Photo by dawhois.com |
M.
Tahir Saleh
KAPTEN
OS Samson mulai curiga dengan keseharian putranya sekembali dari menempuh
pendidikan sekolah pilot di Manila, Filipina, pada 2011. Sudah hampir 4 bulan
pulang, sang anak belum juga kembali lagi ke Manila melanjutkan sekolahnya.
Tak
puas mendengar jawaban anak, diam-diam Samson berkoresponden sekaligus mencari
tahu kejelasan informasi sekolah penerbangan di Manila. Sejak awal, tak ada keanehan
dengan sekolah penerbangan yang punya rekam jejak baik di Indonesia itu.
Itulah
sebabnya, dia membolehkan anaknya menuntut ilmu di negeri itu. Selain lebih murah setengahnya dari biaya
sekolah pilot di Tanah Air, jarak antara Manila dan Jakarta lebih bisa ditempuh
ketimbang AS atau Eropa.
“Katanya
cuti, tapi cuti kok lama sekali. Ini sudah lewat Natal kok belum pada balik, Ya
saya akhirnya koresponden untuk cari tahu,” cerita Samson, Senin (26/8).
Benar
dugaannya, ada yang tak beres dengan sekolah itu menyusul informasi kekurangan
bahan bakar untuk latihan dan bertubi-tubinya kecelakaan yang menimpa sekolah
itu.
Belakangan,
murid sekolah itu juga dimintai biaya tambahan untuk bahan bakar jika ingin
melanjutkan latihan. Ini di luar perjanjian karena biaya fuel sudah termasuk dalam
paket. Puncaknya ketika murid diusir dari pemondokan lantaran pihak sekolah tidak membayar sewa ke pemilik gedung.
Agustus
2012, Samson terbang ke Manila mengecek langsung ke markas Aviatour Flight School,
sekolah penerbangan yang dimaksud.
Didampingi
oleh Atase Perhubungan Kedubes RI untuk Filipina, audiensi digelar dengan jajaran
manajemen sekolah. “Saya bilang saya pilot, checker, juga instruktur pilot, jadi mereka enggak bisa
berkelit,” ungkapnya.
Berawal
dari audiensi itulah sedikit demi sedikit sekelumit kisah pilu nasib murid Indonesia
di sekolah penerbangan itu terkuak.
Nasib
itu menyatukan mereka membentuk semacam paguyuban bernama Perwakilan Orang Tua Siswa Indonesia ex Aviatour Flight School
dengan Samson menjadi ketua perwakilannya.
Menggandeng
Federasi Pilot Indonesia, mereka menggelar konferensi pers terkait dengan
pelanggaran kewajiban sekolah pilot yang beralamat di Aviatour Hangar, Mactan-Cebu International Airport, Lapulapu
City, Cebu, 6015 Filipina itu.
Sayang,
paguyuban itu menolak mengutip surat pernyataan Jemar Bahinting, Presiden sekaligus
Chief Operating Officer soal penolakan proposal refund yang ditawarkan perwakilan orang tua murid.
Bahinting
juga belum merespons surat elektronik yang dikirimkan pada Senin (26/8) sore.
Bisa
dihitung berapa kerugian materi yang dialami oleh 92 siswa Indonesia yang mendominasi
80% murid sekolah itu.
Total
biaya paket yang dikeluarkan per siswa sekitar US$31.000 atau setara dengan Rp310
juta. Tinggal dikalikan dengan jumlah siswa. Belum lagi ditambah dengan hidden cost untuk fuel sekitar 10%-20% dari
biaya paket sesuai dengan kekurangan jam terbang si murid.
Seorang
perwakilan orang tua murid yang menolak disebutkan nama menceritakan alasan
pertama mengirim anaknya ke Manila karena sekolah itu sudah menghasilkan cukup banyak pilot di Indonesia. Rekam
jejaknya bagus. Selain itu, biaya juga setengahnya dari biaya sekolah pilot Indonesia
yang berkisar antara Rp600 juta.
Situs
resmi Flyaviatour.co, dan Aviatourpilot.com mencatat lulusan sekolah ini sudah menyebar
di sejumlah maskapai penerbangan di antaranya Cebu Pacific, Philippine Airlines, Ariana Afghan Airlines, Lion Air,
hingga Garuda.
Di
tengah kisruh yang tengah berlangsung ini, mereka masih membuka pendaftaran siswa
Angkatan ke-13 pada periode 2 Juli, 6 Agustus, 3 September, 1 Oktober, 5 November,
dan 3 Desember tahun ini.
Belakangan,
kata Samson, sekolah penerbangan itu berganti wujud untuk kembali beroperasi
menyusul pembekuan yang dilakukan oleh otoritas penerbangan sipil Filipina. Nama
sekolah itu menjadi Visayas Aerospace College and Technology.
PERLU EVALUASI
Presiden
Federasi Pilot Indonesia (FPI) Kapten Hasfriansyah mengatakan pihaknya
mendapatkan banyak keluhan dan pengaduan tentang para siswa yang mengalami masalah
saat mengikuti pendidikan pilot tidak hanya di luar negeri tetapi juga dalam negeri.
Keluhan
itu di antaranya selesai pendidikan tidak tepat waktu, siswa ditelantarkan selama
pendidikan hingga biaya tak terduga. Lebih ironis lagi, setelah membayar lunas,
nyatanya tak ada perkembangan kegiatan belajar secara berkelanjutan.
Saat
ini, di Indonesia sudah ada 18 Sekolah penerbangan yang seluruhnya dikontrol oleh
Kementerian Perhubungan. Langkah ini untuk mengeliminasi kegagalan pendidikan
seperti pengalaman sebelumnya.
Menurutnya,
FPI juga sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Badan Pengembangan SDM Perhubungan
terkait dengan pengawasan kualitas pilot pada sekolah penerbangan di Indonesia.
Kerja
sama itu meliputi penertiban sekolah penerbangan yang tidak sesuai standar seperti
sekolah penerbangan yang memiliki siswa tetapi hanya diberikan pelatihan di darat
tanpa pelatihan terbang.
“Pelan-pelan
akan terkuak semuanya, tahun lalu sudah dibekukan dua sekolah dalam negeri. Masih
ada lagi, di luar negeri pun sama. Bukan hanya dari Manila saja, dengan laporan dari orang tua ini akan
ketahuan karena kami ada fakta bukan katanya,” katanya.
Sekjen
Indonesia Aviation Watch Oce Prasetya menilai kejadian yang dialami murid di sekolah
penerbangan ini sudah diprediksi sebelumnya. Kejadian ini, katanya, bisa menjadi
cerminan bagi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk membenahi
standardisasi pendidikan sekolah penerbang di Indonesia.
“Jangan
ada dusta di antara kita, jadi bukan hanya melihat kesalahan di luar tetapi
juga kebijakan di kita, peraturan dan sebagainya,” katanya.
Ketua
Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Yurlis Hasibuan menegaskan standar
sekolah penerbangan Indonesia sudah sama dengan luar negeri. Soal biaya, sekolah
penerbangan milik negara lebih murah dibandingkan dengan kelolaan swasta atau sekolah
serupa di luar negeri.
Pemerintah
bahkan menanggung biaya pendidikan setiap siswa sekitar Rp300 juta selama 2
tahun pendidikan dengan Rp120 juta merupakan biaya bahan bakar dan perawatan. Biaya
itu sudah ditambah dengan biaya instruktur dan simulator.
Orang
tua siswa, katanya, hanya menanggung kebutuhan seragam dan perlengkapan pendidikan
dengan perkiraan dana sekitar Rp26 juta per tahun.
Meski
demikian perlu diakui, dengan 44 pesawat yang dimiliki oleh STPI, kapasitas murid
baru dan siswa lulusan yang dihasilkan setiap tahun sekitar 150 siswa per tahun
padahal kebutuhan pilot di Asean saja
mencapai 4.200 per tahun.
Samson
mengatakan dengan kejadian ini menjadi peringatan kepada para orang tua yang ingin
mengirimkan anaknya ke sekolah penerbangan agar berhati-hati dalam memilih. Dia berharap orang tua jangan juga
mudah percaya dengan hanya melihat brosur sekolah penerbang, iklan di media
cetak, Internet atau dunia maya termasuk tayangan di media youtube.
Dia
juga ingin mengingatkan adanya risiko yang mungkin timbul akibat menyekolahkan anak
di sekolah penerbangan luar negeri terutama apabila muncul perselisihan ketidaksesuaian
seperti yang dialami oleh ex-Aviatour.
Samson
berpesan agar sebelum melakukan pembayaran, wajib meminta surat kesepakatan
atau enrollment agreement yang memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak secara seimbang.
Pastikan
juga dana pendidikan dikirim ke rekening resmi sekolah bukan rekening milik agen,
sekolah lain, atau perorangan. ***
Tulisan ini terbit di Harian Bisnis Indonesia, Selasa, 27 Agustus 2013