Jumat, 18 Januari 2013

HOTASI dan Lampu Kuning BUMN

Eks Dirut Merpati Nusantara Hotasi Nababan
tengah mengikuti salah satu sidangnya di Tipikor,
Photo by JIBI/Solopos
M. Tahir Saleh

MANTAN Dirut Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan masih ingat pertemuannya dengan Menteri BUMN Dahlan Iskan suatu hari setelah sang menteri pulang dari  Darwin, Australia.

Dahlan merespons buku Jangan Pidanakan Perdata setebal 259 halaman yang ditulisnya.

“Hot, Anda begitu nekat bikin buku ini,” katanya menirukan ucapan Dahlan.

Hotasi lantas mengatakan dirinya membuat buku itu bukan hanya untuknya.

“[Buku] ini untuk banyak orang lain termasuk Bapak,” katanya.

“Bapak lagi nimang cucu, tiba—tiba datang surat, amplop coklat, lambang kiri Kejaksaan Agung, itu bisa terjadi Pak,” katanya lagi.

Gamblang Hotasi menceritakan pertemuan itu dalam sebuah forum diskusi akhir Desember tahun lalu yang digelar oleh Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia.

Cukup banyak direksi BUMN yang hadir dalam acara yang disponspori oleh PT Kereta Api Indonesia dan Perumnas tersebut.

Baginya, peluang kriminalisasi bekas pimpinan perusahaan pelat merah dalam mengambil keputusan sangat besar. Seperti apa yang dialaminya kini; menjadi terdakwa dengan tuduhan memperkaya orang lain, mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar US$1 juta.

Pembelaan itu juga yang coba diungkapkan Hotasi dalam buku Jangan Pidanakan Perdata, Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati yang terbit perdana Juni tahun lalu.  Dia mengatakan menulis buku tentang kasus korupsi yang menjerat dirinya sendiri adalah pekerjaan sangat sulit.

“Apakah dengan menulis ini saya akan bebas dari tuduhan yang tidak berdasar, pertanyaan itu menghantui saya,” cerita Hotasi dalam prakata buku tersebut.

Tentu kebebasan bukan perkara mudah. Dalam sidang tuntutan pada Senin 7 Januari  2013 yang molor hingga 1 jam, Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Tindak Pidana  Korupsi (Tipikor) Franky Son menuntut Hotasi hukuman penjara 4 tahun dikurangi masa tahahan kota dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Tuduhan memperkaya diri sendiri atau dakwaan primer Hotasi memang tak terbukti.  Namun, bekas Dirut General Electric Lokomotif Indonesia itu kena dakwaan subsider,  dianggap merugikan keuangan negara.

Ini melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU No.31/199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana  Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang Perubahan atas UU No.31/1999 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang Perbuatan Merugikan Keuangan Negara.

“Pimpinan memaksakan kasus ini, mereka mengabaikan fakta yang jelas. Ini menjadi preseden buruk bagi dirut BUMN lain,” tegas Hotasi seusai sidang.

Lakon kasus Merpati ini bermula 7 tahun lalu. Ketika maskapai Merpati oleng. Direksi diminta mencari strategi demi menjaga kelangsungan usaha dan ini membuat Hotasi menerjemahkan arahan itu untuk menyewa pesawat.

SEWA DUA PESAWAT
Melalui circular board atau keputusan dewan komisaris di luar rapat, disetujuilah sewa dua pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 dari Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) yang berbasis di Amerika.

Uang deposit semacam jaminan US$1 juta pun ditransfer untuk dua pesawat itu melalui  pihak independen yang ditunjuk oleh TALG yakni Hume and Associates, kantor hukum milik Ted Hume dan Jon C Cooper.

Merpati sebetulnya sudah mengiklankan kebutuhan pesawat itu di situs speednews sejak Juni—November 2006 tapi 13 kali gagal mendapatkan Boeing yang ada di berbagai perusahaan leasing kelas dunia karena reputasi keuangan Merpati sangat buruk.

TALG akhirnya berjodoh setelah GECAS, ILFC dan Sumitomo, dan perusahaan leasing terkemuka lain menutup pintu bagi Merpati.

Sial, kerja sama itu berakhir derita. Di tengah perjalanan pihak leasing wanprestasi. Pesawat tak dikirim, uang deposit justru dinikmati oleh Jon C Cooper sebesar US$810.000 dan sisanya oleh pemilik TALG, Alan Messner.

Merpati pun berontak dalam ranah perdata. Pada April 2007, maskapai yang dulunya bernama PN Merpati Nusantara itu mengajukan gugatan resmi ke Federal Court Washintong DC menuntut TALG mengembalikan uang.

Merpati menang dan TALG dihukum mengembalikan deposit beserta dengan bunga dan biaya pengacara.

Namun, berbeda dengan keputusan Federal Court, Tipikor justru mendudukan Hotasi sebagai pesakitan. Alasannya, sewa pesawat tak termaktub dalam rencana kerja anggaran perusahaan atau RKAP 2006, deposit juga dilakukan di luar persetujuan itu.

“Pembayaran deposit dilakukan padahal belum ada penandatangangan purchase agreement[perjanjian pembelian] antara TALG dengan East Dover Ltd selaku pemilik pesawat Boeing 737-500,” kata Franky Son

Merpati memang melakukan upaya hukum terhada TALG dan berhasil mengembalikan US$5.000 tapi menurut Franky unsur kerugian negara tetap diberlakukan.

Keputusan tersebut menjadi pertanyaan publik, apakah kekayaan sebuah perusahaan pelat merah itu menjadi kekayaan negara atau terpisah?

**
Kebimbangan itu muncul lantaran dalam Pasal 4 dalam UU No.19/2003 tentang BUMN dinyatakan bahwa modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang  dipisahkan.

Namun, Pasal 2 dalam UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa yang dimaksud keuangan negara itu di antaranya meliputi kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

Di sisi lain dalam Putusan No. 77 Mahkamah Konstitusi pada September 2012, menegaskan piutang negara terhadap bank milik pemerintah dapat diartikan bahwa bank itu ialah badan hukum privat berbentuk PT dan sebagai badan hukum berbentuk
perseroan terbatas, bank BUMN mempunyai harta kekayaan sendiri yang terpisah dengan kekayaan negara.

Deputi Bidang Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis Kementerian BUMN Achiran Pandu Djajanto merasa kasus Hotasi itu menjadi catatan bagi pemerintah dengan munculnya sejumlah pertanyaan.

Pertanyaan itu, apakah kekayaan BUMN itu kekayaan negara? Apakah kerugian BUMN itu kerugian negara karena Hotasi memesan pesawat murni menggunakan mekanisme korporasi, bisa dikatakan pokok masalahnya adalah UU BUMN versus UU Keuangan Negara.

“Ini menjadi catatan saat kami akan merevisi UU BUMN dan UU Keuangan Negara nanti karena di sana saya me-list ada 10 pertanyaan apakah UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara juga diberlakukan untuk BUMN,” tegas Pandu.

Menurutnya, kalau ada keuangan negara yang mesti dipertanggungjawabkan, mestinya dilihat terlebih dahulu apakah itu langsung dari APBN atau tidak.

“Apakah seorang Hotasi memang punya kehendak korupsi dari Merpati? Apa yang mau  dikorupsi dari Merpati? Lah itu Merpati sudah tidak indah lagi terbang,” katanya.

Pandu menyayangkan kekurangpahaman penegak hukum soal good corporate governance karena suatu keputusan direksi tak mungkin lolos tanpa ada persetujuan komisaris seperti diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 64 PP No. 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN.

Ali Nurdin dari kantor hukum Constitution Centre Adnan Buyung Nasution mencatat kasus Hotasi murni perdata. Bila dikriminalisasi menjadi pidana, akan merusak tatanan. Imbasnya keputusan yang diambil oleh direksi perusahaan negara bisa berujung pada kriminalisasi.

“Kasihan, bapak—bapak yang sekarang jadi direksi perusahaan negara. Siap-siap saja. Kurun waktu 10 tahun—15 tahun ke depan tiba—tiba ada suatu perkara bisa ditetapkan jadi tersangka,” katanya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi yang dihubungi pada Selasa (15/1) menegaskan kasus Merpati tengah berjalan di persidangan sehingga diharapkan segala hal berdasarkan keputusan akhir.

Pihaknya belum bisa berkomentar lebih jauh soal pernyataan kekurangfahaman soal GCG dari kasus Hotasi mengingat kasusnya tengah disidangkan.

“Kasusnya sedang jalan, belum putusan kan, kita tunggu saja keputusannya dari persidangan,” katanya singkat.

RAPATKAN BARISAN
Pendapat Ali itu membuat direksi perusahaan negara lainnya agar tersadar. Hotbonar Sinaga misalnya. Meski sudah tak menjabat sebagai Dirut Jamsostek, dirinya juga menyarankan agar direksi perusahaan merapatkan barisan.

Hotbonar juga hampir dikriminalisasi. Itu bermula saat saham Jamsostek yang mengelola dana hingga Rp131 triliun mengalami delusi porsi saham di Bank Persyarikatan Indonesia yang kini menjadi Bank Syariah Bukopin, padahal secara rupiah nominalnya tetap.

Untungnya, kasus itu masih di meja Jamintel atau Jaksa Agung Muda Intelijen belum di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus atau Jampidsus sehingga berhenti dengan sendirinya meski terbuka peluang dikorek lagi.

“Saya dekati, katakanlah, orang yang cukup berkuasa di negeri ini yang tahu kasus. Minta tolong dia, tapi risiko untuk dimunculkan kembali tetap ada, tapi saya enggak takut kalau memang saya benar,” tegas dosen FEUI ini.

Seperti Hotbonar, Hotasi sempat berupaya bertemu dengan Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan dan Menkopolhukam Djoko Suyanto tapi hasilnya nihil.

“Normatif saja jawabanya, ini belantara,” katanya.

Ali mencatat dari cerminan kasus Merpati, terdapat kelemahan dari Kejaksaan Agung dalam menafsirkan Pasal 3 dan Pasal 2 UU Tipikor yakni soal merugikan keuangan negara dan perbuatan melawan hukum dengan niat memperkaya diri sendiri.

Dalam prakteknya, seringkali unsur pertama itu diabaikan sehingga hanya dilihat apakah ada perbuatan melawan hukum atau tidak. Imbasnya ada kerugian perusahaan negara, kebijakan direksi di balik kerugian itu ditarik ke ranah korupsi.

Apabila kekeliruan penafsiran itu berlanjut, silahkan menunggu waktu bagi direksi perusahaan negara untuk dipanggil oleh aparat baik saat masih menjabat maupun setelah menjabat.

“Jangan jauh—jauh, menteri yang sedang berkuasa saja bisa dijadikan tersangka [Andi Malarangeng, Menpora], dan Pak Dahlan Iskan pun sudah dipersoalkan kebijakannya di PLN dulu, kalau dia tak kuat, dia akan kena, tinggal tunggu waktu,” katanya.

Dengan pertimbangan itu, Ali berharap direksi perusahaan negara, yang berpotensi dirugikan, duduk bersama untuk mengajukan judicial review atau pengujian kembali atas Pasal 2 UU Keuangan Negara agar dicabut. Pasal itu menjadi pintu masuk tuduhan korupsi bagi direksi BUMN.

Ali juga berharap komisi kejaksaan guna mengawasi kinerja kejaksaan sebagaimana Komisi Yudisial mengawasi tindakan hakim. Selama ini pengawasan kejaksaan dilakukan oleh satu komite kejaksaan yang tidak punya kekuatan.

Baginya, perlu ada lembaga hakim dan komisaris guna menggantikan lembaga praperadilan. Kewenangannya lebih jauh bisa menguji penetapan seseorang menjadi tersangka dan menguji apakah yang bersangkutan bisa ditahan atau tidak, mengacu pada kasus Hotasi.

Irwan M Habsjah, Ketua Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia, dalam kesempatan itu diskusi itu mencoba untuk mengkaji kemungkinan judicial  review itu.
Pihaknya bersama asosiasi tersebut berupaya dalam menggalang dukungan termasuk dalam mengajukan judicial review.

Ali mewanti—wanti agar direksi BUMN jangan takut karena maju ke MK menguji satu aturan karena menyangkut hak warga negara bukan dalam arti melawan atau bertentangan dengan pemerintah.

Sayangnya, dalam sidang Hotasi Senin siang itu, tak ada perwakilan dari LKDI yang berjanji bakal mendampingi alumnus ITB dan MIT Boston itu di persidangan sembari membagikan siaran pers soal rencana judicial review itu.

Sorot mata Hotasi saat persidangan Senin itu tak berubah jadi kuyu. Dia tetap berusaha mengumpulkan patahan masa lalu saat mengambil keputusan itu meski kini keputusan itu berakhir tragis. Atas informasi dan segala pertimbangan, keputusan itulah dinilai paling tepat saat itu.

“Kalau diulang waktu, saya akan ambil keputusan yang sama. Ini bukan crime, sebagai  seorang leader harus berani ambil keputusan,” ujarnya.

Selama 2 pekan ke depan sejak Senin 7 Januari itu, Hotasi bersama kuasa hukumnya Juniver Girsang berupaya melawan apa yang disebutkan sebagai kriminalisasi itu. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, edisi Rabu 16 Januari dan Kamis 17 Januari 2013.

Senin, 14 Januari 2013

Karena e-Ticketing, Mereka Diusir

Sejumlah pedagang menyelamatkan barang yang masih berharga saat petugas dari PT KAI dibantu Polisi dan Satpol PP menertiban ratusan kios pedagang kaki lima (PKL) di sekitar Stasiun Depok Baru, Depok, Jawa Barat, Kamis (13/12), Photo by ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
M. Tahir Saleh

POSTER bertuliskan Dicari Orang Hilang diangkat tinggi-tinggi oleh seorang pengunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Panasnya mentari pada Senin (14/1) tidak menyurutkan lengkingan teriakannya.

Di poster itu terpampang jelas gambar tiga orang yang dinilai paling bertanggung jawab atas pengggusuran lapak dagangan mereka di sejumlah stasiun.

Ketiga orang itu adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri BUMN Dahlan Iskan, dan Dirut PT Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan.

Kepada ketiganyalah mereka menyandarkan kesalahan. Minimnya sosialisasi penertiban pedagang kaki lima (PKL) di areal stasiun kereta api wilayah Jabodetabek membuat mereka terusir dari tempat mereka mencari nafkah selama puluhan tahun.

“Tiga orang itu bertanggung jawab atas penggusuran tempat usaha kami,” teriak salah satu orator di atas mobil aksi di depan Istana Merdeka, Senin (14/1).

Aksi unjuk rasa kali ini digelar oleh ratusan pedagang kaki lima memprotes pembongkaran lapak dagangannya oleh operator tunggal kereta api di Indonesia itu. Beberapa pendemo bahkan mengecat wajah mereka dengan cat hitam dan putih.

Namun, keriuhan aksi massa itu bergerak tak sesuai agenda karena terpaksa bergeser menuju Stasiun Pondok Cina, Depok, karena pada saat bersamaan terjadi unjuk rasa di stasiun itu dipicu pembongkaran paksa puluhan kios PKL.

Sri Wahyuni, pedagang Stasiun Universitas Indonesia, mengatakan rombongan Persatuan Pegiat Usaha Stasiun Se-Ja bodetabek itu terpaksa beralih ke Stasiun Pondok Cina (Pocin) lantaran kios mereka dibongkar paksa saat PKL di sana ikut unjuk rasa di Istana Merdeka.

“Saat kami sedang unjuk rasa di istana dapat kabar Stasiun Pocin sudah digusur kios-kiosnya, karena itu kami langsung ke sini. Mereka, tiga pejabat itulah yang bertanggung jawab!”

Di Stasiun Pondok Cina, ratusan pedagang dan mahasiswa juga bentrok dengan petugas keamanan stasiun. Sedikitnya 20 kios di stasiun itu dibongkar.

Pengunjuk rasa yang kesal kemudian menghadang laju kereta api dengan berdiri di atas rel. Pendudukan rel kereta itu membuat jadwal kereta pun terganggu.

Pantauan di Stasiun Manggarai, petugas pengeras suara di stasiun menyatakan kereta dari Bogor yang melewati Pondok Cina masih tertahan karena stasiun itu masih dikerumuni massa.
Aksi pendudukan jalur KA di Stasiun Pondok Cina baru yang dilakukan sejak pukul 12.00 WIB baru berakhir pukul 17.20 WIB. Ribuan penumpang KRL sempat terlantar di sejumlah stasiun selama beberapa jam.

Perjalanan KRL relasi JakartaBogor belum berjalan normal hingga malam sebagai dampak ikutan keterlambatan perjalanan.

KLAIM SOSIALISASI
Kepala Humas PT KAI Sugeng Priyono mengatakan pihaknya sudah berkali—kali melakukan sosialisasi penertiban aset perseroan sehingga masalah dengan PKL sebetulnya sudah terjadi berulang kali.

Sebetulnya, katanya, perseroan tidak ada kewajiban sebagai pemilik aset tempat kios itu dikontrakan untuk memindahkan pedagang atau relokasi karena bukan menjadi tanggung jawab pemilik lahan.

Penertiban area KA yang kini sudah sekitar 50% itu dilakukan di seluruh jaringan kereta Jabodetabek setelah sebelumnya jaringan kereta jarak jauh itu guna menerapkan sistem tiket elektronik atau electronic ticketing (e-ticketing).

“Kendalanya tidak ada kesepakatan, yang ditata itu aset PT KAI, ada kontrak dengan pengguna kios, bisa jadi pengguna kios itu mengontrakan lagi kios itu kepada pedagang. Kontrak, ada batasan waktu,” ujarnya.

Sugeng yang dipromosikan menjadi Deputi PT KAI Daerah Operasi I Jakarta Bidang Pelayanan per 9 Januari mengatakan pihaknya menargetkan Maret mendatang penerapan e-ticketing mulai berlaku.

“Semua aset kami ditata, kalau enggak ditata bagaimana kapasitas naik, area parkir juga diperluas, cuma di Jakarta yang selalu bermasalah,” katanya.

Handika Febrian, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum yang menjadi pendamping Persatuan Pegiat Usaha Stasiun Se-Jabodetabek, menyatakan PT KAI memang gencar menggusur paksa kios pedagang di berbagai stasiun.

Penolakan dilakukan oleh pedagang karena tidak ada sosialiasi yang memadai, tidak pernah ada dialog dan tawaran solusi apapun kepada pedagang yang sudah puluhan tahun menjadi mitra PT KAI berdagang di stasiun.

“Bahkan teguran Komnas HAM dan Kementrian BUMN pun tidak digubris. Mereka terus menggempur paksa kios-kios pedagang dengan dalih melaksanakan Perpres No. 83/2001,”  tegasnya dalam surat undangan aksi massa.

Dia menyayangkan PT KAI yang mengerahkan aparat TNI dan polisi untuk menggusur paksa kios mulai dari Stasiun Cilebut, Bojong Gede, Stasiun Citayam, Stasiun Bogor, Stasiun Depok Baru, Stasiun Lenteng Agung, dan Pondok Cina.
Menurutnya, dampak penggusuran paksa itu membuat ratusan pedagang korban penggusuran itu menjadi pengangguran baru Indonesia, menjadi  korban pemiskinan struktural oleh PT KAI.

Ketua Forum Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setidjowarno menyarankan agar pemerintah daerah setempat jangan lepas tanggung jawab terhadap PKL yang selama ini berdagang di stasiun

Dia menilai masalah PKL tak hanya dibebankan pada PT KAI, melainkan juga pemda sehingga bisa saling bekerja sama agar pedagang bisa menggunakan lahan lain untuk berdagang.

“PKL menjadi urusan pemda setempat karena kondisi stasiun yang steril itu akan sangat membantu penerapan tiket elektronik. Jadi sebetulnya pemda setempat jangan lepas tangan, mengembalikan semuanya ke PT KAI,” katanya. (Berliana Elisabeth S/Hendra Wibawa)


Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi Selasa, 15 Januari 2013 dengan judul asli ‘Kala Pedagang Menduduki Jalur Kereta’

Jumat, 11 Januari 2013

Ramai-ramai Masuk Bisnis Pesawat Carter

Pesawat Cessna Grand Caravan @Photo by www.cessna.com
M. Tahir Saleh

ENTAH sudah berapa kali CEO AirAsia Tony Fernandes menyambangi Jakarta dari Kuala Lumpur demi memproses pembelian maskapai penerbangan lokal Batavia Air yang sejak Juli lalu disepakati.

Meski negosiasi itu akhirnya kandas, toh publik tak banyak tahu bahwa bekas pegawai Warner Music itu tak hanya menggunakan maskapainya sendiri, AirAsia, tapi juga jet pribadi ke Jakarta melalui Bandara Halim Perdanakusuma.

“Kalau dari KL [Kuala Lumpur] ke Jakarta beliau sering naik maskapai AirAsia, tapi terakhir beliau ke sini sepengetahuan saya beliau naik private jet,” kata Audrey Progastama Petriny, Communications Manager AirAsia Indonesia, belum lama ini.

Bagi pengusaha sekelas Tony, sepertinya bukan ingin menunjukan dirinya mampu membeli pesawat pribadi tapi barangkali faktor waktu yang menyebabkan pesawat pribadi menjadi pilihannya.

Harga pesawat pribadi memang sesuai dengan jenisnya dan bisa mencapai US$2 juta—US$3 juta atau sektar Rp19 miliar—Rp28,5 miliar (asumsi kurs Rp9.500 per dolar AS). Harga itu setara dengan laba perusahaan berkapitalisasi menengah di Bursa Efek Indonesia dalam setahun.

Selain Tony, sebetulnya cukup banyak pengusaha Indonesia yang memiliki pesawat pribadi meski soal ini belum ada data pasti dan dipublikasikan secara resmi karena cenderung tertutup.

Saat datang ke Bandara Halim Perdanakusuma dan berbincang dengan eksekutif perusahaanpenerbangan tidak berjadwal alias pesawat carter, saya memperoleh informasi tentang siapa saja pengusaha di Tanah Air yang punya jet pribadi. Halim Perdanakusumamemang diperuntukkan sebagai basis penerbangan pesawat nonberjadwal,carter, dan militer.

Seorang eksekutif salah satu perusahaan carter Indonesia membeberkan ada sejumlah pengusaha telah lama mengoleksi pesawat pribadi. Aburizal Bakrie misalnya. Ketua Umum Partai Golkar ini kabarnya punya tiga jenis Cessna Citation yang dikelola oleh perusahaan carter Pegasus.

Keluarga Jusuf Kalla juga punya dua sampai tiga unit pesawat tetapi ada satu unit yang khusus diperuntukan sendiri dan tidak untuk disewakan saat pesawat itu nganggur. Mantan Wapres itu kabarnya ‘menitipkan’ pesawatnya di Nusantara Air Carter.

Prabowo Subianto, politisi Partai Gerindra ini juga kabarnya punya, sedangkan Grup Wilmar International yang bergerak di bidang kelapa sawit punya pesawat pribadi jenis Cessna Grand Caravan yang dititipkan di Enggang Air Service.

Chief Operating Officer Grup Wilmar Martua Sitorus tercatat merupakan orang terkaya nomor empat di Indonesia pada tahun ini versi Majalah Forbes dengan taksiran kekayaan US$3,0 miliar. Pengusaha lainnya adalah Surya Paloh dan Osman Sapta Odang. Kabar terakhir menyebutkan Chairul Tandjung, pengusaha pemilik CT Corp yang tenar saat ini juga akan membeli pesawat pribadi.

Commercial Manager Enggang Air Service Harry Priyono mengatakan pilihan menggunakan pesawat pribadi atau menyewa pesawat di perusahaan carter bagi pengusaha, pejabat, atau orang penting dalam perusahaan kini menjadi satu kebutuhan, bukan sekadar prestise.

“Buat mereka waktu lebih fleksibel, kalau ikut [pesawat] reguler kan kut jadwal, tapi persepsi masyarakat itu gaya—gayaan. Waktu mereka terlalu padat dan ketat, udah engga keburu ikut pesawat regular, memang kebutuhan,” katanya.

Potensi besar
Dari bisnis, potensi pasar penyewaaan pesawat masih sangat besar seiring dengan makin banyak orang kaya di Indonesia, apalagi pertumbuhan ekonomi Indonesia begitu bagus dan positif. Forbes mencatat dari 1.226 orang kaya di dunia pada tahun ini, 17 di antaranya adalah pengusaha asal Indonesia.

Harry yang mantan Direktur Niaga Sriwijaya Air dan Express Air ini menilai faktor pendorong lain yang ikut mendorong pertumbuhan industry pesawat carter adalah penyelenggaraan berbagai konferensi, seminar, dan pameran skala nasional dan internasional di Indonesia. Banyak tokoh internasional yang datang dengan menggunakan pesawat carter.

“Saat Christiano Ronaldo itu datang ke Indonesia kan pesawat carternya berhenti di Singapura lalu beralih ke carter Indonesia, jadi secara umum potensi carter besar,” katanya.

Selain itu layanan evakuasi medis atau medical evacuation juga menjadi salah satu pendorong lainnya. Hal itu lantaran ada kebutuhan pesawat carter untuk membawa pasien yang tidak bisa ditangani oleh rumah sakit Indonesia untuk diterbangkan ke Singapura.

Terlebih lagi, pusat bisnis yang berada di Jakarta dan Pulau Jawa, dinilai tidak mampu lagi dilayani oleh maskapai komersil berjadwal.

Berdasarkan data Indonesia National Air Carrier Association (INACA), pada tahun lalu terdapat 22 anggota maskapai penerbangan tidak berjadwal, termasuk pesawat carter. Jumlah ini di luar 17 maskapai penerbangan berjadwal, belum termasuk Pacific Royale yang baru beroperasi tahun ini.

Salah satu di antaranya yakni Enggang Air yang akan berubah nama menjadi OSO Jet dengan mengoperasikan satu unit Embraer Legacy 600, satu Cessna Citation VII, dua Cessna Gr and Caravan, dan satu unit helikopter Agusta AW 109SP. Jenis pesawat Caravan yang harganya berkisar US$2 juta-US$3 juta tersebut, cocok untuk melayani pe nerbangan ke wilayah terpencil.

Beda lagi dengan Embraer Legacy dan Cessna Citation yang biasanya dikhususkan untuk kelas eksekutif dengan kapasitas masing-masing 13 penumpang dan tujuh penumpang.

Soal harga sewa, secara umum sangat tergantung pada jenis pesawat, namun biasanya tidak berbeda jauh antaroperator. Perbedaan hanya terletak pada layanan. Jenis Embraer Legay, misalnya, harga sewanya sekitar US$8.000 per jam, sedangkan Caravan US$1.600 per jam [bukan US$7.000 per jam sebagaimana tertulis sebelumnya].

Data INACA menyebutkan terdapat sejumlah maskapai pemegang Surat Izin Usaha Angkutan Udara Niaga (SIUAUN) berjadwal yang memiliki SIUAUN tidak berjadwal, begitu pula sebaliknya.

Artinya, pertumbuhan bisnis penerbangan komersial dalam beberapa tahun terakhir ini—khususnya segmen domestik—tak hanya dinikmati maskapai penerbangan berjadwal tetapi juga pesawat carter.

Pada tahun lalu, jumlah penumpang rute domestik untuk penerbangan berjadwal mencapai 60,20 juta, atau naik dari tahun sebelumnya 51,78 juta.

Dari sisi kompetisi, Harry berpendapat persaingan di bisnis pesawat carter sejauh ini masih cukup sehat. Tidak ada saling tusuk dari belakang antarpesaing ataupun banting harga.

Peluang bisnis yang cukup besar inilah yang tampaknya menjadi pertimbangan beberapa maskapai regular seperti Lion Mentari Airlines (Lion Air) untuk meluncurkan Bizjet pertengahan tahun ini guna membidik pasar pesawat carter.

Direktur Umum Lion Air Edward Sirait juga berpendapat potensipasar pesawat carter di Indonesia masih tinggi dan dan sangat terbuka lebar.

“Aktivitas bisnis yang makin menyebar, membuat para pebisnis butuh sarana transportasi yang cepat dan efisien,” katanya.

Bizjet, layanan pesawat carter milik Lion Air yang beroperasi pada Juni 2012, sering melayani penerbangan tujuan Kalimantan, Sulawesi hingga Singapura dengan menggunakan pesawat Hawker berkapasitas tujuh kursi. Harga pesawat tipe ini sekitar US$20 juta - US$30 juta per unit.

Dia mengakui agak sulit memperoleh data lengkap mengenai nilai dan potensi bisnis penerbangan tak berjadwal di Indonesia sebab sebagian pesawat carter dimiliki perorangan.

Pada awalnya, para pengusaha pemilik pesawat pribadi menggunakannya untuk keperluan kepentingan bisnisnya sendiri. Namun, mengingat pesawat tersebut tidak terbang setiap hari, maka mereka pun mulai menyewakannya. Selain bisa memperoleh pendapatan tambahan yang tidak kecil, juga dapat meringankan beban biaya perawatan pesawat. (Sukirno/Chamdan Purwoko) (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia edisi Selasa, 27 November 2012


Entri Populer

Penayangan bulan lalu