Sabtu, 08 Agustus 2015

HATI-HATI, NAMAMU DISANGKA TERORIS

Oleh M. Tahir Saleh

“SILAKAN ikut kami,” perintah seorang petugas imigrasi dengan suara tegas.

Saya hanya mengikuti mereka dari belakang. Baru beberapa menit sampai di bandara, saya harus menghadapi perlakukan tidak ramah dari petugas; digiring seperti “tersangka kejahatan” menuju ruangan khusus, menjadi sorotan penumpang lain, dengan alasan yang belum saya pahami sama sekali.

Ketika tiba dan diperiksa petugas Bandara Internasional Hong Kong beberapa menit yang lalu, saya memang agak lama diperiksa paspornya dibanding penumpang lain. Petugas membolak-balikkan paspor, melihat cap-cap imigrasi negara lain di paspor saya sambil bertanya tujuan dan akan tinggal di mana nantinya. Dengan sorot mata curiga, tiba-tiba dia memanggil beberapa petugas yang tengah siaga berdiri di pojok.

Saya akhirnya dibawa ke ruangan itu, bersama Mba Pris, rekan saya dari Jakarta.  Baru pertama kali ke negeri ini kok begini ya. Pikir saya dalam hati. Mba Pris juga tak mampu berbuat banyak meski dia sudah berusaha menjelaskan tujuan kami bertandang ke Hong Kong demi menghadiri suatu konferensi. Saat diinterogasi, ketahuanlah bahwa nama saya ternyata mirip dengan nama seseorang yang masuk dalam daftar pantauan petugas imigrasi Hong Kong, mungkin disangka teroris.

Di dalam ruangan, saya diberondong beberapa pertanyaan.

“Anda mau ke mana, tinggal di mana?

“Anda dari Singapura untuk tujuan apa?”

Belum puas dengan jawaban saya, kembali dia bertanya, apakah kenal dengan seseorang yang namanya sama dengan saya, orang tersebut dari Pakistan. Saya katakan tidak kenal. Selain nama Arab, wajah saya memang setengah Arab, setengah Flores. Tapi saya bukan teroris. Teroris adalah orang yang memakai kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Dalam USA Patriot Act, kitab teroris Amerika Serikat (AS), penekanan kekerasaan bisa dengan mengancam, mengintimidasi, menculik, membunuh, atau menentang kebijakan pemerintah. Lah, saya ini apa? Menuduh gampang dilakukan oleh orang-orang yang punya kuasa, apalagi didasari stereotip atau prasangka subjektif dan tidak tepat.

Dalam kasus ini, strereotip akan Islam dan terorisme. Kesan pertama, mereka melihat fisik, mulai nama, perawakan, kontur wajah, barang bawaan termasuk dokumen, hingga gerak-gerik mencurigakan. Belum lagi kalau paspor berisi cap imigrasi dari negara-negara yang disinggahi dalam waktu singkat, bisa juga jadi alasan. Kejadian lima tahun yang lalu itu menjadi bukti bahwa prasangka buruk atas orang Indonesia yang Islam belum hilang. Alasannya klise: keamanan nasional.

Nah berselang sekitar tiga tahun dari peristiwa tadi, saya kembali menyambangi Hong Kong, kali ini dari Shenzen, China. Dan lagi-lagi saya disangka teroris. Jika yang pertama saya dibantu pengundang, kali ini agak sulit karena saya hanya bersama salah satu wartawan dari Surabaya. Alasan interogasi masih sama, nama dan wajah saya mirip seseorang yang masuk daftar pantauan. Tapi teman saya ini beda lagi, dia diinterogasi karena petugas bingung dengan tempat lahirnya yang tercatat di paspor: Trenggalek.

“Di mana itu? Kata si pemeriksa setelah kami berdua digiring ke ruangan khusus. Si teman juga bingung menjelaskan wilayah kabupaten di Jawa Timur itu.

“Kalau Ponorogo saya tahu, coba tunjukkan di mana itu [Trenggalek],” perintah si petugas.

Duh sampai dua kali disangka teroris. Saya akhirnya membuka situs Interpol dan mengecek wanted persons. Bukan saya merasa sok penting, tapi ingin tahu saja, jangan-jangan namanya masuk radar.

Setelah mengecek, ternyata nama “Tahir” atau “Taher buanyak yang jadi wanted alias dicari polisi internasional dengan kasus variatif. Ada Tahir Mehmood, 42 tahun, orang Pakistan, diburu Interpol karena merampok. Lalu Tahir Shah, 51 tahun, dari Nepal, kasusnya konspirasi pembunuhan. Selain itu Tahir Nazir, 57 tahun, orang Pakistan, dikejar karena kasus pemerasan, kemudian Tahir Zarlykovich, 57 tahun, orang Kirgizstan, diuber lantaran kasus perdagangan manusia dan pembunuhan. Nama “Muhammad” lebih banyak lagi menjadi buruan Interpol.

**

Terlepas dari nama orang-orang itu yang melakukan kejahatan, stereotip akan orang Islam saat ini belum hilang walau peristiwa serangan bom 11 September 2001 sudah lewat. Justru sejak serangan yang meluluhlantakkan menara kembar World Trade Center di Manhattan, New York, ketakukan berlebihan terhadap Islam (termasuk nama dan muka-muka Arab) tetap tinggi.

Apalagi saat ini kelompok ekstrimis macam Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)—yang mengedepankan kekesaran yang justru tidak mencerminkan ajaran Islam—kian merajalela. Bukan hanya AS sebagai salah satu negara dengan ketakutan berlebihan terhadap Islam, negara-negara lain—termasuk di Asia—pun sama dengan kadar apriori yang berbeda.

Di AS, pemerintah berpatokan pada dokumen pantauan teroris bernama Watchlisting Guidance yang dirilis pada 2013 oleh 19 agen federal Amerika, termasuk Central Intelligence Agency (CIA) dan Federal Bureau of Investigation (FBI). Tebalnya 166 halaman, berisi kriteria menempatkan seseorang masuk dalam daftar pantauan teroris dan larangan terbang.

World Socialist Web Site melaporkan bahwa pada 2003, pemerintahan George W. Bush sempat memasukkan ratusan ribu nama dalam database Terrorist Screening Center (TSC), yang dioperasikan FBI. Tapi pada 2013, AS memakai panduan baru yang kopian dokumennya berhasil dipublikasikan The Intercept pada Juli tahun lalu. (Ini link-nya: https://firstlook.org/theintercept/document/2014/07/23/march-2013-watchlisting guidance/.

The Intercept adalah publikasi daring yang diluncurkan pada Februari 2014 oleh First Look Media, media yang dikelola pendiri eBay, Pierre Omidyar. Situs ini juga mempublikasikan sejumlah dokumen rahasia yang dirilis Edward Snowden, mantan pekerja CIA dan kontraktor National Security Agency (NSA) yang membocorkan informasi program mata-mata rahasia Amerika.

Banyak dugaan, sumber dokumen Watchlisting dari Snowden. Tapi dokumen ini dinilai berbahaya. Mengapa? Karena seseorang bisa ditandai sebagai ancaman atau berpotensi mengganggu keamanan nasional dengan kriteria versi AS yang kurang valid dalam Watchlisting. Bahkan pada 2013, ada 468.749 orang masuk dalam daftar tersebut lalu diserahkan kepada National Counterterrorism Center. Persentase penolakan nama-nama tersebut hanya 1% dari rekomendasi.

Dokumen tersebut akan dikaji ulang setiap dua tahun sekali atau jika dibutuhkan. Pemerintah AS membagi dua kategori yakni “teroris dikenal” dan “tersangka teroris”. Kalau teroris dikenal itu sudah didakwa tindakan teroris, kriteria tersangka teroris berbeda lagi.

Orang yang diduga teroris adalah individu yang disangkakan terlibat rencana, persiapan, membantu kegiatan terorisme. Kriterianya: dianggap sebagai teroris oleh agensi lain—selain milik AS, terafiliasi dengan jaringan teroris global, fasilitator teroris (termasuk pemalsu dokumen, fasilitator perjalanan, pencucian uang, dan penyandang dana), simpatisan atau pendukung organisasi teroris.

Individu yang dituduh terlibat dengan organisasi teroris, lalu dibebaskan di pengadilan, juga masih potensial masuk daftar daftar, begitu pula keluarga dekatnya. Jika kriteria sesuai, seseorang akan digiring masuk daftar Terrorist Screening Database (TSDB) yang dibuat TSC. Padahal faktanya, dokumen itu tidak sempurna, banyak yang tak sesuai karena pengumpulan data kurang akurat.

Dengan kata lain, seseorang bisa dimasukkan dalam daftar hanya dengan kecurigaan bahwa dia mungkin terlibat. Padahal, perlu evaluasi kredibilitas sumber informasi. Verifikasi ini penting mengingat unggahan di media sosial pun tak luput dari perhatian. “[Kriteria itu] jelas mengejutkan dan luas, penuh dengan pengecualian dan pasti akan menjerat orang yang tidak bersalah,” kata Hina Shamsi, Direktur Keamanan Nasional di American Civil Liberties Union, seperti dikutip The Washington Post, 23 Juli 2014.

Kendati dikritik publik, otoritas National Counterterrorism Center, maju terus. “Dokumen pantauan ini sangat penting sebagai bagian dari pertahanan berlapis kami dalam melindungi AS dari serangan teroris di masa depan,” kata seorang pejabat lembaga itu.

Saya tidak tahu apakah Hong Kong memakai panduan seperti AS atau tidak. Tapi saya beruntung akhirnya masuk ke negeri itu, tidak ditolak seperti dialami dua orang WNI yang akan menjadi pembicara pada acara Tabligh Akbar di Hong Kong, pertengahan Maret lalu. South China Morning Post melaporkan, polisi setempat meningkatkan kewaspadaan karena selebaran bergambar ISIS beredar di kalangan buruh migran Indonesia pada gelaran Tabligh Akbar tersebut.

Kalau pun Hong Kong menerapkan panduan seperti AS, atau berbagi informasi, kriteria dalam dokumen itu tidak efektif. Dokumen Watchlisting dianggap tidak tepat, tak mampu menyapu ribuan orang sekaligus, bahkan gagal menangkap ancaman serius seperti pembom Boston Marathon, Tamerlan Tsarnaev. Malahan beberapa nama orang salah dimasukkan.

Wajar karena dalam lima tahun terakhir, lebih dari 1,5 juta orang ditambahkan dalam daftar. Jadi kesalahan memasukkan nama orang tak terelakkan. Beberapa orang bisa saja masuk dalam daftar itu dengan alasan yang sah—sesuai kriteria AS. Tapi pedoman tadi berpotensi memuat nama orang-orang yang tidak bersalah terjebak dalam daftar.

Imbasnya, dia akan tunduk pada pembatasan, misalnya ketika dia melancong ke negara lain. Saya berharap pengalaman ini tidak berulang bila suatu saat berkesempatan ke AS atau negara lain. Pengalaman ini barangkali kasuistik, tidak bisa digeneralisasi, jadi belum tentu dialami juga oleh penumpang Indonesia dengan nama Islam.


**

Entri Populer

Penayangan bulan lalu