Jumat, 18 Juli 2014

Dawai Gitar untuk Indonesia

Aksi Endah N Rhesa, photo by Bentara Budaya Jakarta
“Satu hal yang baik tentang musik adalah ketika musik menyapa, Anda tidak merasakan sakit.” Bob Marley
Oleh M. Tahir Saleh

Alvin Adam dan Ratna Dumila tiba-tiba muncul dari balik pintu panggung Bentara BudayaJakarta (BBJ). Saat itu malam mulai merambat kendati baru pukul tujuh lewat. Kedua pembawa acara ini lantas menyapa hadirin, lalu seketika memanggil 47 gitaris.

Rabu malam pertengahan Februari itu, BBJ nampak dijejali penonton yang hendak menyaksikan aksi gitaris Indonesia dalam pentas amal ‘Dari Gitaris untuk Indonesia’. Perhelatan ini memang digagas oleh sejumlah gitaris dan disokong oleh lembaga kebudayaan BBJ. Puluhan musisi Indonesia dari berbagai genre hadir bersama dengan para donatur yang memenuhi kawasan Palmerah Selatan, Jakarta. Pementasan dimulai pukul tujuh hingga 11 malam. Tapi, tak semua tumplek berbarengan karena mereka dibagi dalam 13 band.

Penampilan band perdana yang apik disuguhkan Irvan Aulia ‘Samsons’, Arif ‘Kerispatih’, Diat ‘Yovie and Nuno’, Marshal ‘Ada Band’, Rama ‘D’Masiv’, dan Arden ‘Tiket’ lewat lagu Pelangi karya Koes plus. Performa band kedua tak kalah rancak. Penonton terkesima dengan lagu reggae milik Bob Marley berjudul One Love yang dibawakan oleh Eross ‘Sheila On 7’, Kin Aulia ‘The Fly’, Denny Chasmala, Qoqo ‘She’, Taraz ‘The Rock Triad’, Riry Silalahi, dan Didit Saad. Usai penampilan ini, sekitar pukul delapan, kedua host mengumumkan donasi sementara terkumpul Rp150 juta, ditambah sumbangan dari Mayapada Foundation melalui Datuk Sri Tahir yang mencapai Rp500 juta.

Selepas aksi trengginas Burgerkill dan duet romantis suami istri Endah n’ Rhesa, donasi langsung bertambah Rp500 juta lagi dari Osman Sapta Odang, pemilik Grup OSO yang turut hadir. “Ini rekor, baru lima penampil sudah dapat Rp1 miliar,” kata Ratna Dumila, presenter Kompas TV.

The musicians, photo by BBJ
Sehabis itu tampil puluhan gitaris lain, baik dengan auman distorsi gitar maupun lewat petikan manis. Jubing Kristianto, John Paul Ivan, Piyu ‘Padi’, Gugun ‘GBS’, Baron, Ovy /rif, Onci ‘Ungu’, Agam Hamzah, Dewa Budjana, hingga Tohpati. Tak ketinggalan musisi lawas Ireng Maulana, Mus Mujiono, dan Ian Antono. Total derma yang terkumpul Rp1,73 miliar dan S$10 dolar.

Bukan kali ini saja konser sukarela menggandeng musisi digelar untuk menghimpun dana bagi korban bencana alam. Pada 5 Februari, sederat musisi Tanah Air juga meramaikan konser amal ‘KOIN: Senandung untuk Negeri (Charity untuk Manado)’ di Hardrock Cafe, Pacific Place, Jakarta. Pegelaran guna menarik dana bagi para korban banjir Manado ini menampilkan sejumlah musisi misalnya Kerispatih, Alexa, Slank, Glenn Fredly, Indah Dewi Pertiwi, dan tak ketinggalan Cherry Belle. Lebih dari Rp430 juta terkumpul dari konser tersebut. Di luar negeri, perhelatan amal oleh pekerja seni juga bukan hal baru. Jumlahnya tak terhitung. Terakhir, para pemusik top dunia tampil dalam konser penghimpunan dana bagi korban Topan Sandy. Nama-nama musisi tersohor dunia itu di antaranya Rolling Stones dan Eric Clapton.

Inisiatif gelaran amal itu dipicu oleh bala yang memang belum menjauh dari Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak awal tahun sampai 16 Februari tercatat 282 bencana. Dampaknya 197 orang tewas, 64 luka-luka, 1,6 juta jiwa mengungsi, dan puluhan ribu rumah rusak. Ekses ekonominya sangat besar.

Lembaga negara ini bahkan memperkirakan kerugian dan kerusakan akibat banjir bandang Sulawesi Utara mencapai Rp1,87 triliun, erupsi Gunung Sinabung Rp1 triliun, banjir Pantura Rp6 triliun, dan banjir Jakarta Rp5 triliun. Ini belum termasuk dampak meletusnya Gunung Kelud di Jawa Timur pada Kamis malam (13/2). “Bencana menjadi urusan bersama. Pemerintah dan Pemda menjadi penanggung jawab utama,” ujar Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, dalam siaran persnya.

Konser tak berhenti di BBJ dan Pacific Place. Di tengah bencana yang melanda, tercetuslah konser amal berikutnya yang diselenggarakan oleh Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) bekerja sama dengan Hipmi Peduli, Suara Hati Project, Polimoli.com, iPhonesia, dan Tamasya Hati.

Sari W. Pramono, Ketua Hipmi Peduli, mengungkapkan seluruh dana yang dihimpun dari penampilan musisi Tanah Air bakal disumbangkan untuk para korban bencana. “Karena judulnya konser amal, kami perlu artis. Tentunya kalau bersinergi dengan pihak luar lebih baik, kenapa tidak,” kata Sari.

Acara itu bertajuk ‘Suara Hati Peduli Konser Peduli Sesama: Persembahan untuk Indonesia’. Artis-artis papan atas seperti Ari Lasso, Andre Hehanusa,  Andra & The Backbone, Netral, dan Yuni Shara tampil memeriahkan acara tersebut. Konser amal ini berlangsung di Rolling Stone Cafe, Jakarta pada 20 Februari pukul 17:00-23:00 WIB. Harga tiket dipatok Rp300.000, VIP Rp5 juta, dan VVIP Rp10 juta. “Iya dong, artisnya pro bono [latin: bersedia tak dibayar], seluruh penjualan akan kami donasikan,” ujar Sari yang merangkap sebagai Wakil Bendahara Umum Hipmi ini.

Tak bisa ditampik, seni memang menjadi salah satu medium ampuh dalam menggalang dana. Ini yang disadari oleh Benyamin Prayogo, Ketua Departemen UKM dan Pengusaha Kecil Hipmi. Meski kerap menyumbang secara langsung bagi korban bencana, Hipmi kali ini mencoba kreatif dengan menggandeng musisi.

Penampilan musisi; penyanyi dan gitaris tanpa dibayar itu diharapkan menarik uluran tangan agar mendapatkan donasi cukup besar untuk mengurangi beban para korban. Soal anggaran sponsor, pria yang akrab disapa Benny ini belum bisa membuat estimasi. “Biasanya kami kumpulin dari anggota Hipmi lalu sumbang direct ke Jakarta, Bandung, Subang, Manado, hingga Sinabung,” kata Benny. “Tapi, baru kali ini kami kerja sama dengan artis.”

Walau begitu, dia berharap konser-konser yang positif semacam ini tidak seharusnya marak. Sebab bila perhelatan musik amal kerap diadakan, itu artinya musibah masih menghampiri Indonesiapadahal itu tidak diinginkan.

Harapan ini seperti tersirat dalam wejangan Iwan Hasan, pemain gitar harpa yang tampil dalam pementasan amal di BBJ Rabu malam itu. Saking cintanya, Indonesia laiknya rumah, tempat berlindung. “Mari kita yang hadir di sini jadikan Indonesia sebagai tempat berlindung di hari tua,” kata Iwan.

Setidaknya kesedihan masyarakat dan para korban bencana atas musibah bisa dihibur oleh penampilan para seniman melalui musik, seperti kata Bob Marley dikutip situs Magforwoman: “Satu hal yang baik tentang musik, ketika Anda mendengarnya, Anda tidak merasa sakit.”

Kepedulian bisa datang dari siapa saja, profesi apa pun, atas nama kemanusiaan dan solidaritas. Memang dana hasil pertunjukan amal belum bisa menggantikan kerugian materi dan psikologis akibat malapetaka itu, tapi konser amal merupakan wujud sederhana untuk berbagi dan membantu sesama.

Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 24 Februari 2014
Words: 989


Jumat, 11 Juli 2014

Uang Digital atau Komoditas Virtual?

Pengguna Bitcoin di Tanah Air sudah mencapai 3.000-5.000 orang. Mereka meyakininya sebagai komoditas, bukan mata uang

Oleh M. Tahir Saleh
RedFury, photo by Bloomberg Businessweek

SUARA DI SEBERANG TELEPON mengagetkan Tiyo Triyanto (30). Selang beberapa hari setelah dia menerima kiriman uang dari para pembeli USB Bitcoin Miner, produk buatannya, staf sebuah bank memintanya datang untuk menjelaskan aliran uang berjumlah besar yang mampir ke rekeningnya.

“[Transaksi] disangka mencurigakan, saya dipanggil, ditanya-tanya oleh kepala bank, yah saya buka semua, saya orang bener kok," cerita Tiyo, penambang terbesar Bitcoin di Indonesia, ditemui Rabu malam (22/1).

Pria lulusan Xavier University, Cincinnati Ohio, Amerika, ini hampir setahun menekuni bisnis tambang uang virtual bernama Bitcoin. Sebelumnya dia berbisnis macam-macam, mulai dari restoran hingga usaha lain. Sampai akhirnya uang virtual yang heboh di Amerika, Eropa, dan Asia—termasuk Indonesia—ini menarik minatnya dengan segala manfaat; tanpa biaya transfer, memudahkan transaksi, aman, dan banyak membantu orang. Transaksi itu tanpa fee karena memakai teknologi peer-to-peer atau teknologi pemakaian bersama (sharing) resource dan service antara satu komputer dengan komputer lain.

Bitcoin ini semacam invensi (rancangan) protokol yang terbuka (open-source) sehingga siapa pun bisa turut serta memverifikasi data-data di dalamnya, sebutannya ‘penambang’. Ketika data terpecahkan, Bitcoin pun diperoleh dengan nilai tertentu layaknya menambang emas. Penciptanya Satoshi Nakamoto.

Ada dua cara mendapatkan Bitcoin. Pertama, membeli dari orang atau menukar Bitcoin ke dalam mata uang dolar Amerika di Bitcoin exchange seperti money changer. Kedua, ‘menambang’ atau mining yang membutuhkan software dan hardware tertentu. Konsep sederhananya seperti mengunduh duit dari internet.

Tiyo merancang dan memproduksi apa yang dia namakan RedFury, USB Bitcoin Miner pertama buatan Indonesia. Pengguna tinggal mencolok USB itu ke slot komputer atau laptop, memasukkan ID atau address yang sudah dibuat sebelumnya di beberapa situs (bisa lewat Blockchain.info atau Coinbase.com), mirip seperti membuat e-mail. Memiliki address adalah langkah awal sebelum menambang.

Setelah USB khusus itu dicolok, ikuti saja petunjuk mudah lalu cip itu akan bekerja otomatis 24 jam per hari memecahkan teka-teki matematis (menambang) dan menghasilkan Bitcoin yang bisa ditukar menjadi dolar (1 Bitcoin = US$850). Pembeli tinggal memantaunya berapa lama dan berapa banyak. Bitcoin yang dihasilkan tergantung berapa banyak unit USB khusus ini dipakai. Semakin banyak unit USB dipakai melalui USB Hub, makin bejibun Bitcoin yang dihasilkan.

Tiyo di bengkel kerja,
photo by Bloomberg Businessweek
Produk pertama Tiyo, yang bekerja sendiri tanpa perusahaan, terjual 3.000 unit dalam 20 hari dan batch kedua terjual 7.000 unit dalam lima hari. Omzetnya menembus US$1 juta dengan harga satu Redfury sekitar USD$100-150. Dengan 95% pembeli mancanegara, wajar saja uang yang masuk ke rekening pria kelahiran 25 Januari 1984 ini membuat bank curiga.

Dengan USB ini, pembeli bisa dengan mudah menambang Bitcoin. Tak perlu ribet memusingkan kabel dan spesifikasi teknis komputer. “Ketika memulai dulu memang kompleks sekali, saya sebulan belajar seluk-beluknya,” katanya. “Tapi kini ada teknologi baru, saya buat sedemikian rupa biar orang baru enggak terlalu bingung, software sudah ada, colok USB, tinggal klik kanan, edit ganti jadi Bitcoin address saja.”

Bahkan dengan Bitcoin, dia bersama komunitas Indonesian Bitcoin Community (IBC) menggalang donasi bagi korban Topan Haiyan di Filipina. Hasilnya mengesankan, terkumpul US$60.000 atau setara dengan Rp720 juta. Tapi yang lebih menakjubkan, nilai itu ditarik dari 8 sen dolar. “Nilai minimum Bitcoin itu bisa delapan desimal.”

Diperkirakan pengguna Bitcoin di Indonesia saat ini sudah mencapai 3.000-5.000 orang, baik sebagai trader maupun penambang. Pasokan Bitcoin terbatas hanya sampai 21 juta dan bakal habis dikeruk mesin komputer pada 2140.

Oscar,
photo by Bloomberg TV Ind
Oscar Darmawan, CEO Bitcoin Indonesia, menjelaskan Bitcoin lebih diartikan sebagai komoditas virtual, bukan mata uang digital (virtual currency). Barangkali ini seperti emas digital. Pengguna tinggal barter atau mengonversi Bitcoin menjadi rupiah atau dolar. “Jadi Bitcoin semacam media transfer, lalu ditukar ke rupiah,“ katanya.

Namun, perlu dicatat, perdagangannya pun berisiko. Harga Bitcoin fluktuatif, berubah signifikan dari waktu ke waktu. Berdasarkan informasi situs Bitcoin.co.id milik Oscar, disebutkan dalam transaksi Bitcoin, tak ada nomor kartu kredit yang bisa dikumpulkan oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Dengan Bitcoin, dimungkinkan transaksi anonim alias tanpa identitas. Berbeda dengan transaksi online konvensional, misalnya transfer bank, yang wajib mencantumkan nama lengkap dan identitas pendukung. Transfer lintas benua juga mudah, layaknya bertransaksi dengan tetangga sebelah. Soal keamanan, transaksi diamankan oleh kriptografi tingkat militer, tak ada yang bisa memakai uang Anda atau membayar atas nama Anda.

Bitcoin Indonesia dipelopori oleh Oscar sejak 2012 sebagai perusahaan pertama yang melayani jual beli Bitcoin online (BTC online) di Indonesia melalui berbagai media Bitcoin online di dalam dan luar negeri. Ribuan orang di Indonesia, katanya, mulai menggunakannya, tapi masih sebatas membuat website, hosting, dan domain. Beberapa restoran diketahui juga memakai Bitcoin, contohnya di Lombok dan Jakarta. Mereka memilih Bitcoin, selain untuk memperluas ekosistem pengguna, juga untuk ekspos media.

Dengan pesatnya pertumbuhan pengguna, Oscar berharap pemerintah ikut mendukung mata uang digital ini. Sokongan bisa berbentuk regulasi atau menerapkan pajak dalam Bitcoinseperti di Singapurakarena ini merupakan komoditas, bukan mata uang. “Di China, untuk finansial dan bank memang enggak boleh, tapi digunakan individu boleh. Kalau mata uang ‘kan dikeluarkan negara, kalau ini komoditas: emas sakti,” kata Oscar yang juga pendiri Yayasan Sosial Dokter Sehat.

Pemerintah memang tak boleh berdiam diri. “Mau tak mau Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) harus siap turun tangan bila jumlah pengguna Bitcoin makin gemuk. Di satu sisi belum ada pengaturan, di sisi lain tak ada pelarangan eksplisit,” kata Dradjad Hari Wibowo, Ekonom Sustainable Development Indonesia.

Masih jauh bila dikatakan Bitcoin bakal menggeser penggunaan uang fisik karena perubahan ini berkaitan dengan tahapan ekonomi sebuah bangsa. Di beberapa daerah, malah masih ada yang memakai sistem barter—meski tak dimungkiri ada kelas menengah yang sudah siap memakai alat tukar ini. Jumlah kelas menengah, dengan penghasilan US$5.000 per bulan atau US$60.000 per tahun, jauh lebih banyak dari Singapura yang jumlah penduduknya hanya sekitar 4 juta. “Masih jauh untuk mengganti uang fisik, teknologi Near Field Communication [NFC] saja belum banyak dipakai. Bitcoin dipakai beli es cendol enggak bisa, tapi ada beberapa transaksi online bisa, saya rasa ada kaum virtual kelas menengah di Indonesia yang sudah siap,” ujarnya.

Meski di Indonesia berlaku UU No.7/2011 tentang Mata Uang, tidak semua transaksi mengacu pada peraturan ini, misalnya di Bali dan pelabuhan internasional yang menggunakan dolar Amerika. “Biar bagaimanapun BI mau tidak mau harus siap. BI saya rasa enggak akan melarang, kalau melarang bisa dikategorikan anti-perkembangan. Tinggal sekarang pengguna aktif jalankan saja, kembangkan seluasnya, nanti negara juga pasti turun tangan,” kata Dradjad.

Gatot S. Dewa Broto, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, mencatat dua hal terkait Bitcoin. Pertama, layanan ini kian berkembang di luar negeri sehingga akan masuk radar mereka. Pihaknya tidak menutup kemungkinan akan mengatur bila urgent. Meski begitu, dalam UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan PP No.82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik sudah mengatur, tapi masih secara umum.

Kedua, bila terjadi perselisihan (dispute) dan fraud dalam layanan Bitcoin sebetulnya bisa masuk dalam perlindungan UU ITE Pasal 28 Ayat 1 dan kalau ada pengambilan atau pencurian dokumen, masuk Pasal 30-35. “Misalnya saya punya Bitcoin, ternyata diambil oleh seseorang. Itu bisa dijerat, tapi kalau peraturan yang khusus mengatur layanan itu [Bitcoin] sendiri belum ada. Di Amerika pernah ada kejadian, dan dijerat dengan UU yang mirip ITE di pengadilan.”

Lebih jauh, Kementerian akan mengkaji perkembangan Bitcoin, melihat urgensinya, dan bila perlu akan dibuat regulasi khusus. Mereka juga meminta ada terminologi detail dari Otoritas Jasa Keuangan. Hingga saat ini belum ada pengajuan audiensi dari komunitas Bitcoin.

Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacob menegaskan dasar hukum transaksi keuangan di Indonesia sudah jelas, harus menggunakan mata uang rupiah sebagai mata uang sah. Tetapi memang ada pengecualian, misalnya di pelabuhan atau perbatasan. “Intinya begitu. Jadi, kalau ada orang yang mau memakai Bitcoin, siapa yang tanggung jawab kalau enggak laku? Transaksi harus memakai mata uang sah, yaitu rupiah,” katanya.

Tiyo dan Oscar mahfum betul wilayah regulasi ini. Rencana pengajuan penjelasan mengenai Bitcoin kepada pemerintah tengah disusun bersama komunitas Bitcoin. Tujuannya tentu bukan hanya mengejar keuntungan dari menjual komoditas virtual itu, tapi ke depan mereka berharap Bitcoin bisa menjadi alat tukar global.

Banyak celah yang perlu diperbaiki agar Bitcoin bisa dipahami betul oleh masyarakat.  “Sosialisasi terus kami lakukan, terakhir kami buat IBC di kampus Bina Nusantara. Kami berharap pemerintah bisa mendukung. Masa kalah melulu dengan Malaysia, Singapura? Ayo deh kita mulai,” kata Tiyo.

Malam itu, meski di rekeningnya bertumpuk duit miliaran, Tiyo tetap rendah hati. Berbalut kaos oblong abu-abu bertuliskan ‘Newton & Edison & Einstein & Satoshi’, dia dengan santai mengobrol soal visinya terkait Bitcoin dalam 10 tahun ke depan. □

Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin 27 Januari 2014
Words: 1.502


BAGAIMANA CARA MENDAPATKAN BITCOIN?
1. Membuat ID atau address, semacam akun pribadi untuk menambang komoditas virtual ini. Dua situs yang paling sering digunakan adalah Blockchain.info dan Coinbase.com. Anda hanya perlu memasukkan alamat e-mail dan password.

2.  Address yang Anda miliki tentu saldo Bitcoin-nya masih nol, ada dua cara mendapatkan Bitcoin setelah memiliki akun tersebut:
- Membeli dari orang yang sudah punya Bitcoin atau di money changer khusus Bitcoin. Beberapa situs jual beli Bitcoin: Bitcoin.co.id dan Artabit.com.
- Menambang (mining) dengan hardware dan software khusus. Penyedia hardware dan software asli Indonesia salah satunya Tiyo Triyanto, meski ada beberapa nama lain yang juga membuat USB serupa.

Spiritualitas dalam Goresan Sketsa

Romo Mudji, @Galeri Cipta,
photo by Muniroh, Sinar Harapan
Lewat sketsa-sketsa, dia menuangkan perjalanan spiritualnya dengan warna-warna—mencerminkan keberagaman suku, ras, dan agama di Indonesia yang penuh keindahan

Oleh M. Tahir Saleh

ROHANIWAN, budayawan, ilmuwan, filsuf, dan pelukis sketsa. Lima talenta itu menyatu dalam diri Prof. Dr. Mudji Sutrisno S.J. Maka, bukan hal aneh jika renungan spiritualnya muncul dalam bentuk seni rupa.

Selama sembilan hari (8-17 Januari), pria yang akrab disapa Romo Mudji ini mengekspresikan perjalanan batinnya lewat pameran sketsa bertajuk Dari Stupa ke Stupa di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Barang kali banyak yang bertanya: kenapa stupa? Atau adakah hal menarik dari benda yang biasa kita lihat di Candi Borobudur atau candi-candi Budha lainnya ini?

Bagi Romo Mudji (59), stupa dimaknai sebagai sebuah garba atau rahim yang memiliki arti sama dengan 'cupala' gereja Katedral atau kubah Masjid Istiqlal. Ada keheningan yang sama saat ia berada, baik di kedua tempat ibadah itu maupun di Candi Borobudur. "Saya merasakan spiritualitas, sebuah keheningan yang persis sama. Inilah yang membangkitkan mood saya untuk melukiskannya pada sketsa," katanya usai membuka pameran pekan silam.

Jika goresan sketsa lazim menggunakan kombinasi hitam dan putih, kali ini berbeda. Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan dosen filsafat di Pasca Sarjana Universitas Indonesia itu mulai berani memasukkan dominasi warna merah, hijau, dan kuning pada 54 sketsa dari total 104 karyanya.

Keberanian tersebut muncul setelah Romo mengadakan perjalanan spiritual bersama wartawan majalah Tempo, Seno Joko Suyono ke Kathmandu, Nepal.

Di sana, batinnya terhenyak melihat ritual suci penyiraman tepung bunga warna-warni di puncak stupa. Masyarakat setempat larut dalam doa syahdu di tengah guyuran bunga dan tali berwarna. Meriah sekali. "Mata saya seperti tak bisa berkedip saking merasa kagum. Ternyata, spiritualitas itu ada di balik warna-warna seperti merah, kuning, dan hijau," ujarnya.

Tidak berhenti di situ, Romo lantas kembali termenung. Bukankah warna-warni tadi persis sama dengan keberagaman suku, ras, dan agama di Indonesia? Bukankah seharusnya perbedaan itu indah?

Pada titik inilah dia berusaha menyampaikan bahasa perdamaian melalui sketsa yang semuanya dibuat berukuran 21 x 29,7 sentimeter. Pemilihan waktunya tepat karena tiga bulan ke depan bakal digelar pemilihan umum. Hampir dipastikan situasi politik akan memanas dan memicu perseteruan. "Saya tahu, 2014 ini tahun politik. Saya ingin mengajak agar semua damai dan menjunjung tinggi perdamaian. Mudah-mudahan sketsa saya bisa menyampaikan pesan itu kepada yang melihatnya.”

Melalui sketsa itu pula Romo mengkritik fenomena Indonesia kini dengan bahasa filosofis dan transendental. Dia dengan lantang mengutip ucapan Attisa Dalai Lama XIV soal inti spiritual, "Pada pagi hari, tolong Anda cermati motivasi Anda. Lalu, pada malam hari sebelum tidur cermati tindakan Anda kemudian satukan dalam rentetan benang putih kesadaran.”

Kesadaran tentang kehidupan ini berdenyar dalam dirinya, mengapa bangsa yang formal dan resmi khusyuk beribadah, tapi korupsi dalam kehidupan sehari-hari? Pertanyaan ini menjadi pekerjaan rumah bagi setiap agama, menghampiri masing-masing pemeluk untuk mau kembali ke sumber asal religi itu sendiri: spiritualitas.

Pergulatan pertanyaan tersebut membuahkan apa yang disebut ‘Ora et Labora’ atau berdoalah dan bekerjalah. Sebab yang nyata saat ini doa masih terpisah dari kerja, altar dilepas dari pasar. Dibutuhkan evolusi kesadaran supaya bisa mengintegrasikan antara doa dan kerja dalam menemukan arti hidup dari Sang Pencipta.

Bagi Arswendo Atmowiloto, sastrawan yang turut hadir malam itu, sketsa Romo lebih mendengar dengan sabar, belajar dari benda menjadi bermakna. Namun menurut sutradara Garin Nugroho, dalam buku komentar sahabat, sketsa yang kuat justru tak sekadar ekspresi bangunan dan landscape. “Ia menjadi suara hati,” kata Garin.

Dalam buku yang sama, aktor monolog Butet Kartaredjasa menilai sketsa Romo ibarat monolog: permainan tunggal untuk mengartikulasikan pikiran dan ‘dunia dalam’ dengan cara yang sederhana. Keberhasilan mencapai kesederhanaan itulah puncaknya. “Soalnya bicara secara sederhana, nyatanya memang tak mudah dimiliki oleh para intelektual atau mereka yang menyangka dirinya filsuf,” katanya. “Selamat bergumam Romo!” □

Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin 20 Januari 2014
Words: 626

Minggu, 06 Juli 2014

Karena Halal Begitu Berharga

Hironori Goto (kanan), Agung Pambudi ,
dan Dai Oshiro (kiri), photo by Agung
Seorang mahasiswa Indonesia di Jepang menciptakan aplikasi ponsel yang membantu masyarakat memburu produk, kosmetik, dan obat-obatan halal.

Oleh M. Tahir Saleh

AKHIR-AKHIR ini kesibukan Agung Pambudi cukup padat. Selain mempersiapkan ujian tertutup doktoral di Kyushu University yang bakal dihadapinya pada akhir Mei, dia juga mesti memenuhi janji wawancara dengan sejumlah media lokal di Jepang. Belum lagi interviu dengan beberapa investor yang kesengsem dengan aplikasi buatannya.

“Maaf ya sebelumnya, kesibukan bulan ini luar biasa. Ditambah lagi, baru saja istri saya melahirkan anak kami yang kedua,” katanya.

Nama Agung mulai masyhur di Fukuoka, tempat Kyushu University berdiri. Lokasi kampus yang dibangun sejak 1903 dengan nama Fukuoka Medical College itu terletak di ibu kota Prefektur Fukuoka, pesisir utara Pulau Kyushu, Jepang. Agung kelahiran 30 Desember 1981 dan tercatat sebagai mahasiswa tingkat doktoral Departemen Rekayasa Sumber Daya Bumi yang berhasil menciptakan HalalMinds, aplikasi untuk telepon seluler yang membantu pengguna mengidentifikasi produk halal.

April lalu, Kyushu Island Lab, tempat Agung menjadi CEO, mengumumkan secara resmi HalalMinds. Agung sebetulnya bukan dari jurusan teknologi informasi, riset S3-nya bahkan tentang ‘Energi dan Analisis Exergy dari Pembangkit Listrik Panas Bumi’. Tapi berangkat dari kegelisahannya mengenai unsur sake dan daging babi yang ada di hampir semua produk di Jepang, dia  terdorong menciptakan aplikasi halal. HalalMinds kini tersedia untuk sistem operasi Android sejak 3 April dan iOS iPhone sejak 28 April. Fitur utamanya adalah scanner barcode yang bisa digunakan saat belanja di supermarket. Pengguna tinggal memindai barcode produk, dan HalalMinds secara otomatis melacak database dari sekitar 500.000 item untuk menentukan apakah produk tersebut sarat bahan halal atau tidak.

Aplikasi ini sangat bermanfaat bagi mereka yang buta huruf Jepang, apalagi label makanan di sana kerap memakai huruf kanji atau bahasa Jepang yang kompleks. Petunjuk bahan atau kandungan zat di label lazimnya memakai kanji. Hampir semua orang asing tak bisa membaca kanji. Bahasa Jepang dinilai agak mudah, tapi kanji sangat sulit dipelajari. Kalaupun membaca kanji, butuh waktu lama untuk mengamati komposisi makanan karena harus dibaca satu per satu.

Tak hanya produk halal, sistem buatan Agung ini pun menawarkan informasi restoran halal, kompas kiblat, dan ayat-ayat Al-Qur’an. Kendati baru tersedia dalam bahasa Inggris, hingga bulan lalu sudah lebih dari 1.100 pengguna yang mengunduh aplikasi tersebut sejak diluncurkan. Layanan ini akan membantu mahasiswa atau masyarakat muslim secara umum yang tinggal di Jepang—bahkan negara lain—untuk mencari produk halal sesuai dengan aturan Islam. Dari data yang dihimpun HalalMinds, kini tersebar 150.000 muslim di Jepang dan lebih dari 1 juta muslim menjadi turis di Negeri Sakura. Pengunjung muslim datang dari Malaysia, Indonesia, dan Timur Tengah.

Selain di Jepang, HalalMinds juga bakal dikembangkan hingga ke negara lain, yakni Korea Selatan, Taiwan, dan China. Jumlah penduduk muslim di tiga negara tersebut pun cukup besar. Di Korea Selatan misalnya tercatat sekitar 150.000 muslim dan 1 juta pengunjung muslim.

Berdasarkan riset berjudul ‘The Pew Research Center’s Religion & Public Life Project’ dari lembaga yang berbasis di Washington, Pew Research Center, terdapat 1,57 miliar muslim di dunia, mewakili 23% dari estimasi populasi dunia 6,8 miliar pada 2009. Paling banyak populasi muslim tersebar di Indonesia sekitar 202 juta dan Pakistan 174 juta. Adapun data lembaga riset global, Ernst & Young yang dikutip HalalMinds, mencatat populasi muslim di dunia saat ini menembus 1,8 miliar atau 23% dari populasi dunia. Jumlahnya diperkirakan naik hingga lebih dari 2 miliar pada 2030 atau 26,4% dari penduduk global.

Potensi pertumbuhan penduduk muslim menjadi peluang bagi produk-produk halal di seluruh dunia. Lembaga riset Thomson Reuters menyebutkan industri halal kini bernilai US$1 triliun, 20% dari total pasar halal di dunia untuk makanan. Pada 2030, nilai ekonomi pasar halal ditaksir menggelembung hingga US$10 triliun seiring dengan peningkatan PDB dari populasi umat Islam dunia.

 “Dengan potensi itu, saya yakin HalalMinds akan berkembang,” kata Agung melalui surat elektronik, pekan lalu. “Sebagai seorang muslim, makanan halal itu keniscayaan, tapi sulit sekali menemukan produk halal di Jepang sejak bahan-bahan seperti babi dan alkohol begitu eksis di sini, padahal keduanya haram bagi muslim.” Keharaman itu bukan sebatas produk, tapi tata cara penyembelihan. “Daging yang disembelih dengan menggunakan cara-cara non-islami juga masuk kategori bukan makanan halal.”

**

AGUNG LAHIR DI BREBES, Jawa Tengah, kota yang kondang sebagai sentra produksi bawang dan telur asin. Dia anak kedua dari tiga bersaudara, putra pasangan guru SMP. Tak heran dengan latar belakang keluarga pendidik, kemauan menuntut ilmu ke jenjang lebih tinggi sudah terpatri sejak dini. Adiknya guru, sedangkan sang kakak lebih memilih berkarier di perpustakaan Universitas Diponegoro, Semarang.

Lulus SMA, Agung meneruskan sekolah ke Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang (Unnes). Kampus ini sebelum era 2000 masih bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Semarang. Semasa kuliah, dia dikenal pendiam, tapi punya ide-ide brilian. Dia juga termasuk jajaran mahasiswa yang selalu jadi langganan mitra riset beberapa dosen. “Orangnya cerdas, cenderung religius, peduli dengan lingkungan. Tapi dia pendiam,” kata Wirawan Sumbodo, dosen Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Unnes.

Wirawan mengajar sedikitnya tiga mata kuliah antara lain sistem kontrol, pneumatik dan hidrolik, dan computer numerical control (CNC). Pada 1993-1995, Wirawan pernah dikirim untuk belajar ke Landesinstitut fur Berufsausbildung, Jerman dan sempat menjadi asisten dosen selama setahun di Landesinstitut fur Qualifizierung (LFQ) pada 2002. Ketika mengajar di Unnes, dari semua mahasiswa, Agung punya keunggulan tersendiri. “Dosen punya kewajiban riset, dia [Agung] sering menjadi pilihan dosen, termasuk saya, untuk membantu riset,” katanya.

Sejumlah tulisan di jurnal internasional juga melibatkan Agung, misalnya artikel yang dimuat di International Journal of Engineering and Industries pada Juni 2011. Judulnya ‘The Making Workpieces Using Autocad Software Base Siemens Sinumerik 802c Base Line Frais Machine’. Selain mendukung tim riset, Agung juga menjadi penulis bersama Wirawan untuk buku pelajaran SMK. Salah satu buku mereka masuk Buku Sekolah Elektronik bertemakan Teknik Produksi Mesin Industri.

“Dia penuh inovasi sejak mahasiswa. Skripsinya soal sistem kontrol pada Forklife berbasis elektrik. Beberapa penelitian sudah menunjukkan bahwa dia senang bidang TI, jadi wajar bila dia bisa menciptakan aplikasi halal untuk umat Islam di Jepang.”

Dari Unnes, Agung berangkat ke Yogyakarta untuk melanjutkan kuliah magister di Universitas Gadjah Mada dan lulus pada 2008. Konsentrasinya masih bidang teknik mesin. “Tesisnya kebetulan ikut saya bimbing. Dia rajin, serius, dan pekerja keras. Dia juga enggak males-malesan, cita-citanya tinggi,” kata Prof. Harwin Saptoadi, Guru Besar Fakultas Teknik UGM, pekan lalu. Masih pada tahun yang sama, dia melepas masa lajang dengan mempersunting Linda. Kini mereka dikarunai dua anak. “Putri saya baru saja lahir 21 April lalu di Fukuoka Hospital. Anak kami Reyhan Muhammad dan Keiko Zhafira,” kata Agung.

Usai meraih gelar magister, Agung menggelar riset di Taiwan atas beasiswa kampus dan pemerintah Taiwan. Ini pertama kalinya dia ke luar negeri dan merasakan sulitnya mencari produk halal. Ditambah lagi, bahasa dan karakter kanji China begitu memusingkan.

Setelah itu, Agung meraih penghargaan sebagai peneliti muda dari pemerintah Finlandia. Dia bekerja sebagai periset di Helsinki Technology University yang kini bernama Aalto University—gabungan tiga universitas. Suasana aman dan relasi yang luas membuatnya betah. “Saya suka traveling. Bahkan saya pernah menginap di sebuah desa dengan petani di sana yang sampai saat ini masih kontak. Tapi, tetap saja makanan halal sulit ditemukan karena memang Islam merupakan minoritas.”

Agung kemudian melanjutkan kuliah doktoral di Korea Selatan. Tak lama kemudian dia berhenti lantaran sulit membawa keluarga. Tapi dasar mahasiswa pintar, dia malah dapat dua beasiswa sekaligus: beasiswa Monbusho ke Jepang dan bekerja di Finlandia sebagai peneliti plus dikuliahkan S3. Di Finlandia, mahasiswa S3 bukan lagi seorang mahasiswa, tapi pekerja yang digaji sesuai standar. Sempat galau, akhirnya Agung memilih Finlandia karena sudah akrab dengan karakteristiknya. Lagi pula, dia trauma ke Jepang. Baginya tipikal masyarakat Jepang dan Korea sama: workaholic, kasar, dan kurang bebas dalam riset.

Beasiswa ke Jepang ditampiknya. Namun, profesor di Jepang menelepon agar Agung mempertimbangkannya lagi. Dia luluh juga, tapi seminggu kemudian dia mengirimkan e-mail pembatalan. Sang profesor tak patah arang, Agung ditelepon lagi.

“Karena tak enak, saya melupakan Finlandia, negara yang bagi saya sangat damai dan tenang,” ceritanya. “Saya berangkat ke Jepang dan menetap hingga saat ini. Apa yang saya rasakan memang sangat bertolak belakang dengan apa yang saya pikirkan. Jepang tak sama dengan Korea, negara ini sangat aman, bahkan jika dibandingkan dengan Finlandia sekalipun,” katanya. Baginya, masyarakat Jepang sangat melayani, bersih, dan jujur. “Saya enggak menyesal memilih Jepang sebagai negara saya bermukim untuk studi.”

Pengalaman jalan-jalan ke Thailand, Belanda, dan Amerika lalu tinggal di Taiwan, Korea, Finlandia, dan akhirnya di Jepang, membuatnya stres mencari makanan halal—terutama snack dan roti. Apalagi negara non-bahasa Inggris seperti Taiwan, Korea, dan Jepang punya karakter huruf sendiri, Kanji, Hiragana, dan Katakana. Ketika jajan, pembeli bakal kesulitan membaca komposisinya. Kalaupun bisa dibaca, akan menyita banyak waktu. Dari sanalah ide membuat HalalMinds lahir.

**

SUATU HARI, di sebuah kota di Jepang digelar Startup Weekend, forum tempat kongko para wirausahawan bidang teknologi informasi (TI). Pertemuan ini juga diselenggarakan di Amerika, Irlandia, Jepang, Filipina, dan negara Asia lain. Secara global forum tersebut disponspori oleh Coca-Cola, Google, dan Amazon Web Services. Dalam forum muda-mudi itulah Agung dikenalkan dengan Dai Oshiro, Chief Executive Officer Whatz.jp, komunitas pendatang dan masyarakat lokal di Jepang.

Dai Oshiro juga satu almamater dengan Agung di Kyushu—tapi dari Departemen Ekonomi—keduanya pun menjadi akrab. Agung kemudian menceritakan ide membuat aplikasi halal yang akhirnya dikembangkan bersama hingga saat ini. Dari pertemuan intens dan kesamaan visi itu, HalalMinds terbentuk melalui bendera Kyushu Lab. “Saya yakin upayanya membuat aplikasi ini menjadi langkah besar bagi masyarakat muslim,” kata Dai Oshiro melalui e-mail. “Agung pribadi yang baik, saya respek terhadapnya.” HalalMinds bisa diklaim menjadi aplikasi pertama di Jepang bagi masyarakat muslim. “Pengguna bisa dengan mudah melihat makanan halal, bisa juga tahu arah restoran halal, arah kiblat salat. Aplikasi ini sangat berguna bagi masyarakat muslim,” kata Dai.

Berdirinya HalalMinds tak pernah disangka karena begitu cepat terealisasi. Sejak lama Agung bercita-cita ingin mendirikan perusahaan rintisan (startup) internasional, tapi buta dari mana awalnya.

“Ayah ibu saya hanya seorang pendidik. Saya sendiri tidak ada relasi ke sana, yang ada hanyalah impian. Tapi tahun terakhir saya ikut Startup Weekend, dari sana saya banyak bertemu dengan teman-teman dari Jepang yang memiliki mimpi sama,” cerita Agung. Dia kadang harus pintar-pintar mencuri waktu. Biasanya malam hari selesai dari lab, Agung mengembangkan HalalMinds. “Karena di tim ini sayalah yang muslim, kadang tidak ada diskusi tentang ini dengan anggota lain. Mangkanya saya perlu teman lain yang bisa mewujudkan ide-ide saya.”

Agung pun menemukan visi yang sama dalam diri Hironori Goto, kini Business Executive HalalMinds. Awalnya Hironori bekerja di Panasonic Communication Co. Ltd. (kini bernama Panasonic System Networks Co. Ltd.) pada 1988-2009. Lebih dari 20 tahun ia bertanggung jawab dalam pengembangan desain, rencana produk untuk perangkat keras, lunak, servis jaringan, dan proyek bisnis baru. Pada 2009-2010 dia berkarier di bidang pengembangan TI dan komunikasi sebagai Advanced Demonstration Project Leader Fukuoka IST, Industry, Science & Technology Foundation. Setelah itu ia mendirikan H&S Inc. dan menjadi CEO perusahaan yang bergerak pada ekspor-impor produk TI.

Hironori kepincut melihat visi brilian dari pemuda Brebes itu. Beberapa tahun terakhir, banyak pengunjung muslim, termasuk dari Asia Tenggara, yang menyambangi Jepang, didorong ekspansi pesawat bertarif murah, kemudahan visa, dan depresiasi yen.

“Enaknya traveling ialah ketika Anda menikmati makanan lezat dan mengeksplorasi budaya baru. Tapi informasi halal di sini sangat kurang,” tutur Hironori. Tak ada informasi cukup terutama soal makanan bagi muslim, ditambah di Jepang ada budaya layanan Omotemashi—keramahan: konsumen adalah tuhan, bukan sekadar raja. Sebab itu kehadiran HalalMinds bisa mengubah kondisi dewasa ini di Jepang.

“Pergerakan masyarakat dan barang itu menjangkau seluruh dunia. Saya percaya aplikasi ini membuat muslim bergerak bebas, tanpa khawatir soal halal atau haram,” katanya. Pengalaman susahnya mencari produk halal mendorong Agung membuat database yang saat ini jumlahnya hampir 500.000 item. Jumlahnya bakal terus ditambah karena masih ada sekitar setengah juta produk lagi yang harus dijaring.

Pada HalalMinds, terdapat dua teknologi untuk mencari produk halal. Pertama, menggunakan database. Makanan halal, haram, dan syubhat (samar, abu-abu antara haram dan halal) dikelompokkan dengan melihat bahan atau ingredient secara manual satu per satu. Bila ada beberapa substansi yang dilarang, misalnya daging babi dan turunannya, sake, mirin (bumbu dapur beralkohol), dan semua derivative lain termasuk emulsifier dari binatang, makanan itu tidak dibeli.

Database juga didukung feature user generate content, artinya pengguna bisa mengisi database sendiri atas informasi yang ditemukan dan tim HalalMinds akan memvalidasi.

Kendalanya, mereka harus selalu mencari produk-produk untuk dimasukkan dalam database. Juga merepotkan saat aplikasi itu diperluas ke negara lain seperti Korea, Taiwan, dan China—tiga negara yang tengah mereka bidik.

Kedua, semacam mesin pencari halal. Saat pengguna memasukkan barcode satu produk, web engine akan mencari ke situs-situs yang menyediakan informasi tersebut—ini seperti algoritma Google untuk pencarian makanan lintas negara yang tidak terbatas di negara tertentu seperti Jepang, Korea, atau Taiwan. “Teknologi kedua ini belum dirilils. Kami masih harus mengembangkannya lagi,” kata Agung.

HalalMinds membantu menginformasikan bahan dari sebuah produk, menerjemahkan informasi ke bahasa Inggris, memberi saran apakah produk itu halal, haram, atau syubhat. Meski ada lembaga sertifikasi halal yakni Islamic Center Japan-Halal Committee, produk dengan sertifikat halal di sana sangat jarang, barang kali hanya ada ratusan dari jutaan produk. Kondisi itu membuat mereka menyeleksi kehalalan berdasarkan bahan material yang dikandung, bukan proses.

“Sangat mustahil umat Islam hanya mengonsumsi produk yang cuma memiliki sertifikat. Beras pun di sini tak ada sertifikat,” tuturnya. Agung lalu menggunakan logic code yang sangat ketat untuk menyeleksi bahan. Contoh, material emulsifier—zat yang menstabilkan emulsi—dimasukkan dalam kategori syubhat. Emulsifier biasanya dari binatang haram dan dari tumbuhan halal. “Seleksi aplikasi ini ketat. Misalnya glycerin dan amino acid, walau rata-rata terbuat dari tumbuhan, kami masukkan ke dalam kategori syubhat.”

Nah, penggunalah yang menentukan sendiri sesuai dengan keyakinan. “Makanan halal, yaitu makanan yang tidak mengandung daging, entah daging ayam, sapi, apalagi daging babi. Meski satu produk menggunakan daging ayam, kami memasukan dalam kategori haram, karena kami meyakini proses penyembelihan di Jepang meragukan.”

Saya kemudian mencoba mengunduh aplikasi HalalMinds melalui Play Store di ponsel berbasis Android 4.1.2. Untuk Android bisa berjalan dengan baik, tapi karena sedikit gangguan jaringan internet, setelah masuk dalam shortcut menu ponsel, aplikasi belum bisa diakses dengan iPhone 5. Beberapa pengguna yang berhasil men-download HalalMinds memberi komentar cukup beragam—rata-rata lima bintang. “Sangat berguna, terima kasih,” komentar Daviand Corleone. “Ahamdulillah, Jazakumullah khoir [semoga Allah membalas dengan kebaikan],” kata Eka Fransisca. “Enggak berhasil nih di Lenovo A512 saya, mungkin terlalu berat,” kata Linda Azhar di daftar komentar Play Store, akhir Mei lalu.

Hingga saat ini Agung, Dai, dan Hinori sudah mengeluarkan bujet sekitar US$2.000 dari kocek pribadi. Mereka tengah bernegosiasi dengan beberapa investor. “Kami sangat senang apabila ada pengusaha Indonesia yang mau bergabung dengan proyek ini,” harap Agung.

Sayangnya belum ada perlindungan hukum untuk HalalMinds. “Setelah ada investor masuk, kami akan segera mengurus itu.” Dukungan kampus cukup penuh terhadap ketiganya. Manajer bisnis Program MBA di kampus tersebut selalu membantu koneksi sejumlah investor. “Beberapa konsultan halal di Kyoto juga banyak yang menghubungi saya terkait dengan makanan halal karena mereka melihat dari segi prospek bisnis.”

Setelah berbicara dengan pemerintah Fukuoka, akhir Mei mereka temu muka dengan pemerintah kota Kumamoto. Hanya saja, entah karena ‘tersumbatnya’ informasi, keberhasilan Agung belum mendapat respons dari negeri asalnya. “Proyek tentang halal [memang] belum terlalu fokus di negara mayoritas, tapi di negara berpopulasi muslim minoritas, produk halal menjadi perhatian besar.”

Betul bahwa proyek ini brilian, tapi HalalMinds belum bisa dikatakan sempurna. Itu sebabnya, selain pengembangan “Mesin Pencari Halal”, mereka tengah mengembangkan Halal Tourism Project untuk membantu mengetahui tingkat kehalalan suatu daerah berdasarkan peringkat bintang. Beberapa parameter di antaranya: apakah hotel menyediakan makanan halal, menyediakan Al-Quran di setiap kamar, arah kiblat, bagaimana lokasi hotel dari masjid berdasarkan jarak, lokasi hotel dari lokasi restoran halal, dan apakah di sekitar kota lokasi hotel ada organisasi Islam yang bisa dihubungi.
Parameter lain, adakah masjid di sekitar hotel dan berapa kilo jaraknya. “Jadi hotel yang memiliki rating baik bukan dari segi bangun, fasilitas, atau harga, tapi hotel yang baik secara islami. Kami menyebutnya halal tourism.”

Dalam jangka pendek, Agung dan dua mitranya akan menggandeng convenient store di sana. Target berikutnya bermitra dengan agensi halal tourism dan pasar halal di dunia seperti Amazon atau Alibaba.

Tak hanya itu, HalalMinds kini mereka mengembangkan database produk kosmetik dan obat-obatan. Bidang ini lebih susah dikategorikan karena bahannya banyak memakai istilah kedokteran, orang awam yang paham Kanji pun belum tentu bisa menentukan kandungan obat atau kosmetik itu halal atau tidak. “Mudah-mudahan bulan depan sudah bisa dipublikasikan untuk obat dan kosmetik. Ini penting, misalnya sabun masuk dalam kategori ini. Apabila sabun kita mengandung material nonhalal, misal minyak babi, dan menempel pada kulit kita, ini menjadi najis dan tidak boleh dipergunakan untuk beribadah.”

Abimanyu Wahyu, pengamat independen bidang teknologi informasi (TI), menilai aplikasi tersebut sejajar dengan buatan orang asing lain karena peralatan yang dipakai sama. Beda dengan teknologi hardware seperti komputer, mobil dan pesawat, harus diakui buatan Indonesia belum sejajar.

“Saya jamin 1000%, produk software buatan kita, termasuk HalalMinds yang dibuat saudara Agung bagus,” kata Abimanyu. Aplikasi buatan luar negeri pun tidak seluruhnya bagus karena secara kualitas beberapa masih rendah. Secara umum, aplikasi buatan orang Indonesia bisa diadu. “Ciptaan Amerika, Jerman, ada juga yang jelek. Di Indonesia banyak program bagus, misalnya tiruan Facebook, Instagram, ada lho. Tapi, saya enggak mau nyebut merek karena ada beberapa yang mengajukan kepada saya untuk dinilai,” kata mantan dosen TI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Namun, baginya tetap saja masih ada kendala. Makin lengkap produk dalam database, maka makin luas cakupan produk halal. “Makanan yang dibilang halal oleh program pasti halal karena ada di dalam database; tapi yang dideteksi tidak halal, belum tentu itu tidak halal karena bisa jadi Agung belum sempat merekam makanan dalam sistemnya. Misalnya ada 100 kaleng, ternyata di pasar terdapat 150 kaleng.”

Selain itu, akurasi membaca data dan kualitas ponsel pun penting karena setiap kemasan makanan barcode-nya berbeda: bulat, horizontal, vertikal, atau melingkar. “Ada kemungkinan barang halal dianggap haram karena tidak terbaca barcode, padahal ada di database. Banyak merek ponsel abal-abal sehingga pemindaian tidak terdeteksi.”

Meski patut diapresiasi, Abimanyu menegaskan bahwa produk dalam database mestinya whitelist—kumpulan produk halal—bukan blacklist atau barang haram. Alasannya, jika yang didata adalah blacklist, bisa berbahaya. Karena nanti makanan yang aslinya haram dan masuk database tapi tidak terdeteksi, maka makanan tersebut bisa dikonsumsi karena si pembeli menganggapnya halal.
“Informasi halal atau haram perlu juga ada gambar binatang yang muncul. Gambar lebih mudah dikenali, terutama bagi yang tidak memahami bahasa setempat atau tidak bisa berbahasa Inggris,” tambah Wirawan Sumbodo, dosen Agung di Unnes.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengapresiasi temuan ilmiah Agung. Lembaga ini hanya mempertanyakan dari mana sumber referensi yang mengklaim suatu produk masuk kategori halal. “Ide dasarnya dengan aplikasi yang bisa diunduh di Play Store itu luar biasa. Kami apresiasi,” kata Aminuddin, Anggota Komisi Fatma MUI yang mengurusi sertifikasi halal. Namun dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta ini menegaskan kategori halal atau tidak mesti dikeluarkan oleh otoritas halal negara setempat.

 “Mengategorikan halal tak bisa hanya melihat bahan-bahan produk karena dalam beberapa kasus, misalnya ada permen marshmellow yang kenyal pasti menggunakan jelatin yang bersumber dari kulit, bisa kulit hewan mana saja. Artinya tak bisa hanya lihat,” jelasnya. “Sebab itu bila hanya berdasarkan ingredient, dikhawatirkan bisa keliru,” katanya.

Di Jepang sudah ada lembaga sertifikasi halal, yakni Islamic Center Japan-Halal Committee dan sudah masuk dalam anggota World Halal Council. Setiap negara pun memiliki lembaga sertifikasi halal seperi China Islamic Association di China kendati di negara lain belum, misalnya Vietnam dan Thailand. MUI pun bekerja sama dengan organisasi ulama di negara lain yang juga memiliki lembaga sertifikasi halal. Kerja sama itu penting guna mengatasi ketidaktahuan bahan baku impor dari negara lain.

Proyek HalalMinds memang baru dimulai dan Agung masih bermimpi menjadikannya besar, menjadi pemimpin di industri halal. Pekerjaan rumahnya saat ini ialah terus mengisi database. Agung punya banyak dukungan di sana apalagi kerukunan agama di sana cukup tinggi. Walaupun minoritas, Jepang sangat menghargai Islam dengan mendirikan beberapa masjid, termasuk di Fukuoka. “April lalu, tempat ibadah baru saja dibuka di Bandara Fukuoka. Saat ini ada penggalangan dana untuk mendirikan masjid kedua di kota ini,” tutur Agung.

Di sisi lain, dalam hal pengembangan startup, negara ini pun sangat terbuka dengan dukungan pemerintah dan swasta. Dukungan dana juga bisa dicari dari berbagai sumber, asalkan kreatif. “Walaupun saya bukan orang Jepang, tapi bantuan tidak membeda-bedakan dari mana kita berasal. Asal ada ide kreatif, mereka akan mendukung. Sayangnya, bagi Agung, pemerintah Indonesia kurang melirik pasar halal dunia yang kini dipegang oleh Malaysia sekitar 30%.

Keinginannya saat ini mengoneksikan Indonesia-Jepang, dan dunia, dalam bidang industri halal. Jepang sebagai trust business place, sedangkan Indonesia sebagai produsen dan sertifikasi halal serta memegang pangsa pasar terbesar untuk industri halal. “Memang mimpi yang sangat besar. Saya tidak melihat hasil yang ada, hanya usaha, tetap jalan dan doa. Kalaupun tak mendapatkan profit besar, setidaknya saya sudah berusaha untuk mewujudkan sesuatu untuk umat Islam.” □


Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin, 9 Juni 2014
Words: 3.404

Rabu, 02 Juli 2014

Mengusung Presiden Pro Hijau

Debat Capres RI 2014, photo by Antarafoto
Topik lingkungan hidup belum menjadi isu utama dibandingkan penegakan hukum, akses kesehatan, dan korupsi

Oleh M. Tahir Saleh

KETIKA debat perdana calon presiden Amerika hendak digelar dua tahun silam, majalah The Nation mengundang sejumlah aktivis lingkungan untuk mengajukan pertanyaan kepada Barrack Obama dan pesaingnya Mitt Romney. Ada 10 pertanyaan di antaranya: kapan PLTU batu bara stop membunuh orang, tiap tahun 13.000 warga Amerika terbunuh; Anda melindungi masyarakat atau para pencipta polusi; apa warisan kebijakan soal lingkungan hidup?

Ken Cook, Presiden Environmental Working Group, menjadi salah satu penanya. “Presiden Abraham Lincoln menyediakan Lembah Yosemite buat publik. Teddy Roosevelt membentuk Dinas Kehutanan dan lima taman nasional. Richard Nixon membuat Badan Perlindungan Lingkungan. Bila Anda terpilih, apa warisan terbesar Anda di bidang lingkungan?” tanya Cook kala itu.

Tentu bukan hal mudah bagi kedua kandidat untuk menjawab. Perkara lingkungan bukan hanya satu soal, tapi bercabang. Problemnya tidak hanya milik Amerika, tapi erat dengan negara lain. Salah satu isu lingkungan paling aktual ialah perubahan iklim dan kerusakan hutan.

Di Indonesia, permasalahan ini pun mengemuka dan menjadi pekerjaan rumah bagi calon presiden. Pada 5 Juli nanti, dua pasangan kandidat capres 2014, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, bakal saling lempar visi mengenai pangan, energi, dan lingkungan. Selama ini, kedua kandidat dinilai belum memprioritaskan lingkungan. “Gerakan lingkungan hidup masih ditempatkan pada kasus, bukan politik. Padahal ini isu teknis yang erat dengan politik,” tegas Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan usai Seminar Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Kedua pasangan memang bersemangat soal perbaikan lingkungan, tapi belum sepenuhnya karena sumber daya alam masih menjadi andalan ekonomi. “Bila utang luar negeri naik, bisa dibayangkan sumber daya alam kita makin dieksploitasi,” ujarnya khawatir. Soal program lingkungan, Abetnego menilai dari draft visi-misi, Joko Widodo alias Jokowi punya kedalaman. “Tak banyak perubahan pada visi-misi Prabowo, seperti pembukaan 2 juta hektare sawah, dari zaman Pak Harto sudah terbukti gagal.”

Dari dokumen visi-misi sembilan halaman yang disampaikan kepada KPU, pasangan nomor urut satu Prabowo-Hatta antara lain akan mereboisasi 77 juta hektare hutan yang rusak, menindak pelaku pencemaran, mendorong usaha kehutanan, merehabilitasi daerah aliran sungai, dan mendorong pertambangan ramah lingkungan. Di sisi lain, visi-misi Jokowi-JK setebal 41 halaman di antaranya akan mengintensifkan kerja sama global bidang perubahan iklim, membentuk komisi independen, mengembangkan energi terbarukan, dan menindak illegal logging. “Visi-misi Jokowi-JK lebih unggul. Contoh, mereka rela kehilangan investor demi menegakkan hukum lingkungan,” kata Handa S. Abidin, peneliti hukum dan HAM Universitas Krisnadwipayana.

Menurut Abetnego, kerusakan hutan di Indonesia sangat parah. Imbasnya Indonesia termasuk lima besar negara penghasil emisi karbon di dunia, 80% sumber emisi berasal dari tata guna lahan dan alih fungsi lahan. Fungsi ekologis hutan di Indonesia, ketiga terbesar di dunia, bagi dunia terus rusak dan menyusut. “Riset Matt Hansen dari University of Maryland menemukan bahwa Indonesia kehilangan 15,8 juta hektare sejak 2000-2012.”

Oleh sebab itu, pihaknya berharap presiden mendatang harus pro hijau agar kerusakan hutan bisa dihentikan. Isu ini penting mengingat kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar ketimbang biaya penanggulangan. Sayang, dibandingkan dengan topik penegakan hukum, akses kesehatan, dan korupsi, isu ini belum populer. “Lingkungan hanya dianggap konsekuensi,” katanya. “Maka kami tantang capres untuk lebih memprioritaskan lingkungan.”

Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, menilai Prabowo unggul kompetensi dan kepemimpinan sementara Jokowi menang integritas dan empati. Baginya cara terbaik memilih ialah dengan melihat rekam jejak, agenda politik, dan barisan pendukung.

“Lihat rekam jejaknya. Tapi itu berlaku bagi pemilih dengan tingkat pendidikan baik, sedangkan pemilih kita sekitar 40% berpendidikan rendah.” Ia kesulitan meramal hasil pemilu 9 Juli mendatang. “Kompetisinya sama dengan persaingan antara George W Bush dan Al-Gore pada pemilihan presiden Amerika pada 2000,” katanya. “Peluangnya 50-50 antara Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta.”

Tulisan ini terbit di majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, Senin 30 Juni 2014
Words: 611

Entri Populer

Penayangan bulan lalu