KEINGINAN
INDONESIA MEMILIKI SATU BADAN TUNGGAL PENJAGA LAUT DAN PANTAI TERNYATA MASIH
MENGAWANG-AWANG
Oleh M. Tahir Saleh & Hendrikus F Nuwa Wedo
MASIH ingat dengan nasib RUU BPJS? Regulasi soal badan penyelenggara jaminan sosial ini harusnya sudah ada pada 2009 atau 5 tahun setelah UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional disahkan.
Ternyata regulasi badan itu baru disahkan menjadi
UU pada 2011, molor 2 tahun dari amanat konstitusi. Wasiat UU nyatanya tak bisa
dilaksanakan oleh pemerintah dan parlemen. Alasannya klasik; koordinasi dan
benturan kepentingan yang belum mampu dicarikan solusi.
Inkonsisten itu terjadi lagi. Kali ini giliran pembentukan
badan tunggal penjaga laut dan pantai atau Indonesia Sea and Coast Guard. Sudah
2 tahun pemerintah belum membentuk lembaga ini, padahal badan keamanan maritim
ini harus dibentuk pada 2011, selaras dengan amanat Pasal 352 UU No.17/2008
tentang Pelayaran.
Lagi—lagi benturan kepentingan menjadi ‘kambing
hitam’. Sejauh ini rancangan peraturan pemerintah atau RPP-nya saja masih
mengendap di meja Menko Polhukam Djoko Suyanto.
PP dan peraturan turunan badan ini mestinya sudah
ditetapkan paling lama 1 tahun setelah UU yang disahkan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono itu berlaku sesuai dengan Pasal 347 UU tersebut.
Kelahiran badan ini bak menemui jalan berliku.
Kehadirannya tentu akan mengikis kewenangan instansi sebelumnya yang bercokol di
laut seperti TNI Angkatan Laut, Polisi Perairan, Bea dan Cukai, Badan
Karantina, dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Kementerian Perhubungan.
Penyebab belum lahirnya badan itu diduga karena bertabrakan
dengan undang-undang lain seperti UU TNI, UU Kepolisian, UU Bea dan Cukai,
sehingga terlalu banyak badan negara yang merasa berhak dan ingin membentuk
badan penjaga laut dan pantai berdasarkan UU sektoral.
Patut diingat, betapa badan ini sangat penting
dan strategis, bukan hanya untuk pengamanan perairan tetapi juga memangkas
‘raja—raja kecil’ di laut yang menggerogoti pelayaran Merah Putih.
Indonesian National Shipowners Association (INSA)
mencatat kerugian Rp5,5 triliun per tahun habis digerogoti pungutan liar dengan
asumsi denda yang dikenakan per kapal bisa mencapai Rp50 juta.
Sampai saat ini menurut Ketua Umum INSA Carmelita
Hartoto, perusahaan pelayaran seringkali mengeluarkan biaya tambahan yang tidak
lazim di laut.
Biaya tambahan itu dipicu tumpang tindihnya
kewenangan pengamanan laut dari berbagai instansi yang berwenang.
“Ekstra biaya ini menjadi beban logistik
tersendiri karena relatif tinggi. Kami mendorong agar badan itu segera
diwujudkan guna mengakhiri tumpang tindih kewenangan dan kita punya badan representatif
di bidang penjagaan laut dan pantai,” katanya.
Pemerintah juga didesak segera menyelesaikan
pembahasan RPP itu sesuai dengan amanat UU. Sudah memasuki tahun kelima, tapi baik
PP maupun badan itu sendiri masih mengawang.
Menteri Perhubungan E.E Mangindaan optimistis
lembaga itu segera terbentuk. Seluruh harmonisasi sudah dilakukan. Diakui
memang selama ini masih ada benturan peraturan sehingga terkendala siapa yang
menjadi leading sector.
“Lagi di Menko Polhukam [RPP], harmonisasi sudah
jadi coast guard kami harapkan cepat
selesai supaya menjadi pedoman kita bersama. Jadi tidak membingungkan di laut
dalam rangka penertiban masalah,” kata Menhub.
Mangindaan juga menyinggung kebedaraan KPLP yang
dikendalikan Ditjen Perhubungan Laut sudah sesuai dengan UU Pelayaran. “Namanya
mungkin berubah yah, tapi dia akan fungsinya ditambah nanti.”
Kepala Pusat Informasi, Hukum dan Kerja Sama
Keamanan Laut Bakorkamla Triyuswoyo mengatakan benturan kepentingan sebetulnya bisa
dipertemukan. Kalau saja ada political
will pemerintah dan kesepatakan bersama.
“Tekad membentuk itu menjadikan perbedaan UU itu
tak masalah. Itu yang dilakukan oleh Malaysia. Apapun keputusannya, kami siap,
toh kami sudah jalan selama ini,” katanya.
Adapun Kasubdit Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Haryo
Limanseto menegaskan sinergi dan kordinasi antarinstansi perlu ditingkatkan.
Hal itu karena sistem penegakan hukum di laut Indonesia itu multi agency multitask, setiap instansi
menjalankan tugas dan fungsi pengawasan hukum secara spesifik sehingga belum
diperlukan digabung menjadi satu.
Jika demikian pendapat Haryo ini sebetulnya bertolak
belakang dengan rencana pembentukan badan tunggal itu.
Sebetulnya dalam badan tunggal, kata Carmelita, bisa
dimasukan unsur instansi lain seperti Ditjen Pajak, TNI, Ditjen Perhubungan
Laut Kementerian Perhubungan dan Polri dengan tetap dikendalikan dalam sebuah
lembaga khusus sehingga tidak terjadi tumpang tindih antarinstansi.
Tak usah dipungkiri bahwa lemahnya pengawasan
laut oleh instansi terkait juga menjadi pemantik terjadi kejahatan yang
dilakukan oleh kaum bramacorah, penjahat—penjahat kambuhan.
Beberapa perusahaan pelayaran anggota INSA juga menjadi
korban pembajakan dan perampokan saat sandar di dermaga. Di luar itu, sejumlah
kapal juga ditahan dengan berbagai alasan padahal penahahan kapal sangat
merugikan.
Tujuan dari badan ini adalah mensinergikan
pengelolaan keamanan laut dan pantai yang hingga saat ini masih dikelola secara
sektoral. Substansi lembaga ini ialah masalah keamanan secara menyeluruh.
Jangan sampai pungutan atau biaya ekstra lain
masih muncul, jangan juga para penjahat di laut masih berfikir kalau celah
kejahatan di laut Indonesia masih terbuka. Kalau lembaga tunggal itu belum
terbentuk, kapan bisa diatasi?
Tulisan asli terbit di Harian Bisnis Indonesia, Jumat, 5 April 2013. Ini versi lain