Jumat, 19 Juli 2013

Untung Rugi Menjual Merpati

Pesawat B727-200 Merpati, photo by indoflyer
Oleh M. Tahir Saleh

PADA Oktober 2006, secarik surat dilayangkan mantan Dirut Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan kepada Menteri BUMN kala itu Soegiharto

Isinya, soal rencana revitalisasi perusahaan penerbangan pelat merah yang dibangun pada 1962. Tidak berapa lama, rencana penyelamatan operator penerbangan dari kebangkrutan itu disetujui Soegiharto dengan tiga strategi yakni penambahan armada baru, restrukturisasi SDM, dan restrukturisasi utang.

Sayangnya, saat rencana itu direalisaikan, Merpati belum bisa men dapatkan pesawat Boeing 737. Iklan yang dipasang melalui situs www.speednews.com, 13 kali gagal menarik minat perusahaan penyewaan atau leasing dunia.

“Reputasi keuangan Merpati yang sangat buruk, lessor besar seperti GECAS, ILFC, atau pun Sumitomo menutup pintu,” katanya dalam buku Jangan Pidanakan Perdata  (2012).

Utang hingga Rp6 triliun tentu menjadi bahan pertimbangan bagi siapa pun pihak yang ingin menggandeng Merpati sebagai mitra bisnis. Utang itu seakan menjadi batu sandungan Merpati terbang setinggi maskapai BUMN lain yakni Garuda Indonesia.

Tak heran jika Kamis (11/7) pekan lalu, Menteri BUMN Dahlan Iskan kecewa dengan  perkembangan Mer pati dan akhirnya terpaksa akan menjual saham maskapai itu ke investor strategis lantaran kondisi keuangan makin memburuk.

Setengah utang itu memang diperoleh dari kerja sama dengan PT Angkasa Pura (AP) II, PT Pertamina, dan PT Bank Mandiri Tbk. Dengan restrukturisasi, ketentuan utang akan berganti baik dari sisi bunga maupun konversi utang menjadi saham.

Namun, restrukturisasi tak berjalan baik kendati masih berlanjut. Perta nyaannya, apakah ketiga BUMN itu mau begitu saja menjadi pemegang saham di Merpati yang tengah babak belur?

Bisnis inti ketiga kreditur itu ialah menjual jasa atau produk, tentu mereka menginginkan cuan bukan dibebani masuk ke perusahaan dengan utang besar.

Apalagi rating Merpati jelek, masuk dalam urutan 20 maskapai terburuk di dunia versi Skytrax bersama dengan Turkmenistan Airlines, Sudan Airways, Air Algerie, dan Ryanair.

Armada Merpati juga termasuk uzur seperti seri Boeing 737 classic yakni 737-200,  737-300, 737-400, dan 737-500.Bandingkan dengan armada Ga ruda, Sriwijaya, dan Lion Air di antaranya Boeing 737-800NG dan Boeing 737-900ER, atau AirAsia yang diperkuat Airbus A320.

Sulit bagi Merpati mengejar ketertinggalan meski saat ini manajemen menyatakan load factor sudah di atas 89%.

Semua kompetitor Merpati kini didukung pesawat modern, sedangkan maskapai pelat merah itu hanya memiliki pesawat lama ditambah pesawat baru buatan China yang masih asing di dunia penerbangan yakni MA-60.

Patut disyukuri, Merpati belum bangkrut di tengah banyak masalah, terakhir kecelakaan di Bali, padahal Batavia Air sudah lebih dahulu gulung tikar dengan utang yang lebih rendah yakni Rp2,5 triliun.

Merpati sebetulnya layak di pertahankan. Ini sama halnya dengan upaya mempertahankan perusahaan pelayaran nasional PT Djakarta Lloyd.

Pemerintah juga pernah melakukan restrukturisasi mulai dari suntikan dana,  pengurangan karyawan, revita lisasi armada, pemindahan kantor pusat, hingga penjualan aset tak pro duktif. Namun, belum berhasil juga.

OPSI PAILIT
Upaya masuknya operator jalan tol Citra Marga Nusaphala Persada gagal. Konversi  utang juga berpotensi gagal, sementara beberapa anggota DPR menginginkan Merpati dipailitkan saja karena dianggap banyak merongrong anggaran negara daripada memperkuatnya.

Pernyataan Dahlan bakal melego maskapai ini ke investor strategis menjadi pertanda pemerintah hampir putus asa. Potret Merpati adalah kegagalan direksi, kementerian terkait, dan negara yang gagal mengelola aset dan sumber daya.

Entah karena inefisiensi atau korupsi di tubuh Merpati karena masih da lam ingatan bagaimana pengadaan MA-60 yang tidak transparan hingga tak baiknya pengelolaan  manajemen.

Padahal Merpati mulai berbenah. Misalnya, mereka bakal mendatangkan Airbus A320 atau Embraer guna ekspansi ke wilayah barat Indonesia.

Selama ini, mereka melayani rute terpencil terutama bagian timur. Bila segala upaya pembenahan ini tak dukung, sulit rasanya membuat maskapai ini bertahan.

Toh jauh sebelum rencana konversi, Merpati juga pernah mengonversi utang menjadi saham dengan Garuda, besarannya 4,21% saham seperti tercatat dalam laporan keuangan Garuda.

Pada 1989, Merpati dan Garuda bah kan pernah menggelar operasi terpadu guna meningkatkan efisiensi.  Sebanyak 37 pesawat Garuda, DC-9 dan F-28 dialihkan, beberapa rute domestik  Garuda pun dialihkan ke Merpati.

Perlukah seluruh BUMN dipaksa menggunakan Merpati untuk angkutan pegawai dan kargo? Bila pembelian oleh investor strategis merupakan satu-satunya jalan keluar bagi masa depan Merpati, perlu ada sokongan pemerintah da lam bentuk penawaran tertentu.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia pada 2011 melalui PM Mahathir bin Mohammad ba rangkali patut jadi contoh dalam menjaga aset maskapai penerbangan AirAsia milik BUMN Malaysia, DRB-Hicom.Maskapai itu ditawarkan kepada Tony Fernandes, pendiri Tune Air Sdn Bhd, seharga RM1 atau setara dengan US$0,25 dengan beban utang AirAsia saat itu mencapai RM40 juta.

Kini, tak bisa ditampik AirAsia menjadi maskapai LCC yang ber kembang signifikan  di bawah Tony Fernandes.

Sejarah mencatat pada era 1985-1986, pemerintah juga pernah mengintervensi BUMN yang merugi, ketika itu PT Perkebunan (kini PTPN) IV di Sumatra Utara harus diselamatkan melalui intervensi Menteri Pertanian Achmad Affandi.

Di China, BUMN bukan hanya kendaraan mencari keuntungan, melainkan juga perpanjangan politik mereka dalam menggeser kendali BUMN di belahan bumi ke Asia dan Pasifik dari AS.

Di Singapura, negara memprakarsai pendirian BUMN yang memang dirancang memenuhi kebutuhan domestik dan pasar dunia.

Miris rasanya jika Merpati bangkrut, padahal kontribusi maskapai itu cukup besar menerbangi sejumlah daerah perintis yang tidak dilakukan maskapai komersial lain. Tentu dukungan tak cukup bila Merpati  secara internal tak termotivasi meningkatkan efisiensi dan inovasi.

Barangkali menarik apa yang dikemukakan, Nabiel Makarim, bekas anggota YLKI era 1980-an dan mantan Menteri Lingkungan Hidup, bahwa swastanisasi itu bukan menjual BUMN kepada swasta, melainkan memperkuat rule of game struktur tanggung jawab antara pengelola dan pemilik.

Bila setelah swastanisasi tapi sebuah BUMN terkait masih juga belum bergerak, di sinilah baru diperlukan pemecahan manajemen dan kesempatan pasar.

Seperti halnya pada perusahaan swasta, bila Merpati tetap tidak berkembang pascaswastanisasi jawabannya adalah menyuntik mati maskapai itu. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Senin, 15 Juli 2013



Minggu, 14 Juli 2013

Karena Air Begitu Berharga

Gempa bumi itu mengguncang Flores. Saya baru delapan tahun ketika lindu berkekuatan 7,8 skala richter di lepas pantai Flores itu ikut menggoyangkan desa kami di Pulau Adonara.

Usia yang tak begitu mengerti apa yang sesungguhnya terjadi. Suasana begitu kalut. Guncangan hebat itu memaka orang-orang berlarian keluar rumah menuju lapangan, di sana sudah banyak pula berjongkok menjaga keseimbangan.

“Barero, barero,” teriak orang-orang dengan Bahasa Adonara. Histeria itu masih terngiang sampai kini. Pilu rasanya. Puluhan rumah di desa kami, Desa Waiburak, retak, miring, bahkan roboh. Beberapa kawan dan saudara kehilangan rumah, tapi saya bersyukur rumah hanya retak.

Gempa pada 12 Desember 1992 itu juga menyebabkan gelombang tsunami setinggi 36 meter, menghabiskan rumah di pesisir pantai Flores. Tsunami itu tak mengenai desa kami tapi korban tewas dalam bencana alam itu mencapai 2.100 orang, 500 orang hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000 orang menjadi pengungsian. Kami termasuk di antara pengungsi.

Tiap malam, rasanya tak enak karena tidur di bawah tenda terpal, persediaan makanan juga tak banyak. Air bersih pun terbatas apalagi kampung kami di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) memang terkenal dengan sulitnya air bersih.

Sebelum gempa terjadi warga mesti turun ke bawah dekat dengan pantai untuk mengambil air, tapi saat gempa siapa yang mau turun? Jadinya dengan terbatasya air minum pun tidak boleh sembarangan, kami mesti memikirkan yang lain.

Saya berupaya melupakan bencana alam itu setelah pindah sekolah ke Bekasi, Jawa Barat, sampai kuliah di Ciputat. Tapi salah satu kegiatan kampus yang mengajar ke daerah-daerah terpencil di Pulau Jawa membuat ingatan itu terngiang lagi.

Ingatan susahnya air bagi masyarakat, susahnya sarana yang disediakan oleh pemerintah setempat agar warga dengan mudah bisa terhindar dari kesulitan air bersih.

Ditjen Sumber Daya Air Kemeterian Pekerjaan Umum dalam situs resminya punya catatan soal kekurangan air di Indonesia.

Disebutkan bahwa Jawa, Bali, dan Papua merupakan daerah yang kekurangan air baku, sedangkan Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Kalimantan adalah daerah dengan surplus air baku.

 Air baru maksudnya air yang berasal dari sumber air pemukaan, cekungan air tanah dan atau air hujan yang memenuhi ketentuan baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum.

Adapun Total kebutuhan air baku di Indonesia mencapai 175 juta m3/tahun, dari jumlah itu sebesar 6,4 juta m3/tahun merupakan kebutuhan domestik, 141 juta m3/tahun kebutuhan sektor pertanian, dan 27,7 juta m3/tahun kebutuhan industri.

Di sisi lain, data Badan Pusat Statistik mengemukakan di Indonesia, pemenuhan air minum yang aman baru 55,04% dan masih 80 juta masyarakat belum terpenuhi. Kondisi itu diperkirakan meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk.

Kalau datanya demikian, bagaimana negara ini mencapai target millenium development goals (MDGs)? Bagaimana mencetak sumber daya mumpuni kalau kebutuhan dasar manusia dalam kehidupan belum terpenuhi atau terpenuhi tapi tak layak?

Maka ketika Aqua Danone beberapa tahun lalu membuat iklan soal sulitnya air di NTT membuat bangsa ini seperti tergelitik sekaligus miris.

“Sekarang sumber air sudekat. Beta sonde pernah terlambat lagi. Lebih mudah bantu mamak ambil air untuk mandi adik. Karna mudah ambil air, katong bisa hidup sehat,” begitu sepenggal kalimat berlogat Kupang itu meluncur dari seorang anak.

Pariwara itu bukan hanya sebagai bukti pelaporan kepada masyarakat bahwa mereka, Aqua, sebagai salah satu perusahaan besar telah melakukan suatu bentuk program kepeduliannya.

Lebih dalam lagi pesan itu mendedahkan secara gamblang bagaimana sebuah kekurangan negara ini dipertontonkan; daerah Timur Indonesia masih kekurangan air bersih. Mengapa pemerintah tak bisa mengentaskannya sejak Indonesia merdeka.

Padahal tiap tahun anggaran pemerintah daerah naik, target penerimaan pajak juga naik. Bahkan jumlah orang kaya di Indonesia yang masuk daftar majalah Forbes terus bertambah tapi kepedulian soal hajat hidup manusia itu kurang mendapat jaminan, terutama di daerah-daerah terpencil.

Saya tidak sepenuhnya menyalahkan pemerintah semata. Pernah saya membaca tulisan Sarwono Kusumaatmatja, mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup era 1993-1998, dalam buku Manajemen Presiden Soeharto penuturan 17 Menteri terbitan 1996.

Menurut dia, dalam pengelolaan lingkunan hidup, bukan hanya peran pemerintah tapi dunia ekonomi secara umum, swasta, dan BUMN.

Mesti ada peranan yang lebih besar dari sektor swasta. Baginya tak ada pekerjaan yang bisa didorong sendiri karena pemerintah punya kemampuan dalam hal akses dan pengetahuan tetapi keunggulan itu bahkan kini juga dimiliki oleh swasta.

Bagi Sarwono, Indonesia jangan menutup diri jika ada kekurangan soal lingkungan. “Kita tidak boleh defensif. Kalau ada kekurangan diakui tapi yang harus disodorkan ke dunia luar itu bahwa kita bekerja keras untuk memenuhi komitmen global kita,” katanya.

Kendati demikian, tentu saja sudah menjadi kelaziman bahwa pemerintah punya kewajiban khusus untuk menuntaskan kemiskinan di mana kesehatan merupakan satu satu aspeknya dan kesehatan pun berkaitan dengan kebutuhan air minum bersih.

Jumat, 05 Juli 2013

Wajah Merak, Wajah Penyeberangan Kita

Antrian truk masuk ke salah satu dermaga
Pelabuhan Penyeberangan Merak, Jumat (28/6)
Oleh M Tahir Saleh

TRUK itu berhenti di depan jalur masuk Dermaga 4 Pelabuhan Penyeberangan Merak, Banten, Jumat siang, 28 Juni. Seorang pria berpantalon bergegas turun, melengok kanan kiri lalu duduk di dekat bemper mobilnya.

Sembari melihat truk antrean di depannya, sopir Perum Damri, sebut saja namanya Badu, 39 ta hun. Sejak pukul 6 pagi, dia tiba di Pelabuhan Merak dan ikut antrean menuju kapal penye berangan atau kapal feri (roll onroll off/roro) yang sandar di dermaga 4. Namun, hingga pukul 12.30 siang, antrean hanya bergerak sejengkal.

“Bosan juga Mas, begini-begini terus,” kata bapak tiga anak itu, Jumat (28/6).

Menjelang Ramadan ini, Badu mendapatkan banyak order membawa barang PT Pos Indonesia yang menyewa jasa Perum Damri. Barang itu diangkut dari Kantor Pos Jakarta Pusat di Lapangan Banteng menuju Merak. Dia membayar tarif masuk Rp825.000.

Tiba di Bakauheni, dia akan menempuh jalan darat ke Jambi lewat Batu Raja dan Muara Enim, tetapi tak ada yang bisa dilakukannya saat itu kecuali menunggu.

Antrean panjang di Merak bukan hal baru bagi pelabuhan penyeberangan yang dikelola oleh ASDP Cabang Utama Merak, anak cabang PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Pela buhan ini bahkan diklaim menjadi pelabuhan feri terpadat di dunia.

BUMN yang didirikan pada 1973 ini tak hanya punya cabang di Merak. Total ada 31 cabang tersebar di Indonesia di antaranya Merauke, Biak, Ambon, Kupang, Bakauheni, hingga Jepara. Ruas Merak-Baka uheni dan Ketapang-Gilimanuk menjadi lintasan gemuk.

Saat Lebaran tahun lalu, data ASDP Merak mencatat terdapat 27.419 pejalan kaki dan 94.254 penumpang di atas kendaraan sehingga total 121.673 penumpang menyeberang dari Merak ke Bakauheni dalam sehari pada puncak mudik H-3.

Sepeda motor saat itu juga mencapai 19.085 unit, kendaraan kecil 8.325 unit, bus 619 unit, dan truk 9.263 unit dalam sehari. Adapun selama mudik Lebaran tahun lalu total  mencapai 909.281 penumpang, 72.759 sepeda motor, 86.810 mobil kecil, dan 11.293 truk.

Data sepanjang tahun lalu belum diperoleh, tetapi selama 2010 seluruh ASDP mengangkut penumpang mencapai 5,72 juta, kendaraan roda dua dan tiga mencapai 2,43 juta, dan kendaraan roda empat ke atas 1,36 juta.

Manajemen ASDP Merak mengatakan ada lima faktor penyebab kepadatan Merak yakni cuaca, kapal yang sering masuk dok, prasarana dermaga, hari libur, dan hari libur dadakan atau kejepit.
Waktu kedatangan pemudik dan kendaraan yang serentak mengejar hari H Lebaran juga menjadi faktor tambahan dibandingkan dengan arus balik mudik yang lebih fleksibel.

Tahun ini, sejumlah langkah memang dilakukan ASDP sebagai operator dermaga sekaligus operator kapal. Perbaikan misalnya terlihat dari perluasan area parkir dengan daya tampung sekitar 400 kendaraan kecil, perawatan, dan perbaikan dermaga secara bertahap.

Selain itu BUMN ini juga menambah satu unit kapal baru yakni Por tlink III untuk memperkuat armada lintas Merak-Bakauheni pada angkutan Lebaran tahun ini. Kapal bekas 1979 bernama Sechang Kordelia itu bisa menampung 1.000 penumpang, 350 kendaraan kecil, dan 250 kendaraan campuran.

Pengelolaan jadwal juga sudah diambilalih oleh Otoritas Pelabuhan Penyeberangan (OPP), wakil Kementerian Perhubungan, dari tahun lalu yang masih diatur oleh ASDP.

Namun sejauh mata memandang, nampaknya kesiapan yang di dengung kan belum nyata di lapangan. Betul bahwa prasarana membaik karena ada koridor penumpang ke kapal layaknya garbarata di bandara.

Namun beberapa fasilitas dermaga mesti dibenahi guna meningkatkan layanan dan terpenting mendukung keselamatan penumpang.

Berdasarkan pantauan langsung, dari lima dermaga hanya dermaga 1 dan 3 yang kondisinya lebih baik dibandingkan dengan tiga dermaga lain. Dermaga 1,2,3, dan 5 dikelola oleh ASDP, sedangkan Dermaga 4 dikelola oleh swasta, PT Infinity.

Di dermaga 2, fasilitas side ramp tidak difungsikan meski dibangun 2 tahun lalu. Fasilitas ini berfungsi sebagai jalan masuk bagi mo bil pribadi ke dek atas kapal di burit an.

Akibatnya, antrean masuk truk ke dalam haluan kapal feri menjadi lama karena mobil pribadi terpaksa mengular di jalur yang sama dengan truk besar melalui mobile bridge.

Dolphin nomor dua juga tidak dilengkapi dengan fender. Dolphin ini semacam undakan semen yang berfungsi mengikat kapal tetap berada di tepi dermaga, sedangkan fender ialah bantalan guna menjaga lambung kapal tidak rusak saat membentur dermaga.

Dermaga 5 setali tiga uang. Ada koridor penumpang tapi pintu masuk ke kapal tidak ada. Pejalan kaki juga menyemut bersama kendaraan via mobile bridge, side ramp juga  belum dioperasikan.

Selain itu, breakwater yang dibangun juga tak berfungsi baik. Kapal Shalem yang berlabuh Jumat siang itu di Dermaga 5 beberapa kali membentur fender, mengguncang  dermaga karena pemecah ombak itu tak berfungsi. 

Terparah adalah Dermaga 4. Hampir semua fasilitas tidak normal kecuali mobile bridge. Tidak ada side ramp dan koridor penumpang. Al hasil, pejalan kaki masuk ke jalur masuk truk. Sampah juga berserakan di Dermaga 4.
Parahnya, semua fender dolphin memakai ban truk bekas, besi-besi dari dolphin juga keluar karena semen terkelupas, ini mengancam lambung kapal. Di pintu masuk pe la buhan juga hanya ada dua timbangan truk. Akibatnya, antrean semakin pan jang.

SALING LEMPAR
Lalu siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan dermaga 4? Kepala Cabang ASDP Merak Supriyanto tak mau berkomentar banyak.

“Saya juga sudah rewel [soal perbaikan], mestinya begitu [ASDP saja yang atasi] tapi bukan kewenangan saya, sampeyan tanya ke ASDP pusat,” katanya di Kantor Cabang ASDP Merak, Jumat (28/6).

Christine Hutabarat, Sekretaris Perusahaan ASDP pusat, enggan menjawab pertanyaan soal tanggung jawab dermaga 4. Apakah dermaga ini masih di bawah wewenang Infinity atau ASDP?. Pesan singkat yang dikirimkan juga tak berbalas.

Padahal bagi Djohanipar, wakil dari Infinity, secara pengelolaan memang Infinity tetapi kerusakan menjadi tanggung jawab ASDP sesuai dengan peraturan.

“Kami berniat perbaiki, tapi belum ada kejelasan kerja sama dengan ASDP. Kami sudah ajukan surat, bahkan Ditjen Darat juga sudah meminta mereka [ASDP] tapi belum juga,” katanya.

Sudirman Lambali, Direktur Lalu Lintas ASDP Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub, merasa kontrak antara ASDP dan Infinity sudah berakhir jadi BUMN itu bisa memperbaiki, sedangkan operasional koridor pe numpang di dermaga 5 belum uji coba.

“Kalau tidak salah sudah berakhir [kerja sama], artinya sudah boleh, langkah ASDP [perbaiki],” katanya.

Bambang S Ervan, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub, menegaskan perbaikan menjadi tanggung jawab business to business antara ASDP dan Infinity, pemerintah hanya membantu untuk membangun dermaga 6 dan rehabilitasi dermaga 3 dan 5.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau dan Ferry (Gapasdaf) Syarifuddin Malarangeng menyayangkan hal ini. Sebagai pengelola, mestinya lempar tanggung jawab semacam ini tidak terjadi. Pengelola seharusnya mendorong agar fasilitas dermaga diperbaiki dan tidak mencari keuntungan semata.

Ditemui di kantor Gapasdaf, Ketua DPC Gapasdaf Cabang Bakauheni,  Sunaryo bahkan mempertanyakan biaya perawatan perusahaan pelat merah itu. Toh kondisi dermaga baik di Merak maupun Bakauheni belum membaik, jembatan timbangan juga  kurang.

Padahal pelaku usaha yang tergabung dalam Gapasdaf dibebankan biaya yang mestinya dipakai mer awat dermaga.

“Biaya sandar itu Rp65 dikali GT dan jam, hitung saja berapa tuh,” kata Sunaryo yang juga Kepala Cabang PT Dharma Lautan Utama ini.

Sejak BBM subsidi dinaikkan, tarif penyeberangan pun disesuaikan. Per menhub No.63/2013 yang dirilis pada 24 Juni lalu, mengatur tarif penumpang dewasa naik dari Rp11.500 menjadi Rp13.000 dan tarif golongan kendaraan paling besar (IX) mencapai Rp2,84 juta dari Rp2,35 juta.

Dari tarif penumpang Rp13.000 itu, ASDP mendapat Rp1.675 sebagai jasa pas masuk, biaya Asuransi Jasa Raharja Rp800, dan biaya tanggung jawab pengangkut (asuransi muatan) Rp525. Sisanya Rp10.000 masuk ke kas perusahaan feri

Jumlah Rp10.000 itu dipakai untuk biaya operasional langsung yakni biaya tetap dan tidak tetap di antaranya penyusutan, bunga modal, asuransi kapal, awak kapal, BBM,  pelumas, air tawar, lingkungan di pelabuhan, leasing, perniagaan dan promosi, dan perbaikan serta pemeliharaan suku cadang.

Ambil contoh kendaraan golongan IX dengan tarif Rp2,84 juta. Dari angka ini, masuk ke kantong ASDP untuk pas masuk Rp259.515 dan jasa dermaga Rp204.415, sedangkan kas perusahaan feri mendapatkan Rp2,35 juta.

Pada 2010, pendapatan ASDP mencapai Rp921 miliar naik dari 2009 Rp884 miliar, dengan laba bersih Rp72 miliar naik dari 2009 Rp56 miliar.

“Kalau tidak ada [perawatan] ambruk dong. Perbaikan tidak mudah, dalam beberapa hal jika ada yang diganti, dermaga harus ditutup karena bahaya,” kata Kepala Humas ASDP Merak Mario Sardadi Oetomo.

Pihaknya siap menyambut angkutan Lebaran setelah saban sepekan berkoordinasi dengan Gapasdaf dan OPP. Kapal juga sudah ditambah menjadi 28 unit per hari dengan minimal operasi 26 unit dari total 42 unit kapal di lintasan Merak-Bakauheni dari 18 perusahaan feri.

Satu kendala ialah kondisi angin antara 25 knot-30 knot dan gelombang hingga 3 meter. Sosialisasi juga terus dilakukan mengantisipasi kemacetan.

“Intinya kami siap,” tegas Mario.

Direktur The National Maritime Institute Siswanto Rusdi memandang perlunya swasta lain masuk mengelola dermaga mengingat kinerja ASDP belum maksimal. Gapasdaf juga harus perlu mengevaluasi diri.

“Mereka [Gapasdaf] hampir tanpa terobosan selama ini selain meminta tarif naik. Mereka tidak kompak dalam melakukan upaya memperbaiki sektor merek sendiri. Tidak seperti asosiasi lain mereka masih nafsi-nafsi,” katanya.

Gambaran Merak menjadi potret bagaimana sebuah tradisi mudik Lebaran selalu berulang; antrean padat tanpa diimbangi kesiapan pra sarana yang baik. Pantas, bisa di pahami mengapa orang-orang k ecil macam Badu atau supir lainnya banyak mem buang  waktu di pelabuhan, ongkos logistik yang terlalu mahal.


Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi Jumat, 5 Juli 2013

Entri Populer

Penayangan bulan lalu