Kamis, 03 Mei 2012

Aroma Batu Bara di Timah

Setelah 10 tahun mengabdi di perusahaan tambang batu bara milik negara PT Bukit Asam Tbk, Sukrisno ditunjuk memimpin perusahaan pelat merah  PT Timah Tbk, menggantikan Wachid Usman

Ilustrasi by Bisnis
Oleh M Tahir Saleh

WACHID USMAN terlihat santai saat itu. Selain bercerita tentang per ja lanannya memimpin PT Timah Tbk selama hampir 5 tahun, Wachid berbagi informasi tentang penggantian dirinya dari posisi tertinggi di BUMN timah tersebut.

“Soal pemilihan direksi, itu wewenang pemegang saham. Putra daerah juga punya kemampuan dan layak menjadi direksi,” katanya di Aston Soll Marina Hotel, Bangka, 16 April 2012 atau 3 hari sebelum rapat umum pemegang saham tahunan.

Pemerintah selaku pemegang saham mayoritas mengubah to tal jajaran direksi. Selain Sukrisno, Dadang Mulyadi, Purwijayanto, Ahmad Rosidi, Abrun Abubakar (sebelumnya sekretaris perusahaan Timah), dan Ahmad Subagja juga diangkat.

Wachid bergabung dengan perusa haan hasil merger tiga korporasi Belanda (Bangka Tin Winning Bedrijft, Gemeenschaappelijke Mijnbouw Maatschaappij Billiton, dan Singkep TIN Exploitatie Maats chappij) ini sejak 1982.

Dia diamanahi jabatan tertinggi di BUMN tersebut dalam rapat umum pemegang saham tahunan pada 17 April 2007. Dan tahun ini Wachid pun harus digantikan oleh Sukrisno setelah 30 tahun pengabdiannya.

Selama itu, kinerja Timah tak begitu moncer dan bisa dibilang naikturun. Sejak 2004, pendapatan terus naik, kecuali pada 2009 yang turun menjadi Rp7,71 triliun, dari posisi 2008 (Rp9,05 triliun), naik menjadi Rp8,34 triliun (2010), dan Rp8,75 triliun (2011).

Laba bersih juga kembang kempis. Sempat mencapai level laba tertinggi Rp1,78 triliun pada 2007, laba pun turun menjadi Rp1,34 triliun (2008), Rp313,75 miliar (2009), Rp947,94 miliar  (2010), dan tahun lalu Rp896,78 miliar.

Kinerja ini tak bisa dilepaskan dari gejolak harga komoditas. Tahun lalu, laba emiten berkode saham TINS ini juga merosot akibat penghentian sementara (moratorium) penjualan ekspor timah.

Selain faktor harga, faktor lain yang memengaruhi adalah tambang liar di luar tambang inkonvensional yang dibina Timah. Tambang liar ini menjamur di Bangka, menambang di wilayah area milik Timah, dan menjualnya kepada smelter swasta/asing.

Saat ini Timah menguasai hak penambangan timah seluas 522.460 hektare dengan 114 kuasa pertambangan (KP) baik di darat (onshore) maupun di laut (offshore) dengan wilayah operasi meliputi Bangka Belitung (Babel) dan Kepulauan Riau.

“Sebetulnya perlu koordinasi aparat sehingga tambang liar ini bisa diselesaikan. Ini sudah berlangsung lama, jadi mustahil jika aparat penegak hukum tak tahu, seluruh instansi mesti koordinasi bukan hanya Timah,” kata Kepala Humas Timah Wirtsa Firdaus.

Permasalahan
Persoalan tersebut masih mengganjal sampai sekarang, di samping permasalahan lain di antaranya tuntutan agar Timah lebih memperhatikan program sosial bagi masyarakat Babel, reklamasi sisa penambangan darat, dan konflik pertambangan.

Itulah yang akan dihadapi Sukrisno, pria berkumis kelahiran Sumenep, Jawa Timur sebagai direktur utama (dirut) baru, yang semula hanya menggeluti bisnis batu bara sebagai Dirut Bukit Asam (2006–2011).

Alumnus Teknik Mesin Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya ini memulai karir di Bukit Asam sebagai Direktur Operasi/Produksi (2001—2006) setelah bekerja di PT Semen Padang (1995-2001).

Sejak dia pimpin pada 2007, total produksi batu bara Bukit Asam naik dari 9,28 juta ton (2007) menjadi 13,5 juta ton (2011). Laba bersih juga terus naik. Tahun lalu, laba bersih BUMN ini mencapai Rp3,09 triliun, naik dari tahun sebelumnya Rp2,01 triliun.

Expertise di bisnis batu bara ini masih dia bawa ke Timah, dengan terlontarnya wacana penjajakan akuisisi tambang batu bara, meski lini bisnis utama PT Timah masih dari galian mineral logam tersebut.

Tahun lalu, pendapatan Timah dari batu bara turun menjadi Rp685,61 miliar dari Rp910,38 miliar, seiring dengan menyusutnya cadangan. “Kami berupaya perusahaan tetap tumbuh, inilah tugas kami, fokus tetap timah,” kata Sukrisno.

Analis PT OSO Securities Supriyadi menilai kinerja Sukrisno di Bukit Asam belum optimal karena terkendala infrastruktur. “Otomatis, produksi tidak optimal, nah apakah di Timah [akan] seperti itu? Lebih baik batasi produksi untuk mengerem ekspor, karena saat ini harga Timah patokannya bukan di Indonesia,” katanya dihubungi kemarin.

Menurut dia, PT Timah butuh dukungan pemerintah terkait dengan pengendalian ekspor guna menekan fluktuasi harga timah dunia. Maklum, patokan harga timah dunia masih di London, dan bukannya di Indonesia yang menjadi salah satu produsen utama.

Selain itu, perseroan harus fokus pada bisnis Timah di tambang lepas pantai (offshore), dan memastikan langkah tersebut sudah didukung jumlah cadangan riil yang memadai untuk menopang produksi.

Tahun ini emiten berkode TINS ini menargetkan produksi 50.000 metrik ton timah, dengan target moderat 40.000—45.000 ton. Selain itu, harga timah dunia diharapkan berada pada level US$23.000 per ton naik setelah anjlok pada US$19.000 per ton (2011).

Ini menjadi pekerjaan rumah mendesak bagi Sukrisno, bagaimana menggenjot kinerja produsen timah ini seperti ketika dia me mimpin Bukit Asam, agar tren bullish sektor batu bara bisa dirasakan juga di Timah oleh pemegang saham. (tahir.saleh@bisnis.co.id)

Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Jumat 27 April 2012
Foto: Bisnis Indonesia



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu