Barisan siswa--siswi sekolah penerbangan NAM Flying School di Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, Bangka Belitung Photo by mts |
DITO dan Syah mulai kepanasan saat dijemur di bawah sinar matahari. Keringat kedua pemuda
calon penerbang pesawat itu perlahan mengucur membasahi baju seragam putih dan
pantolan hitam yang dikenakan keduanya.
Pada
Jumat (8/2) pagi, mereka berbaris di lapangan tanpa tenda peneduh di tengah terik
matahari bersama dengan puluhan siswa calon penerbang di apron Bandara Depati
Amir, Pangkalpinang, Bangka Belitung.
Tepat
pukul 09.00, Dito dan Syah bersama dengan 22 rekan seangkatan mereka yang
merupakan siswa sekolah pilot Angkatan III National Aviation Management (NAM) Flying
School diwisuda, tanda inaugurasi bahwa mereka siap menjadi calon angkasawan
Indonesia masa depan.
Di
depan barisan mereka, pejabat pusat, pejabat setempat, jajaran manajemen
Sriwijaya Air, dan para orangtua siswa duduk di bawah naungan tenda besar. Ada
senyum dan haru melihat putra-putri kebanggaan mereka, meski diterpa sinar
matahari sebelum wisuda.
Dito
baru berumur 21 tahun. Nama lengkapnya Atras Arisyi Anindito. Sebelum bergabung
dengan NAM Flying School, dia sempat mendaftar Akademi Militer. Namun, sayang
gagal. Latar belakang ibunda yang menjadi pilot pertama Indonesia, Kapten Lokawati
Nakagawa, mendorong pemuda bertinggi 174 cm ini memilih NAM Flying School.
“Saya
lulus SMA pada 2010 di Pembangunan Jaya, Jakarta, sempat daftar kuliah tetapi
engga diterima. Jadi, saya daftar ke sini, kebetulan mama juga pilot,” kata
pemuda berkaca mata minus itu.
Dia
menuturkan calon pilot masih diizinkan memakai kaca mata dengan toleransi
maksimal minus 3.
Rekan
Dito yang berdiri di sampingnya, Syah juga ingin sekali menjadi pilot, seperti penerbang
hebat di Indonesia. Usia Syah yang bernama lengkap Syah Paramanandana ini baru
20 tahun.
“Setelah
ini rencananya mau ambil training lagi dan ke depan bisa ambil rating Boeing,”
kata putra dari Agus Soedjono, Senior Manager Corporate Communication Sriwijaya Air. Agus juga hadir di wisuda anak kebanggaannya
itu.
NAM
Flying School merupakan sekolah pilot swasta yang dibangun maskapai Sriwijaya Air
di Bangka Belitung pada 19 Mei 2009.
Pendirian
sekolah aviasi itu menjadi satu kesatuan dalam memenuhi kebutuhan pilot induk
perusahaan. Kini, NAM punya delapan pesawat latih mesin tunggal atau single engine.
Pada
tahun ini, NAM akan menambah dua unit pesawat latih single engine, satu unit
multi engine, dan satu unit simulator 3 Axis Red Bird. Jadi, jumlah pesawat
latih men jadi 11 unit dan simulator
tiga unit.
Kelulusan
setiap angkatan atau batch di NAM ditempuh 12 bulan pendidikan dan pelatihan,
sekitar 150 jam–160 jam terbang yang ditargetkan mendapatkan lisensi menerbangkan
pesawat komersial commercial pilot license (CPL) instrument rating.
Syarat
masuk ke pendidikan ini secara fisik tidak buta warna, tinggi minimal 165 cm
untuk laki-laki dan 163 cm untuk perempuan. Dari 24 wisudawan pagi itu,
terdapat tiga calon penerbang wanita.
Sebelum
resmi menjadi siswa NAM, ada tes di Jakarta di antaranya tes tulis, kesehatan, intelligence
quotient (IQ), bahasa Inggris, dan wawancara. Setelah lolos, mereka meninggalkan
Jakarta untuk menempa mimpi menjadi pilot di pulau yang kaya dengan hasil timah
itu.
Dalam
latihan, digunakan pesawat latih jenis Piper buatan Piper Aircraft, Inc yang
berbasis di Florida, Amerika Serikat. Pesawat itu dikirim dari AS lalu dirakit
di Malaysia.
Setelah
lulus, mereka akan menempuh pendidikan di Jakarta lalu mengambil rating di NAM Training
Centre sesuai dengan keinginan apakah memilih Boeing atau Airbus dengan lama
pendidikan sekitar 6 bulan.
“Kalau
untuk Boeing mungkin sekitar 3.000 jam terbang, sedangkan kalau jenis ATR bisa
1.600 jam terbang,” kata Luki Dimastara, calon penerbang Angkatan IV NAM Flying
School yang rencananya lulus Juli mendatang.
Dengan
segala kelengkapan tentu tak murah investasi yang digelontorkan NAM. Situs Pipermencatat harga pesawat Piper jenis Mirage mencapai US$1,08 juta dan Meridian US$2,18
juta atau kisaran Rp10 miliar-Rp20 miliar, belum biaya bahan bakar dan fasilitas
lain.
Kepala
Sekolah NAM Flying School Soenaryo Yosopratomo mengatakan besarnya biaya itu mendorong
pihaknya bekerja sama dengan perbankan untuk memberikan pinjaman kepada siswa.
ALOKASI BIAYA
Biaya
pendidikan 1 tahun yang mencapai Rp500 juta itu bisa ditalangi oleh Bank Rakyat
Indonesia dan Bank Internasional Indonesia.
Skema
pinjaman ini dengan ikatan dinas dengan Sriwijaya Air, sedangkan tanpa pinjaman
bebas ikatan. Alokasi biaya di antaranya habis biaya bahan bakar, infrastuktur,
pengadaan pesawat, dan instruktur.
“Ini
memang cost tinggi, harga avgas [avian gas] atau bahan bakar saja Rp30.000 per liter.
Belum pesawatnya, simulator, dan lain-lain, tapi kami ada dua skema,
pinjaman, dan langsung,” katanya.
Di
luar biaya, Soenaryo yang juga Komisaris Sriwijaya Air menyatakan usia siswa
NAM memang masih terlalu muda karena menjadi seorang pilot butuh kematangan mental
dan kemampuan mengambil keputusan dengan cepat, dan itu tak cukup pendidikan 1 tahun.
Untuk
itu, pihaknya akan menerima angkatan selanjutnya yakni Angkatan VI dengan syarat
S1, minimal D3, kalau pun SMA bersifat selektif. Angkatan V sudah dimulai sejak Januari lalu.
Agus
Soedjono mengatakan kematangan pilot tentu diperlukan sehingga setelah lulus dari
NAM tidak lantas langsung menjadi pilot, ada tahapan lanjutan.
Dia
menuturkan uji terbang pada penghujung sekolah dilakukan checker atau inspektur
dari Direktorat Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara (DPU—PPU)
Kementerian Perhubungan.
Namun,
Agus menjelaskan sekolah itu belum bisa menunjang kebutuhan pilot di seluruh
maskapai karena saat ini masih ditujukan untuk internal pilot Sriwijaya Air.
Bagi
Soenaryo Yosopratomo Indonesia saat ini memang masih kekurangan pilot. Tahun 70-an,
pola pendidikan pilot lokal lebih baik sehingga hadirnya pilot asing bisa diseimbangkan
dengan pilot lokal, tetapi setelah 1998 pilot asing menjamur.
“Kalau
sekarang coba tanya STPI Curug, berapa tiap tahun mereka hasilkan lulusannya? 100?
200? Bisa dicek itu di Kemenhub, artinya kebutuhan masih tinggi, sedangkan pasokan
terbatas,” katanya.
Namun,
Soenaryo enggan mengomentari usulan pilot perlu mendapatkan bantuan sebagaimana
yang diungkapkan oleh Wakil Gubernur Bangka Belitung Rustam Effendi dalam sambutan acara wisuda itu.
“Nanti
profesi lain bilang engga adil, kenapa mesti pilot dibantu? Soal kebijakan
pemerintah memang agak kurang mengenai pilot,” ujarnya.
KEBUTUHAN PILOT
Dalam
kesempatan itu, Pembantu Ketua Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug
Djudjur Prasodjo memperkirakan Indonesia membutuhkan 12.000 pilot hingga 2018 guna memenuhi pertambahan armada
komersial seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
Keberadaan
16 sekolah pilot yang tersebar di seluruh Tanah Air saat ini dinilai belum bisa
menjawab kebutuhan. Sebagai perbandingan, data Indonesia National Air Carriers
Association
(INACA) mencatat jumlah sekolah pilot di AS mencapai 1.076 dan Uni Eropa 369
sekolah.
Timpangnya
kebutuhan dan stok pilot barangkali jadi satu alasan mengapa gaji pilot bisa
mencapai Rp40 juta-Rp70 juta per bulan ini
karena permintaan tinggi tetapi stok kurang.
“Tahun
ini akan tambah empat sekolah lagi. Itu kalau disetujui pemerintah, tapi 16
sekolah yang ada memang belum cukup,” katanya.
Selain
NAM, sekolah pilot lain di antaranya STPI Curug yang merupakan salah satu perguruan
tinggi kedinasan di Kabupaten Tangerang, Banten. Sekolah ini berada di bawah Kemenhub.
Ada empat jurusan yakni Penerbangan, Teknik Penerban gan, Keselamatan
Penerbangan, dan Manajemen Penerbangan.
Djudjur
menuturkan biaya sekolah penerbang di Curug mencapai Rp42 juta, lebih murah
ketimbang sekolah penerbang milik swasta karena ada subsidi dari
pemerintah. Saat ini, untuk Jurusan Penerbangan, terdapat
empat kelas dengan
masing-masing
kelas berisi 30 orang
Sekolah
lain yang cukup terkenal dan sudah bekerja sama dengan maskapai Garuda Indonesia
yakni Bali International Flight Academy atau BIFA di Bali. Di sini menyediakan private
pilot license (PPL), commercial pilot license (CPL), dan instrument rating.
Data
INACA mencatat setiap tahun Indonesia butuh 500 pilot. Namun, pasokan yang tersedia
baru mencapai 300 pilot sehingga ada kekhawatiran jumlah 4.000 pilot di Indonesia
pada 2020 mendatang masih jauh dari harapan.
Dirut
Sriwijaya Air Chandra Lie mengatakan keberadaan NAM Flying School bisa menjadi
salah satu penunjang kebutuhan pilot nasional. Dia juga berharap pemerintah mendorong
lahirnya sekolah pilot sehingga bisa mendukung industri penerbangan dalam
negeri.
Chandra
benar, karena 2 tahun lagi, Indonesia bakal membuka kebebasan bagi maskapai
penerbangan asing untuk menerbangkan pesawat udaranya antar-Indonesia di wilayah
Indonesia yang disebut Open Sky 2015.
Bila
tak siap infrastruktur dan SDM, gelombang penetrasi asing bisa tak mampu diimbangi
oleh kekuatan lokal meski pemerintah sudah membatasi pilot asing harus punya 250 jam terbang pada tipe pesawat yang
diterbangkan.
Tentu
industri penerbangan Tanah Air tak mungkin menggantungkan masa depan
penerbangan nasional hanya di pundak anak muda macam Dito dan Syah serta NAM Flying
School dan sekolah penerbangan lain. (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Tulisan ini terbit di
Harian Bisnis Indonesia, edisi Senin 11 Februari 2013. Judul asli, NAM Flying School, Penempa Angkasawan dari Bangka Belitung.
Words: 1.298
Maaf Mas, mau tanya.
BalasHapusKalau jurusan sewaktu sma nya ipa nam air flying school mau nerima gak ya
Thanks
Maaf Mas, mau tanya.
BalasHapusKalau jurusan sewaktu sma nya ipa nam air flying school mau nerima gak ya
Thanks
kakak gimna cara daftar di nam flying school
BalasHapusbisa ke situs ini om andi
Hapushttp://www.namflyingschool.com/