Oleh Taher Saleh
Bu Is repot siang itu, kala awan masih bergerumul di langit. Sederet menu andalan di warungnya hampir ludes dilahap wajah-wajah bertempias, lapar. Sayur lodeh, ikan asin, lalapan, dan sayur karedok hanya tersisa sejumput di rantang dalam etalase.
Ibu dua putri itu hanya menyunggingkan senyum seraya merogoh uang kembalian konsumen. "Maklum De, ini lagi banyak nih. Untung masih ada sisa sayur. Biasana mah habisnya jam 4-an, yah syukur deh namanya juga rezeki De," kata Bu Is pada Jumat siang, awal November lalu.
Saat itu warung Bu Is memang lagi ramai-ramainya. Orang-orang berkoar, ada yang terkesiap kaget tempat duduk hampir penuh, sebagian lain mendengus kesal karena lama dilayani, dan lainnya sibuk cekikikan genit sambil menoyor kepala temannya.
Sebagian besar dari mereka berpakaian dibalut baju batik, pakaian resmi pegawai negeri sipil (PNS) pada hari Jumat. Mereka merubung diri bak semut, sementara kapasitas warung terbatas. Bisa dibayangkan lumayan sesak untuk ukuran warung makan PNS. Belum lagi pojok ruangan agak dipenuhi panci-panci terkorosi dan beberapa gas 12 kg cadangan yang di pajang di dekat lemari es.
Ketika jam makan siang, konsumen ‘pelat merah’ ini berbaris, berjejer menunggu giliran memesan makanan. Itu sebabnya menu siang itu tinggal secuwil.
Posisi warung Bu Is ini terletak di urutan kedua sebelah kiri dari lima warung yang berjejer di depan gedung Syafrudin P II, kantor Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng. Adapun empat lainnya ialah warung katering Bu Fulan, Mba Anu, Warung Sunda, dan warung nasi prasmanan. Sama, warung mereka pun penuh dengan orang-orang yang lapar.
Agak menyamping dari lima warung ini teronggok bis-bis biru milik Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sedangkan samping kirinya terletak lapangan tenis yang dipagari tembok setinggi 3 meter. Ukuran lima warung ini tak terlalu besar. Jika dari kejauhan sebagian orang mungkin akan segan menyambangi warung-warung ini karena agak penuh, sementara tempat sempit.
Kelima warung itu sudah lama menjual makanan buat para PNS di lingkungan Kemenkeu. Namun, Bu Is lah yang paling senior. Bayangkan, sejak zaman Radius Prawiro, Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan 4 periode 1983-1988, Bu Is sudah menjajakan makanan di warungnya, tidak keliling.
Dan hingga Menkeu saat ini, Agus Martowardjojo, mantan bankir Bank Mandiri, ia pun masih bertahan. Bu Is menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Suaminya sudah sejak lama sakit dan tak bisa memeras keringat lagi, mungkin sudah kering.
Adapun warung katering BU Fulan beda cerita, ia bahkan sudah memarkir mobil Toyota Avanza milk usaha kateringnya persis di depan warungnya. Sepeda motor Yamaha Mio pun nampak di dekat mobilnya. Usaha tata boga ini, termasuk warungnya ini pun tetap mendulang rizki.
Dari segi menu, semuanya tak ada yang berbeda signifikan. Di warung nasi prasmanan, menu-menunya juga bukan seperti menu hotel misalnya green salad, fried oyster salad, atau ikan belanak bumbu kuning yang dibumbui kunyit dan garam. Menu mereka diilhami selera yang cocok dengan lidah sebagian besar PNS di sana. Harganya juga mirip, sekitar Rp7.000-Rp15.000 untuk menu standar sayur dan lauk.
“Menu yang seringkali abis itu sayur urap, kalau siang mesti dibuat lagi untuk sore,” kata Ibu menjaja di warung prasmanan, saya belum sempat menanyakan namanya.
Dahulunya, keempat warung ini tidak terpisah dari gedung Kemenkeu. Tepatnya ada di dalam gedung Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) yang bernama gedung Sumitro Djojohadikusumo. Nama ini adalah menteri keuangan era Kabinet Wilopo pada 1952-1953, ayah dari bekas Danjen Kopassus Prabowo Subianto. Saya dahulu sering mencicipi salah satu dari racikan mereka tapi hanya sebentar.
Setelah itu, sejak tahun lalu, dengan alasan penyegaran dan kebersihan maka warung-warung penjaja ini mulai dipisahkan dan dibuatkan bangunan baru di depan Dirjen Kekayaan Negara.
Dari Bu Is saya dapat informasi harga kontrakannya dalam setahun bisa mencapai Rp9 juta dengan cara dibayar satu kali sebelum mulai berdagang. Ini berbeda dengan skema pembayaran pada era menteri-menteri sebelumnya.
“Kalau dulu jaman Pak Jusuf [Jusuf Anwar] dan Ibu Sri [Sri Mulyani], bayarnya bisa setelah kita dagang, jadi sekarang agak sulit buat kami,” keluh Bu Is yang keberatan menyebutkan nama aslinya. Entah Ismaya atau Istiana.
Di tempat baru ini mereka tidak banyak mengeluh. Hanya saja para penjaja makanan yang tidak berkeliling ini tetap semangat menyambut konsumen. Dari PNS, satpam, office boy, cleaning service, hingga wartawan. Dari usaha ini mereka bisa menghidupi keluarganya sambil member makan para birokrat yang ‘pandai-pandai’ itu.