Minggu, 10 Februari 2013

Menempa Angkasawan dari Bangka

Barisan siswa--siswi sekolah penerbangan NAM Flying School
di Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, Bangka Belitung
Photo by mts
M. Tahir Saleh

DITO dan Syah mulai kepanasan saat dijemur di bawah sinar matahari. Keringat kedua pemuda calon penerbang pesawat itu perlahan mengucur membasahi baju seragam putih dan pantolan hitam yang dikenakan keduanya.

Pada Jumat (8/2) pagi, mereka berbaris di lapangan tanpa tenda peneduh di tengah terik matahari bersama dengan puluhan siswa calon penerbang di apron Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, Bangka Belitung.

Tepat pukul 09.00, Dito dan Syah bersama dengan 22 rekan seangkatan mereka yang merupakan siswa sekolah pilot Angkatan III National Aviation Management (NAM) Flying School diwisuda, tanda inaugurasi bahwa mereka siap menjadi calon angkasawan Indonesia masa depan.

Di depan barisan mereka, pejabat pusat, pejabat setempat, jajaran manajemen Sriwijaya Air, dan para orangtua siswa duduk di bawah naungan tenda besar. Ada senyum dan haru melihat putra-putri kebanggaan mereka, meski diterpa sinar matahari sebelum wisuda.

Dito baru berumur 21 tahun. Nama lengkapnya Atras Arisyi Anindito. Sebelum bergabung dengan NAM Flying School, dia sempat mendaftar Akademi Militer. Namun, sayang gagal. Latar belakang ibunda yang menjadi pilot pertama Indonesia, Kapten Lokawati Nakagawa, mendorong pemuda bertinggi 174 cm ini memilih NAM Flying School.

“Saya lulus SMA pada 2010 di Pembangunan Jaya, Jakarta, sempat daftar kuliah tetapi engga diterima. Jadi, saya daftar ke sini, kebetulan mama juga pilot,” kata pemuda  berkaca mata minus itu.

Dia menuturkan calon pilot masih diizinkan memakai kaca mata dengan toleransi maksimal minus 3.

Rekan Dito yang berdiri di sampingnya, Syah juga ingin sekali menjadi pilot, seperti penerbang hebat di Indonesia. Usia Syah yang bernama lengkap Syah Paramanandana ini baru 20 tahun.

“Setelah ini rencananya mau ambil training lagi dan ke depan bisa ambil rating Boeing,” kata putra dari Agus Soedjono, Senior Manager Corporate Communication Sriwijaya  Air. Agus juga hadir di wisuda anak kebanggaannya itu.

NAM Flying School merupakan sekolah pilot swasta yang dibangun maskapai Sriwijaya Air di Bangka Belitung pada 19 Mei 2009.

Pendirian sekolah aviasi itu menjadi satu kesatuan dalam memenuhi kebutuhan pilot induk perusahaan. Kini, NAM punya delapan pesawat latih mesin tunggal atau single engine.

Pada tahun ini, NAM akan menambah dua unit pesawat latih single engine, satu unit multi engine, dan satu unit simulator 3 Axis Red Bird. Jadi, jumlah pesawat latih  men jadi 11 unit dan simulator tiga unit.

Kelulusan setiap angkatan atau batch di NAM ditempuh 12 bulan pendidikan dan pelatihan, sekitar 150 jam–160 jam terbang yang ditargetkan mendapatkan lisensi menerbangkan pesawat komersial commercial pilot license (CPL) instrument rating.

Syarat masuk ke pendidikan ini secara fisik tidak buta warna, tinggi minimal 165 cm untuk laki-laki dan 163 cm untuk perempuan. Dari 24 wisudawan pagi itu, terdapat tiga  calon penerbang wanita.

Sebelum resmi menjadi siswa NAM, ada tes di Jakarta di antaranya tes tulis, kesehatan, intelligence quotient (IQ), bahasa Inggris, dan wawancara. Setelah lolos, mereka meninggalkan Jakarta untuk menempa mimpi menjadi pilot di pulau yang kaya dengan hasil timah itu.

Dalam latihan, digunakan pesawat latih jenis Piper buatan Piper Aircraft, Inc yang berbasis di Florida, Amerika Serikat. Pesawat itu dikirim dari AS lalu dirakit di Malaysia.

Setelah lulus, mereka akan menempuh pendidikan di Jakarta lalu mengambil rating di NAM Training Centre sesuai dengan keinginan apakah memilih Boeing atau Airbus dengan lama pendidikan sekitar 6 bulan.

“Kalau untuk Boeing mungkin sekitar 3.000 jam terbang, sedangkan kalau jenis ATR bisa 1.600 jam terbang,” kata Luki Dimastara, calon penerbang Angkatan IV NAM Flying School yang rencananya lulus Juli mendatang.

Dengan segala kelengkapan tentu tak murah investasi yang digelontorkan NAM. Situs Pipermencatat harga pesawat Piper jenis Mirage mencapai US$1,08 juta dan Meridian US$2,18 juta atau kisaran Rp10 miliar-Rp20 miliar, belum biaya bahan bakar dan fasilitas lain.

Kepala Sekolah NAM Flying School Soenaryo Yosopratomo mengatakan besarnya biaya itu mendorong pihaknya bekerja sama dengan perbankan untuk memberikan pinjaman kepada siswa.

ALOKASI BIAYA
Biaya pendidikan 1 tahun yang mencapai Rp500 juta itu bisa ditalangi oleh Bank Rakyat Indonesia dan Bank Internasional Indonesia.

Skema pinjaman ini dengan ikatan dinas dengan Sriwijaya Air, sedangkan tanpa pinjaman bebas ikatan. Alokasi biaya di antaranya habis biaya bahan bakar, infrastuktur, pengadaan pesawat, dan instruktur.

“Ini memang cost tinggi, harga avgas [avian gas] atau bahan bakar saja Rp30.000 per liter. Belum pesawatnya, simulator, dan lain-lain, tapi kami ada dua skema, pinjaman,  dan langsung,” katanya.

Di luar biaya, Soenaryo yang juga Komisaris Sriwijaya Air menyatakan usia siswa NAM memang masih terlalu muda karena menjadi seorang pilot butuh kematangan mental dan kemampuan mengambil keputusan dengan cepat, dan itu tak cukup  pendidikan 1 tahun.

Untuk itu, pihaknya akan menerima angkatan selanjutnya yakni Angkatan VI dengan syarat S1, minimal D3, kalau pun SMA bersifat selektif. Angkatan V sudah dimulai  sejak Januari lalu.

Agus Soedjono mengatakan kematangan pilot tentu diperlukan sehingga setelah lulus dari NAM tidak lantas langsung menjadi pilot, ada tahapan lanjutan.

Dia menuturkan uji terbang pada penghujung sekolah dilakukan checker atau inspektur dari Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DPU—PPU) Kementerian Perhubungan.

Namun, Agus menjelaskan sekolah itu belum bisa menunjang kebutuhan pilot di seluruh maskapai karena saat ini masih ditujukan untuk internal pilot Sriwijaya Air.

Bagi Soenaryo Yosopratomo Indonesia saat ini memang masih kekurangan pilot. Tahun 70-an, pola pendidikan pilot lokal lebih baik sehingga hadirnya pilot asing bisa diseimbangkan dengan pilot lokal, tetapi setelah 1998 pilot asing menjamur.

“Kalau sekarang coba tanya STPI Curug, berapa tiap tahun mereka hasilkan lulusannya? 100? 200? Bisa dicek itu di Kemenhub, artinya kebutuhan masih tinggi, sedangkan pasokan terbatas,” katanya.

Namun, Soenaryo enggan mengomentari usulan pilot perlu mendapatkan bantuan sebagaimana yang diungkapkan oleh Wakil Gubernur Bangka Belitung Rustam Effendi  dalam sambutan acara wisuda itu.

“Nanti profesi lain bilang engga adil, kenapa mesti pilot dibantu? Soal kebijakan pemerintah memang agak kurang mengenai pilot,” ujarnya.

KEBUTUHAN PILOT
Dalam kesempatan itu, Pembantu Ketua Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug Djudjur Prasodjo memperkirakan Indonesia membutuhkan 12.000 pilot hingga  2018 guna memenuhi pertambahan armada komersial seiring dengan pertumbuhan ekonomi.

Keberadaan 16 sekolah pilot yang tersebar di seluruh Tanah Air saat ini dinilai belum bisa menjawab kebutuhan. Sebagai perbandingan, data Indonesia National Air Carriers
Association (INACA) mencatat jumlah sekolah pilot di AS mencapai 1.076 dan Uni Eropa 369 sekolah.

Timpangnya kebutuhan dan stok pilot barangkali jadi satu alasan mengapa gaji pilot bisa mencapai Rp40 juta-Rp70 juta  per bulan ini karena permintaan tinggi tetapi stok kurang.

“Tahun ini akan tambah empat sekolah lagi. Itu kalau disetujui pemerintah, tapi 16 sekolah yang ada memang belum cukup,” katanya.

Selain NAM, sekolah pilot lain di antaranya STPI Curug yang merupakan salah satu perguruan tinggi kedinasan di Kabupaten Tangerang, Banten. Sekolah ini berada di bawah Kemenhub. Ada empat jurusan yakni Penerbangan, Teknik Penerban gan, Keselamatan Penerbangan, dan Manajemen Penerbangan.

Djudjur menuturkan biaya sekolah penerbang di Curug mencapai Rp42 juta, lebih murah ketimbang sekolah penerbang milik swasta karena ada subsidi dari pemerintah.   Saat ini, untuk Jurusan Penerbangan, terdapat empat kelas dengan
masing-masing kelas berisi 30 orang

Sekolah lain yang cukup terkenal dan sudah bekerja sama dengan maskapai Garuda Indonesia yakni Bali International Flight Academy atau BIFA di Bali. Di sini menyediakan private pilot license (PPL), commercial pilot license (CPL), dan instrument rating.

Data INACA mencatat setiap tahun Indonesia butuh 500 pilot. Namun, pasokan yang tersedia baru mencapai 300 pilot sehingga ada kekhawatiran jumlah 4.000 pilot di Indonesia pada 2020 mendatang masih jauh dari harapan.

Dirut Sriwijaya Air Chandra Lie mengatakan keberadaan NAM Flying School bisa menjadi salah satu penunjang kebutuhan pilot nasional. Dia juga berharap pemerintah mendorong lahirnya sekolah pilot sehingga bisa mendukung industri penerbangan dalam negeri.

Chandra benar, karena 2 tahun lagi, Indonesia bakal membuka kebebasan bagi maskapai penerbangan asing untuk menerbangkan pesawat udaranya antar-Indonesia di wilayah Indonesia yang disebut Open Sky 2015.

Bila tak siap infrastruktur dan SDM, gelombang penetrasi asing bisa tak mampu diimbangi oleh kekuatan lokal meski pemerintah sudah membatasi pilot asing harus  punya 250 jam terbang pada tipe pesawat yang diterbangkan.

Tentu industri penerbangan Tanah Air tak mungkin menggantungkan masa depan penerbangan nasional hanya di pundak anak muda macam Dito dan Syah serta NAM Flying School dan sekolah penerbangan lain. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi Senin 11 Februari 2013. Judul asli, NAM Flying School, Penempa Angkasawan dari Bangka Belitung.
Words: 1.298

4 komentar:

  1. Maaf Mas, mau tanya.
    Kalau jurusan sewaktu sma nya ipa nam air flying school mau nerima gak ya
    Thanks

    BalasHapus
  2. Maaf Mas, mau tanya.
    Kalau jurusan sewaktu sma nya ipa nam air flying school mau nerima gak ya
    Thanks

    BalasHapus
  3. kakak gimna cara daftar di nam flying school

    BalasHapus
    Balasan
    1. bisa ke situs ini om andi

      http://www.namflyingschool.com/

      Hapus

Entri Populer

Penayangan bulan lalu