Jumat, 28 Juli 2017

Orang-orang India di Grup Bakrie

Oleh Tahir Saleh

SEBAGAI penggemar film India, saya suka dengan orang India dan segala sesuatu yang berhubungan dengan Negeri Bollywood. Mulai dari lagu, tarian, musik, hingga artis-artisnya seperti Kareena Kapoor, Katrina Kaif, Fatima Sana Shaikh, Salman Khan, Aamir Khan, dan Shahrukh Khan. Sayangnya, saya belum pernah menginjakkan kaki di tanah Mumbai, kota terbesar di India.

Negeri berpenduduk sekitar 1,27 miliar jiwa itu kian berkembang. Ekonominya tumbuh cepat, bahkan tahun 2015 pertumbuhannya mencapai 7,5%, angka pertumbuhan itu jauh di atas pertumbuhan ekonomi China 6,9% dan Indonesia 4,79%. Bahkan laporan terbaru Morgan Stanley bertajuk “India versus Indonesia: 10 Key Charts” menunjukkan betapa India menjadi negara dengan prospek investasi menarik karena ekspornya terjaga dengan tumbuh stabil, konsumsi domestik yang baik, dan belanja pemerintah yang kuat.

India tak hanya kokoh dari sisi ekonomi. Jika ditelusuri lebih jauh dalam hal sumber daya manusia, SDM India juga terkenal andal dalam berbagai bidang, terutama teknologi informasi. Orang-orang kunci di perusahaan teknologi global, tak luput dari nama orang-orang India atau keturunan India kendati bukan warga negara India. Ada Sundar Pichai, CEO Google, dan Rajeev Suri yang dipercaya menjadi CEO Nokia. Lalu ada Shantanu Narayen, CEO Adobe, Satya Nadella, CEO Microsoft, dan Padmasree Warrior, perempuan yang kini menjabat Chief Technology Cisco.

Soal SDM ini, invasi orang-orang India menyebar ke seluruh dunia dan di segala bidang. Indonesia termasuk menjadi salah satu negara incaran SDM India. Bukan di bidang techno, melainkan pertambangan mengingat India adalah negara pengimpor batu bara terbesar di dunia bersama China.

Dan, salah satu entitas bisnis yang menurut saya banyak diperkuat SDM dari India adalah perusahaan-perusahaan di Grup Bakrie. Beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Bakrie, seperti PT Bakrie & Brothers Tbk (holding Grup Bakrie), PT Bumi Resources Tbk, dan sejumlah perusahaan afiliasi lainnya, sempat dan masih terselip orang India atau keturunan India.

Di Bakrie & Brothers, pernah ada nama Kahlil Rowter. Di perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham BNBR itu, Kahlil yang keturunan India, ditunjuk menjadi chief economist sejak 2011 setelah sebelumnya menjabat direktur utama PT Pemeringkat Efek Indonesia. Dari BNBR, Kahlil kemudian memperkuat riset ekonomi di Bakrie Global pimpinan Anindya Bakrie. Keberadaan Kahlil di Bakrie Global cukup berpengaruh bagi perusahaan investasi itu karena Bakrie Global aktif dalam berbagai proyek revitalisasi dan restrukturisasi atas perusahaan-perusahaan yang sebelumnya menderita akibat krisis moneter 1997-1998. Setelah keluar dari Bakrie Global, Kahlil kini menjadi chief economist Danareksa Research Institute dan dosen Fakutas Ekonomi Universitas Indonesia.

Di Bumi Resources, perusahaan tambang yang terafiliasi dengan Grup Bakrie, ada nama Dileep Srivastava. Nama ini begitu familiar bagi wartawan pasar modal yang pernah meliput di Bursa. Dileep adalah salah satu orang paling lama yang mengabdi di perusahaan Grup Bakrie, sejak 1997 atau hampir 20 tahun. Setidaknya, alumnus Indian Institute of Management itu sudah memegang beberapa jabatan penting di Grup Bakrie.

Pria 64 tahun ini bergabung dengan Bumi Resources sejak 2006 memegang bidang investor relation, corporate secretary, public relation, media, pemerintahan, dan komunikasi. Tak ayal, setiap ada aksi korporasi atau konfirmasi soal Bumi, Dileep turun tangan. Pria kelahiran Kanpur, India, ini pernah menjadi direktur Bakrie & Brothers sejak Maret 2008 hingga Juni 2010 dan kini Dileep menjabat direktur dan sekretaris perusahaan Bumi Resources (BUMI).

Dileep sangat rajin mengirimi infomasi terkait Bumi kepada awak media. “Hopefully BUMI can surpass this in 2017, to aGreat New Year!” kata Dileep lewat Watsapp akhir Desember tahun lalu. Di perusahaan tempat Dileep bekerja ini, ada anak usaha dan perusahaan asosiasi di bidang tambang yakni PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS), PT Arutmin Indonesia, dan PT Kaltim Prima Coal (KPC).

BRMS fokus pada pertambangan mineral non-batu bara, sedangkan Arutmin dan KPC adalah dua ekportir batu bara thermal di Indonesia dan merupakan perusahaan patungan antara Bumi dan Tata Power Ltd, India. Tahun 2014, mengacu data ESDM, produksi batu bara KPC menembus 52,33 juta ton, terbesar kedua setelah Adaro Indonesia (55,32 juta ton). Per September 2016, pemegang saham mayoritas Bumi adalah investor publik 64%, sisanya Credit Suisse Singapore 30,11% dan Damar Reka Energi 6,28%. Aset Bumi menembus US$3,35 miliar (setara dengan Rp44 triliun) tapi ekuitasnya negatif alias defisiensi modal US$2,86 miliar (Rp37 triliun).

Dileep tidak sendiri di Bumi, orang India lain di Bumi yakni Nalinkant Amratlal Rathod yang menjabat komisaris sejak 2001. Selama 25 tahun, Nalin berkarier di Grup Bakrie dengan berbagai posisi dan jabatan. Saat ini, menurut situs Bumi, Nalin juga presiden komisaris KPC dan Arutmin. Nalin pernah ditunjuk menjadi CEO Bumi Plc di London, komisaris PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL), dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG). Dua emiten terakhir itu juga berafiliasi dengan Grup Bakrie.

Pria 66 tahun asal Rajahmundry, India, ini juga dipercaya menjabat Presiden India Club, Jakarta, dan pernah menjadi chairman Committee of Indian Chamber of Commerce and Industry di Indonesia. Alumnus Andhara University, India, ini cukup punya ‘pengaruh’ di Grup Bakrie lantaran kenyang asam garam sebagai negosiator dan dealmaker. Nalin kini masih menjabat komisaris anak usaha Bumi, BRMS dan Chairman International Advisory Council di Bakrie Global.

Setelah Dileep dan Nalin, ada nama Thekepat Gopal Sridhar. Pria 62 tahun itu menjadi direktur PT Darma Henwa Tbk (DEWA) sejak Maret 2014. Darma Henwa adalah kontraktor tambang terafiliasi Grup Bakrie dan sahamnya kini dimiliki mayoritas oleh publik 64% per September 2016. Sisa saham dipegang Zurich Asset International Ltd (18,40%) dan Goldware Capital Limited qq Zurich Asset International (17,68%). Zurich adalah entitas asosiasi dari Bumi. “Bumi memiliki 31% saham DEWA, tapi tak ada perwakilan manajemen Bumi di sana,” kata Dileep.

Gopal Sridhar adalah alumnus University of Madras, India, dan University of Cochin, India. Mulai bergabung dengan Darma Henwa sejak 2011 sebagai general manager hingga mencapai chief financial officer. Pengalamannya di bidang keuangan dan perbankan banyak ditempa di sejumlah negara termasuk Indonesia, Singapura, dan India. Ditambah lagi dia pernah bekerja di dua grup konglomerasi di Indonesia, Gobel Group dan Salim Group, membuat kemampuannya banyak menopang keputusan strategis manajemen perusahaan.

Kembali ke Bumi, di KPC, perusahaan patungan Bumi dan Tata, ada nama Ashok Mitra. Situs KPC mencatat, awalnya Ashok adalah generalmanager finance dari Tata Power India. Ashok kemudian dipindahkan ke Indonesia pada Agustus 2007 sebagai chieffinancialofficer KPC ketika Tata mengakusisi 30% saham perusahaan itu.

Ashok yang bekerja di Tata sejak 1985 ini bertanggung jawab soal keuangan dan komersial, manajemen supply chain, dan manajemen serta perbaikan bisnis KPC. Di bawah bimbingannya, langkah efisiensi diambil guna mengurangi biaya produksi. Dan sejauh ini strategi keuangan KPC membuat keuangan persahaan ini baik-baik saja. Bahkan KPC menjadi salah satu perusahaan dengan pembayaran royalti terbesar bagi ABPN Indonesia. Sudah dua kali KPC menerima penghargaan sebagai “Wajib Bayar dengan kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak terbesar “. Berapa sih pajak tambang KPC? Pada 2015, data KPC menyebut pembayaran pajak dan royalti mereka masing-masing US$100,69 juta dan US$372,99 juta, setara dengan Rp1,3 triliun dan Rp4,85 triliun.

Di luar BUMI dan DEWA, PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP) juga diwarnai dengan kehadiran dua warga negara India, Chenji Srinivasan Seshadri dan Balakrishnan Chandrasekaran. Srinivasan menjabat direktur sejak Juli 2013 dan bekerja di Grup Bakrie sejak 1992. Alumnus Bangalore University, India, ini pernah menjadi advisor di Bumi, direktur Enercorp Group of Companies, dan chief executive officer perusahaan minyak di Kanada.

Sama seperti Srinivasan, Chandrasekaran juga menjadi direktur Bakrie Sumatera sejak Juli 2013. Selama 20 tahun lebih dia mengabdi di Grup Bakrie, seperti di PT Bakrie Metal Industries, PT Bakrie Pipe Industries, PT Southeast Asia Pipe Industries, dan BNBR. Lulusan Universitas Madras, India, ini sebelumnya bekerja untuk Tata dan TVS Group di India.

Cukup banyak memang orang India di Grup Bakrie kendati kalau dihitung-hitung yah jumlahnya tak sampai 10 orang, hanya 6 orang India—di luar Kahlil—untuk level top management di salah satu grup konglomerasi terbesar di Tanah Air ini.

“Ini murni profesional saja,” kata Bobby Gafur Umar, Direktur Utama BNBR ketika saya tanyakan hal ringan ini. Begitu pula ketika bertemu dengan Kahlil pada akhir September tahun lalu ketika kami mengundangnya talkshow membahas makroekonomi. Menurut Kahlil, bergabungnya sejumlah warga negara India bukan hal baru karena mereka sudah puluhan tahun bekerja, pun termasuk pengalaman di perusahaan besar lainnya. “Iya ada [orang India], tapi enggak banyak yah,” katanya. “Yang di KPC itu karena ada saham Tata Power India. Saya fikir semuanya profesional murni, ada yang lebih dari 20 tahun bekerja di Grup Bakrie.”

**

Hadirnya orang India di Grup Bakrie, tak jauh berbeda dengan fakta di konglomerasi lain, apalagi adanya anak usaha patungan (joint venture) membuat perlunya penempatan perwakilan direksi dari pemegang saham asing. Misalnya, Grup Astra yang juga diperkuat direksi dari Jepang, atau Grup Lippo dengan direksi dari Malaysia dan Singapura. Seluruhnya punya karakter dan budaya berbeda.

Di Bumi, ada empat direksi yakni dua dari Indonesia, satu Inggris dan satu India (Dileep). Adapun direksi emiten Grup Bakrie lainnya diperkuat orang Indonesia. “BRMS 100 persen direksinya orang lokal, begitu juga BNBR, BTEL, dan ELTY [Bakrieland], Pak," kata Dileep yang bergabung dengan Grup Bakrie sejak 1 November 1997. “Grup Bakrie adalah perusahaan dengan prinsip humanity yang tinggi, menghargai dan memelihara profesionalisme, di atas pertimbangan lain, termasuk kewarganegaraan,” katanya.

Dileep, photo by Reuters
Bagi Dileep, orang India itu punya komitmen tinggi dalam bekerja karena mereka perfeksionis, cepat respons, pintar manajemen waktu, tekun, out of the box, kompeten dalam keuangan dan makro, pemikir strategis dan berorientasi hasil, serta pintar berkomunikasi. “Mereka ramah, tapi bisa agresif soal gaya bekerja dan terbiasa tumbuh dalam lingkungan yang kompetitif.” Mereka, kata Dileep, juga sangat setia dengan atasan, sebuah hubungan yang saling melengkapi apalagi dari sisi asimilasi budaya juga banyak kesamaan termasuk tradisi dan makanan. “There is so much commonality," katanya.

Dileep juga meminta jawaban ke koleganya, sesama orang India soal apa keunggulan dan kekurangan orang India, untuk keperluan tulisan ini. Jawabannya tak jauh beda soal profesionalisme, ditambah dengan kesamaan budaya yang membuat asimilasi budaya semakin cepat.

“Budaya, kekeluargaan, pertemanan, makanan, dan populasinya [mirip],” katanya. Menurut Dileep, orang India berdaptasi dengan baik, kompetensinya unik, dan marketing yang baik. “Sebab itu, sepatutnya diperlakukan sama dengan yang lain.”

Tentu semua bangsa punya karakter berbeda dalam bekerja. Dalam sebuah artikel di redbus2us.com berjudul “Work Culture, Ethics, Time at work, Importance–India vs.America”, seorang penulis India, Kumar, bercerita soal budaya kerja orang India dibandingkan dengan AS. Orang Amerika bekerja biasanya 8 jam per hari, nah India hingga 12 jam per hari. Orang AS yang juga suka bekerja di rumah dan komitmen terhadap deadlinekerja. "You should never miss any deadlines...being on time is important," tulis Kumar. Bagi orang India, deadline penting, tapi orang India cenderung bernegosiasi dengan atasan, jadi menjadi tepat waktu tidak sepenuhnya diikuti.

Artikel lain berjudul “Japanese and Indian Work Cultures are Starkly Different” yang ditulis Geetanjali Vikram Kirloskar di economictimes.indiatimes.com juga menjelaskan karakter orang India dibanding Jepang. Orang Jepang mulai rapat lebih awal dan mengambil keputusan secara konsensus. India, para pekerjanya lebih terinspirasi dengan teladan dan pemimpin yang kuat. Orang Jepang lebih memilih tidak berkonflik dengan sesama atau bos di depan publik, lebih homogen, tapi orang India lebih bebas mengajukan sudut pandang berbeda, cenderung agresif dalam nada dan cara, serta suka menyela dan sering mengulang. “Mungkin karena kami belum yakin jika audiens sepenuhnya sudah paham,” kata Geetanjali Kirloskaar, Chairperson Takshasila Hospitals Operating Private Ltd.

Bagaimana dengan kekurangan orang India? “Kekurangannya, mereka kadang suka aneh, dalam artian hal yang mudah dibikin ribet. Kadang tidak tuntas kelarin masalah, jadi berulang terus kayak kaset rusak,” kata Ucup, seorang kawan yang bekerja di perusahaan milik orang India. Tapi keunggulannya orang India itu ibarat orang China, tapi berbeda kulit saja. “Mereka pekerja keras, ngeyel, enggak mundur meski peluangnya kecil. Dan mereka sangat profesional.”

Sifat professional dan tekun inilah barangkali yang membuat orang-orang India cukup diandalkan di Grup Bakrie meskipun SDM lokal Indonesia tak kalah kompetitif. Di Grup Bakrie, tak hanya butuh orang handal, tapi juga pintar berkomunikasi dengan media, dan cepat tanggap. Itu sebabnya Dileep punya kredit tersendiri, selalu hadir di kala publik butuh jawaban. Bukan akhir-akhir ini saja Dileep tampil ke publik saat Bumi tengah berupaya merestrukturisasi utangnya yang menggunung, melainkan sudah sejak lama. Tahun 2008, ketika Grup Bakrie diterpa isu default atau gagal bayar transaksi repo, Dileep juga-lah orang yang ikut meredam guncangan di pasar.

Kini, keberadaan top managementyang mumpuni sangat dibutuhkan di tengah belum pulihnya kinerja beberapa emiten Grup Bakrie lantaran rendahnya harga komoditas. Beberapa emiten grup ini malah masih merugi per September 2016 di antaranya Bakrie Sumatera (UNSP), Energi Mega (ENRG), BTEL, dan BRMS.

Bakrie Sumatera masih mencetak rugi pada September tahun lalu melanjutkan rugi bersih pada 2015 yakni Rp1,05 triliun. Kerugian ini dialami perseroan sejak 2012. ENRG juga merugi US$47 juta seiring dengan rendahnya penjualan. BRMS pun menderita rugi U$346 juta dolar. BRMS bahkan hanya mengandalkan bisnis konsultasi dari anak usaha di Jepang.

Bakrie Telecom alias BTEL bisa dibilang paling terdampak kendati publik berharap perusahaan ini bisa bangkit lagi karena banyaknya karyawan di perusahaan ini. Bakrie Telecom, lewat produk Esia, awalnya mampu bersaing di industri telekomunikasi. Akhir tahun 2008, pendapatan BTEL bahkan tembus Rp2,8 triliun dengan laba bersih Rp137 milar, tapi per September tahun lalu—selang 8 tahun kemudian—ekuitas perusahaan minus hingga Rp13,26 triliun, pendapatan turun menjadi Rp149 miliar dan rugi bersih Rp75 miliar.

Emiten Grup Bakrie yang bangkit adalah Bumi seiring dengan mulai naiknya harga batu bara. Meski ekuitasnya minus US$2,86 miliar dan pendapatan turun menjadi US$18 juta per September tahun lalu, tapi Bumi mampu mencetak laba bersih US$73 juta dari sebelumnya rugi bersih setelah efisiensi dilakukan. Likuiditas tinggi dan kapitalisasi pasar yang besar ini pula membuat saham BUMI melesat, akhirnya dimasukkan oleh Bursa ke dalam Indeks LQ-45 bersama PP Properti Tbk dan PT XL Axiata Tbk.

Tahun ini, Dileep berharap kinerja bisnis Grup Bakrie, terutama Bumi, makin membaik. Tahun lalu  produksi Bumi mencapai 86,5 juta metrik ton, naik 6,5% dari 2015 walaupun harga rata-rata (ASP) batu bara amblas 6% menjadi US$42,10 per metrik ton. Tahun ini, Bumi mematok produksi naik 5-7% dan berharap ASP naik setidaknya 30%. “Outlook harga batu bara tahun ini optimistis, berharap PDB Indonesia bisa akselerasi lebih kuat dengan penguatan harga batu bara dan sawit,” kata Dileep.

***

Tulisan ini diposting di Kompasiana, 4 Maret 2017

Entri Populer

Penayangan bulan lalu