Sabtu, 23 Februari 2013

Pungutan Masih Liar

Ilustrasi, Photo by merdeka.com
M. Tahir Saleh

Pembenahan Pelabuhan Tanjung Priok terus dilakukan. Sayangnya, pungutan liar, antrean panjang, dan gangguan keamanan masih menjadi keluhan para pengguna. **

ZUBAIDI tengah menyantap makan malam di dalam truk saat muncul suara telepon dari Iman, salah satu pegawai perusahaan ekspedisi peti kemas PT Angkutan Jasa Mandiri, tempat Zubaidi bekerja mencari nafkah sebagai sopir borongan.

“Pak, besok tolong jam 6 pagi am bil kosongan [peti kemas kosong] di depo PIL [Pacific  International Lines],” begitu suara di se berang seperti ditirukan Zubaidi.

Kamis (14/2) pukul 5 pagi, pria itu sudah membawa head truck menuju depo PIL di Jalan Raya Cakung Cilincing, tempat penyewaan peti kemas kosong, lalu menuju PT Indo Creative Mebel di Kawasan Indo Taisei, Cikampek, Karawang, Jawa Barat.

Perusahaan eksportir furnitur ini menyewa jasa AJM untuk membawa sofa yang diekspor melalui pelabuhan ekspor impor PT Jakarta International Container Terminal  (JICT). Sekali jalan, dia dibekali Rp400.000. Uang itu habis paling banyak untuk mengisi penuh solar Rp200.000, selebihnya untuk makan dan upah.

“Sisanya bisa Rp100.000, tapi paling sering Rp50.000,” kata bapak 56 tahun ini ditemui saat mengantre di depan gerbang masuk kawasan JICT, Kamis (14/2) sore.

Zubaidi mengantre sejak pukul 11 siang dan hingga pukul 3 sore hari itu belum juga mengantongi kartu kuning, semacam surat jalan masuk gerbang JICT. Kartu itu di urus oleh  petugas dari AJM yang siap sedia di pelabuhan.

Di tempat yang sama, sopir borongan perusahaan ekspedisi PT Kurnia Pratama bernama Toni duduk di atas bemper truk Nissan Diesel yang mengangkut kontainer berisi barang elektronik milik Toyota dari Kawasan Industri MM2100 Cibitung, Jawa Barat, untuk diekspor.

Dia ‘membunuh’ sepi dengan menyeruput secangkir kopi dan mengisap sebatang rokok. Di depannya, puluhan truk juga mengular menunggu giliran masuk di depan gerbang kawasan JICT. Diangkut dari Cibitung, peti kemas itu sudah ditempel stiker putih Bea dan Cukai serta nomor seal atau segel pengaman, berwarna kuning.

Setelah truk mengantongi kartu kuning, katanya, truk diperbolehkan masuk gerbang, disurvei oleh petugas, lalu ditimbang dan dipindai.

Truk lalu menuju lapangan penumpukan, sesuai dengan dokumen di baris dan nomor berapa agar peti kemas dibongkar oleh alat pengerek atau crane, ditumpuk, menunggu diangkut oleh kapal laut.

Jalur kuning ialah jalur kepabeanan dengan pemeriksaan dokumen secara khusus tanpa memeriksa barang, sedangkan jalur merah itu petugas Bea dan Cukai akan memeriksa barang yang diimpor.

Menurut Toni, alat crane yang sedikit membuat dirinya kadang menunggu proses bongkar hingga 3 jam. Gerbang masuk Pelabuhan JICT pun tidak seluruhnya dibuka padahal antrean  makin lama.

Namun, pria lajang berusia 23 tahun ini menilai pelayanan pelabuhan sudah jauh lebih baik dari setahun lalu saat dia masih menjadi kernet truk kontainer. Dulu, pungutan liar merajalela.

“Kalau sekarang ini sukarela aja, uang rokoklah, misalnya di gerbang Rp1.000-Rp2.000. Nah kalau peti kemas dibongkar itu sekitar Rp10.000 kita ngasih ke petugasnya.”

Pungutan juga terjadi di Pintu 9 Pelabuhan Tanjung Priok. Gerbang ini wajib dilalui truk padahal hanya berputar di pelabuhan itu lalu keluar lagi untuk masuk ke JICT. Besaran fulus yang diminta petugas, kata Zubaidi, sekitar Rp5.000—Rp10.000.

Dirut JICT Albert Pang mengatakan efisiensi pelabuhan sebetulnya selalu menjadi fokus perseroan guna meningkatkan produktivitas. Sejak 2008-2012, pihaknya, sudah menghabiskan US$250 juta belanja peralatan baru, peningkatan kapasitas dermaga, dan sistem informasi dan teknologi.

“Ini untuk memodernisasi layanan pelabuhan,” katanya.

Saham JICT digenggam Hutchison Port Holdings (HPH) 51%, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II atau Indonesia Port Corporation (IPC) sebesar 49%, dan porsi kecil milik Koperasi Pegawai Maritim. Hutchison juga punya saham di Terminal Peti Kemas (TPK) Koja dengan mayoritas dimiliki Pelindo II.

Soal kemacetan truk, Corporate Affairs Manager JICT Indhira Gita Lestari menyatakan pihaknya tengah mengembangkan pintu masuk atau gate pelabuhan menjadi 20 jalur. Ke-20 jalur itu terbagi atas 14 jalur milik JICT dan enam jalur untuk TPK Koja supaya kemacetan terurai karena saat ini hanya delapan gate.

Nantinya, juga dibangun jalur agar truk dari pintu keluar jalan tol langsung akses ke pintu masuk JICT, TPK Koja, atau ke pelabuhan yang tengah dibangun Pelindo II saat ini yakni Kalibaru atau New Priok Port.

Dalam hal modernisasi, pihaknya telah memberlakukan JICT Auto Gate System (JAGS) agar pelayanan pintu masuk manual menjadi otomatis dan dikendalikan melalui customs control  room.

“Semua gate nanti full by system,” katanya.

Sayang, JASG masih terkendala lahan makam Mbah Priok yang membuat pembangunan fisik 20 gate itu belum terealisasi hingga kini. Sistem pintu gerbang otomatis melalui JAGS hanya dijalankan dengan menggunakan infrastruktur bangunan fisik lama.

Indhira mengakui kemacetan memang terjadi di luar pelabuhan dan berharap pembangunan  jalan tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) Cilincing Jampea section E-2 bisa mengatasi itu.

Pada tahun lalu, JICT bisa menangani 2,35 juta TEUs dari tahun sebelumnya hanya 2,29 juta TEUs. Kemenko Bidang Perekono mian mengungkapkan pelabuhan ini mengelola 57% total peti kemas yang melalui Priok pada 2011 dan 63% pada tahun lalu.

TERTINGGAL DI ASEAN
Selain JICT, modernisasi sebetulnya juga terus diupayakan PT Pelindo II. Biaya logistik Indonesia yang termasuk tertinggi di Asean yakni 25%-30% dari PDB membuat pemerintah terus berbenah.

Tim Kerja Konektivitas Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia mencatat waktu tunggu peti kemas mulai dibongkar sampai keluar pelabuhan atau dwelling time saja mencapai 6 hari plus, padahal Singapura hanya 1,1 hari, Malaysia selama 4 hari, dan Thailand hanya 5 hari.

Atas dasar itulah mulai muncul kesadaran bersama memperbaiki daya saing logistik. Salah satunya fokus pada pembenahan pelabuhan karena dinilai 60% biaya angkutan laut habis di pelabuhan, termasuk biaya stuffing atau stripping, tarif bongkar muat, tarif penumpukan, haulage, dan lainnya.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan efisiensi pelabuhan mesti segera direalisasikan. Operator dan pelaku usaha juga tidak boleh saling menyalahkan. Dia meminta Pelindo II fokus membenahi pelabuhan, sedangkan pelaku usaha didesak memperbaiki sarana angkutan.

Dengan pertimbangan itu, Pelindo I, II, II, dan IV jor-joran berinvestasi. Tahun ini, Pelindo I menyiap kan Rp3,7 trilun, Pelindo II yang juga operator Priok mengang garkan Rp7 triliun.

Khusus investasi Pelindo II mele sat 233% dari tahun lalu itu karena pengaruh proyek Terminal Kalibaru dan Pelabuhan Sorong, Papua.

Adapun Pelindo III mengalokasikan Rp6,1 triliun untuk pengembangan bisnis. Paling banyak digunakan untuk pengerjaan proyek Terminal Multipurpose Teluk Lamong Rp2,5 triliun, alat dan fasilitas pelabuhan Rp1,8 triliun, dan investasi tanah, jalan, dan bangunan Rp1,2 triliun.

Pelindo IV khusus Pelabuhan Makassar menargetkan investasi hingga Rp774 miliar tahun ini guna menambah fasilitas, terminal peti kemas dan penambahan dermaga di pelabuhan tersebut.

Di luar investasi demi revitalisasi pelabuhan itu, bagi sopir truk macam Zubaidi dan Toni sebetulnya butuh yang namanya keamanan baik di pelabuhan maupun jalan raya.

Di dalam kawasan pelabuhan saja, kejahatan pun terjadi, malam dan siang. Pernah suatu  malam, kantong celana belakang Zubaidi disilet oleh preman saat dia tak sengaja tertidur ketika mengantre di depan JICT.

Sering kali dia melihat rekan sopir lain juga ditodong dengan senjata tajam di kawasan JICT.

“Kalau saya lawan atau teriak, saya takut, pan tiap hari saya kerja di sini, gimana kalau saya diincer,” ceritanya.

Toni juga sama. Dia lebih sering ditodong di dekat lampu merah Mambo, perempatan jalan menuju Terminal Tanjung Priok. Rekannya pernah ditikam oleh preman karena melawan dan akhirnya tewas.

Kepala Satuan Pengaman JICT belum bisa dimintai informasi karena saat itu masih berada di luar pos jaga, bawahannya enggan berkomentar.

Kepala Polisi Sub Sektor Pelabuhan JICT Ipda Weni Sianipar juga tak berani berkomentar banyak soal pengamanan pelabuhan karena sesuai dengan prosedur mesti lewat Polres Pelabuhan Tanjung Priok. Namun, informasi lain menyebutkan belum ada kejadian itu, patroli polisi dilakukan antara 2  jam sekali.

Modernisasi pelabuhan patut diapresiasi. Akan tetapi langkah itu perlu ditunjang juga dengan  sektor lain seperti pembenahan infrastuktur jalan dan keamanan yang dikeluhkan oleh para sopir.

Jalan tol JORR juga bukan solusi tunggal toh beberapa sopir tak berani melewati jalan tol baru itu karena posisinya terlalu tinggi. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi 19 Februari 2013.
Words: 1.288

Minggu, 10 Februari 2013

Menempa Angkasawan dari Bangka

Barisan siswa--siswi sekolah penerbangan NAM Flying School
di Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, Bangka Belitung
Photo by mts
M. Tahir Saleh

DITO dan Syah mulai kepanasan saat dijemur di bawah sinar matahari. Keringat kedua pemuda calon penerbang pesawat itu perlahan mengucur membasahi baju seragam putih dan pantolan hitam yang dikenakan keduanya.

Pada Jumat (8/2) pagi, mereka berbaris di lapangan tanpa tenda peneduh di tengah terik matahari bersama dengan puluhan siswa calon penerbang di apron Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, Bangka Belitung.

Tepat pukul 09.00, Dito dan Syah bersama dengan 22 rekan seangkatan mereka yang merupakan siswa sekolah pilot Angkatan III National Aviation Management (NAM) Flying School diwisuda, tanda inaugurasi bahwa mereka siap menjadi calon angkasawan Indonesia masa depan.

Di depan barisan mereka, pejabat pusat, pejabat setempat, jajaran manajemen Sriwijaya Air, dan para orangtua siswa duduk di bawah naungan tenda besar. Ada senyum dan haru melihat putra-putri kebanggaan mereka, meski diterpa sinar matahari sebelum wisuda.

Dito baru berumur 21 tahun. Nama lengkapnya Atras Arisyi Anindito. Sebelum bergabung dengan NAM Flying School, dia sempat mendaftar Akademi Militer. Namun, sayang gagal. Latar belakang ibunda yang menjadi pilot pertama Indonesia, Kapten Lokawati Nakagawa, mendorong pemuda bertinggi 174 cm ini memilih NAM Flying School.

“Saya lulus SMA pada 2010 di Pembangunan Jaya, Jakarta, sempat daftar kuliah tetapi engga diterima. Jadi, saya daftar ke sini, kebetulan mama juga pilot,” kata pemuda  berkaca mata minus itu.

Dia menuturkan calon pilot masih diizinkan memakai kaca mata dengan toleransi maksimal minus 3.

Rekan Dito yang berdiri di sampingnya, Syah juga ingin sekali menjadi pilot, seperti penerbang hebat di Indonesia. Usia Syah yang bernama lengkap Syah Paramanandana ini baru 20 tahun.

“Setelah ini rencananya mau ambil training lagi dan ke depan bisa ambil rating Boeing,” kata putra dari Agus Soedjono, Senior Manager Corporate Communication Sriwijaya  Air. Agus juga hadir di wisuda anak kebanggaannya itu.

NAM Flying School merupakan sekolah pilot swasta yang dibangun maskapai Sriwijaya Air di Bangka Belitung pada 19 Mei 2009.

Pendirian sekolah aviasi itu menjadi satu kesatuan dalam memenuhi kebutuhan pilot induk perusahaan. Kini, NAM punya delapan pesawat latih mesin tunggal atau single engine.

Pada tahun ini, NAM akan menambah dua unit pesawat latih single engine, satu unit multi engine, dan satu unit simulator 3 Axis Red Bird. Jadi, jumlah pesawat latih  men jadi 11 unit dan simulator tiga unit.

Kelulusan setiap angkatan atau batch di NAM ditempuh 12 bulan pendidikan dan pelatihan, sekitar 150 jam–160 jam terbang yang ditargetkan mendapatkan lisensi menerbangkan pesawat komersial commercial pilot license (CPL) instrument rating.

Syarat masuk ke pendidikan ini secara fisik tidak buta warna, tinggi minimal 165 cm untuk laki-laki dan 163 cm untuk perempuan. Dari 24 wisudawan pagi itu, terdapat tiga  calon penerbang wanita.

Sebelum resmi menjadi siswa NAM, ada tes di Jakarta di antaranya tes tulis, kesehatan, intelligence quotient (IQ), bahasa Inggris, dan wawancara. Setelah lolos, mereka meninggalkan Jakarta untuk menempa mimpi menjadi pilot di pulau yang kaya dengan hasil timah itu.

Dalam latihan, digunakan pesawat latih jenis Piper buatan Piper Aircraft, Inc yang berbasis di Florida, Amerika Serikat. Pesawat itu dikirim dari AS lalu dirakit di Malaysia.

Setelah lulus, mereka akan menempuh pendidikan di Jakarta lalu mengambil rating di NAM Training Centre sesuai dengan keinginan apakah memilih Boeing atau Airbus dengan lama pendidikan sekitar 6 bulan.

“Kalau untuk Boeing mungkin sekitar 3.000 jam terbang, sedangkan kalau jenis ATR bisa 1.600 jam terbang,” kata Luki Dimastara, calon penerbang Angkatan IV NAM Flying School yang rencananya lulus Juli mendatang.

Dengan segala kelengkapan tentu tak murah investasi yang digelontorkan NAM. Situs Pipermencatat harga pesawat Piper jenis Mirage mencapai US$1,08 juta dan Meridian US$2,18 juta atau kisaran Rp10 miliar-Rp20 miliar, belum biaya bahan bakar dan fasilitas lain.

Kepala Sekolah NAM Flying School Soenaryo Yosopratomo mengatakan besarnya biaya itu mendorong pihaknya bekerja sama dengan perbankan untuk memberikan pinjaman kepada siswa.

ALOKASI BIAYA
Biaya pendidikan 1 tahun yang mencapai Rp500 juta itu bisa ditalangi oleh Bank Rakyat Indonesia dan Bank Internasional Indonesia.

Skema pinjaman ini dengan ikatan dinas dengan Sriwijaya Air, sedangkan tanpa pinjaman bebas ikatan. Alokasi biaya di antaranya habis biaya bahan bakar, infrastuktur, pengadaan pesawat, dan instruktur.

“Ini memang cost tinggi, harga avgas [avian gas] atau bahan bakar saja Rp30.000 per liter. Belum pesawatnya, simulator, dan lain-lain, tapi kami ada dua skema, pinjaman,  dan langsung,” katanya.

Di luar biaya, Soenaryo yang juga Komisaris Sriwijaya Air menyatakan usia siswa NAM memang masih terlalu muda karena menjadi seorang pilot butuh kematangan mental dan kemampuan mengambil keputusan dengan cepat, dan itu tak cukup  pendidikan 1 tahun.

Untuk itu, pihaknya akan menerima angkatan selanjutnya yakni Angkatan VI dengan syarat S1, minimal D3, kalau pun SMA bersifat selektif. Angkatan V sudah dimulai  sejak Januari lalu.

Agus Soedjono mengatakan kematangan pilot tentu diperlukan sehingga setelah lulus dari NAM tidak lantas langsung menjadi pilot, ada tahapan lanjutan.

Dia menuturkan uji terbang pada penghujung sekolah dilakukan checker atau inspektur dari Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DPU—PPU) Kementerian Perhubungan.

Namun, Agus menjelaskan sekolah itu belum bisa menunjang kebutuhan pilot di seluruh maskapai karena saat ini masih ditujukan untuk internal pilot Sriwijaya Air.

Bagi Soenaryo Yosopratomo Indonesia saat ini memang masih kekurangan pilot. Tahun 70-an, pola pendidikan pilot lokal lebih baik sehingga hadirnya pilot asing bisa diseimbangkan dengan pilot lokal, tetapi setelah 1998 pilot asing menjamur.

“Kalau sekarang coba tanya STPI Curug, berapa tiap tahun mereka hasilkan lulusannya? 100? 200? Bisa dicek itu di Kemenhub, artinya kebutuhan masih tinggi, sedangkan pasokan terbatas,” katanya.

Namun, Soenaryo enggan mengomentari usulan pilot perlu mendapatkan bantuan sebagaimana yang diungkapkan oleh Wakil Gubernur Bangka Belitung Rustam Effendi  dalam sambutan acara wisuda itu.

“Nanti profesi lain bilang engga adil, kenapa mesti pilot dibantu? Soal kebijakan pemerintah memang agak kurang mengenai pilot,” ujarnya.

KEBUTUHAN PILOT
Dalam kesempatan itu, Pembantu Ketua Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug Djudjur Prasodjo memperkirakan Indonesia membutuhkan 12.000 pilot hingga  2018 guna memenuhi pertambahan armada komersial seiring dengan pertumbuhan ekonomi.

Keberadaan 16 sekolah pilot yang tersebar di seluruh Tanah Air saat ini dinilai belum bisa menjawab kebutuhan. Sebagai perbandingan, data Indonesia National Air Carriers
Association (INACA) mencatat jumlah sekolah pilot di AS mencapai 1.076 dan Uni Eropa 369 sekolah.

Timpangnya kebutuhan dan stok pilot barangkali jadi satu alasan mengapa gaji pilot bisa mencapai Rp40 juta-Rp70 juta  per bulan ini karena permintaan tinggi tetapi stok kurang.

“Tahun ini akan tambah empat sekolah lagi. Itu kalau disetujui pemerintah, tapi 16 sekolah yang ada memang belum cukup,” katanya.

Selain NAM, sekolah pilot lain di antaranya STPI Curug yang merupakan salah satu perguruan tinggi kedinasan di Kabupaten Tangerang, Banten. Sekolah ini berada di bawah Kemenhub. Ada empat jurusan yakni Penerbangan, Teknik Penerban gan, Keselamatan Penerbangan, dan Manajemen Penerbangan.

Djudjur menuturkan biaya sekolah penerbang di Curug mencapai Rp42 juta, lebih murah ketimbang sekolah penerbang milik swasta karena ada subsidi dari pemerintah.   Saat ini, untuk Jurusan Penerbangan, terdapat empat kelas dengan
masing-masing kelas berisi 30 orang

Sekolah lain yang cukup terkenal dan sudah bekerja sama dengan maskapai Garuda Indonesia yakni Bali International Flight Academy atau BIFA di Bali. Di sini menyediakan private pilot license (PPL), commercial pilot license (CPL), dan instrument rating.

Data INACA mencatat setiap tahun Indonesia butuh 500 pilot. Namun, pasokan yang tersedia baru mencapai 300 pilot sehingga ada kekhawatiran jumlah 4.000 pilot di Indonesia pada 2020 mendatang masih jauh dari harapan.

Dirut Sriwijaya Air Chandra Lie mengatakan keberadaan NAM Flying School bisa menjadi salah satu penunjang kebutuhan pilot nasional. Dia juga berharap pemerintah mendorong lahirnya sekolah pilot sehingga bisa mendukung industri penerbangan dalam negeri.

Chandra benar, karena 2 tahun lagi, Indonesia bakal membuka kebebasan bagi maskapai penerbangan asing untuk menerbangkan pesawat udaranya antar-Indonesia di wilayah Indonesia yang disebut Open Sky 2015.

Bila tak siap infrastruktur dan SDM, gelombang penetrasi asing bisa tak mampu diimbangi oleh kekuatan lokal meski pemerintah sudah membatasi pilot asing harus  punya 250 jam terbang pada tipe pesawat yang diterbangkan.

Tentu industri penerbangan Tanah Air tak mungkin menggantungkan masa depan penerbangan nasional hanya di pundak anak muda macam Dito dan Syah serta NAM Flying School dan sekolah penerbangan lain. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi Senin 11 Februari 2013. Judul asli, NAM Flying School, Penempa Angkasawan dari Bangka Belitung.
Words: 1.298

Rabu, 06 Februari 2013

Saling Klaim di Setu Cibitung

Sebuah dump truck tengah mengeruk lahan
#Ilustrasi, Photo by dakta
M. Tahir Saleh

SEBUAH truk pengangkut tanah miring ke kiri terjebak di kubangan saat melaju keluar menuju jalan utama milik kantor Balai Pengujian Laik Jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor, Cibitung, Bekasi.

Sontak sopir dump truck berplat buram itu turun, memeriksa kondisi truk jangan sampai terguling. Beban angkutan membuat truk tak bisa melaju, padahal gas sudah diinjak.

“Coba periksa lagi itu bannya,” kata sopir kepada kernetnya, Senin (28/1).

Tiga pria yang awalnya berteduh dari kejauhan karena hujan sejurus kemudian mengerumuni truk miring itu, mencoba membantu.

Hujan sepekan terakhir ini memang membuat tanah di depan kantor Balai Pengujian Laik Jalan dan Sertifikasi Kendaraan Bermotor (BPLJSKB) menjadi basah sehingga truk sulit bermanuver.

Tanah merah yang diangkut ke truk itu berada persis di depan kantor balai uji kendaraan yang berada di bawah Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan. Di tanah seluas 93 hektar itu jelas tertulis patok putih Tanah Milik Negara.

Agak jauh dari dari truk itu, sebuah eskavator aktif mengeruk lahan berbukit itu dengan enam truk menunggu giliran angkut.

Di jalan beraspal menuju kantor balai, sembilan truk berjejer mengantri. Puluhan pria berbaju gelap juga mengawasi aktivitas itu dari jauh sembari duduk di atas sepeda motor.

“Bang, ini tanah punya siapa?” tanya saya.

“Engga tahu, saya mah cuman disuruh jaga, ngawasin aja?” Jawab seorang pria. Di lengan baju lorengnya tertulis Laskar Merah Putih, salah satu ormas yang cukup punya nama.

Tak satu pun berani mengungkapkan siapa pemilik proyek pengerukan tanah siang itu. Mereka mengakui hanya diminta mengawasi, tapi enggan memberi informasi lebih. Seorang sopir truk yang mengantre, bernomor polisi B 9683 YQ, bilang tanah itu akan dibawa ke Marunda, dijual.

Daryoso dan Toto, dua petugas keamanan balai uji kendaraan Ditjen Perhubungan Darat, mengatakan sejak Minggu (27/1) puluhan truk mengangkut tanah, keduanya tak bisa berbuat apa—apa.

“Bukan cuma satu ormas, ada 27 ormas, jadi kuat mereka, garis polisi dah dicabut,” katanya.

Lokasi lahan perkara itu memang berada tepat di kompleks balai, Jalan Raya Setu, Gandamekar, Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.

Pengambilan tanah sepihak ini dimulai sejak Juli 2012. Saat itu, pihak yang mengklaim pemilik lahan itu mengangkut tanah sebanyak 6.000 rit—ukuran sekali antar truk dengan perkiraan sekali rit 20 ton. Tapi aksi itu berhasil dihentikan polisi pada 23 Juli dengan garis kuning (police line).

Selang 5 bulan kemudian, kembali terjadi. Kali ini diperkirakan 20 rit tanah diangkut, pelakunya diduga sama.

Polres Bekasi Kabupaten kembali turun tangan, aksi itu berhenti. Namun, pada 21 Januari 2013, police line itu digunting. Puncaknya pada Minggu (27/1), pengerukan dan pengangkutan tanah terjadi lagi.

Aksi ilegal itu membuat bentang alam di kawasan itu berubah drastis dari awalnya berbukit kini menjadi dataran. Ditengarai, tanah yang diangkut itu dijual antara Rp1 juta—Rp 2 juta per truk.

Kepala BPLJSKB Dewanto Purnacandra mengatakan tanah itu salah satunya diklaim milik dari Fatchi Esmar. Dewanto tak tahu persis siapa Fatchi yang mengklaim punya eigendom verponding atau semacam bukti kepemilikan terhadap lahan.

“[Dia] yang mengaku ahli waris pemilik eigendom,” kata Dewanto.

Dia juga belum pernah bertemu dengan Facthi, tetapi dirinya terus berkoordinasi dengan Polres setempat.

Ditemui di Cikarang, Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bekasi Kabupaten AKP Suriyat mengungkapkan ada tiga pihak bersengketa dan mengklaim sebagai pemilik lahan di Setu itu.

Ketiganya yakni BPLJSKB, Fatchi Esmar, dan Yohanna De Meyer. Seluruh laporan atas kepemilikan lahan itu hingga tengah diproses mengingat kedua pihak perorangan itu memiliki eigendom.

Pengaturan eigendom yang dimiliki oleh pewaris tanah itu sebenarnya diatur dalam Pasal 570 Buku ke-2 Kitab UU Hukum Perdata tapi pasal itu dicabut oleh UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok—Pokok Agraria.

Pasal 1 Ayat 1 Bagian Kedua UU itu mengatur kewajiban konversi hak atas tanah eigendom menjadi hak milik. Sayang, aturan ini tak membahas definisi konversi hak atas tanah.

Pelaksanaan justru ada dalam PP No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Syarat konversi lahan di antaranya mesti ada bukti tertulis, keterangan saksi, atau dari pernyataan yang bersangkutan dengan catatan ada kadar kebenaran dari Panitia Ajudikasi atau Kepala Kantor Pertanahan.

Lalu siapa Fatchi dan Yohanna? Mengapa keduanya bisa mengantongi eigendom tanah itu?

Unit Harta Benda Polres Bekasi Kabupaten mencatat, Fatchi bukan pemilik sebenarnya, melainkan hanya mengantongi surat tanah atas nama Nyi Mas Entjhe, pemilik eigendom.

Sementara Yohanna ialah pribumi yang diangkat anak oleh pengusaha berkebangsaan Jerman yang punya bisnis perkebunan di Jawa yakni Samuel De Meyer, Yohanna juga sama mengklaim tanah itu.

Berbekal alamat dalam data Unit Harda Polres itu, saya mencari alamat Facthi. Alamatnya tertulis Al-Fatqih Foundation, Jalan Raya Jati Waringin No.99, Pondok Gede, Jakarta Timur.

Namun alamat tanpa detil RT/RW atau patokan lain itu menyulitkan saya mencari dari pertigaan Kali Malang hingga ujung Jalan Raya Jati Waringin, ditambah lagi nomor sepanjang jalan itu tak beraturan. Saya tak bisa menemukannya.

“Wah di sini nomornya ngacak Mas, ada RT-nya engga?” ujar tukang ojek yang manggal dekat Universitas Islam As-Syafi’iyah.

Adapun Yohanna tercatat bermukim di Bogor, Jalan Semboja, Kelurahan Kebon Kalapa.

Atas laporan BPLJSKB, masing—masing terhadap Yohanna dan Fatchi, polisi lalu memproses itu. Laporan pertama, seorang ditetapkan menjadi tersangka yakni Gusti. Tersangka itu menyalahgunakan surat kuasa pengurusan tanah dari Yohanna untuk mengeruk keuntungan. Laporan kedua atas Fatchi kini masuk tahap penyidikan polisi setelah rampung penyelidikan.

“Prosesnya [laporan BPLJSKB terhadap Fatchi] masih lama,” kata Suriyat, Selasa (29/1).

Sekalipun belum ada angka yang pasti tapi diduga banyak tanah awalnya lahan perkebunan terlantar secara fisik tetapi belum jelas status hukumnya. Kondisi ini menyulut masalah, memicu sindikat tanah bermain.

Sengketa lahan di Setu yang kini menjadi perkara lahan—meski belum sampai pada konflik lahan—terjadi karena beberapa hal di antaranya warisan kebijaksanaan negara masa lalu, kesenjangan sosial. Selain itu lemahanya penegakan hukum, karena tanah terlantar, dan reclaiming sebagai tanah adat.

Divisi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bahkan memiliki data sengketa lahan yang berujung pada konflik lahan.

Sebut saja sengketa antara PT Perkebunan Nusantara VII Cinta Manis dan warga Limbang Jaya, Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Konflik ini berujung pada bentrokan maut pada 27 Juli tahun lalu.

Organisasi ini juga mencatat hingga Juli tahun lalu,  terdapat 115 kasus agraria dengan luas tanah sengketa mencapai 377.159 hektar dan menelan empat korban jiwa, belum ada data hingga akhir tahun lalu.

KPA juga mengungkapkan terjadi 25 konflik agrarian antara warga dan TNI per November tahun lalu. Terbanyak dari antara petani dengan TNI Angkatan Laut (12 kasus), lalu Angkatan Darat (7), dan Angkatan Udara (6). Total tanah yang disengketakan mencapai 15.374 hektar.

Di luar sengketa lahan negara dan warga, Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub Sugiharjo mengatakan bagi siapa pun pemilik eigendom, selama proses hukum masih berlangsung dilarang berbuat kriminal termasuk mengeruk tanah menggunakan dump truck.

Tanah di Setu itu, katanya, milik negara karena berdasarkan BPN tanah itu sejak 1978 menjadi hak pakai Ditjen Perhubungan Darat. Penggunaan dan pengelolaan aset negara itu dikuasakan ke Kementerian Perhubungan.

Sebab itu, pihaknya berharap Polisi dapat melindungi tanah yang sudah dinyatakan sebagai aset negara itu.

“Ini bukan tanah milik Kemenhub tapi milik negara,” katanya.

Suriyat menegaskan pihaknya sudah menghentikan aksi pengerukan tanah sepihak itu. Pihaknya berjanji tetap melindungi tanah itu, tidak akan terjadi lagi selama proses hukum berlangsung.

“Kami sudah pasang police line,” katanya.
“Beberapa anggota juga sudah terjun ke lapangan untuk menjaga status quo tanah itu,” tegasnya lagi.

Namun, tidak ada yang bisa menjamin aksi penyerobotan lahan sepihak tidak akan terjadi lagi meskipun sudah dipasang garis polisi. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi Jumat, 1 Februari 2013

Jumat, 01 Februari 2013

Elegi Batavia Air di Akhir Januari

Pesawat Batavia Air jenis Airbus A320, photo by planespotter.net
M. Tahir Saleh

RESAH dalam ketidakpastian, Nurbaiti akhirnya berangkat menuju Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru pada Kamis (31/1) pagi sekitar pukul delapan. Pegawai swasta ini ingin memastikan nasib tiket Batavia Air yang terlanjur dibeli untuk suaminya.

Sejak Rabu malam, kabar pailitnya Batavia Air membuatnya tidak tenang padahal ibu satu anak ini sudah merogok Rp850.000 saat membeli tiket Jakarta-Pekanbaru pergi pulang tertanggal 19  Januari untuk penerbangan 1 Februari dan 4 Februari 2013.

Nurbaiti membeli tiket itu di Central Tiket, salah satu agen tiket di Batam yang  bekerja sama dengan perusahaan penjual tiket penerbangan Thera Buana Travel.

Dari rumahnya di Kelurahan Labuh Baru Barat, Payung Sekaki, Pekanbaru, dia menempuh  perjalanan sekitar 30 menit menuju bandara dengan sepeda motor, tapi sungguh kecewa saat tiba di loket Batavia Air di bandara itu, tak ada petugas resmi yang bisa ditanyakan.

“Saya ke loket mereka di bandara, dijagain sama petugas, sedangkan kantor Batavia di Jalan Sudirman juga tutup, tapi calon penumpang yang datang banyak sekali,” katanya Kamis (31/1).

Dia sudah mencoba menghubungi Thera Buana sejak Rabu (30/1) malam  tetapi perusahaan travel itu mengarahkan calon penumpang supaya menghubungi perwakilan Batavia Air terdekat. Tidak ada kepastian, timbul kekecewaan karena konsumen nihil informasi resmi dari manajemen, informasi justru diperoleh dari pemberitaan media.

“Kasihan penumpang lain, juga agen—agen kecil, mereka ditanyain penumpang terus, sementara si agennya juga engga tahu nasib uang deposit-nya di Batavia gimana,” katanya.

Nasib Nurbaiti, juga menimpa ribuan calon penumpang maska pai itu di sejumlah daerah. Di Malang, calon penumpang Batavia mendatangi kantor perwakilan maskapai itu di Jalan Panglima Sudirman Kota Malang, Jawa Timur, menuntut pengembalian uang pembelian ti ket.

“Kami kecewa karena di pengumuman disebutkan jika calon penumpang agar menghubungi kurator di Jakarta untuk refund,” kata Zainal Abidin salah satu calon penumpang asal Kecamatan Sukun Kota Malang.

Silvia Eka S, Manager Yubi Tour & Travel Malang menyatakan biro perjalanan ternyata sudah menghentikan pemesanan tiket maskapai penerbangan Batavia Air sejak 2 bulan lalu.

Dia sudah mendapatkan isu terkait kepailitan maskapai penerbangan tersebut sejak 2 bulan yang lalu dan langsung menghentikan pemesanan tiket.

“Kami sudah mendengar gosipnya sejak 2 bulan yang lalu, sudah tidak menggunakan BataviaAir lagi, daripada kami nanti mendapat komplain. Penumpang juga lebih memilih menggunakan Lion Air, Sriwijaya atau Garuda Indonesia,” ujarnya.

Puluhan calon penumpang Batavia Air juga mendatangi manajemen Batavia Air Cabang Me dan. Mereka menuntut pengembalian tiket dilakukan saat itu.

Anggiat Situmorang, seorang calon penumpang Batavia Air tujuan Batam meminta agar uang tiket dikembalikan atau dialihkan dengan penerbangan lain. Sementara dari Balikpapan  dilaporkan ganti rugi tiket penumpang Batavia Air masih menggantung seiring dengan belum adanya kepastian tindakan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.

Kepala Kantor Otorita Bandara Sepinggan Wilayah VII Rustino Prawiro mengatakan pihaknya berupaya menyosialisasikan, mendata dan mengarahkan penumpang Batavia air yang telah memiliki tiket.

“Untuk sementara kami arahkan agar bisa mencari maskapai lain yang masih memiliki seat  kosong,” ujarnya Kamis (31/01).

Di Jakarta, lain lagi dengan Pauline Suharno. Ketua Bidang Tiket Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan Indonesia (Astindo) ini sudah sejak Selasa (29/1) uringuringan mengkhawatirkan nasib anggotanya.

Pemberitaan gugatan pailit maskapai itu oleh perusahaan lessor pesawat International  Lease Finance Corporation (ILFC) sejak Desember membuatnya khawatir. Dia takut nasib Batavia sama dengan Adam Air dan ketakutan itu pun akhrinya menjadi nyata; Batavia Air resmi stop beroperasi per 31 Januari 2013.

“Tolong tanyakan nasib travel agent.”

Pauline tentu tak mau anggotanya bernasib sama ketika Adam Air tutup karena saat itu  duit kumulatif seluruh travel angggoa Astindio mencapai Rp16 miliar sebagai deposit tiket tersangkut.

“Kami ingin uang kami dipisahkan dari aset Batavia, pengalaman yang dulu [Adam Air], aset mereka udah abis jadi kami tidak dapat,” paparnya.

Manajemen PT Metro Batavia, operator Batavia Air, akhirnya menyatakan tutup beroperasi setelah perseroan menjalankan bisnis sejak 2002.

Awalnya maskapai ini mampu membangun reputasi sebagai maskapai lokal. Sempat mengoperasikan armada hingga 33 pesawat, bahkan melayani 42 rute penerbangan domestik dan rute internasional dari Singapura, Jeddah, Riyadh, Kuching, Dili, Guangzhou, hingga Hangzhou.

Berawal dari keinginan mengambil Airbus 330 untuk angkutan haji, akhirnya Batavia menyerah pada akhir Januari ini. Selama 3 tahun berturut-turut mereka tak mendapatkan proyek haji, padahal tunggakan pembayaran jalan terus.

“Manajemen menerima putusan pailit itu,” ujar Elly Simanjuntak, Manajer Humas Batavia Air.

TIGA KEMUNGKINAN
Dosen Manajemen Transportasi STMT Trisakti Soeharto Abdul Majid menilai alasan angkutan jemaah haji itu cenderung bermakna kesalahan Kementerian Agama.

“Yang jadi pertanyaan mengapa mereka sudah yakin dapat tender.”

Di luar itu, dia menyimpulkan tiga kemungkinan penyebab bangkrutnya maskapai penerbangan. Kesimpulan itu baginya memang patut diteliti lebih jauh mengingat sampai saat ini belum ada pola serupa, termasuk terhadap Batavia Air.

Pertama, manajemen. Orang di belakang kendali maskapai semestinya mumpuni. Kedua, kemungkinan salah urus keuangan sehingga timbul pertanyaan seberapa kuat keuangan setiap maskapai di Indonesia.

Apalagi belum ada instrumen jelas bagaimana mengetahui keuangan suatu maskapai sehat  atau tidak padahal instrument peringatan dini itu sudah disebutkan dalam UU No.1/2009 tentang Penerbangan, misalnya kewajiban berkala laporan keuangan.

“Jangan-jangan, sebagian besar [keuangan airlines] itu rapuh, padahal di UU sudah diatur airline itu wajib melapor, diaudit, itu rutin misalnya 6 bulan, nah itu dipraktikkan engga oleh pemerintah? Jadi ada instrument early warning,” tegasnya

Ketiga, berdasarkan pengalaman tutupnya Sempati Air pada 1998, dia menduga bangkrutnya bisnis airlines bisa jadi karena campur tangan orang penting di luar manajemen dan berkuasa di belakang itu semua. Oknum itu mengeruk keuntungan dari maskapai itu, tapi kesimpulan ini baginya masih misteri.

Jika ada penelitian soal faktor utama bangkrutnya maskapai, bisa ditarik kesimpulan pola peringatan awal sehingga ada mekanisme antisipasi agar kejadian seperti ini tidak terulang lagi mengingat dampak turunan begitu besar, termasuk pengangguran. Berapa banyak karyawan yang diberhentikan.

Di sisi lain, salah seorang pelaku industri penerbangan menduga, prestise-nya bisnis penerbangan membuat pemilik maskapai rentan terpengaruh menjajaki bisnis lain seperti properti. Berbekal kepercayaan bank, pemilik punya keleluasaan mengelola bisnis baru dengan dana yang semestinya untuk bisnis pesawat.

Soeharto tak menampik kemungkinan itu. Namun, dia menegaskan bahwa bisnis pesawat tak boleh main—main.

“Ini bisnis kepercayaan karena mengangkut nyawa manusia yang tidak ternilai harganya, wajib prudent, engga ada toleransi kesalahan apapun,” tegasnya.

Dirjen Perhubungan Udara Ke menhub Herry Bakti S. Gumay mengakui pihaknya sudah berkali—kali memanggil manajemen Batavia Air sebelum adanya gugatan pailit. Ketika itu, manajemen maskapai itu berjanji merestrukturisasi perusahaan.

 “Pada 2011 hasil cash flow mereka bagus, audited lho. Sedangkan hasil keuangan mereka  tahun lalu kami belum tahu, kami sebetulnya sudah memanggil mereka, sudah ada antisipasi dari kami,” katanya dalam konferensi pers Rabu (30/1) malam.

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Darmaningtyas mendesak Kemenhub harus  mengawal keputusan pailit itu. Dia membandingkan keputusan MK soal ditutupnya Rintisan  Sekolah Bertaraf Internasional tidak serta merta langsung ditutup, tetapi ada transisi sampai  tahun ajaran berakhir.

“Mestinya putusan pengadilan yang menyangkut kepentingan publik itu efektif ketika segala  urusan yang terkait dengan publik sudah terselesaikan dulu,” katanya.

Baginya direksi perusahaan semestinya diberi kewenengan menyelesaikan segala urusan yang berkaitan dengan pelayanan konsumen.

“Ini kan permasalahan banyak konsumen sudah terlanjur beli tiket, engga bisa terbang, dan tidak bisa refund karena sudah ditangani oleh kurator.” 

Selain itu, dia mendesak pemerintah juga sebaiknya mengontrol penjualan tiket secara jangka panjang misalnya 3 bulan-6 bulan ke depan sehingga kejadian pailitnya Batavia Air ini bisa diminimalisasi dampaknya.

Pendapat itu sepertinya mewakili perasaaan Nurbaiti pagi itu. Dia merasa tak ada harapan  baginya untuk mendapatkan refund meskipun informasi dari travel agent bisa terealisasi dalam 1 bulan

“Saya engga bisa nunggu lagi, saya terpaksa nyari penerbangan lain buat suami untuk besok, si ayah sudah kangen banget sama anaknya,” kata Nurbaiti. (/k10/k14/k17/k24/k25/Rachmad Subiyanto/Dewi Andriani/Siti Nuraisyah Dewi).

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi Jumat, 1 Februari 2013 dengan judul Elegi di Akhir Januari.

Entri Populer

Penayangan bulan lalu