Minggu, 13 Maret 2016

Pesan dari Pendiri Detikcom


Oleh M Tahir Saleh

UNDANGAN itu datang dari Ratna, seorang teman yang menjadi peserta Banking Journalist Academy. Saya diminta hadir dalam inaugurasi kelulusannya, medio Desember tahun lalu. Pelatihan jurnalistik itu diinisiasi Bank Permata dan AJI Indonesia dengan dukungan Kedubes Australia. Mentornya Bang Hasudungan Sirait dan Mba Feby Siahaan, dua mantan jurnalis senior.

Saya kenal dengan Bang Has karena pernah menjadi anak didiknya, jadi sekalian ingin sowan dengan beliau. Tamu acara itu cukup banyak, selain beberapa pemred, redaktur, dan jurnalis, hadir pula perwakilan penyelenggara. Satu per satu memberikan sambutan, mulai dari perwakilan Bank Permata Julian Fong, Sekjen AJI Indonesia Arfi Bambani, hingga Minister Counselor Bidang Ekonomi Kedubes Australia Steven Barraclough.

Penyelenggara juga mengundang pembicara dari pelaku media. Kali ini mereka menghadirkan Budiono Darsono, salah satu pendiri situs berita online pertama di Indonesia, Detik.com.

Pak Bud bukan hanya pelopor situs berita online, melainkan juga seorang miliarder media setelah pengusaha Chairul Tanjung lewat CT Corp membeli 100% saham Detik pada Agustus 2011, nilainya ditaksir menembus US$60 juta atau setara dengan Rp512 miliar kurs saat itu.

Beruntung saya hadir malam itu karena berkesempatan menyimak presentasi Pak Bud yang menarik, singkat, padat, dan nakal. Presentasinya tidak begitu lama, mungkin kurang lebih 20 menit tapi komprehensif. Dia berbagi pandangannya tentang lanskap media dalam beberapa tahun ke depan.

Pak Bud amat cerdik menarik mata hadirin agar terus menyimak slide demi slide-nya. Saya sendiri tak bisa beralih. Meski uban sudah menjamur di rambutnya, tak kelihatan dia sudah berumur karena tampak masih energik dibalut t-shirt dan celana jeans. Dia mengungkapkan betapa cepat perkembangan internet, bagaimana internet sangat jeli membedakan informasi ketimbang platform lain.

Bahkan satu huruf pun bisa bermakna beda di internet. Contoh, situs Extrajoss dengan “S” dobel adalah situs resmi minuman energi buatan Bintang Toedjoe, tapi ketika mengetik Extrajos dengan satu “S”, terpampanglah situs porno yang untungnya sudah diblok. Hadirin pun tersenyum-senyum sendiri memandang deskripsi pada slide-nya.

Audiens, menurut dia adalah gabungan teknologi media dan data. Dalam arti, internet menjaring data sangat cepat. Jangan heran ketika kita membuka sebuah situs, misalnya, Bank Permata dari Google, ke mana pun kita menjelajah, iklan yang berkaitan dengan bank itu akan menguntit.

Menyoal masa depan media, menurut Pak Bud sebuah media mestinya bukan lagi berkutat pada konten, melainkan lebih dari itu, beyond content.

“Aset kita adalah audiens, media yang harus mengelola audiensnya. Mereka [audiens] adalah bisnis. Soal konten itu sudah final, jangan dibahas lagi,” tegasnya.

Artinya masalah konten sudah selesai—meski saya kurang sependapat soal ini karena banyak media online enggak beres kontennya. Sebab itu, media harus memahami audiens, para pembaca. Sampai kapan pun, katanya, media tetap ada dan tidak akan mati. Namun platform media yang akan berganti mengikuti perubahan zaman lantaran karakter audiens berubah.

Cepatnya penetrasi teknologi informasi mau tak mau memicu penyedia media massa merubah format dalam menyampaikan informasi kepada khalayak. Untuk memudahkan gambaran ini, dia berbagi bercerita soal cepatnya transformasi teknologi yang dirasakan awak Detik. Situs berita ini didirikan pada Juli 1998, dengan modal Rp40 juta, berkembang pesat sampai akhirnya diakuisisi Trans Corporation, anak perusahaan CT Corp.

(Pak Bud, sumber: pengusaha.co)
Pada awalnya Detik dibangun dengan niat menyajikan berita yang cepat, dengan gaya sederhana. Sampai kini gaya itu dipertahankan. Data Alexa per 24 Januari, Detik menjadi situs berita terpopuler di Tanah Air, masuk urutan nomor 6 di Indonesia dan 207 secara global--kendati Detik pernah gagal dalam format harian e-paper, Harian Detik. Dengan kesuksesan Detik yang memaparkan berita-berita yang kadang dipandang remeh tapi justru menarik pembaca, banyak media daring akhirnya mengikuti.

“Saya sebetulnya tak ingin media lain mengikuti gaya Detik,” kata Pak Bud.

Vivanews (kini viva.co.id), kata dia, awalnya punya visi sangat baik dengan menyediakan berita in-depth dan investigasi. Maklum, rerata punggawa Viva saat itu dari majalah Tempo. Sayangnya, kata Pak Bud, peringkat Viva kala itu tidak beranjak. Barangkali pembaca kurang tertarik atau tidak nyaman disuguhkan berita panjang lewat online.

Dirasa kurang sukses, gaya Viva—seperti kita baca sekarang—pun ikut arus dan tak jauh berbeda dengan Detik. Tapi strategi ini justru berhasil mengangkat peringkat Viva ketika itu meski peringkat Alexa saat ini Viva masih di urutan 36, kurang populer dibanding situs berita baru seperti Suara.com (21), Merdeka.com (32), atau situs jurnalisme warga: Kompasiana.com (25). Situs berita lain yang juga punya peringkat bagus yakni Liputan6.com (7), Kompas.com (10), dan Okezone.com (13).

Dari sisi pekerjaan, menurut Pak Bud, tekanan jurnalis saat ini bekerja 24 jam multitasking dan inspektor gadget. Berbeda dengan era sebelum smartphone hadir, jurnalis Detik malah bermodalnya koin telepon umum ketika terjun di lapangan, melaporkan berita dari balik bilik telepon umum.

“Tahun 1998, reporter bawa koin. Dapat berita langsung telpon. Jadi di kantor banyak yang sakit telinganya. Lalu berkembang, di kantor kami pakai handsfree.“

Kepraktisan dan efisiensi menjadi kunci di bisnis media daring. Itu sebabnya dengan peralihan zaman, dia justru heran mengapa ada media online yang masih mewajibkan jurnalis menyetor muka di kantor. Saat ini, 60% wartawan Detik bekerja di lapangan, tidak di kantor. Ke depan, persentasenya bisa 80% wartawan Detik tidak di kantor.

“Kalau sekarang, kita harus minta izin dulu kalau enggak masuk ke kantor. Nanti dibalik, kalau mau ke kantor justru kita harus minta izin dulu karena akan disiapkan meja dan sebagainya,” jelas Pak Bud.

Begitulah perubahan menjalar dalam sistem mobile office. Beberapa media masih setengah mempraktekan ini lantaran menghindari wartawan muda menjadi wartawan karbitan karena tulisannya masih belum rapi dan miskin isu jika tidak berdiskusi dengan redaktur di kantor.

Satu hal juga yang menarik dari presentasi Pak Bud ketika dia bilang:

“Saya ditanya , apakah masih bekerja mengurus redaksi? Saya sudah tidak urus lagi karena memang redaksi harus menyesuaikan dengan perubahan pembaca.”

Pesan yang saya tangkap, bahwa dengan usia yang sudah lebih senior (54 tahun), lebih baik regenerasi. Omongan Pak Bud mengingatkan saya pada presentasi seorang direktur sebuah perusahaan teknologi informasi. Dia menegaskan banyak perusahaan IT gagal mengikuti tren pasar karena tim riset dan pengembangan (litbang) sebagai motor ide justru diisi oleh orang-orang yang tua. Saya tidak mengatakan orang tua harus pensiun, tapi posisi anak muda untuk memahami tren pasar mestinya dikedepankan.

Mengakhiri presentasinya, Pak Bud menjelaskan tiga hal yang merubah budaya global: celana jeans, minuman Coca-Cola, dan web. Selain itu, dia juga memaparkan tiga hal yang bisa menghambat pertumbuhan media ke depan yakni Harmony Culture Error, Seniority Error, dan Old Nation Error. Tiga hal ini juga pernah dikemukakan seorang konsultan manajemen, Yodhia Antarika, dalam tulisannya berjudul “The Death of Samurai: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo”.

Penjelasan singkatnya, Harmony Culture Error lebih pada kebiasaan manajemen mementingkan konsensus sehingga membuat banyak perusahaan lamban mengambil keputusan, sementara kompetitor bergerak lebih cepat. Budaya menjaga harmoni ini menjadi tragedi di era digital lantaran ide-ide kreatif justru tak berkembang. Adapun Seniority Error lebih pada kebiasaan yang selalu mementingkan senioritas, sungkan pada atasan, sehingga inovasi pun terpendam.

Terakhir Old Nation Error, kebiasaan ini masih berhubungan dengan faktor kedua tadi. Banyak karyawan yang sudah bekerja puluhan tahun, menua, biasanya sudah dininabobokan zona nyaman yang pada akhirnya membuat mereka kurang peka dengan inovasi dan cepatnya perubahan. Itu sebabnya inovasi sulit menjadi nafas bagi perusahaan saat berkompetisi di era digital.

Pulang, dari Tere Liye

Oleh M Tahir Saleh

Novel ini gila, jangan tertipu judulnya.

SUDAH lama mendengar nama Tere Liye di dunia sastra, tapi belum pernah membaca novelnya. Hanya sekali saya menonton sebuah film layar lebar berjudul Hafalan Sholat Delisa yang diangkat dari buku Tere Liye dengan judul yang sama.

Suatu hari, istri saya membeli 10 buku, kebanyakan fiksi termasuk novel. Mungkin sedang kesurupan ingin membaca di rumah. Anda dua novel Tere Liye yang dia beli, Pulang dan Rindu. Novel Pulang dirilis pada September 2015, sedangkan Rindu sudah lama dirilis pada 2014. Semula saya belum tertarik, dari judulnya saja kurang menarik, bisa jadi ceritanya biasa saja.

“Bukunya bagus tau,” kata dia meyakinkan.

Keseringan dia bilang begitu, saya jadi ingin tahu, sebagus apa sih. Jangan-jangan dia aja yang lebay. Tapi setelah melihat dia menikmati betul, saya penasaran. Pulang menjadi incaran pertama. Butuh dua hari untuk melahap 400 halaman. Memang sudah banyak yang meresensi buku Tere, tapi tak apalah. Apa salahnya berbagi pendapat, siapa tahu saya bisa menulis seperti Tere Liye.

Tere memulai bab pertama buku ini dengan deskripsi suasana yang begitu menegangkan untuk sebuah buku berjudul sederhana, Pulang:

“Malam itu di tengah hujan lebat, di dasar rimba Sumatra yang berselimut lumut nan gelap, sesosok monster mengerikan telah mengambil rasa takutku. Tatapan matanya yang merah, dengus napasnya yang memburu, dan taringnya yang kemilau saat ditimpa cahaya petir telah membelah dadaku, mengeluarkan rasa gentar. Sejak saat itu, dua puluh tahun berlalu, aku tidak mengenal lagi rasa takut.”

Melihat judulnya, saya mengira novel ini mengambil tema perjalanan, tentang seseorang yang ingin kembali ke kampung halaman atau orang tuanya, kekasihnya atau siapa pun yang dikasihi. Apalagi sampulnya cantik, berwarna biru dengan motif seakan terkelupas, memperlihatkan ada sunrise, seperti novel romantis.

Tidak salah sih sepenuhnya, tema utama memang pulang, tapi bumbunya luar biasa: tauke, mafia, gangster, samurai, sniper, pertempuran, tukang pukul, tembak menembak, kesetiaan, pengkhianatan, dan shadow economy.

Buku ini bercerita tentang tokoh Bujang, seorang anak kampung di pedalaman Sumatra. Ayahnya, Samad, adalah tukang pukul kesohor di Keluarga Tong. Samad pensiun karena kakinya pincang setelah menyelamatkan bosnya. Bujang tak pernah makan bangku sekolah, ia hanya anak dusun yang dididik sendiri oleh Mamaknya, termasuk belajar agama meski ditentang Samad lantaran dendam masa lalu dengan mertuanya. Jalan hidup Bujang berubah.

Suatu ketika, mereka kedatangan Tauke Muda, sahabat Samad yang juga penerus bisnis Keluarga Tong usai Tauke Tua meninggal. Kedatangan Tauke Muda dan rombongannya saat itu ingin menangkap babi hutan yang mengganggu perkebunan warga. Dalam perburuan ini, Tauke mengajak Bujang bergabung, ajakan yang awalnya ditentang sang ibu. Tapi siapa sangka, meski usianya baru 15 tahun, Bujang menjadi penyelamat rombongan dalam perburuan yang mencekam itu. Dia melawan babi hutan raksana seberat sekitar 500 kilogram di hutam rimba, sendirian dengan tombak, sementara yang lain sudah tumbang.

Bab pertempuran dengan babi hutan ini diceritakan dengan ditel sangat mengagumkan. Dan ini menjadi kekuatan besar menarik pembaca:

“Aku menggigit bibir. Aku benar-benar sudah melupakan pesan Mamak.”

“Aku mencengkram tombak pemberian Bapak. Aku berdiri dengan kaki kokoh, menatap ke depan, dan bersitatap dengan monster mengerikan itu. Aku tidak punya pilihan lain, lari sia-sia saja.....”

Usai peristiwa mencekam itu, Bujang kemudian dijuluki “Si Babi Hutan”. Julukan yang terus dipakai hingga dia dewasa dan tumbuh besar di Keluarga Tong. Bujang lalu diajak ke kota, mengabdi pada Keluarga Tong seperti apa yang dilakukan ayahnya dulu.

Mamaknya sangat menentang kepergian Bujang, tapi karena didesak bujukan Samad, dengan berat hati Mamak melepas kepergian Bujang dengan memberi sebuah pesan yang akan menjadi janji hidupnya sampai dewasa.

Di Keuarga Tong, Bujang menjadi anak emas. Diberi guru privat, masuk universitas, hingga membawa gelar sarjana ekonomi dari Amerika. Jejaring bisnis Keluarga Tong juga menyebar hingga internasional. Bisnisnya ilegal tapi dibungkus dengan proyek legal seperti membangun hotel, apartemen, bahkan memiliki bank sendiri dengan uang dari bisnis hitam. Bujang juga dibekali berbagai ilmu beladiri sebagai bekal menjadi tukang jagal nomor satu. Spesialisasinya menyelesaikan konflik tingkat tinggi di keluarga besar shadow economy di Asia Pasifik.

Setelah membuat pembaca berdebaran pada bab-bab awal, bab berikutnya lebih menegangkan seperti menonton film action thriller: tembak menembak, pertempuran, konspirasi dan pengkhianatan. Meski begitu, sisi romantis novel ini tidak hilang dengan adanya bab yang menceritakan tentang kepergian Mamak dan surat terakhir ayah.

Pemilihan alur maju-mundur, menceritakan masa lalu dan masa sekarang juga membuat buku ini begitu mengasyikan, apalagi deskripsinya sangat kuat. Kelebihan lain novel ini ialah dialek kental melayu Sumatra. Kita seakan berada di dusun itu. Penggunaan diksi yang sederhana dan tidak membuai-buai seperti puisi juga memudahkan mencerna pesan. Beberapa kutipan juga menarik, bisa menohok perasaan kita dan memberi pesan mendalam tentang kehidupan:

“Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran.”

“Tapi sungguh, jangan dilawan semua hari-hari menyakitkan itu, Nak. Jangan pernah kau lawan. Karena kau pasti kalah. Mau semuak apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap terbit indah seperti yang kau lihat sekarang. Matahari akan tetap memenuhi janjinya, terbit dan terbit lagi tanpa peduli apa perasaanmu. Kau keliru sekali jika berusaha melawannya, membencinya, itu tidak pernah menyelesaikan masalah.”

“Kau tau? Hidup ini sebenarnya perjalanan panjang, yang setiap harinya disaksikan oleh matahari...”

“Benarlah kata orang, meski semua hal itu adalah kenangan menyakitkan, kita baru merasa kehilangan setelah sesuatu itu benar-benar pergi, tidak akan mungkin kembali lagi.”

Dan kutipan ini membuat saya terharu:

“Sungguh, maafkan Bapak yang tidak pernah memelukmu sejak kau beranjak remaja, terlalu besar gengsi yang Bapak miliki untuk melakukannya. Juga maafkan Bapak yang tak pernah surat menyatakan rindu, terlalu tinggi ego yang Bapak tanam sehingga semua sudah terlanjur semakin sulit.”

Tampaknya Tere juga menghabiskan banyak waktu untuk meriset mafia, penembak jitu, pesawat jet, helikopter, dan shadow economy. Bagaimana Tere menggambarkan karakter seorang sniper, ditel pistolnya, tekniknya, cara hidup ninja dan sebagainya.

Dia juga meriset ditel beberapa wilayah di Filipina, Hong Kong, Makau, latar dari peristiwa yang dialami Bujang di luar negeri saat menyelesaikan konflik tingkat tinggi. Novel ini layak difilemkan. Kekurangan novel ini barangkali dari sisi adegan aksi, yang pada beberapa bagian masih agak dipaksakan. Mungkin karena standar saya agak tinggi untuk urusan beginian mengingat saya suka sekali film mata-mata dan thriller.

Bagi saya tokoh antagonis, yang berkhianat juga bisa terdeteksi. Kekurangan lainnya bisa jadi soal narkoba dan seks yang dihilangkan, tak ada cerita polisi, tidak ada keterlibatan pemburu cerita atau wartawan. Yang kurang sempurna juga dari novel ini barangkali percintaaan. Bumbu percintaan Bujang pada lawan jenis tampaknya memang benar-benar dihilangkan oleh Tere. Tapi terlepas dari itu, novel ini gila, seru, dan romantis.

“Sungguh, sejauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang.”


Entri Populer

Penayangan bulan lalu