Kamis, 26 Juli 2012

Aroma Tak Sedap di Benteng Rotterdam

Fort Rotterdam, by Antara
Oleh M Tahir Saleh


LUKISAN Cornelis Speelman setengah badan terpajang di ruang utama Museum Lagaligo, Benteng Rotterdam Makassar. Gubernur Hindia—Belanda ke-14 ini nampak angkuh memegang tongkat komando ala bangsawan Belanda.

Cornelis ditemani foto lukisan enam gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) mulai dari Ahmad Lomo (1966—1978), Andi Oddang (1978—1983) hingga gubernur yang akan maju dalam Pilkada Sulsel tahun depan, Syahrul Yasin Limpo, berkuasa sejak 2007.

Kurun waktu 345 tahun yang lalu, setelah penandatanganan Perjanjiaan Bongaya dengan Sultan Hasanuddin, Speelman mengganti nama Benteng Ujung Pandang menjadi Fort Rotterdam.

Itu terjadi tatkala Kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda pada 18 November 1667 seperti tertulis dalam lembaran sejarah singkat benteng. Nukilan sejarah ini pun diceritakan oleh Rimba Alam A Pangerang dalam bukunya Sejarah Kerajaan di Sulawesi Selatan, terbitan 2009.

Minggu, 22 Juli 2012

Ke mana mencari Raja Dana?

Akuisisi Benakat atas Astrindo tak kunjung tuntas
Oleh M Tahir Saleh

MISTERI masih menyelimuti PT Raja Dana Indonesia, perusahaan yang sekonyong-konyong muncul mengucurkan dana kepada PT Benakat Petroleum Energy Tbk untuk mengakuisisi PT Astrindo Mahakarya Indonesia.

Nama perusahaan investasi tersebut santer diberitakan sejak perusahaan ini memberi fasilitas pinjaman senilai total Rp300 miliar kepada Benakat, sebagai uang muka akuisisi PT Astrindo senilai US$600 juta.

PT Bursa Efek Indonesia mencatat Raja Dana memegang waran emiten pengembang properti PT Bakrieland Development Tbk sebesar 1,5 juta waran dan beralamat di Jalan Kapuk Raya Nomor 62 RT 002/003 Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara.

Nomor telepon kantor perusahaan yang tercatat di situs Jakarta-citydirectory tersebut memang bisa dihubungi, namun tersambung dengan kantor notaris yang sudah 3 tahun menetap di Jalan Pluit Selatan Nomor 103 Jakarta Utara, bukan Raja Dana.

Senin, 09 Juli 2012

Panasnya Pangkep, Panasnya Tonasa

Unjuk rasa masyarakat Pangkep di kantor pusat PT Semen Tonasa
by Antarafoto
Oleh M. Tahir Saleh

BERTOPI merah, Bupati Pangkep Syamsuddin Hamid Batara berorasi di depan podium. Suaranya lantang menyerukan keadilan bagi masyarakat Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan.

Dengan pengeras suara, alumnus Universitas Muslim Indonesia itu berorasi sekitar 10 menit di depan kantor pusat PT Semen Tonasa.

Ratusan massa menyimak khidmat sembari meneruskan pemboikotan jalan menuju pabrik Semen Tonasa di Jalan Poros Tonasa II, Desa Biringere, Kecamatan Bungoro, Pangkep, Senin 25 Juni 2012.

Foto Syamsuddin berorasi dengan pakaian linmas itu terpampang dihalaman utama sejumlah media lokal di Sulawesi Selatan (Sulsel) sepekan terakhir. Dia tak sendiri, aksinya diikuti oleh Ketua DPRD Pangkep, Wakil Ketua DPRD, anggota DPRD, sejumlah LSM, masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, para camat, lurah, dan sebagian besar PNS Pemkab.

Tuntutannya sederhana, tak muluk—muluk tapi primordial, menyerukan agar PT Semen Gresik Tbk sebagai pemegang 99,99% saham Semen Tonasa memasukkan dua orang putra daerah dalam susunan komisaris.

Semen Gresik adalah BUMN yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham SMGR. Sahamnya dimiliki oleh pemerintah 51,01% dan masyarakat 48,99%.

Adapun Semen Tonasa yang berdiri 44 tahun lalu itu merupakan korporasi kebanggaan masyarakat Sulsel selain PT Semen Bosowa yang didirikan oleh keluarga Aksa Mahmud.

Ketika Semen Gresik menggelar rapat umum pemegang saham tahunan dan luar biasa (RUPST/LB) di Jakarta esoknya (26/6), perwakilan massa turut ‘memantau’ rapat itu meski akhirnya tuntutan tak diakomodir, kecewa.

Kelima komisaris baru adalah Idrus Paturusi (komut), Andi Herry Iskandar, Wahab Talaohu, Widodo Santoso, dan Ansyaad Mbai. Sebelumnya susunan komisaris dijabat Taslim Arifin (komut), Ansyaad Mbai, Andi Samad Tahir, Thariq Abudan, dan Abdul Muis Bakkidu.

“Pendapat daerah ada batasannya, semua sudah kami akomodir. Yang penting kalau soal daerah itu kami melihat secara umum Sulsel bukan hanya Pangkep,” kata Direktur Utama Semen Gresik Dwi Sutjipto dihubungi, Jumat (29/6).

Pihaknya juga sudah menyisihkan dana program sosial kemasyarakatan. Jumlahnya cukup besar. Bahkan perseroan sudah menjalin kerja sama dengan bupati, pernyataan ini menyiratkan Sang Bupati punya bisnis.

“Semua orang tahulah itu [bisnis bupati], kami selama ini sudah bekerja sama dengan baik,” tegasnya.
Data situs Semen Gresik menyebut pada 2 tahun lalu, dana tanggung jawab sosial Semen Gresik buat masyarakat mencapai Rp119,7 miliar terbagi atas Rp77,7 miliar untuk program kemitraan dan Rp42 miliar untuk bina lingkungan.

Di Semen Tonasa, total dana sosial mencapai Rp11,1 miliar (Rp4,3 miliar kemitraan dan Rp6,8 miliar bina lingkungan), jumlahnya lebih rendah dibandingkan dengan saudaranya; PT Semen Padang, sebesar Rp12,6 miliar (Rp9 miliar kemitraan dan Rp3,6 miliar bina lingkungan).

“Kinerja bagus juga berimbas pada CSR [program sosial masyarakat]. Dana CSR itu juga akan naik untuk masyarakat. Selain juga pajak kami terhadap Pemda kan meningkat jika kinerja bagus,” katanya.

Soal primordial, Dwi juga tak mengada—ada. Ansyaad orang Buton, Sulawesi Tenggara dan pernah menjabat Kapolda Sumatera Utara.

Di televisi, Ansyaad terkenal karena sering menjadi narasumber soal terorisme, sedangkan Idrus Paturusi—rektor Universitas Hasanuddin—juga perwakilan akademisi dan lahir di Makasar.

“Pak Andi [Andi Herry] paham Sulsel, Pak Ansyaad pengalaman soal keamanan di sini, dan orang sini. Pak Rektor juga sama, lahir di sini,” tegas Dwi lagi.

Akbar Faisal, anggota DPR RI Komisi II yang terpilih dari Sulsel II, menilai upaya yang dilakukan oleh bupati wajar. “Solusinya, apa salahnya sih ambil saja satu atau dua ditambah menjadi tujuh komisaris. Toh nama-nama yang diajukan dari Pangkep juga punya kapabilitas,” tegasnya.

Politisi Partai Hanura ini justru mempertanyakan dasar pemilihan dari komisaris Semen Tonasa itu.
“Saya bisa mengidentifikasi bahwa dasar pemilihan manajemen Semen Gresik terhadap komisaris itu apakah memang berdasarkan profesionalitas, tidak juga,” katanya.

Dalam rapat dengan parlemen, dua hari setelah aksi boikot itu, Menteri BUMN Dahlan Iskan menegaskan akan menempuh dua opsi; mengganti salah seorang komisaris asal Sulsel atau menambah komisaris baru, tapi gaungnya belum kedengaran sejauh ini.

Dirut Semen Tonasa Sattar Taba pun enggan berkomentar. Dipepet wartawan usai Rapat Koordinasi Pengurus Apindo Sulsel di Wisma Kalla pada 28 Juni, pria berambut putih ini menjahit mulutnya rapat—rapat.

“No Comment, no comment,” katanya.

Sattar hanya berkenan menjawab soal kinerja Semen Tonasa, bukan soal isu primordial itu.
“Saya no comment yah soal itu. Saya tidak akan memberikan komentar apa pun.”

Kepemilikan saham
Isu primordial atau kedaerahan ini sebetulnya satu dari sejumlah riak—riak di tubuh BUMN. Sebelumnya juga terjadi penolakan masyarakat lokal soal pergantian Dirut PT Timah Tbk, BUMN tambang di Provinsi Bangka Belitung.

Apakah ada bagi hasil usaha yang tidak sesuai, ada kepentingan lain dalam aksi ini, ataukah ini murni aspirasi masyarakat di Pangkep yang mengalami kekecewaan karena tanah dan gunung mereka digunduli untuk menjadi semen, sementara keuntungan perusahaan atau dividen disetor ke Semen Gresik?

Saya mencoba menemui Bupati Pangkep Syamsuddin di kediamannya untuk bertanya soal ini. Perjalanan dari Makassar ke Pangkep bisa mencapai lebih kurang 2,5 jam melalui jalur Daya—Maros, jalur yang sama untuk menuju Bandara Internasional Hasanuddin.

Perjalanan ini cukup berpeluh. Dari kejauhan mata memandang memang nampak tebing—tebing kekuningan yang mengandung batu kapur, gamping dan tanah liat sebagai bahan utama semen. Jalur ini juga melewati pabrik Semen Bosowa, arah air terjun Bantimurung, Kabupaten Maros.

“Kami tidak terima hasil RUPS, kami mau ada keterwakilan anak lokal, Orang—orang yang direkrut itu tidak kalah kemampuannya dengan orang sini. Di sini [Pangkep] ada 17 profesor, masa iyah tidak bisa?” tegasnya ditemui di Warung Hayati, sebuah warung kopi terkenal di Pangkep, Minggu (1/7).

Pihaknya mengancam akan memboikot kembali jika tak ada kata sepakat atas tuntutan itu. Syamsuddin membandingkan keadaan di Semen Padang yang mampu mengakomodir perwakilan tiga orang dari wilayah pabrik tersebut.

Soal isu bisnis yang dihembuskan, Syamsuddin mengakui menjalin bisnis distribusi untuk Semen Tonasa, tetapi sejak menjadi bupati, semua aktivitas bisnis tersebut sudah ditinggalkan.

“Bukan saya jadi bupati terus saya bisnis itu [distributor], saya bisnis itu sudah 20 tahun,” katanya.

“Itu profesional, bisa tanya kapan saya pernah meminta kemudahan? Pribadi jangan dong. Begini, setelah saya jadi bupati, semua sudah saya lepas, saya kasih ke anak—anak saya.”

Syamsuddin tak gentar dengan posisinya bahkan bertekad terus mengawal aspirasi masyarakat. “Saya bukan provokator, saya mengantar aspirasi masyarakat yang saya pimpin. Saya siap tanggung risiko karena saya sebagai pemimpin daerah tentu ada kewajiban dong.”

Keberanian Syamsuddin itu patut dihargai meski unjuk rasa adalah cara terakhir ketika negosiasi dan komunikasi tidak berjalan dengan baik atau gagal.

Perjuangan Pangkep mendapatkan jatah komisaris bagi putra daerah sebetulnya wajar meski konteknya terlalu kecil karena ada yang lebih besar seperti berupaya agar Pangkep atau Pemprov Sulsel bisa menjadi bagian dari pemegang saham. Opsi ini mungkin dilakukan karena induk usaha, Semen Gresik—yang digadang—gadang dirubah namanya menjadi PT Semen Indonesia dalam program holding BUMN semen—sudah tercatat di BEI menjadi perusahaan publik.

Andaikan Pemkab membeli saham Semen Gresik, tarolah misalnya 5% saja (atau 296,58 juta saham dari total saham beredar Semen Gresik 5,93 miliar saham) dengan harga saham per perdagangan siang 3 Juli 2012 di BEI Rp12.000 per saham, Pangkep mesti merogoh kocek hingga Rp3,55 triliun agar bisa punya 5% saham di induk usaha Semen Tonasa.

Tentu penjualan saham Semen Tonasa bukan hal yang mudah. Melihat kontribusi Semen Tonasa terhadap Semen Gresik cukup besar rasanya sulit saham Semen Tonasa akan dilepas apalagi labanya saat ini hampir mendekati Rp600 miliar dari 2004 sekitar Rp60 miliar.

Dari laporan keuangan Semen Gresik per 31 Maret 2012, aset Semen Tonasa bahkan mencapai Rp6,05 triliun bandingkan dengan aset Semen Padang Rp3,98 triliun. Artinya kontribusi aset Semen Tonasa mencapai 28% dari aset Semen Gresik yang menembus Rp21,42 triliun.

“Tidak akan dilepas saham Semen Tonasa. Karena selama ini kami berbisnis itu sinergi, bukan urus satu satu. Semua kami urus bersama. Ketiga perusahaan semen ini. Misalnya pada 2009—2010 terjadi perlambatan produksi Tonasa, kami bantu untuk pasokan batu bara,” tegas Dwi.

Soal saham ini Syamsuddin belum begitu tertarik membicarakannya. Dia hanya tetap fokus pada tuntutan awal, soal jatah komisaris. Setelah itu, dia meneruskan aktivitas merokoknya sore itu didampingi oleh ajudannya, Arisal Hasan dan sejumlah Provost berpakain sipil.

Di warung kopi itu Syamsuddin memang tak bekerja secara formal karena itu hari Minggu, tetapi kesibukan sebagai bupati tetap memaksanya bekerja membahas desain sebuah bangunan yang bakal dibangun di Pangkep.

Di tengah panasnya Pangkep siang itu, dia hanya memakai t-shirt putih, celana pendek dan kembali memakai topi abu, tetapi bukan topi merah yang digunakan saat orasi. (Mts/Yes)


Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Rabu, 4 Juli 2012

Entri Populer

Penayangan bulan lalu