Sabtu, 04 Desember 2010

Konser Dewa Budjana


Budjana, Pertahankan Idealisme Bermusik
Oleh M Tahir Saleh

DEWA BUDJANA muncul di tengah redupnya lampu panggung Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta. Berbalut batik lengan buntung, ia berjalan perlahan ke depan stage sembari meramu lentingan gitarnya malam itu, 1 Desember 2010.

Ia menunduk, seperti memejamkan mata sambil tetap berdiri memainkan melodi lagu Dreamland untuk membuka konser tunggal keduanya itu. 

Di depannya, sekitar 300 penonton seperti terbius kenikmatan melodi lewat instrumen yang diciptakannya lima tahun lalu itu.

Belum tuntas Dreamland mengiris jiwa penonton, di belakangnya muncul berbarengan enam pemain pendukung konser--Sandy Winarta penggebuk drum, Shadu Shah Chaidar pembetot bass, Dandy Lasahido pada keyboard, Saat peniup suling, Jalu G Pratidina pada perkusi dan paling anggun di atas panggung malam itu, Irsa Destiwi pada piano—semakin menambah syahdunya Dreamland.

Budjana memang pandai memilih intro pembuka tanpa prolog, tanpa kata, yang ada hanya harmoni. Tapi tentu saja penampilannya malam itu kontras saat ia memetik senar bersama Gigi atau personil Trisum yang dibentuknya bersama Balawan dan Tohpati.

Sekali lagi ia masih terdiam dan melanjutkan lagu kedua dengan sedikit jeda lewat Dancing Tears lalu disusul instrumen menghentak lewat Lalu Lintas. Lagu ini paling lama digubahnya 23 tahun silam. Di lagu berdurasi lebih dari 8 menit itu, Budjana mengganas dengan sentuhan agak rock meski banyak memberi porsi kepada Sandy Winarta dan Dandy Lasahido berimprovisasi.

Saking semangatnya, snare drum Sandy pun jebol saat mengiringi. Tapi konser jalan terus dan Budjana akhirnya buka mulut.

“Terimakasih, eh..selamat malam, selamat datang di Salihara. Jadi kali ini saya membawakan lumayan banyak lagu, mudah-mudahan engga bosen ya, ” salamnya disertai tawa penonton.

Tak lama, ia mulai kebut lewat lagu keempat dan kelima melalui Lost Paradise dan Kromatiklagi. Di lagu keenam, Bunga Yang Hilang, ia ganti gitar akustik merah dari sebelumnya Parker Saraswati.

Praktis malam itu Budjana membawakan 18 lagu dari empat album yang pernah dia rilis, Nusa Damai (1997), Gitarku (2000), Samsara (2003), dan Home (2006). Gitaris kelahiran 30 Agustus 1963 itu juga menampilkan dua lagu baru yang rencananya akan dirilis pada Januari mendatang, Dawaiku dan Gangga.

Konser ini sebetulnya dipadati begitu banyak penonton. Bahkan tiket jauh-jauh hari sudah ludes. Total tiket duduk 216 tapi panitia pun menambah 40 tiket lesehan dan menambah layar besar buat tontonan gratis di luar Teater Salihara.

Di bangku penonton, nampak beberapa musisi seperti Dwiki Dharmawan, Ita Purnamasari, bassis Adi Dharmawan, gitaris Agam Hamzah, Piyu Padi, Baron yang merupakan rekannya di Gigi dulu, dan gitaris /rif Ovy. Sayangnya konser dengan tiket Rp50.000 itu dilarang mengambil gambar atau video.

Di luar itu secara keseluruhan dari repertoir yang dibawakan selama sekitar 2,5 jam itu terasa sekali warna world music, dicampur etnis khususnya Bali di beberapa komposisi instrumental. Budjana apik memberi rasa nyaman di telinga orang awam sekali pun dengan nada-nada jazz yang ramah atau alunan nada kontemplatif.

Ia, setidaknya masih bertahan pada idealismnya saat ini di tengah kepungan arus musik mainstream belakangan ini, pun musik yang dimainkan bersama Gigi. Misalnya pada lagu ke 12, Dedariku, terdengar begitu mistis tapi manis.

Musisi Adi Dharmawan yang hadir malam itu menilai Budjana makin dewasa, konsisten, dan bisa berdiri di atas dua kaki. Antara industri dan non-industri atau idealisme itu sendiri. “Gua fikir salah satu solusi terbaik untuk orientasi untuk musik di Indonesia itu menjaga idealisme dan pasar tadi, dan Budjana melakukan itu,” katanya usai konser.

Sayangnya, lanjut Adi, terkadang hasilnya kurang optimal karena ketidakfokusan pada dua hal tersebut. “Gua bukan mengatakan kurang bagus, cuma memang sesuatu itu kan perlu fokus, apapun betuknya, tetapi apa yang dilakukan Budjana ini salah satu untuk menjembatani perkembangan musik di Indonesia, sangat baik,” tuturnya.

Shadu Shah, bassis berusia 21 tahun itu bahkan begitu menikmati menjadi pengiring Budjana. “Aku kaya main di tempat lain, lagunya Om Budjana itu semakin kita pikirin semakin terasa, Om Budjana sendiri bawa pemain di panggung juga enak,” kata putra musisi jazz Idang Rasjidi ini.

Setidaknya di tengah arus musik Indonesia yang semakin melayu dan sederhana belakangan ini, Budjana masih bertahan dengan genre musiknya sendiri, teknik permainan, dan corak bunyi gitar yang berkarakter kuat. 

Dan seperti kata Piyu Padi, kedewasaan bermusik Budjana antara idealisme dan industri ini mampu memadukan itu menjadi seni. “Keren,” kata Piyu sambil nyelonong pergi.


Tulisan ini adalah versi panjang dari features saya di Harian Bisnis Indonesia edisi Sabtu 4 Desember 2010 "Pertahankan idealisme bermusik".
Foto by komunitas salihara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu