Senin, 10 Juni 2013

Warteg

PARDI, sebut saja begitu namanya. Saya juga lupa menanyakan namanya lengkapnya. Dia tukang becak, baru kenal beberapa jam karena mengantar kami; saya dan Firda ke Terminal Tegal dari kediaman kawan. Usianya barangkali 50 tahun yah.

Sebetulnya tak tega juga rasanya menyuruh kakek tua ujur itu mengayuh becak membawa beban kami berdua sekitar 100 kg itu menuju Terminal Tegal dari Desa Sidakaton, tapi tak ada transportasi lain selain becak.

Tak mungkin juga saya turun gantian dengan Pak Pardi dan mengayuh becak dengan penumpangnya Firda dan bapak tua itu. Apa kata dunia...

Nah...cerita saya bukan soal Pardi yang punya tiga istri, pernah kerja di Jakarta, dan cukup tahu nama-nama pejabat di Indonesia ini. Saya hanya mau sharing soal bagaimana cerita Pardi ketika kami melewati rumah-rumah mentereng di desa itu sambil cas cis cus dalam perjalanan malam itu. Nama desanya Sidakaton, Tegal, Jawa Tengah.

“Yang itu Mas, rumah petani, kalau yang itu (menunjuk rumah bercat putih, tingkat dua, dan megah) usaha warteg, sukses dia,” kata Pardi sambil gowes.

“Wah hebat ya Pak?” kata saya.
"Iyah, kalau petani rumahnya biasa-biasa saja".
"Kalau yang itu warteg juga Pak?" tanya saya.
"Lah iya, rata-rata di sini mah warteg, sukses di Jakarta."

Rumah yang ditunjuk Pardi besar menurut kami. Yah, hampir sama dengan rumah rumah yang ada di Pondok Indah.

Kami hanya geleng-geleng di dalam becak. Hebat, meski warteg atau warung tegal di Jakarta itu masih dipandang makanan kelas bawah menengah dari tukang becak, montir bengkel, hingga pekerja biasa lainnya--termasuk mahasiswa kere, ternyata penghasilan dari usaha makanan itu mampu membuat sang empunya usaha membangun istana lokal di kampung.

Awalnya kami fikir, rumah-rumah besar di desa itu lantaran pemiliknya TKI di Arab atau negara Asia lain seperti di sejumlah daerah misalnya Sukabumi dan Indramayu.

Kami meleset. Dari Pardilah kami baru sadar terlalu banyak stigma yang melekat pada warteg. Stigma itu membunuh pikiran kami bahwa dari usaha itu, berapa banyak ayah yang mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi, berapa banyak orang tua naik haji, betapa besarnya status sosial di Tegal dalam usaha warteg ini. Hebat sekali usaha ini.

Warti, seorang karib yang kami kunjungi di hari bahagianya itu di Desa Sidakaton, Dukuhturi, Tegal, mengakui satu kata yang melekat pada daerahnya itu ialah warteg, warung makan sederhana yang begitu terkenal sejak tahun 60-70-an di Jakarta.

Satu keunikan bisnis ini, katanya, ada periodesasi pertukaran tempat antara tiap pengelola warteg, katanya sih biar semua kebagian. Warti juga pengusaha warteg. Beberapa kali saya makan gratis di warungnya.

Saya pernah dengar anekdot soal warteg, konon ide brilian teknologi touch screen yang diterapkan mendiang Steve Jobs itu terinspirasi ketika dia ke Jakarta, melihat ada warteg ramai sekali. Apa yang dipesan konsumen hanya dengan menujukan jarinya ke arah makanan di etalasi langsung ada di piring. Yah namanya juga konon kabarnya, tentu derajat sahih-nya cuma 0,01%.

Jujur, sampai sekarang saya juga masih menjadi pelanggan setia warteg samping kantor kalau lagi kepepet tengah bulan. Awal bulan gajian masih gaya makan di warung padang, tengah bulan makan di warteg, akhir bulan yah terpaksa numpang makan di rumah mertua....

Minggu, 09 Juni 2013

Tegurlah Daku Kau Ku Tampar

Nur Febriyani,
saat konferensi pers di Kemang, Jumat (7/6),
photo by Merdeka
Oleh M Tahir Saleh

MENJELANG pesawat tinggal landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng, Nur Febriyani mulai antusias dan bersemangat.

Saat itu, Rabu malam (5/6), Febriyani menjadi salah satu petugas awak kabin pada penerbangan Sriwijaya Air dengan kode penerbangan SJ 078 rute Jakarta menuju Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, Bangka Belitung.

Awalnya baik-baik saja, tapi kegusaran muncul saat dia melihat seorang penumpang di kursi 12E ternyata belum menonaktifkan telepon seluler (ponsel). Sopan dan tegas Febby akhirnya menegur pria yang tak lain ialah Kepala Dinas Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Bangka Belitung Zakaria Umar Hadi.

Teguran itu bukan yang pertama diterima, rekan Febby sebelumnya juga sudah menegur pejabat daerah itu tapi tak mempan.

“Maaf, tolong matikan HP-nya, Pak,” tegur Febby seperti diceritakan oleh adiknya, Shita Destya, di Jakarta, Sabtu (8/6).

Zakaria malah menyorongkan ponselnya ke arah Febby dan dengan suara cukup keras bilang bahwa ponsel itu sudah dinonaktifkan.

“Maaf, Bapak kenapa kasar? Saya hanya meminta Bapak mematikan HP,” kata Febby.

Zakaria sudah nampak marah tapi Febby tak menduga kemarahan lantaran ditegur dua kali itu berlanjut sampai tiba di Pangkal Pinang. Ketika mendarat, Zakaria mendatangi Febby. Sembari meminta Febby sopan dalam menegur, Zakaria juga memukulkan Koran ke tubuh pramugari itu

“Jangan kasar kamu, lain kali sopan!”

Dipukul seperti itu, Febby berusaha lari memanggil kapten pilot. Namun, Zakaria malah menahan dan memberi pukulan kedua, lebih kencang di telinga kiri. “Pok!!”

Singkat cerita Zakaria lalu diamankan oleh kapten pilot dibantu sejumlah penumpang yang mengejar dan menangkapnya.

Ellisa, adik Zakaria sekaligus kuasa hukumnya hingga saat ini belum menginformasikan kronologis versi Zakaria dalam kasus itu berikut dengan perkembangan kasus itu. Pesan singkat dan panggilan telepon tak berbalas.

Kapolres Pangkal Pinang AKBP Bariza Sulfi mengatakan pihaknya kini menangani perkara Zakaria. Tersangka ditahan di Polsek Pangkalanbaru karena tahanan Polres sudah penuh. "Dari pengakuan tersangka, karena teguran pramugari tidak sopan," katanya saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (9/6).

Zakaria dijerat dengan Pasal 351 Ayat 1 KUHP tentang Pengainayaan dan atau Pasal 335 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan dengan ancaman hukuman kurungan 2 tahun 8 bulan dan Pasal 335 ancaman maksimal 1 tahun penjara. "Kalau kasus 351 dan 335 beberapa kami tangani, tapi kalau pemukulan pramugari baru kali ini," katanya.

Selang sehari kemudian, kasus pemukulan kembali terjadi. Kali ini menimpa Fatma Ika Hayati, petugas keamanan kereta rel listrik (KRL) Commuter Line yang dioperasikan oleh PT KAI Commuter Jabodetabek (PT KJC), anak usaha PT Kereta Api Indoensia.

Eva Chairunisa, Manajer Humas KCJ menceritakan pemukulan itu terjadi sekitar pukul 20.00 WIB, Kamis malam (6/6) di atas kereta 588 jurusan Bogor-Jakarta saat melintas antara Stasiun Kalibata menuju Stasiun Pasar Minggu.

Fatma dipukul setelah menegur lima orang penumpang yang hanya mengantongi satu tiket. Dia dipukul mata kirinya setelah menyuruh penumpang turun di stasiun berikutnya, sesuai dengan prosedur jika penumpang kedapatan tak memiliki tiket. Hingga kini para pelaku yang kabur itu masih dalam pengejaran petugas kepolisian. "Iya belum (ditangkap), kacau," kata Eva.

Pihaknya menghimbau kepada seluruh penumpang untuk tertib dan mengikuti peraturan yang berlaku. Manajemen KJC juga berharap dan menghimbau kepada penumpang agar tidak melakukan tindakan anarkis saat melakukan perjalanan KRL.

"Kami juga sangat mengapresiasi para pengguna jasa yang telah ikut serta berpartisipasi menjaga keamanan dan ketertiban pada KRL di Jabodetabek," kata Eva.

Pengamat hukum transportasi Universitas Trisakti Siti Nurbaeti menilai langkah standar yang sudah dijalankan oleh pramugari sebetulnya sudah benar karena sesuai dengan prosedur, tapi dalam kasus pemukulan petugas di kereta dia belum mendapatkan latar belakang kronologis.

"Kan ada saksinya juga, kalo yang kereta api saya engga pasti, siapa yang salah karena belum tahu ada saksi yang melihat bagamana cara menegur penumpang, tapi terlepas dari itu semua budaya hukum masyarakat kita baru sebatas taat hukum, belum sampai pada taraf sadar hukum," katanya.

Sekjen Indonesia National Air Carries Association (Inaca) Tengku Burhanuddin mengatakan Sriwijaya Air sebetulnya berhak memasukan nama Zakaria dalam daftar hitam sehingga dia tidak akan pernah bisa naik maskapai itu lagi, seumur hidup.

Langkah itu sebetulnya pernah dilakukan oleh Garuda Indonesia dalam kasus penumpang yang membentak dan memukul awak kabin.

"Garuda waktu zaman almarhum Pak Soeparno (Dirut Garuda 1988-1992) pernah melakukannya (blacklist), kasusnya membentak dan memukul," katanya.

Belakangan ini, katanya, cukup banyak penumpang yang cenderung mengabaikan peraturan penerbangan mulai dari keengganan memakai sabuk pengaman, mencoba merokok di kamar kecil, sampai keisengan mengambil jaket. Meski begitu, belum ada rencana dari maskapai itu untuk meletakan nama Zakaria dalam blacklist. "Belum," kata Agus Soedjono, Senior Manager Corporate Communication Sriwijaya.

Soal ponsel Zakaria yang masih menyala itu membuat juga Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo Gatot S Dewa Broto angkat bicara. Pihaknya kembali mengingatkan kepada berbagai pihak untuk mematuhi peringatan larangan penggunaan perangkat telekomunikasi saat dalam penerbangan.

"Tanpa bermaksud menujukkan keberpihakan pada salah satu pihak karena masalahnya (pemukulan pramugari) sudah ditangani pihak berwajib, kami kembali mengingatkan. Peringatan ini bukan sekali ini saja, sudah berulang kali disampaikan," tegasnya dalam siaran pers Kominfo, Kamis (6/6).

Setelah terjadi musibah pesawat komersial Adam Air pada 2007 dan Sukhoi Superjet pada tahun lalu, sempat muncul wacana penggunaan ponsel dimungkinkan dalam penerbangan baik domestik maupun internasional, pertimbangannya agar mengantisipasi jika terjadi musibah diharapkan dapat dihubungi. Namun Gatot menegaskan seandainya wacana itu disepakati publik, dikhawatirkan justru berpotensi membahayakan keselamatan penerbangan.

Ponsel tidak hanya mengirim dan menerima frekuensi radio, tapi juga memancarkan radiasi tenaga listrik untuk menjangkau BTS. Jadi dalam kondisi 'on', ponsel bisa memancarkan sinyal dan tetap melakukan kontak dengan BTS terdekat. Federal Aviation Administration (FAA) menilai ponsel, televisi, dan radio merupakan portable electronic devices (PED) yang berpotensi mengganggu peralatan komunikasi dan navigasi pesawat.

Terlepas dari itu baik Febby maupun Fatma serta seluruh petugas pendukung transportasi komersil lainnya memang bertugas membantu tetapi bukan dalam artian pembantu, mereka melayani secara profesional tapi bukan pelayan, sedangkan penumpang ialah tamu terhormat. Apapun kondisi psikis penumpang tak sepantasnya menggunakan cara barbar, tak perduli pangkat dan jabatannya.

Dan pemukulan itu tentu paling besar dampaknya secara psikis. Bagi Febby semangat dan rasa antusiasnya saat menjadi awak kabin dalam penerbangan Sriwijaya pada Rabu malam itu sepertinya tinggal trauma yang tersisa.

“ Iyah kondisi psikisnya agak terganggu dengan kasus ini, capek,” kata Shita Destya, adik Febby.

Tulisan ini versi lengkap dari tulisan berjudul sama yang terbit di Bisnis Indonesia, 10 Juni 2013

Lunturnya Forum Dialog di Priok

Seorang peserta aksi mogok melarang
sebuah truk kontainer memasuki Pelabuhan Tanjung Priok
Jakarta Utara, Senin (3/6/13). ANTARAFOTO/Dhoni Setiawan
Oleh M. Tahir Saleh

MATAHARI rembang saat puluhan orang berkaos hitam dengan tulisan “Stop Operasi, 03 Juni 2013” menyemut di depan Pos 9 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, dekat kantor pusat PT Jakarta International Container Terminal.

Suasana lalu lintas di pintu masuk Pos 9 itu tampak lengang di tengah kerumunan massa pada Senin siang 3 Juni itu.

Hanya ada satu-dua truk yang melintas. Sama halnya terjadi di sepanjang proyek pembangunan elevated road dan arteri road JORR menuju Cawang Cilincing. Sepi dari biasanya.

Para anggota dari Organda Angkutan Khusus Pelabuhan dan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) ini benar-benar merealisasikan ancaman setop operasi yang didengungkan sejak bulan lalu.

Mereka bukan gertak sambal tapi menepati komitmen mereka untuk tak mengoperasikan jasa transportasi dari dan ke pelabuhan. Aksi ini wujud protes kepada Menteri BUMN yang memberikan hak istimewa kepada Pelindo I, II, III, dan IV dalam mengelola pelabuhan, termasuk langkah mendirikan setidaknya 21 anak usaha yang juga bergerak pada jasa pendukung kepelabuhanan.

“Ini ditantangin Lino [Dirut Pelindo II RJ Lino] yah kami jabanin,” celetuk Ketua Umum ALFI Iskandar Zulkarnaen ketika menemui puluhan wartawan yang ‘mangkal’ sejak pagi hari.

Bentuk protes itu tidak hanya di Priok, tapi menyebar ke 32 perwakilan ALFI di seluruh Tanah Air. Begitu pun Angsuspel mengultimatum seluruh perwakilan mulai dari Priok (Jakarta), Semarang, Teluk Bayur, Palembang, Medan, Dumai, Banjarmasin hingga Sorong.

Data Angsuspel mencatat sekitar 50.000 truk kontainer ‘dikandangkan’ pada Senin itu sampai pukul 06.00 sore dan Jakarta menyumbang sekitar 18.000 truk. Adapun ALFI mencatat 200 anggota memiliki truk peti kemas dengan jumlah total sekitar 2.000 truk yang vakum.

Bukan hanya Angsuspel dan ALFI, asosiasi lain yang juga ikut ‘menggempur’ langkah Pelindo itu yakni asosiasi pelayaran atau INSA (Indonesia National Shipowners Association). Diperkirakan kerugian sehari itu mencapai sekitar Rp2,1 triliun, entah dari mana kalkulasinya.

“Hari ini [Senin] sampai jam 06.00 sore, kalau tidak juga didengar kami akan setop operasi lagi pada awal pekan depan,” ancam Gemilang Tarigan, Ketua Organda Angsuspel, saat konferensi pers.

Ketua Organda DKI Sudirman menambahkan aksi setop operasi itu sebetulnya baru tahapan upaya mempertahankan hidup. Bahkan dia sendiri mempertanyakan posisi Organda dan Angsuspel bagi pemerintah.

“Apakah kami ini dianggap aset atau sampah? katanya.

Pernyataan itu juga menyinggung terbukanya persaingan global dengan perusahaan asing tapi pengusaha lokal justru dihadapkan pada persaingan dengan BUMN di negeri sendiri yang disokong permodalan dan infrasteruktur kuat.

Padahal tujuan pendirian BUMN dalam Pasal 2D UU No.19/2003 tentang BUMN disebutkan pendirian BUMN itu menjadi perintis kegiatan usaha yang belum dilaksanakan sektor swasta dan koperasi.

Selain itu pendirian BUMN juga agar turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Iskandar sebetulnya sudah mengirimkan surat kepada pemerintah tapi hingga saat ini tak berbalas, forum dialog sudah luntur.

“Ini bagai petinju kelas berat lawan petinju bantam, head to head, kami kalah. Kami mendesak agar pemerintah mendengar ini. BUMN dan swasta itu bagai gerbong dan lokomotif harus saling mendukung,” kata Iskandar.

Bagaimana pun itu, dampak setop operasi itu cukup signifikan terhadap penumpukan barang. Ambil contoh apa yang terjadi pada terminal peti kemas yang dikelola oleh JICT, anak usaha Pelindo II dan Hutchison Port Holdings.

Dirut JICT Albert Pang mengatakan bongkar muat tetap berlangsung, seluruh karyawan juga tetap bekerja seperti biasa.

Hanya saja, kondisi lapangan penumpukan (yard) dalam keadaan padat dengan tingkat penggunaan lapangan penumpukan (yard occupancy ratio/YOR) mencapai 100%. Biasanya tingkat 100% itu terjadi manakala musim Lebaran.

“Setop operasi truk membuat kegiatan receiving (eksport), delivery (import), dan overbrengen terhambat. Kami akan mengambil langkah yang diperlukan untuk tetap menjaga kelancaran pelayanan dan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait hal ini,” katanya.

Setidaknya, JICT mencatat sekitar 16.000 truk peti kemas tidak beroperasi pada hari itu. Tercatat YOR JICT pada 3 Juni pukul 08.00 WIB rata-rata mencapai 88% dan pukul 14.30 WIB mencapai 100%.

Di luar mediasi yang dilakukan pihak-pihak terkait, Pang berharap persoalan itu dapat diselesaikan dengan cepat, secara tepat dan proporsional sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menawarkan solusi bahwa ada baiknya anak usaha yang didirikan oleh Pelindo itu beberapa sahamnya juga ditawarkan kepada mitra usaha, terutama mitra usaha yang berskala ekonomi kecil.

“Yang skala keekonomiannya kurang baik legowo untuk ditutup, namun mereka dikompensasi dengan saham anak usaha dari Pelindo. Karena tidak semua mitra usaha Pelindo skala keekonomiannya bagus,” katanya.

Arman Yahya, Ketua ALFI Soekarno Hatta, menambahkan persoalan yang dihadapi oleh Angsuspel juga dirasakan pengusaha di bandara setelah dua BUMN yakni PT Angkasa Pura I dan II (AP) juga mendirikan anak usaha logistik dan pergudangan.

“Kami bukan cari populer, ini momennya pas, media lebih di dengar. Ini salah. BUMN mestinya masuk ke bidang usaha lebih besar bukan kelas kecil seperti swasta sudah masuk, cobalah itu bisnis dok, kalau AP bikin perawatan pesawat,” tegasnya.

Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II atau Indonesia Port Corporation (IPC) Richard Joost Lino memastikan aksi mogok angkutan di Priok tidak menyebabkan lumpuhnya kegiatan jasa kepelabuhanan karena hanya 1 hari.

“Kalau 5 hari baru terganggu karena akan ada penumpukan barang.”

Lino memaparkan pihaknya melayani jasa sandar dan bongkar muat 20 kapal dan pihaknya juga meminta para importir untuk segera mengeluarkan barang jika proses administrasi telah selesai sehingga tidak menyebabkan adanya penumpukan barang.

Pihaknya juga telah menyurati Ketua Organda Angsuspel Tanjung Priok dan Ketua DPP Organda terkait dengan pendirian anak usaha PT Marine Service Indonesia pada akhir Mei 2013, yang menggarap jasa pemanduan kapal, bukan pelayanan angkutan pelabuhan.

Dia juga menantang pengusaha angkutan melaporkan masalah dugaan monopoli kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). (Hendrykus F. N. Wedo).

Terbit di Harian Bisnis Indonesia edisi Selasa, 4 Juni 2013

MUSIBAH LION: Tarif Murah vs Keselamatan

Pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT-960
rute Bandung-Denpasar tergelincir di Bandara Ngurah Rai
saat mendarat sehingga menyebabkan ratusan penumpang cedera
ANTARA/xHO-BASARNAS
Oleh Hendrykus F. N. Wedo & M. Tahir Saleh

“MAAF saya tak bisa mengikuti rapat sampai selesai karena harus terbang ke Batam. Saya naik Garuda, bukan Lion Air. Maaf Pak Edo [Edward Sirait, Direktur Umum Lion Air], ini hanya joke,” ujar Yoseph Nai Soi.

Itu kalimat yang diucapkan anggota Komisi V DPR Yoseph Nai Soi di tengah berlangsungnya rapat dengar pendapat (RDP) Komisi V DPR dengan jajaran direksi maskapai penerbangan nasional, Selasa (9/4).

Candaan politisi Fraksi Partai Glokar terjadi saat berpamitan meninggalkan ruang rapat yang dihadiri oleh hampir semua direktur utama maskapai penerbangan nasional. CEO Lion Air Group Rusdi Kirana tidak terlihat hadir dan diwakili Direktur Umum Edward Sirait.

Tak jelas apakah Yoseph ingin pamer bahwa standar layanan penerbangan bagi anggota parlemen adalah full service bukan maskapai low cost carrier (LCC), ataukah memang sengaja menyindir Edward agar Lion Air tetap mengutamakan keselamatan meski bertarif murah.

Terlepas dari candaan dan sindiran Yoseph tadi, manajemen Lion Air memang harus kembali mengevaluasi kegiatan operasionalnya terkait dengan aspek keselamatan menyusul terjadinya kecelakaan pesawat Lion Air di Bali, Sabtu (13/4).

Pesawat Boeing 737-800 NG dengan kode penerbangan JT-904 rute Bandung-Denpasar tersebut gagal mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali dan tercebur ke Pantai Segara sekitar 10 meter dari ujung barat landasan pacu. Peristiwa ini merupakan insiden ke-13 yang dialami Lion Air, setidaknya sejak 2002. Patut disyukuri seluruh 101 penumpang dan 7 awak pesawat selamat.

Berbagai insiden tadi menjadi sangat ironis dengan upaya menajemen Lion yang sedang membangun kepercayaan publik dan agresif ekspansi dengan memborong 234 unit pesawat Airbus A320 tipe lorong tunggal dengan nilai pembelian US$24 miliar atau setara Rp232,80 triliun.

Sejauh ini Edward belum bisa memperkirakan faktor penyebab jatuhnya pesawat itu dan menyerahkan sepenuhnya kepada investigasi tim Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).

Dia justru memastikan bahwa pesawat nahas itu laik terbang karena baru beroperasi Maret dan menjadi pesawat ke-11 yang dimiliki perseroan untuk tipe terbaru itu.

“Pesawat ini masih baru dan pilot Kapten Mahlup Ghozali sudah mengantongi jam terbang lebih dari 10.000 jam di Lion Air. Belum lagi dia [Ghozali] juga pernah bekerja di maskapai lain,” katanya.

Edward enggan berbicara soal asuransi pesawat tersebut termasuk kemungkinan mengevaluasi kontrak kerja sama dengan Boeing. “Kami masih fokus pada penanganan penumpang.”

Yasril Y. Rasyid, Presiden Direktur PT Tugu Pratama Indonesia (TPI)-perusahaan asuransi yang menangani maskapai Lion Air-mengaku masih menunggu hasil perhitungan kerugian dari lost adjuster terkait dengan kecelakaan itu.

Manejemen, lanjutnya, mengaku telah menunjuk loss adjuster yakni Charles Taylor Adjusting (CTA) yang akan menghitung nilai kerugian akibat kecelakaan tersebut.

"Kalau dilihat dari pemberitaan memang sepertinya total loss," katanya, Minggu (14/4).

Nilai pertanggungan satu unit pesawat terbang adalah sekitar US$45 juta-US$46 juta, akan tetapi nilai tersebut tidak ditanggung sendiri karena sebagian besar risiko telah dialihkan kepada perusahaan reasuransi.

Dalam hal ini, katanya, sekitar 99% premi reasuransi untuk lini bisnis asuransi pesawat terbang TPI telah ditangani oleh reasuransi di dalam dan luar negeri. Adapun, penempatan reasuransi ditangani broker Jardine Lloyd Thompson (JLT).

Pascakecelakaan ini, Yasril memperkirakan rate premi asuransi pesawat terbang akan naik meskipun dia belum dapat memperkirakan besarannya. Selain terpengaruh pada klaim yang terjadi di dalam negeri, rate premi juga ditentukan oleh kondisi pasar di wilayah regional dan internasional.

Ketua Komisi V DPR Laurensius B. Dama mengatakan pertumbuhan industri penerbangan saat ini semestinya perlu diimbangi dengan peningkatan keselamatan penerbangan nasional. "Jangan sampai keselamatan penerbangan dinomor duakan," ujarnya.

Kerisauan itu politisi Senayan itu muncul karena pertambahan jumlah pesawat dari maskapai penerbangan nasional tidak diikuti dengan ketersediaan infrastruktur bandara dan tenaga pilot yang memadai sehingga meningkatkan potensi kecelakaan.

Salah satu faktor yang membahayakan keselamatan adalah jumlah pergerakan pesawat di bandara yang semakin melebihi kapasitas tampung. Sebagai contoh, di Bandara Internasional Soekarno-Hatta-bandara terbesar di Indonesia-kini sudah mencapai 72 penerbangan per jam dari kapasitas 49 penerbangan per jam.

BEKUKAN LISENSI
Soal kekurangan jumlah pilot, Ketua Federasi Pilot Indonesia Hasfrinsyah mengungkapkan selama ini banyak pilot melanggar batas maksimal jam terbang yang ditetapkan Kementerian Perhubungan.

Batas maksimal jam terbang pilot adalah 30 jam per minggu, 110 jam per bulan, dan 1.050 jam per tahun. Namun, faktanya banyak pilot yang melanggar ketentuan ini. “Perusahaan penerbangan harus mem-protect pilot dan tidak boleh melebihi jam terbang. Pilot juga harus melakukan koreksi bila melebihi jam terbang,” katanya.

Faktor keselamatan lain yang juga perlu diperhatikan adalah infrastruktur bandara yang terkadang terdapat gangguan seperti genangan air, gangguan burung serta hewan liar sehingga memaksa pesawat harus berputar-putar sebelum mendarat. Gangguan seperti ini kadang terjadi di sejumlah bandara seperti Yogyakarta, Pekanbaru, Pontianak, dan Semarang.

Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti S. Gumay mengakui semua aspek terkait dengan keselamatan penerbangan tersebut telah menjadi perhatiannya.

Sepanjang tahun lalu, Kemenhub telah membekukan 16 lisensi penerbang Lion Air gara-gara melanggar batasan jam terbang. Tak cuma Lion Air, 29 lisensi penerbang dari maskapai Batavia-kini telah dinyatakan pailit-juga telah dibekukan dengan alasan serupa.

Selain alasan pelanggaran jam terbang, terdapat dua penerbang yang dibekukan lisensinya karena terlibat penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang pada tahun lalu.

Meskipun belum ada penjelasan dari KNKT mengenai sebab-musabab kecelakaan, musibah kecelakaan pesawat Lion Air di Bali tersebut harus menjadi cermin bersama betapa faktor keselamatan harus menjadi prioritas dan harus ada sanksi tegas bagi siapapun yang mengabaikannya. Tarif penerbangan boleh murah dan standar pelayanan bisa disesuaikan dengan harga, namun keselamatan tidak boleh diabaikan.

Kepala Sub Penelitian Kecelakaan Transportasi Udara Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Masruri menduga kecelakaan pesawat Lion Air JT-904 dengan nomor registrasi PK-LKS tersebut terjadi akibat undershoot.

“Namun untuk kemungkinan mengapa terjadi undershoot, masih akan dipelajari lebih lanjut dengan meneliti black box di Jakarta,” katanya. (FAA, Ashari Purwo/Farodlilah Muqoddam/Chamdan Purwoko).

Tulisan ini terbit di edisi Senin, 15 April 2013, setelah terjadi kecelakaan Lion Air pada Sabtu, 13 April 2013

Entri Populer

Penayangan bulan lalu