Jumat, 28 Oktober 2011

PERJALANAN KE CHINA


Dongeng Sedih di Balik Tembok China
Oleh M Tahir Saleh

BELUM afdhol rasanya kalau mengunjungi China tapi tidak menjejakan kaki ke situs sejarah yang satu ini; Tembok Besar China atau Great Wall, salah satu saksi sejarah tingginya peradaban masa lampau negeri ini.

Perjalanan saya bersama rekan-rekan dimulai dari Ibu Kota China, Beijing

, menggunakan bus pariwisata tak lebih dari 1,5 jam perjalanan menuju Badaling, tempat paling favorit bagi turis untuk melihat tembok besar China. Badalling terletak di Kabupaten Yanging County, sekitar 70 km (43 mil) sebelah utara Beijing.
Kami ditemani oleh David, pemandu professional. Wajahnya tipikal pemuda Tiongkok; mata sipit, kontur muka bulat, kulit putih, dan badan sedikit tambun dan berbobot dengan tinggi badan sekitar 175 cm.

Pria berkacamata lebar ini mengurusi segalanya mulai dari soal bus, perbekalan di jalan sampai urusan menghibur kawan-kawan di dalam bus dengan sejumput cerita menarik dan mistis soal tembok yang terbetang dari ujung Timur hingga Barat daratan China ini.

Setelah sampai, David sedikit memberi ‘petuah’ sejenak. Setelah dia membelikan tiket masuk seharga 45 yuan per orang, dia mengabsen satu per satu kami sebelum berpencar. Begitulah prosedur standar buat guide professional macam David.

Dia mungkin mesti was-was juga. Tembok ini begitu panjang mencapai 8.851 km, meliuk-liuk, perlu waktu mendaki, dan di atas bukit pula. Barangkali terlalu berisiko melepas kami--orang-orang Indonesia--yang kadang suka melabrak aturan.

Sekitar pukul 11.00 waktu setempat kami mulai melangkah, kepongahan tembok besar rasanya tak sabar ditaklukan. “Jangan lupa nanti berkumpul di sini lagi ya, kita punya waktu 1 jam ya,” katanya dengan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia David tak begitu lancar, ada beberapa kata yang diulang-ulang karena wajar, dia belajar bahasa dari google translator.


Awalnya kami begitu bersemangat lantaran tangga tembok besar ini landai. Tapi setelah melewati dua gerbang, rasanya kaki semakin berat diajak melangkah. Beberapa kawan sudah tepar kelelahan, menyerah pada kondisi fisik, mereka memilih istirahat sambil menyeruput es krim yang dijual sebuah toko di pinggiran tembok. Lainnya sibuk memotret.

Saya bersama dua rekan lain terus melaju, pelan tapi pasti, gerbang ke sembilan kami lewati hingga ke-10. Dari gerbang ini, pengunjung bisa melihat hampir seluruh tembok sepanjang 8.851 km ini karena posisinya cukup tinggi.

Tapi semakin tinggi gerbang semakin tak nyaman berada di gerbang yang tinggi karena bau pesing terasa menyengat. Di sini toilet umum terbatas jadi beberapa pengunjung nakal atau siapa pun kadang ‘terpaksa’ membuang hajat kecil di dalam gerbang ini.

Setelah tak kuat melangkah lagi, kami sepakat, dan memilih ‘turun gunung’. Biar lebih terasa cepat, saya mengambil strategi setengah berlari karena lebih cepat dan bagi saya tidak terasa tekanan di tulang lutut. Ini berhasil, buktinya rekan saya masih tertinggal di belakang dengan napas tersengol-sengol.


Akhirnya kami berkumpul lagi di tempat semula sambil memandang betapa hebat peradaban bangsa ini ketika itu. David ikut nimbrung bersama kami sambil celingak celinguk mencari anggota rombongan tersisa.

Entah ini improvisasi dia sebagai guide bertahun-tahun ataukah betul bersumber dari fakta. Dia mengisahkan cerita di balik tembok yang dibangun dalam periode empat dinasti ini. Ceritanya begini, pada zaman dahulu, seorang wanita bernama Mengjian mencari suaminya yang dipaksa pemerintah Dinasti Qin ikut membangun tembok.


Hari berganti hari tak ada kabar, sampai suatu ketika, dia mencari suaminya ke lokasi sampai akhirnya mendapati kabar duka. Suaminya tewas. Kerja paksa dalam proyek besar di zaman Qin Shi Huang (259-210 SM, kaisar pertama Dinasti Qin) ini merenggut kebahagiaannya. “Mengjian akhirnya bunuh diri dengan terjun ke laut,” begitu cerita David.


Saya mencoba mencari tahu kebenaran cerita David ini. Di buku berjudul Tembok Besar! China Melawan Dunia yang ditulis oleh Julia lovell, seorang dosen sejarah dan literatur University of Cambridge, juga dikisahkan hal serupa.


Julia menceritakan satu sejarah di balik pembangunan tembok ini. Mirip cerita David tadi. Korban legendaris paling terkenal adalah Menjiang. Wanita ini pergi ke daerah timur laut tembok Shanhaiguan, ke tempat suaminya ditempatkan sebagai tenaga kerja paksa.

Satu versi cerita ini mengatakan suami Mengjiang diambil paksa oleh penarik wajib militer Qin pada malam pernikahan mereka. Saat Mengjian tiba dia menemukan suaminya telah tewas bersama dengan ribuan pekerja lain. Sang suami pun dikuburkan kembali oleh Mengjian sebelum dia menceburkan diri ke laut sebagai tanda setia dan kesucian seorang janda China.


Catatan lain menyebutkan bahwa kaisar Qin yang bejat itu kebetulan lewat saat melakukan inspeksi dan kaisar tertarik, mau dijadikan selir. Mengjian menolak dan berhasil lolos dan bunuh diri. Empat batu yang tampak keluar dari laut di Shanhaiqun, titik paling timur tembok besar saat ini disebut-sebut sebagai kuburan Mengjian.

Ah…proyek besar yang lekat dengan kerja paksa….
(725 words)
Tulisan ini terbit di Bisnis Indonesia Minggu, edisi Minggu 30 Oktobero 2011, terbit 28 Oktober 2011 dengan judul yang sama. Foto: koleksi pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu