Setelah 10 tahun mengabdi di perusahaan tambang batu bara
milik negara PT Bukit Asam Tbk, Sukrisno ditunjuk memimpin perusahaan pelat merah PT Timah Tbk, menggantikan Wachid Usman
![]() |
Ilustrasi by Bisnis |
Oleh M Tahir Saleh
WACHID USMAN terlihat santai saat itu. Selain bercerita tentang per ja lanannya
memimpin PT Timah Tbk selama hampir 5 tahun, Wachid berbagi informasi tentang
penggantian dirinya dari posisi tertinggi di BUMN timah tersebut.
“Soal
pemilihan direksi, itu wewenang pemegang saham. Putra daerah juga punya
kemampuan dan layak menjadi direksi,” katanya di Aston Soll Marina Hotel,
Bangka, 16 April 2012 atau 3 hari sebelum rapat umum pemegang saham tahunan.
Pemerintah
selaku pemegang saham mayoritas mengubah to tal jajaran direksi. Selain Sukrisno,
Dadang Mulyadi, Purwijayanto, Ahmad Rosidi, Abrun Abubakar (sebelumnya
sekretaris perusahaan Timah), dan Ahmad Subagja juga diangkat.
Wachid
bergabung dengan perusa haan hasil merger tiga korporasi Belanda (Bangka Tin
Winning Bedrijft, Gemeenschaappelijke Mijnbouw Maatschaappij Billiton, dan Singkep
TIN Exploitatie Maats chappij) ini sejak 1982.
Dia diamanahi
jabatan tertinggi di BUMN tersebut dalam rapat umum pemegang saham tahunan pada
17 April 2007. Dan tahun ini Wachid pun harus digantikan oleh Sukrisno setelah
30 tahun pengabdiannya.
Selama
itu, kinerja Timah tak begitu moncer dan bisa dibilang naikturun. Sejak 2004,
pendapatan terus naik, kecuali pada 2009 yang turun menjadi Rp7,71 triliun,
dari posisi 2008 (Rp9,05 triliun), naik menjadi Rp8,34 triliun (2010), dan Rp8,75
triliun (2011).
Laba
bersih juga kembang kempis. Sempat mencapai level laba tertinggi Rp1,78 triliun
pada 2007, laba pun turun menjadi Rp1,34 triliun (2008), Rp313,75 miliar
(2009), Rp947,94 miliar (2010), dan
tahun lalu Rp896,78 miliar.
Kinerja
ini tak bisa dilepaskan dari gejolak harga komoditas. Tahun lalu, laba emiten
berkode saham TINS ini juga merosot akibat penghentian sementara (moratorium)
penjualan ekspor timah.
Selain
faktor harga, faktor lain yang memengaruhi adalah tambang liar di luar tambang
inkonvensional yang dibina Timah. Tambang liar ini menjamur di Bangka,
menambang di wilayah area milik Timah, dan menjualnya kepada smelter
swasta/asing.
Saat ini
Timah menguasai hak penambangan timah seluas 522.460 hektare dengan 114 kuasa pertambangan
(KP) baik di darat (onshore) maupun di laut (offshore) dengan wilayah operasi
meliputi Bangka Belitung (Babel) dan Kepulauan Riau.
“Sebetulnya
perlu koordinasi aparat sehingga tambang liar ini bisa diselesaikan. Ini sudah
berlangsung lama, jadi mustahil jika aparat penegak hukum tak tahu, seluruh
instansi mesti koordinasi bukan hanya Timah,” kata Kepala Humas Timah Wirtsa
Firdaus.
Permasalahan
Persoalan
tersebut masih mengganjal sampai sekarang, di samping permasalahan lain di
antaranya tuntutan agar Timah lebih memperhatikan program sosial bagi
masyarakat Babel, reklamasi sisa penambangan darat, dan konflik pertambangan.
Itulah
yang akan dihadapi Sukrisno, pria berkumis kelahiran Sumenep, Jawa Timur
sebagai direktur utama (dirut) baru, yang semula hanya menggeluti bisnis batu bara
sebagai Dirut Bukit Asam (2006–2011).
Alumnus
Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya ini memulai karir di
Bukit Asam sebagai Direktur Operasi/Produksi (2001—2006) setelah bekerja di PT
Semen Padang (1995-2001).
Sejak dia
pimpin pada 2007, total produksi batu bara Bukit Asam naik dari 9,28 juta ton
(2007) menjadi 13,5 juta ton (2011). Laba bersih juga terus naik. Tahun lalu,
laba bersih BUMN ini mencapai Rp3,09 triliun, naik dari tahun sebelumnya Rp2,01
triliun.
Expertise
di bisnis batu bara ini masih dia bawa ke Timah, dengan terlontarnya wacana
penjajakan akuisisi tambang batu bara, meski lini bisnis utama PT Timah masih
dari galian mineral logam tersebut.
Tahun
lalu, pendapatan Timah dari batu bara turun menjadi Rp685,61 miliar dari
Rp910,38 miliar, seiring dengan menyusutnya cadangan. “Kami berupaya perusahaan
tetap tumbuh, inilah tugas kami, fokus tetap timah,” kata Sukrisno.
Analis PT
OSO Securities Supriyadi menilai kinerja Sukrisno di Bukit Asam belum optimal karena
terkendala infrastruktur. “Otomatis, produksi tidak optimal, nah apakah di
Timah [akan] seperti itu? Lebih baik batasi produksi untuk mengerem ekspor, karena
saat ini harga Timah patokannya bukan di Indonesia,” katanya dihubungi kemarin.
Menurut
dia, PT Timah butuh dukungan pemerintah terkait dengan pengendalian ekspor guna
menekan fluktuasi harga timah dunia. Maklum, patokan harga timah dunia masih di
London, dan bukannya di Indonesia yang menjadi salah satu produsen utama.
Selain
itu, perseroan harus fokus pada bisnis Timah di tambang lepas pantai (offshore),
dan memastikan langkah tersebut sudah didukung jumlah cadangan riil yang
memadai untuk menopang produksi.
Tahun ini
emiten berkode TINS ini menargetkan produksi 50.000 metrik ton timah, dengan target
moderat 40.000—45.000 ton. Selain itu, harga timah dunia diharapkan berada pada
level US$23.000 per ton naik setelah anjlok pada US$19.000 per ton (2011).
Ini
menjadi pekerjaan rumah mendesak bagi Sukrisno, bagaimana menggenjot kinerja
produsen timah ini seperti ketika dia me mimpin Bukit Asam, agar tren bullish sektor
batu bara bisa dirasakan juga di Timah oleh pemegang saham. (tahir.saleh@bisnis.co.id)
Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Jumat 27
April 2012
Foto: Bisnis Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar