal 300 square
feet
[sekitar 27,87 meter persegi]. Butuh modal. Tapi saya berani, nekat,
karena saya mencoba dengarkan saran customer.”
Chevalier |
Keputusan
itu menjadi berkah karena selama ini pengrajin lokal sering dijejali
material kelas rendah. “Mereka enggak
bisa merasakan material kelas wahid karena merek lokal takut bersaing
dengan merek internasional, dan akhirnya takut nggak
laku,” katanya. “Saya juga mau edukasi mereka buat ngerasain
material terbaik dunia,
jadi level mereka naik. Namun,
Egar tak mau terus-terusan mengimpor kulit luar.
Oleh sebab itu,
dia tengah mendekati produsen dalam negeri untuk membuat kulit yang
berkualitas seperti Horween.
Egar
kemudian rajin ikut pameran untuk menjajakan barang, termasuk membuat
The Goods Dept—gerai ritel di Jakarta yang berbasis
kurasi—kepincut. Jadilah Chevalier menjadi salah satu brand
di gerai yang tersebar di Pacific Place, Lotte Shopping Avenue, dan
Pondok Indah Mall 2 tersebut. “Buyer
kami yang menemukan Chevalier saat gelaran Brightspot Market.
Kualitasnya bagus. Saya punya satu dan awet,” kata Presiden
Direktur The Goods Dept Anton Wirjono, pekan lalu. Brightspot Market
diselenggarakan oleh toko ritel ini pertama kali pada 2009 sebagai
ajang bagi pengusaha muda di bidang fesyen dan desain produk
berkualitas.
Barang
yang dijual Goods Dept 85% buatan lokal,
tapi desainnya tak mirip sama sekali dengan label luar. “Setiap
produk punya ciri khas desain dan memang itu kami tekankan ke
vendor,” kata Anton. “Untuk produk lokal lain, kualitas mesti
dijaga. Harus efisien,
artinya kualitas sama dengan luar negeri,
tapi harga bisa lebih murah. Brand
juga
harus punya nyawa,” tambah pria yang berencana membuka satu gerai
Goods Dept di Plaza Indonesia tahun depan.
“Barangnya
[Chevalier] cepat habis,” kata Anton. Memang benar, ketika saya
mencoba mengeceknya di Pacific Place dan PIM 2, hanya tersedia satu
model ladies.
“Habis terus Mas, belum menyetok lagi ke mereka,” kata salah satu
penjaga Goods Dept Pacific Place. “Saya rutin mengirim sekitar 100
pasang,
tapi sales-nya
cepet
banget,”
kata Egar.
Egar
pun terpilih menjadi satu dari 22 label lokal yang diajak Kementerian
Perdagangan ikut pameran fesyen terbesar di Amerika, Sourcing at
Magic Show, di Las Vegas, Agustus lalu—situs resmi Magic mencatat
jumlah pengunjung menembus 60.000 orang. Merek lain di antaranya
Nushock dan OBS! (pakaian); BNV dan League (sepatu); dan Koi-Koi
Silver (aksesoris). Hebatnya lagi,
Chevalier (plus Cannes), Nushock—milik Piyu, gitaris Padi—dan BNV
menjadi tiga merek nasional yang sangat potensial diincar pembeli
dunia. “Produk yang mereka jual itu merek sendiri, bukan merek
milik buyers,”
kata Atase Perdagangan Republik Indonesia di Washington Ni Ayu Made
Marthini, dalam siaran persnya. “Dengan kualitas premium dan harga
kompetitif, saya yakin merek kita bisa berkompetisi dengan label
terkenal dunia lainnya. Chevalier telah membuktikannya.”
Keberhasilan ini melecut semangat Egar agar bisa mengikuti Capsule
2015, pameran label lokal terbesar di seluruh dunia.
Yovie & Nuno with Chevalier, by Hot Detik |
Saat
ini dia ingin menyempurnakan lagi geometri sepatu mengingat kompetisi
makin ketat. Merek sepatu bot lokal tak hanya Chevalier, ada
Brodo—juga dari ITB—dan BNV. Kenyamanan pelanggan menjadi
perhatian utama. Barangkali itu yang dirasakan Pongki Barata,
pentolan grup band
The Dance Company. “Terus terang awalnya kurang nyaman,
tapi setelah beberapa kali pemakaian sudah cocok dengan kaki baru
terasa nyaman sekali,” kata mantan vokalis band
Jikustik ini. “Saya pakai untuk acara resmi, konser juga. Saran
saya, harus ada keunikan buat pengusaha lokal, misal 100 pengusaha
memasarkan lewat Twitter membosankan juga,” kata Pongki.
Tantangan
lain ialah ekspansi bisnis. Tak mungkin Egar terus bergerak
sendirian. “Saya sudah sampai pada titik di mana enggak
bisa jalan sendiri. Butuh tim. Ada pepatah if
you want to walk fast, walk alone, if you want to walk far walk
together.
Saya sudah cukup walk
fast
dan saya harus walk
together.”
Egar enggan mengungkapkan omzet, tapi dengan harga Rp800.000-2 juta
dan produksi 100 per bulan untuk The Goods Dept—belum via penjualan
daring, bisa dikalkulasi berapa isi tabungan anak muda ini.
Selama
ini 35% produksinya dijual ke luar negeri. Di Amerika, sepatu Egar
dinilai lebih murah karena dibanderol hanya US$250, bandingkan dengan
merek lain dengan kualitas sama yang dipatok US$400-500 per pasang.
Hanya saja bagi pakar pemasaran dan CEO Markplus Hermawan Kertajaya,
Egar perlu memperkuat branding
sebelum ekspor. “Hanya dengan branding,
dia jadi price
maker
[penentu harga] bukan price
taker.
Lagi pula kalau ekspor itu sebenarnya cuman
tukang jahit tanpa papan nama. Bahaya, bisa dialihkan ke negara lain.
Mumpung ada profit silakan brand
building,”
ujarnya.
Pengamat
pemasaran Yuswohady pun sependapat. Ia menegaskan perlunya memperkuat
merek juga di dalam negeri. “Sepeda Polygon ekspor awalnya bukan
merek sendiri,
tapi original
equipment manufacturer [ditempel
merek baru di negara ekspor]. Setelah brand-nya
kuat, infrastruktur kuat,
baru mereka berani memakai merek sendiri,” kata penulis buku Beat
The Giant
ini.
Kini
Egar berhasil,
tapi dia pernah gagal ketika membuka usaha restoran Dapoer Bambu di
Bandung. “Sekarang sudah tutup karena enggak
prospektif,” kata Shilvi. “Dari sisi pegawai dan lokasi masih
kurang.” Di mata Shilvi, Egar sosok ulet dan punya kepemimpinan
kuat. Cita-cita Egar membuat Chevalier menjadi brand
dunia dengan ekspansi ke produk lain. Dia juga ingin membuat sekolah
wirausaha untuk mentransfer kemahirannya kepada pengusaha muda.
“Sebentar lagi saya mau buat jam Chevalier. Saya mau bikin merek
ini seperti Zara-nya Indonesia di masa depan. Jadi harus menjadi
sebuah kesatuan dalam satu brand,”
katanya optimistis. ⫐
Terbit
di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 22
September 2014
Words:
1.676
Tidak ada komentar:
Posting Komentar