' |
Karikatur Jitet Kompas berjudul "Asing" raih Karikatur Adinegoro 2011 |
Derasnya teknologi informasi membuat kartun Indonesia di
media cetak menyusut. Seniman kartun dituntut tahan banting dan kreatif membaca zaman.
Oleh M. Tahir Saleh
WAJAH Jitet Kustana mengerut. Kartunis senior harian Kompas
itu tak menyangka bakal menghadapi tugas berat saat harus menggambar ilustrasi
tentang isu sensitif di halaman koran terbitan esok hari.
“Ini bener temanya sunat perempuan?” tanya Jitet
kepada bosnya. “Bener, kowe gawean sana, deadline jam dua,” kata si bos dari seberang telepon dengan
logat Jawa kental.
Bagi kartunis kelahiran Semarang 4 Januari 1967 ini, tak ada
masalah dengan gambar. Problemnya adalah tema yang sensitif. Sulit mencari ide
berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA. Apalagi, hal
tersebut tabu serta rentan konflik. Alhasil, dia pun memutar otak sambil
mengumpulkan data termasuk membuka ayat-ayat di kitab suci. Menjelang jam dua siang, tugas kelar.
“Sunat perempuan itu mengganggu kesehatan, terus aku gambar
kertas putih lalu di bawahnya ada lambang kertas digunting, nah dihapus sama
gambar tangan perempuan,” kata Jitet ketika ditemui Bloomberg Businessweek
Indonesia, akhir Desember.
Bapak empat anak itu tak menyangka hidupnya bakal diabdikan
menjadi seorang kartunis. Bahkan, dia
memegang rekor dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) sebagai kartunis
dengan penghargaan kartun internasional terbanyak pada 1998. Menciptakan
sindiran atau satir melalui kartun sudah dianggap sebagai tugas mulia karena
membela kepentingan banyak orang. Kekuatan ide dalam bentuk gambar lucu menjadi
poin utama dan ciri kartun lokal ialah penampilan rakyat biasa, tapi punya otak cemerlang.
Jitet ‘beruntung’ punya medium tetap mencurahkan kegelisahan.
Realitanya, dunia kartunis media cetak saat ini lain dengan masa sebelum 1998.
Dulu, media cetak—baik koran maupun majalah—menjadi surga bagi kartunis
mengirimkan karyanya dan tentu saja dibayar. Namun, sekarang mereka seolah
terpinggirkan.
Bagi pria 47 tahun itu, kaya atau miskin merupakan garis
tangan Tuhan. Tapi satu hal penting: bagaimana mental dalam berkreativitas—itu
penentu kesuksesan kartunis. Sebenarnya ada banyak ruang yang bisa dimanfaatkan
para kartunis. Contohnya membuat komik kartun tentang buku-buku best seller
atau buku ekonomi, menjalankan usaha merchandise, dan lain-lain. Jadi, tidak
melulu bergantung pada media massa cetak. “Harusnya kartunis itu enggak
terlantar karena informasi ada di depan mata. Di depan komputer saja itu
artinya di depan dunia. Banyak bahan yang bisa menghidupi kita,” ujar Jitet.
Kartun Apat, kritik terhadap arogansi zionis Israel |
Apat Supriyono mungkin lebih merasakan atmosfer
'terpinggirkan'. Kartunis yang sudah 24 tahun berkarya ini merasa lahan kartun
di media cetak makin kecil, meski tidak benar-benar hilang. Pemicu utama
disinyalir karena menjamurnya media hiburan televisi serta gempuran gadget
supercanggih. "Dulu yang namanya hiburan masih terbatas sehingga kartun
jadi primadona. Kalau sekarang beda," kata Apat yang juga Bendahara
Persatuan Kartun Indonesia (Pakarti).
Dari segi honor pun terbilang minim. Sebuah frame
kartun rata-rata hanya dipatok antara Rp200.000-250.000. Sebagai usaha
sampingan, kartunis yang pernah bekerja di Harian Pos Kota itu sering
menerima pesanan karikatur calon legislatif (caleg). Tarifnya dinaikkan dua
kali lipat, biasanya sekitar Rp1 juta lengkap dengan bingkai. “Beda, kalau yang
pesan orang biasa yah tarifnya enggak mahal dong,” ujar Apat.
Selain pesanan karikatur caleg, ada pula yang memilih
mendirikan studio kartun sendiri seperti Hendrikus David Arie, kartunis di
harian Suara Pembaruan. “Itu juga buat bantu anak-anak komplek belajar
menggambar,” kata lulusan Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta ini.
Dia juga kadang bekerja sama dengan pelaku industri film atau
iklan untuk membuat story board, semacam sketsa gambar yang disusun
secara urut berdasarkan naskah. Story board ini juga merupakan salah
satu elemen penting dalam produksi film. “Kalau animasi itu untuk film animasi,
kalau story board itu untuk iklan dan film,” katanya.
Cara lain ditempuh Gandjar Dewa Artha, kartunis Bloomberg
Businessweek Indonesia yang sempat mengisi waktu senggang dengan mengajar
seni rupa di Universitas Paramadina periode 1999-2011 ini. Meski sepakat bahwa
kreativitas kartunis tak hanya di atas kertas, tapi juga dunia
nyata, dia melihat keberpihakan terhadap kartunis di Tanah Air berbeda jauh
dengan apa yang dialami kartunis-kartunis dunia semacam Mac Nelly atau Charles
M. Schulz, pencipta kartun Peanuts (termasuk kartun Snoopy). “Di luar negeri
mereka begitu dihargai, beda dengan di Indonesia.
Sejak era reformasi, kartunis makin terpinggirkan,” kata Gandjar.
Karikatur Hendrikus SP berjudul “Rest in Peace (RIP) Penegakan Hukum" meraih dinegoro 2013 |
Kekhawatiran menyangkut eksistensi kartunis rupanya ikut memicu
Pakarti menggelar Pesta Kartun Akhir Tahun di ruang Galeri III Taman Ismail
Marzuki (TIM), Jakarta Pusat pada 18-29 Desember 2013. Ada lebih dari 40
kartunis berbagai kota di Indonesia—dari junior, belum pernah dimuat karyanya
di media massa, hingga begawan kartun—yang membawa sekitar 60 karya. Sebut saja
kartunis senior seperti G.M. Sudarta (Kompas), Pramono R. Pramoedjo (Sinar
Harapan), Prijanto Sunarto (Tempo), Jaya Suprana, Joko Luwarso (Matanews),
dan Koesnan Hoesie. Nama yang terakhir ini pernah mendapat penghargaan MURI
sebagai pembuat kartun terpanjang di dunia.
Jaya Suprana, pendiri Pakarti, mengakui sejak lahirnya dunia
maya yang menampilkan media massa elektronik, eksistensi media massa cetak
memang merosot. Imbasnya, lahan buat kartun ikut menyusut.
Para seniman kartun tentu diharapkan tidak patah semangat
dalam mencari peluang lain. Ruang masih banyak terbuka seperti di
industri t-shirt, periklanan, film animasi, pameran, atau media
elektronik itu sendiri. “Para kartunis tak boleh menyerah kepada pasar, tapi
kreatif dan inovatif menciptakan pasar bagi karya-karya mereka sendiri. Jika
mau pasti bisa,” kata Jaya melalui surat elektronik.
Presiden Pakarti Jan Praba memperkenalkan apa yang disebut cartoonpreunership,
yaitu tetap berusaha mendapatkan uang dari kartun—tapi tidak bergantung pada media massa. Ada banyak lahan mendulang
uang. Bisa dengan live karikatur atau jasa pembuatan karikatur online,
desain kaus, ilustrasi, komik strip, lukisan kartun, dan lainnya. Intinya mampu
menciptakan peluang sendiri. “Jika tak bisa menyikapi, maka akan terseleksi
sendiri. Hasil seleksi itu bakal menghasilkan kartunis-kartunis yang kompeten,"
ujar Jan.
Menjadi kartunis adalah sebuah pilihan hati. Sama seperti
orang lain menemukan jalan hidupnya masing-masing. Ketika gempuran teknologi
makin hebat, kartunis pun harusnya kian melesat. Mencari celah yang mungkin
belum terjamah. □
Tulisan ini terbit di
majalah Bloomberg Businessweek Indonesia, 13 Januari 2014