Jumat, 23 November 2012

Perempuan, Judi, dan Bisnis Pesawat

Photo By Sindonews
JUMAT lalu, 23 November, saya bertemu dengan Pak Syafei, nama lengkapnya Syafei Hadi, Senior Marketing Executive OSO Jet yang dulu namanya Enggang Air. Awalnya saya janjian ngobrol dengan Pak Harry Priyono, commercial manager-nya tapi yang bersangkutan meminta Pak Syafei yang bicara saja prospek bisnis mereka.

Obrolan kami sebetulnya berkutat soal kerja sama perusahaan dengan salah satu provinsi di ujung timur Indonesia, Papua, tapi saking enaknya ngalor ngidul soal bagaimana pengalamannya di industri penerbangan.

Pak Syafei berperawakan agak kurus, usianya mungkin lebih dari 50 tahun. Siang itu dia memakai batik dan bercelana hitam. Di wajahnya, kerutan—kerutan kecil sudah nampak, bagi saya dia mestinya sudah pensiun tapi dia masih semangat bercerita.

Dulu, 1970-an, dia bekerja di Malaysia Singapore Airlines atau MAS. Maskapai ini gabungan milik Malaysia dan Singapura. Tepatnya pada 1972, MAS masuk ke Indonesia dan dia langsung bekerja di maskapai itu.

Lalu setahun kemudian sekitar 1973, maskapai itu terpisah menjadi dua maskapai penerbangan karena Singapura saat itu mulai maju pesat, katanya didukung pendanaan wah dari Amerika.

MAS terbagi dua menjadi Malaysia Airlines (MAL) sendiri dan Singapore Airlines (SQ). Pak Syafei bergabung dengan MAL hingga berhenti pada 2005, itu kalau engga salah dengar. Dia sempat bekerja di tempat lain lalu akhirnya berlabuh di Enggang Air, perusahaan carter milik pengusaha dan politisi Osman Sapta Odang (OSO Group).

Di MAL, jabatannya cukup tinggi di Indonesia saat itu. Dia adalah satu—satunya Airport Manager orang asli Indonesia di maskapai penerbangan asing yang beroperasi di Tanah Air. “Hebat juga Pak Syafei”, kata saya.

Saat bertugas di MAL, Pak Syafei yang asli Dayak ini pernah ditugaskan ke banyak negara termasuk ke Timur Tengah guna meneliti potensi pasar pembukaan rute MAL di negara—negara tersebut.  

Dari pengalamannya selama lebih dari 30 tahun, bisnis pesawat terbang khususnya regular itu baginya bukan bisnis gampangan, penuh dana besar, penuh risiko bisa-bisa berujung pada kebangkrutan. Contohnya itu dialami oleh Adam Air.

Mungkin masih ingat, Adam Air ini salah maskapai penerbangan yang menerapkan penerbangan biaya murah atau Low Cost Carrier atau LCC. Didirikan pada 2002 oleh pengusaha dan politisi Golkar, Agung Laksono dan Sandra Ang. Adhitya Suherman menjabat presiden director dan Gunawan Suherman sebagai CEO.

“Saya salah satu penasehat waktu Adam Air didirikan, itu kawan saya, cuma saya berkali—kali bilang jangan terlalu banyak buka rute dulu, jangan serakah, fokus pada rute yang ada dulu” katanya.

Sayangnya saya lupa tanyakan yang mana sahabat dari Pak Syafei di Adam Air itu. Tapi yang jelas, Pak Syafei mendapatkan kata—kata yang mengagetkan bagi saya.

“Ada tiga hal yang cepat habisin duit, pertama’ main’ perempuan, kedua main judi, dan ketiga bisnis pesawat, ini saya dapat dari kawan saya saat Adam Air bangkrut,” katanya.

“Kenapa begitu Pak? Tanya saya.

“Loh, coba dilihat, bisnis pesawat, itu yang regular, dia buka rute yang sepi perginya ada, tapi pulangnya engga ada penumpang. Itu nutupinnya dari mana coba duit operasionalnya? Yah dari rute—rute yang penuh,” katanya.

Saat ini dunia penerbangan kita memang menjamur bisnis pesawat LCC tadi. Garuda Indonesia punya perusahaan dengan tarif lebih murah yakni Citilink, lalu Batavia Air, AirAsia, Sriwijaya Air, dan pemimpin pasar penumpang domestik saat ini, Lion Air.

Kebutuhan akan pesawat terbang kini bukan lagi bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, tapi menengah ke bawah pun mulai menggunakan pesawat, harganya kadang lebih murah dari kapal laut atau kereta.

Dari pengalamannya itu, baginya kebanyakan kita di Indoensia menempatkan safety atau keselamatan di urutan nomor dua setelah keuntungan sebesar—besarnya. Itulah kenapa dia terkadang melihat pesawat saat sudah sampai di bandara tujuan dan akan kembali lagi, tim pembersih pesawat itu masih ada ketika penumpang akan naik ke pesawat itu. Padahal waktu membersihkan pesawat itu setidaknya 1 jam.

Contoh lainnya, di MAL, katanya, terjadi insiden kaca pecah sedikit saja kena benturan awan, pesawat itu engga akan berangkat sebelum kaca yang rusaknya kecil itu diperbaiki. Ini berbeda dengan maskapai di Indonesia.

Sekarang, katanya, maskapai penerbangan Timur Tengah yakni Emirares dan Etihad sangat—sangat memperhatikan keselamatan, bahkan pemeriksaan juga dilakukan di atas pesawat saking memenuhi prosedur standar mereka.

Dari obrolan dengan Pak Syafei saya jadi tahu mengapa bisnis penerbangan itu tidak mudah. Seorang eksekutif maskapai penerbangan regular pernah bilang kalau keuntungan mereka itu saat peak season, misalnya Lebaran, Natal, Liburan, dan Tahun Baru, sisanya tipis, bisa jadi merana.

Dalam bisnis penerbangan memang sulit bicara margin atau selisih keuntungan yang diperoleh.

Saya masih ingat saat Dirut Garuda Indonesia Emirsyah Satar bilang bahwa bisnis airlines itu memang capital intensive dan human intensive sekaligus, marginnya kecil sekali cuma 4%-5% persen, hanya penerbangan murah yang margin profitnya bisa mencapai 10%.

“Wah kalau begitu lebih enak bisnis carter dong Pak? kata saya

“Iyah enakan bisnis carter,” kata Pak Syafei.

Obrolan kami pun beralih ke soal Syiah dan Sunni, bagaimana peran Amerika dalam menambah runcingnya konflik kedua sekte Islam tersebut, atau soal penetrasi masyarakat China, hingga Jokowi—Ahok.

Kamis, 22 November 2012

SIDANG KAPAL BAHUGA; Juru Mudi Melamun, Nakhoda Menangis

Sidang kedua Mahkamah Pelayaran soal tabrakan
KM Bahuga Jaya dan Norgas Cathinka, 22/11/12
by Merdeka.com
M. Tahir Saleh


SUARA Sahat Marulitua Manurung mendadak berat. Perlahan suara nakhoda Kapal Motor Bahuga Jaya ini makin pelan lalu akhirnya menghilang. Matanya mulai berkaca-kaca sampai bulir air matanya pun jatuh.

Seorang wanita menghampirinya sambil membawa kertas tisu.

Kenangan saat kapal penumpang jurusan Merak--Bakauheni yang tenggelam pada 26 September silam dan menewaskan tujuh penumpang itu membuatnya tak sanggup menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim Mahkamah Pelayaran Kapten Utoyo Hadi. Bahuga tenggelam usai terjadi tabrakan dengan kapal tanker asal Norwegia, Norgas Cathinka di perairan Selat Sunda. 

“Apakah saudara Tersangkut ingin menyampaikan sesuatu sebelum sidang ini ditutup, agar menjadi pesan—pesan sehingga kejadian ini tidak terulang?” tanya Utoyo dalam sidang kedua di Mahkamah Pelayaran soal tabrakan KM Bahuga Jaya dan Norgas Cathinka, Kamis, (22/11).

“Ada,” jawabnya.

Tapi perlahan suaranya hilang, suasana menjadi hening dan dia pun menangis.

“Tenangkan diri dulu, wah sedih yah, kalau memang berat untuk menyampaikan, jangan disampaikan, nanti tertulis saja, atau tolong penasehat ahli dari Tersangkut bisa memberikan pesan,” kata Utoyo.

Penasehat ahli Hengky Lumenta yang mendampingi Sahat akhirnya maju menyampaikan pesan bahwa majelis hakim perlu mempertimbangkan aspek psikologis mengapa Sahat tidak membunyikan alarm saat tabrakan terjadi. Dia takut penumpang menjadi lebih panik dan nekat melompat ke laut.

“Dia [Sahat] yang paling mengerti kondisi psikologis penumpang, jadi mohon dipertimbangkan alasan ketika tak menyalakan alarm,” kata Hengky.

Ketidakpatuhan terhadap prosedur membunyikan alarm tanda bahaya itu terungkap saat Mahkamah Pelayaran menggelar sidang kedua pada Kamis (22/11) bertempat di Jalan Boulevard Gading Timur, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Sidang pertama sudah digelar pada 20 November yang menghadirkan pihak Norgas Cathinka, sedangkan sidang ketiga akan dilakukan pada 27 November mendatang dengan mendatangkan pihak di luar awak kapal.

Sesuai dengan jadwal, Mahkamah Pelayaran yang merupakan pengadilan profesi ini akan merilis keputusan pada 11 Desember 2012 dengan hukuman bersifat administratif.

Pada sidang Kamis itu, hadir awak Bahuga yakni Sahat Marulitua (nakhoda, ditetapkan sebagai tersangkut) Ujang Nanang Suryana (kepala kamar mesin, saksi,), Wahiman (masinis I, saksi), Imam Syafii (juru mudi, saksi), Anton Harahap (juru mudi, saksi), dan Dedi Irawan (juru minyak, saksi).

Sebanyak empat awak dari Norgas yakni Lat Ernesto Jr Silvina (master, Tersangkut), Su Jibing (perwira jaga, Tersangkut), He Xiao Feng (first engineer, Saksi), dan Sioson Christian Bryan (ordinary seamen, Saksi) sudah hadir pada sidang sebelumnya.

Dalam sidang yang berlangsung sekitar 6 jam itu Sahat mengatakan dirinya memenuhi prosedur pelayaran tindakan kecelakaan atau collision regulation saat peristiwa naas itu terjadi.

“Saya tidak menggunakan alarm karena takut penumpang nambah panik, saya ambil tiup suling tujuh kali pendek, satu kali panjang artinya siap meninggalkan kapal segera,” katanya.

Saat kejadian, dirinya berada di kamar mandi. Dia merasakan benturan keras, lalu langsung berlari ke anjungan kapal mengambilalih komando karena saat itu telah terjadi peralihan komando ke mualim I.

Menurut dia Bahuga layak jalan karena 3 bulan sebelumnya masuk dok untuk perbaikan. Seluruh kelengkapan kapal sesuai dengan standar. Jumlah lifjacket, jaket pelampung, tersedia hingga 1.110, lebih dari cukup.

Selain itu terdapat delapan sekoci dengan kapasitas 52 orang per sekoci meski cuma hanya satu yang bisa diturunkan di sebelah kiri kapal karena Bahuga berbenturan dengan Norgas di sebelah kanan. Kapal tenggelam, katanya, karena ditabrak Norgas Cathinka.

Tekanan psikologis dan memori kejadian naas bak kapal Titanic itu juga dirasakan oleh Imam Syafii. Saat ditanya oleh Hakim Anggota Chief Engineer Rusman Hoesein dan Supardi, pandangan matanya kosong. Dia melamun dan sempat tidak fokus, Utoyo akhirnya memotong pertanyaan.

“Tunggu—tunggu, kok saudara melamun?”

“Bingung? Inget kejadian? Kok matanya ke mana--mana kaya orang stress?

Utoyo memintanya berdiri.

“Tarif nafas tiga kali, tarik lagi,” kata Utoyo. Imam hanya mengikuti tanpa suara dan anggukan kepala.

Dalam kesaksiannya Imam bercerita sebelum tabrakan terjadi dia naik ke anjungan kapal sekitar pukul 03.45 sebagai juru mudi pengganti Anton Harahap yang bertugas sebelumnya, gantian.

Tugas Imam mengemudikan kapal atas perintah nakhoda. Sesaat sebelum tabrakan terjadi sekitar 04.45, mualim I tiba—tiba kaget adanya kapal mendekat lalu langsung berteriak “Kiri 20, kiri Cikar [belok mendadak], tapi langkah antisipasi itu nyatanya terlambat karena tabrakan akhirnya terjadi.

Dari kamar mandi, Sahat yang naik ke anjungan akhirnya mengambilalih komando dari mualim I lalu berteriak di radio sambil memberi perintah teramsuk ke Imam. Sang juru mudi yang sudah 5 tahun bekerja di Bahuga itu akhirnya turun ke bawah member perintah penggunakan lifejacket setelah dirinya memakai lebih dahulu.

Pascatubrukan di haluan kanan Bahuga itu, kapal miring ke kiri, sempat kembali lagi stabil lalu akhirnya kembali miring 20 derajat—25 derajat. Tubrukan Bahuga dan Norgas di pagi buta itu akhirnya membuat kapal milik PT Atosim Lampung Pelayaran itu pun tenggelam.

Itulah terakhir kalinya baik Imam dan Sahat melihat mualim I yang ikut tewas tenggelam. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi Sabtu, 24 November 2012

Jumat, 16 November 2012

Ah, Liburan Panjang Biasa Saja...


Suasana sepi di Jalan Gatot Soebroto Jakarta karenakan libur panjang, (15/11/2012). Foto:VIVAnews/Fernando Randy
M. Tahir Saleh

LIBURAN panjang 4 hari sejak Kamis pekan ini ternyata bukan menjadi hari spesial buat Ella, seorang calo bus antarkota di Terminal Bekasi, Jawa Barat. Sejak mangkal dari pukul 06.00, tak banyak penumpang menyambagi bus jurusan Bekasi–Karawang yang menjadi wilayah kerjanya, lebih sepi sejak Kamis, (15/11).

“Ada 2 atau 5 orang sudah diberangkatin aja sama sopir, sepi dari maren [kemarin, 15/11],” kata pria Betawi ini berkeluh, Jumat (16/11).

Bagi bapak lima anak ini, liburan hingga akhir pekan ini begitu berbeda dibandingkan dengan saat Hari Raya Lebaran atau Tahun Baru ketika penumpang berjubel. “Nah ini lima penumpang aja, itu juga ngetem-nya lama banget,” katanya

Ella biasanya mengantongi upah paling besar Rp10.000 per bus. Sepinya penumpang karena masyakarat lebih suka menggunakan sepeda motor, atau memilih mengunjungi tempat wisata dibandingkan mudik atau bisa jadi lebih memilih pesawat.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, di pangkalan bus antarkota antarprovinsi (AKAP) suasana pun sama. Hanya beberapa orang de ngan tastas besar berjalan mendatangi bus  AKAP, sedangkan para pegawai perusahaan otobus atau PO lebih suka mejeng di samping bus sembari berteriak rute tujuan.

“Orang lebih suka naik mobil pribadi,” ujar Ginasir, pegawai perwakilan pengurus PO Budiman yang melayani rute Jakarta–Tasikmalaya.

Setiap hari PO Budiman menyediakan 20 bus AC. Namun, satu bus dengan 44 kursi
yang bertarif Rp40.000 per tiket hanya terisi 15 kursi. Kondisi itu membuat Ginasir pesimistis soal keterisian penumpang.

Soal sepinya penumpang bus AKAP ini dibantah oleh Ketua Umum Organisasi Angkutan Darat (Organda) Eka Sari Lorena Surbakti. Menurut dia, justru pada Kamis tingkat keterisian penumpang bus AKAP sangat tinggi, wajar jika liburan kali ini  Jakarta mulai lengang.

“Ramainya kemarin, Jakarta uda lengang sekarang. Saya dari Panglima Polim ke Cengkareng kurang dari 1 jam sampai. Kalau soal sepi, bus jarak pendek memang banyak yang lebih milih naik motor, ketimbang pilih bus, kecuali jarak jauh,” katanya.

Pada transportasi udara ini juga terjadi perubahan lalu lintas meskipun tidak terlalu signifikan, penjualan tiket dari jauh-jauh hari juga menunjukan peningkatan di sejumlah maskapai.

Pegawai tiket AirAsia perwakilan Bali, Muhammad Aditya, misalnya mengatakan tiket sejak Rabu-Jumat untuk tujuh penerbangan dalam sehari penuh dari Jakarta ke Bali. Tapi kondisi tersebut pun memang juga terjadi pada saat akhir pekan.

“Tapi kalau pun weekend kami biasanya penuh juga Jumat dan Sabtu terutama arus balik Minggu,” katanya.
Liburan panjang sejak Kamis ini memang sudah diperhitungkan oleh maskapai apalagi pada Desember nanti dua momen penting terjadi yakni Natal dan Tahun Baru.

Untuk mengakomodasi itu, sejumlah maskapai mulai mengajukan izin tambahan penerbangan, terutama rute internasional dan menerapkan program promosi tiket murah

Mulai dari Garuda Indonesia, AirAsia, Mandala Airlines, Lion Air, Sriwijaya Air hingga Batavia Air tak ketinggalan menerapkan promosi ini.

Direktur Komersial Batavia Air Sukirno Sukarna mengatakan jika ada penumpang booking lebih awal, harga bisa lebih rendah.

Dia mengatakan sejumlah rute yang menjadi primadona saat liburan adalah luar Jawa, seperti Medan, Manado, Bali, dan Pontianak, untuk luar negeri yakni Singapura. Extra flight, katanya, akan dilakukan jika dirasa perlu sebagaimana diterapkan tahun lalu.

Communications Manager AirAsia Indonesia Audrey Progastama Petriny mengatakan selain meluncurkan dua rute baru dari Medan dan Surabaya beberapa hari lalu, perseroan  mempromosikan harga kursi penerbangan mulai dari Rp69.000 yang berlangsung 12–25 November 2012 dengan periode pe nerbangan 1 Desember 2012–30  September 2013

Direktur Angkutan Udara Ditjen Perhubungan Udara Kemenhub Djoko Murdjatmojo mengatakan pengajuan izin tambahan penerbangan (extra flight) dilakukan oleh sejumlah maskapai guna mengakomodasi permintaan yang diperkirakan meningkat jelang akhir tahun.

Sepengatahuannya, ada dua maskapai yang mengajukan izin extra flight, salah satunya Singapore Airlines, terutama untuk rute Singapura dan Hong Kong. “Itu biasanya menjelang Desember mulai diajukan,” katanya.

Kelas Menengah
Yudis Tiawan, Manajer Umum PT Angkasa Pura II Cabang Soekarno—Hatta, mengatakan liburan panjang kali ini tampak biasa saja karena dari sisi penumpang tidak banyak perbedaan dengan saat akhir pekan. Pada Sabtu dan Minggu, penumpang mencapai 15.000 orang per hari.

Dia menduga masyarakat kini lebih memilih bertamasya ke tempat wisata daripada pulang kampung karena mudik harus menyiapkan dana lebih seperti saat Lebaran.  Alasan lain liburan kali ini terlalu biasa karena libur perusahaan tidak seragam.

Asisten Sekretaris Perusahaan Bidang Humas PT Angkasa Pura I Merpin Butarbutar mengatakan terdapat rute—rute dengan permintaan tinggi pada saat liburan panjang tiba yakni Surabaya, Makassar, dan Bali.

“Lumayan ada peningkatan yah tapi memang tidak signifikan, kemarin [Kamis] yang lebih padat, terutama bandara—bandara yang kami kelola,” katanya.

Merpin yang pekan depan akan menjadi General Manager Bandara Internasional Frans Kaisiepo, Biak, Papua, ini menilai liburan kali ini bisa terlihat peralihan kelas ekonomi  menengah yang biasanya memilih kapal laut kini memilih pesawat.

Bahkan peralihan ini juga terjadi pada kelas menengah ke bawah mengingat disparitas harga tiket pesawat dengan tiket kereta api atau kapal laut tipis.

“Tiket pesawat relatif terjangkau, bayangin aja Makassar–Jakarta atau Jakarta–Medan itu kalau lagi promo bisa Rp500.000, tak jauh beda dengan kapal atau kereta dan lebih  cepat sampai juga,” katanya.

Pertumbuhan kelas menengah ini juga tampak dari catatan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta Nyoto Widodo. Dalam paparan di situs resmi BPS Jakarta, Widodo mengatakan kelompok kelas menengah menunjukan eksistensinya dalam beberapa tahun terakhir.

BPS Jakarta mencatat berdasarkan perhitungan distribusi pendapatan, kelompok kelas menengah ini (40% penduduk berpendapatan menengah) adalah penyumbang 35,37% dari total pendapatan dari aktivitas perekonomian 2011. Jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, 34,09%.

Pertumbuhan kelas menengah ini juga terlihat dari upaya sejumlah maskapai meluncurkan layanan penuh (full services) dari sebelumnya low cost carrier atau layanan murah. Alasannya pun sama, ada prediksi peningkatan pertumbuhan kelas menengah.

Sama seperti prediksi Ella, sang calo yang sudah 25 tahun mangkal di Terminal Bekasi, sepinya penumpang bus hari itu bisa jadi karena orang lebih memilih sepeda motor,  sudah mampu kredit kendaraan, atau bisa jadi sudah mampu membeli tiket pesawat yang harganya tak jauh beda. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Terbit di Harian Bisnis Indonesia, Sabtu, 17 November 2012.

Kamis, 25 Oktober 2012

Warisan Terakhir SBY-Boediono

Oleh M Tahir Saleh

Apa yang menjadi masterpiece Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono—Boediono sebelum masa kepemimpinannya berakhir 2 tahun lagi? Jalan Lintas Sumatra ataukah Jembatan Selatan Sunda? Proyek raksasa ini toh masih jauh dari realisasi.

Wapres Boediono bersama dengan Wakil Menhub Bambang Susantono
memantau pembangunan rel ganda kereta api di Surabaya,
By bambangsusantono.com
SEJUMLAH proyek itu memang masuk dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011—2025, tapi tak semua proyek yang termaktub di dalamnya bisa rampung sebelum keduanya pensiun pada 2014.

Jembatan Selat Sunda sepanjang 29 km dengan anggaran Rp150 triliun dan Jalan Lintas Sumatra sepanjang 1.580 km dengan budget Rp55,30 triliun ditargetkan baru rampung pada 2025 dan 2018, saat dua pimpinan negara itu berganti.

Maka secara realistis, salah satu yang bisa dibanggakan keduanya selain pertumbuhan ekonomi 6,5% pada tahun lalu barangkali adalah pembangunan rel ganda kereta api Jalur Utara yang ditargetkan rampung pada Desember 2013.

Pembangunan rel ganda sepanjang 432 km ini menghubungkan Cirebon—Brebes, Pekalongan—Semarang, Semarang—Bojonegoro, dan Bojonegoro—Surabaya.

Proyek rel ganda ini satu dari empat proyek rel ganda di Jawa, lainnya adalah Jalur Ganda Lintas Selatan (Cirebon—Kroya, Kroya—Kutoarjo), Jalur Ganda Duri—Tangerang, dan Jalur Ganda Tanah Abang—Serpong—Maja.

Upaya merampungkan proyek senilai Rp9,15 triliun ini bukan main—main. Beberapa kali, Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono yang juga Ketua Tim Percepatan Pembangunan Jalur Rel Ganda mau memeras keringat datang langsung ke lokasi pembangunan.

Saya pernah sekali ikut kunjungan tersebut pada 9 Mei 2012 saat mantan staf ahli Menko Perekonomian itu mengajak wartawan bersama dengan sejumlah pengamat tranportasi meninjau langsung ke Surabaya.

Di atas gerbong kereta Argo Bromo Anggrek jurusan Pasar Turi Surabaya—Stasiun Gambir Jakarta, saya menanyakan mengapa proyek itu tidak didanai swasta atau mencari alternatif pembiayaan dengan obligasi. Selama ini, cukup banyak proyek pemerintah menggandeng swasta dan investor luar, kenapa rel ganda ini istimewa.

“Kami mau ini secepatnya proyek ini rampung, kalau pinjaman luar akan lama prosesnya,” kata mantan Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia ini.

Ketika itu Bambang didampingi oleh Dirjen Perekeretaapian Tunjdung Inderawan dan Dirut PT Kereta Api Indonesia Ignasius Jonan.

Dalam MP3EI yang disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian itu terpampang sejumlah proyek kereta api mulai single, double track, hingga dwi ganda atau double—double track.

Di koridor Sumatra, di antaranya pembangunan jaringan rel kereta Kertapati—Simpang Tanjung Api-api 90 km—250 km, jalur kereta angkutan batu bara dari Sumatra Selatan ke Lampung, dan rel kereta Bandar Tinggi—Kuala Tanjung 18,5 km.

Di Jawa di antaranya pembangunan rel kereta dwi ganda Manggarai—Bekasi, Bekasi—Cikarang elektrifikasi, jalur ganda dan elektrifikasi lintas Duri—Tanggerang 20 km, jalur ganda dan elektrifikasi Serpong—Maja—Rangkasbitung 32 km, dan elektrifikasi Padalarang—Bandung Cicalengka 45 km.

Jadi Keharusan
Percepatan realisasi rel ganda itu sebetulnya menjadi keharusan. Pertama, saat ini pangsa pasar angkutan barang melalui kereta api masih rendah. Kemenhub mencatat angkanya baru 0,7% dari semua barang yang diangkut moda transportasi, sedangkan angkutan penumpang melalui kereta baru mencapai 7%.

Jika jalur ganda selesai, kapasitas pengangkutan diharapkan bertambah dari sebelumnya 0,7% menjadi antara 20%--25%, terjadi peralihan beban angkutan dari jalan ke kereta api dari jalur Pantai Utara Jawa atau Pantura yang rutin jalannya diperbaiki karena sering rusak.

Pemerintah juga mematok target dengan jalur ganda, angkutan barang naik dari 5.000 TEUs (twenty-foot equivalent units) menjadi 15.000 TEUs per minggu. Selain itu, waktu tempuh Jakarta—Surabaya bisa 8,5 jam dari saat ini 10 jam—12 jam perjalanan.

Sayang, pemerintah sepertinya belum punya pandangan bahwa kereta menjadi transportasi penumpang dan barang utama. Indikasinya terlihat dari masih jauh atau timpangnya anggaran Kemenhub dan Kementerian Pekerjaan Umum.

Tahun depan, anggaran Ditjen Perkeretaapian Rp8,84 triliun dari total anggaran Kemenhub Rp31,35 triliun, sedangkan Ditjen Bina Marga Kementerian PU yang menangangi jalan mencapai Rp34,57 triliun dari total Rp 69,15 triliun. Bahkan Kementerian PU meminta tambahan anggaran lagi, Rp20,39 triliun.

Kontan ini jadi soal sehingga Ditjen Perkeretaapian belum bisa berbuat banyak lantaran anggaran dari APBN juga ‘disunat’ dengan eselon satu lain. Terbesar untuk Ditjen Perhubungan Laut sebesar Rp9,74 triliun.

Kedua, tingkat efisiensi. Dalam buku Investing in ASEAN 2011—2012 yang diterbitkan oleh Allurentis Limited tahun ini, disebutkan negara-negara di Asia Tenggara juga mulai mengamini tingkat efisiensi kereta itu.

Hal itu nampak dari upaya sejumlah negara merehabilitasi dan memodernisasi jalur kereta apinya terutama lintas perbatasan karena selama beberapa dekade, belum ada perhatian untuk kereta.

Ambil contoh di Kamboja yang terhitung jauh dari sisi ekonomi dengan Indonesia. Mereka bahkan sudah merehabilitasi 117 km rel kereta pada 2010 dan tahun lalu jalur kereta 254 km dari Phnom Penh—Pelabuhan Sihanoukville rampung. Proyek itu dibantu Asian Development Bank.

Pada tahun depan Kamboja juga menargetkan jalur kereta 388 km di utara dari Phnom Penh, Poipet, dan Aranyaprathet di Thailand selesai.

Kereta sejak dahulu diakui lebih lebih efisien, murah, ramah polusi udara dibandingkan dengan jalan raya tetapi sepertinya pandangan itu baru—baru ini disadari oleh pemerintah. Padahal bisa jadi itu sudah dipikirkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda LAJ Baron Sloet van den Beele saat pertama kali membangun rel kereta Desa Kemijen—Tanggung sepanjang 26 km pada 17 Juni 1864.

Di jalan, banyak kendala mulai dari teknis hingga ke non teknis seperti pungli meski saat ini jumlah barang memang masih ebih banyak diangkut lewat laut, udara, dan jalan ketimbang kereta.

Rendahnya efisiensi angkutan melalui jalan darat itu yang membuat daya saing Indonesia lemah karena beban logistik mahal, imbasnya lagi—lagi masyarakat juga yang kena getahnya.

Tingginya beban logistik itu sebagaimana diungkapkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Biaya logistik di Indonesia ternyata yang tertinggi di Asean sebesar 25%--30% dari PDB padahal idealnya dengan kondisi geografis Indonesia, biaya logistik itu tidak melebihi 15% dari PDB.

Rel ganda ini bisa menjadi semacam awalan bagi pemerintah untuk memperkuat derajat konektivitas ekonomi nasional (intra dan inter wilayah) maupun konektivitas ekonomi internasional Indonesia dengan pasar dunia.

Hal itu karena konektivitas nasional merupakan pengintegrasian empat elemen kebijakan nasional; Sistem Logistik Nasional (Sislognas), Sistem Transportasi Nasional (Sistranas), Pengembangan Wilayah, dan Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Namun tentu bukan menjadi keharusan bagi SBY untuk memaksakan seluruh proyek MP3EI selesai karena memang pada 2011—2015, kegiatan MP3EI difokuskan dalam pembentukan dan operasionalisasi institusi pelaksana.

Artinya realisasi proyek MP3EI itu masih sebatas upaya untuk membuka sumbatan (debottlenecking) birokrasi, regulasi, perizinan, insentif, dukungan infrastruktur yang diperlukan, dan realisasi komitmen investasi.

Sisa fase berikutnya (2016—2020 dan 2021—2025) dalam MP3EI menjadi pekerjaan rumah bagi presiden selanjutnya setelah SBY—Boediono menanggalkan jabatannya.

Tapi hal lain perlu dicatat adalah mesti ada upaya untuk menggandeng pihak swasta karena sederet proyek besar itu tentu membutuhkan dana besar.APBN bukan hanya untuk rel ganda, tetapi banyak juga prioritas di kementerian lain.

Lagipula program dalam MP3EI juga tak bisa menegasikan begitu saja problem sosial yang mesti ditanggung pemerintah, mulai dari sengketa lahan dengan masyarakat sampai dengan kewajiban membina sumber daya manusia dalam mempersiapkan persaingan global.

Namun dengan dipercepatnya rel ganda itu setidaknya sebelum masa kepemimpinan SBY—Boediono berakhir 2 tahun lagi, mereka bisa meresmikan salah satu masterpiece itu kepada rakyat, yah hitung—hitung kompensasi atas ketidakkonsistennya terhadap komitmennya sendiri dalam memberantas korupsi. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Terbit di Harian Bisnis Indonesia, Senin, 15 Oktober 2012
Words: 1.133

Rabu, 24 Oktober 2012

Melihat Thailand Memoles Logistik

'RI Bisa Contoh Negeri Gajah Putih Mendukung Freight Forwarder'
Integrasi logistik Asean pada 2013 sudah di depan mata. Thailand mempersiapkan diri memasuki era liberalisasi logistik di Asia Tenggara itu dengan menggelar Thailand International Logistics Fair 2012 pada 19-22 September 2012. Apa saja yang menarik dari pameran itu, berikut tulisan singkatnya:

Pembukaan TILOG2012, Sin Kumpha (tengah) dan Kate Choomchaiyo (kanan)
by logisticfair.com
CHARVANIN BUNDITKITSADA, Chief Executive Officer JVK Group, tiba-tiba mengeryitkan dahinya ketika ditanya berapa peringkat Thailand saat ini dalam Logistics Perfomance Index versi Bank Dunia.

Bos salah satu perusahaan solusi logistik terbesar di Negeri Gajah Putih itu hanya terdiam sejenak, lantas mencoba menebak barangkali peringkat negaranya masih lebih baik ketimbang Indonesia.

“Saya tidak tahu jelasnya peringkat berapa di Bank Dunia,” katanya saat ditemui di sela-sela kunjungan wartawan Asia di salah satu gudang utama JWD InfoLogistics Company Limited, anak usaha JVK Group, di Provinsi Chonburi, Thailand, Selasa (18/9).

Logistics Perfomance Index (LPI) adalah penilaian peringkat yang dilakukan Bank Dunia terhadap 155 negara. Peringkat didasarkan pada survei global dari operator lapangan baik dari ekspedisi kargo (freight forwarder) maupun jasa kurir yang memberikan umpan balik soal perlakukan logistik di negara tempat mereka beroperasi.

Perkiraan Bunditkitsada tepat. Sesuai dengan data Bank Dunia, ranking LPI Thailand pada tahun ini lebih baik dari Indonesia. Thailand berada di urutan ke-38, sementara Indonesia di urutan ke-59 dari 155 negara.

Peringkat pertama dunia diisi Singapura yang menggeser Jerman, sedangkan Malaysia diperingkat ke-29. Posisi Indonesia 2 tahun lalu masih jauh di urutan ke-75, Malaysia dan Thailand lebih baik masing-masing ke-29 dan ke-35.

“Banyak hal terkait dengan permasalahan logistik tentu setiap perusahaan punya masalah yang berbeda-beda tetapi secara garis besar efisiensi memang jadi perhatian,” ungkapnya.

JVK Group merupakan satu dari 190 perusahaan partisipan Thailand International Logistics Fair (TILOG) 2012 yang digelar pada 19-22 September 2012 di Bangkok International Trade Exhibiton Centre (BITEC).

Acara tahunan yang ke-9 itu digagas Departemen Promosi Perdagangan Internasional, bagian dari Kementerian Perdagangan Thailand, dengan menggandeng Thai National Shippers Council dan Hazardous Substances Logistics Association.

Tujuannya mencari solusi mengurangi biaya logistik dan menaikkan ekspor, meningkatkan standar pengiriman barang, dan mendorong kemandirian logistik di negara kerajaan itu dalam Asean Economic Community (AEC) pada 2015

Dari Indonesia, dua perwakilan ikut serta yakni JNE Logistics dan PT Samudera Indonesia yang memiliki anak usaha PT Silkargo Indonesia. Dari Singapura ada enam perusahaan, Kamboja lima per usahaan, Vietnam empat perusahaan, dan China lima perusahaan.

Bangun Jaringan
Kulpong Saralamba, Inward Manager Samudera Shipping Line Ltd, anak usaha Samudera Indonesia, mengatakan tahun lalu pihaknya juga turut serta dalam pameran yang sama guna mempromosikan perseroan sekaligus mencari mitra guna memperkuat jaringan.

“Perwakilan dari Jakarta sudah kembali, jadi kami di sini untuk mempromosikan PT Samudera Indonesia dan keseluruhan bisnisnya,” tuturnya.

Bagi Wakil Menteri Perdagangan Kementerian Perdagangan Sin Kumpha, penyelenggaraan pameran itu penting mengingat negaranya perlu mendukung pertumbuhan industri logistik.

Hal itu lantaran Asean bakal menjadi pasar kuat karena punya total populasi mencapai 600 juta penduduk. Potensi dengan kelebihan jumlah penduduk itu, katanya, bisa menjadi target pasar ekspor baik bagi Thailand sendiri maupun negara Asia lain.

Sin Kumpha mendorong kebijakan yang membuka keran efektivitas berbisnis dan berusaha sehingga memudahkan industri bertumbuh.

Netpreeya Kate Choomchaiyo, Direktur Logistik Perdagangan Departemen Promosi Perdagangan, Kementerian Perdagangan Thailand, mengatakan persoalan logistik Thailand berbeda dengan Indonesia yang terkendala infrastruktur sehingga menimbulkan beban biaya tinggi.

Dengan kondisi itu, masalah di kedua negara tak bisa dipetakan sama. Indonesia, menurutnya, punya kelemahan infrastruktur jalan darat dari pelabuhan ke gudang. Imbasnya, biaya logistik jadi selangit.

***
Suasana TILOG 2012 by Logisticfair.com
Direktur Logistik Perdagangan Departemen Promosi Perdagangan, Kemendag Thailand Netpreeya Kate Choomchaiyo menilai Indonesia punya keunggulan adanya keterhubungan antarpulau yang membaik.

“Kalau kami kebalikannya dari Indonesia. Sarana infrastruktur kami sangat baik, jalan tol. Jalan darat, truk, dan kami juga kuat pada penerbangan,”paparnya.

Kate mengklaim sejak penyelenggaraan TILOG yang sudah kesembilan kalinya mengesankan karena terjadi penurunan dalam beban biaya terhadap produk domestik bruto (PDB). “Ada peningkatan volume logistik hingga 10 kali lipat, rasio beban ke PDB juga berkurang."

Padahal, imbuhnya, beban logistik Thailand  2 tahun lalu 18% dari PDB. Dengan pertumbuhan industri yang cukup baik, beban biaya diharapkan berkurang menjadi 15% terhadap GDP dan beberapa tahun mendatang bisa menjadi hanya 10% dari PDB.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencatat statistik terakhir biaya logistik di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asean yakni sebesar 25%--30% dari PDB. Padahal idealnya tidak melebihi 15% dari PDB.

Besaran biaya logistik tersebut terdiri dari biaya pengelolaan persediaan (inventory carrying cost), biaya transportasi, dan biaya administrasi.

Cara mengurangi beban logistik tersebut, lanjut Kate, akan diimplementasikan dengan menyelenggarakan program latihan bagi perusahaan eksportir hingga perusahaan importir agar mengetahui layanan logistik secara baik dan sistem manajemennya.

“Kami juga kerja sama dengan tenaga ahli yang akan melakukan kunjungan langsung terhadap perusahaan,” jelas Kate yang sudah 20 tahun lebih menggeluti industri logistik di Thailand ini.

Selain itu, tuturnya, pemerintah juga akan menggadeng seluruh kampus di Thailand guna mencetak tenaga yang ahli di industri ini.

“Soal SDM bisa menjadi masalah ke depan jika tidak dipersiapkan karena bisnis ini makin tumbuh dengan segala tingkat kerumitannya,” ungkapnya.

General Manager Dynamic Intertransport Co Ltd, anak usaha logistik dari Charoen Pokhphand Trading Group, Kamol Satcha menambahkan cara lain meningkatkan efisiensi adalah mendorong penggunaan jalur sungai dalam angkutan barang.

Saat ini, jalur sungai baru dimanfaatkan sekitar 5% dari total distribusi barang. Dia mengharapkan angkutan sungai bisa ditingkatkan perannya menjadi 10%. Saat ini, logistik lewat darat mendominasi hingga 80% dari total angkutan barang di Thailand.

Pada 2006-2007, menurutnya, arus peti kemas melalui kota Lat Krabang, Thailand mencapai 1,7 juta mengakibatkan kemacetan parah karena setiap truk butuh waktu mengangkut dan memindahkan kontainer

Dulu, ungkapnya, perjalanan truk maksimal dua kali trip mengambil container. Saat ini, jumlah trip meningkat lima kali yang dibawa ke kawasan bisnis Ayutthaya, ibu kota Thailand, sebelum Bangkok.

Sin Kumpha menambahkan fokus pada peningkatan efektivitas dan efisiensi adalah keharusan mengingat logistik merupakan faktor penting dalam perdagangan internasional, khususnya layanan ekspor barang yang menyumbang 70% pendapatan negara.

Untuk mendorong kemajuan logistik Thailand, Kate juga mengungkapkan pihaknya meng gandeng sejumlah institusi lain. “Dukungan pemerintah saat ini nampak, misalnya ketika perusahaan logistik berinvestasi di luar negeri, atau ketika dalam urusan pendanaan,” katanya.

Kate berharap dengan penyelenggaraan TILOG tersebut yang diklaim terbesar di Asean bisa menurunkan biaya logistik menjadi kenyataan yakni 10% dari PDB. Untuk menjaring peserta TILOG, Kemendag Thailand bahkan sudah mengkampanyekan pameran tersebut 2 tahun lalu kepada pelaku industri dan duta besar negara sahabat.

Bagi saya yang datang khusus atas undangan Kemendag Thailand, penyelenggaraan pameran TILOG tak ada bedanya seperti pameran internasional di Indonesia. Namun, yang justru berbeda adalah komitmen negara dalam mendukung industri logistiknya yang sepatutnya dicontoh juga oleh Indonesia. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Terbit di Harian Bisnis Indonesia, edisi Senin dan Selasa 24—25 September 2012
Words: 1.088

Senin, 22 Oktober 2012

1 Jam Menikmati Bus Mewah

Noni Purnomo (tengah) memberikan arahan
kepada pengemudi Big Bird Premium Bus,
Sabtu (20/10/2012) --Foto by Bisnis
Oleh M Tahir Saleh dan Hendra Wibawa

PERJALANAN darat dari Jalan Mampang Prapatan Raya, Jakarta Selatan menuju salah satu hotel ternama di Bogor, Jawa Barat terasa nyaman meskipun kemacetan menghambat laju bus yang saya tumpangi pada Jumat (19/10), akhir pekan lalu.

Padatnya jalanan kota Jakarta tidak menjadi persoalan bagi sebagian besar penumpang bus yang didesain hanya menampung 12 orang.

Dengan interior bus sangat mewah, saya seperti berada dalam kabin pesawat kelas bisnis. Padahal, perjalanan itu menggunakan bus sewaan ukuran medium yang biasanya berka pasitas 25 orang.

Bus medium yang saya tumpangi didesain dengan kompisisi satu kursi dan dua kursi dengan masing-masing empat deret ke belakang. Hasilnya, ruangan bus menjadi lega.

Fasilitas lain yang dipasang di dalam bus berupa dua unit TV panel ukuran 17 inci di bagian tengah bus bagian depan dan belakang. Selain itu, fasilitas minibar juga ada di dalam bus dan seluruh kursi jenis eksekutif dengan sandaran kaki atau reclining seat dan meja laptop.

Minggu, 21 Oktober 2012

Tarif Naik Tetapi Layanan Seadanya

KRL Commuter Line (By Portaltigaimage)
Oleh M Tahir Saleh

PAGI—PAGI sekali, Agust sudah dibuat senewen lantaran tiket kereta rel listrik Commuter Line yang biasa dia beli Rp6.000 untuk relasi Depok-Jakarta Kota naik menjadi Rp8.000.

Mahasiswa Pascasarjana UI ini merasa belum pantas tarif dinaikan awal Oktober ini tapi layanan sama saja.

Pemuda 29 tahun ini menilai dengan terbatasnya gerbong dan ketepatan waktu yang masih molor membuat PT Kereta CommuterJabodetabek sebagai anak usaha dari PT Kereta Api Indonesia sebaiknya mesti berbenah lebih dahulu sebelum langkah penaikan harga.

“Kaget juga saya tiket sudah naik jadi Rp8.000,” katanya saat ditemui di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan.

Karyawan swasta yang biasa naik Commuter dari Stasiun Pondok Cina ke Stasiun Cikini ini bahkan berfikiran agar ke depan tarif Commuter yang nonsubsidi ini idealnya naik, tapi KRL Ekonomi yang disubsidi oleh pemerintah itu bisa dihilangkan, toh tidak semua orang miskin naik kereta jenis itu dan subdisi diberikan dalam bentuk lain.

“Selama ini penumpang engga milih CL atau KRL Ekonomi, tapi siapa duluan dateng dan paling cepet sampai,” katanya.

Di Stasiun Bekasi, hal sama pun dirasakan Agustine. Wanita 25 tahun ini langsung terkejut saat diminta menambah sejumlah uang yang sudah disetornya di loket karcis. Dia penasaran lalu dijelaskan oleh petugas di balik loket dengan menunjukkan brosur tarif baru.

Sabtu, 20 Oktober 2012

Kala Bandara Sibuk Ngurus Mati Listrik

Bandara Soetta (by Dewbar)
Oleh M Tahir Saleh


SENIN (24/9) pukul 3 sore, Anton, salah satu pegawai maskapai AirAsia di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng tampak serius.

Tugasnya sebagai Tim Leader In-flight Sevices Air Asia di salah satu bandara tersibuk di dunia itu membuatnya fokus karena dia mesti mengirim laporan ke Kuala Lumpur, Malaysia secepatnya.

Akan tetapi sejurus kemudian dirinya terkaget-kaget ketika pekerjaannya sore itu terganggu. “Saya sadar listrik mati, sistem jadi down. Jadi, berpindah ke manual, semenit kemudian nyala lagi [listrik],” katanya Selasa (25/9).

Senin (24/9), aktivitas Bandara Soe karno-Hatta yang dirancang oleh arsitek Prancis Paul Andreu itu sempat mengalami gangguan listrik. Kendati gangguannya hanya beberapa menit, dampaknya terjadi keterlambatan pesawat hingga 2 jam.

Kronologinya pada pukul 15.04 terjadi kedipan listrik sesaat, lalu pada pukul 15.07 terjadi kedipan kedua dan pada 15.08 terjadilah gangguan listrik. Semenit kemudian, genset dinyalakan sehingga alat produksi normal kembali. Pukul 16.06, listrik kembali nyala.

Kamis, 23 Agustus 2012

Eksotisme Karst Sungai Pute Maros

Pegunungan Karst, Maros, By Paulus Tandi Bone
Oleh M Tahir Saleh 

AWALNYA hanya rencana ke tempat wisata terkenal di Sulawesi Selatan, tepatnya ke Taman Wisata Alam Air Terjun Bantimurung, Kabupaten Maros. Jaraknya sekitar 40 km atau 60 menit dari Makassar, sekitar 30 menit dari Bandara Hasanuddin.

Tapi di tengah perjalanan, pemandu kami, fotografer Paulus Tandi Bone menantang kami berfikir ulang sebelum melanjutkan perjalanan.

“Sebelum ke Bantimurung mau nda ke dusun kecil menyusuri jalur sungai itu?" kata Paulus sambil menunjuk sungai di sisi kiri jalan, dekat sebuah jembatan. Namanya Sunga Pute, Ada beberapa perahu kecil tanpa awak bersandar di bibir sungai.

Ternyata jalur tempuh menuju Bantimurung itu juga melewati sebuah dusun kecil di wilayah Sungai Pute itu. Jalurnya searah menuju Pabrik Semen Bosowa di Maros milik keluarga Aksa Mahmud.

Kalau dari Makassar, perjalanan bisa ditempuh dengan mobil atau sepeda motor ke arah Kabupaten Maros. Bisa juga menumpang pete-pete semacam angkot di sana tetapi mesti lanjut dengan motor.

Memburu Investor di Ujung Pandang

Oleh M Tahir Saleh

SEPOTONG iklan di koran awal pekan ini menuntun Rudy menuntaskan kegalauannya mengenai apa itu reksa dana, produk investasi yang belum akrab di telinga sebagian masyarakat Sulawesi Selatan.

Maklum investasi yang berhubungan dengan istilah pasar modal ternyata belum banyak dipilih. Jangankan dipilih, membuat masyarakat tertarik dan berminat saja butuh sosialisasi intens apalagi soal reksa dana, saham, pasar modal, dan lainnya masih dinilai ‘mainan orang kaya’.

Karyawan DIVA Family Karaoke ini pun lantas mendatangi Hotel Aryaduta Makassar, tempat digelarnya Pameran dan Sosialisasi Reksa Dana yang diadakan pada 14 Juni 2012 sesuai dengan apa yang tertera dalam iklan itu.

Setidaknya pria 34 tahun itu menghampiri 12 stand manajer investasi (MI) yang menjadi sponsor acara hasil kerja sama Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) dan Kementerian Keuangan itu.

Kamis, 26 Juli 2012

Aroma Tak Sedap di Benteng Rotterdam

Fort Rotterdam, by Antara
Oleh M Tahir Saleh


LUKISAN Cornelis Speelman setengah badan terpajang di ruang utama Museum Lagaligo, Benteng Rotterdam Makassar. Gubernur Hindia—Belanda ke-14 ini nampak angkuh memegang tongkat komando ala bangsawan Belanda.

Cornelis ditemani foto lukisan enam gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) mulai dari Ahmad Lomo (1966—1978), Andi Oddang (1978—1983) hingga gubernur yang akan maju dalam Pilkada Sulsel tahun depan, Syahrul Yasin Limpo, berkuasa sejak 2007.

Kurun waktu 345 tahun yang lalu, setelah penandatanganan Perjanjiaan Bongaya dengan Sultan Hasanuddin, Speelman mengganti nama Benteng Ujung Pandang menjadi Fort Rotterdam.

Itu terjadi tatkala Kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda pada 18 November 1667 seperti tertulis dalam lembaran sejarah singkat benteng. Nukilan sejarah ini pun diceritakan oleh Rimba Alam A Pangerang dalam bukunya Sejarah Kerajaan di Sulawesi Selatan, terbitan 2009.

Minggu, 22 Juli 2012

Ke mana mencari Raja Dana?

Akuisisi Benakat atas Astrindo tak kunjung tuntas
Oleh M Tahir Saleh

MISTERI masih menyelimuti PT Raja Dana Indonesia, perusahaan yang sekonyong-konyong muncul mengucurkan dana kepada PT Benakat Petroleum Energy Tbk untuk mengakuisisi PT Astrindo Mahakarya Indonesia.

Nama perusahaan investasi tersebut santer diberitakan sejak perusahaan ini memberi fasilitas pinjaman senilai total Rp300 miliar kepada Benakat, sebagai uang muka akuisisi PT Astrindo senilai US$600 juta.

PT Bursa Efek Indonesia mencatat Raja Dana memegang waran emiten pengembang properti PT Bakrieland Development Tbk sebesar 1,5 juta waran dan beralamat di Jalan Kapuk Raya Nomor 62 RT 002/003 Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara.

Nomor telepon kantor perusahaan yang tercatat di situs Jakarta-citydirectory tersebut memang bisa dihubungi, namun tersambung dengan kantor notaris yang sudah 3 tahun menetap di Jalan Pluit Selatan Nomor 103 Jakarta Utara, bukan Raja Dana.

Entri Populer

Penayangan bulan lalu