Oleh M. Tahir Saleh
SUATU ketika
Pramoedya Ananta Toer tahu kalau sebentar lagi dia akan mendapat menantu
seorang yang berbeda keyakinan agama. Putri sulungnya, Astuti, bakal menikah
dengan Daniel Setiawan, seorang nonmuslim keturunan China.
Sastrawan yang
menjadi kandidat peraih Nobel Sastra itu sesungguhnya tak mau mendapatkan
menantu nonmuslim. “Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara
kultur dan agama berbeda,” kata Pram kepada Dr. Hoedaifah Koeddah, seperti
terungkap dalam majalah Horizon
terbitan Agustus 2006. Hoedaifah adalah dokter yang pernah mengobati Pram dan
dikenal dekat dengan keluarga sastrawan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
itu.
Karena tak
setuju, penulis kelahiran Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925 itu,
kemudian mengirim Astuti dan Daniel ke kediaman Haji Abdul Malik Karim
Amrullah, sastrawan dan ulama besar yang dikenal dengan nama Hamka, akronim namanya.
Pram dan Hamka sempat “berseteru” dalam kesusastraan ketika ideologi komunis
berkembang di Indonesia.
Astuti dan
Daniel lalu menuju rumah Hamka, waktu itu di Jalan Raden Fatah III Kebayoran
Baru, dekat Masjid Agung Al-Azhar. Sesampainya di sana, Buya Hamka—panggilan
Hamka—agak terkejut setelah tahu bahwa tamunya hari itu ialah Astuti, putri
Pram. Perempuan itu menjelaskan maksud dan tujuan ke sana agar Daniel belajar
Islam, ingin menjadi mualaf. Usai memahami maksud, calon menantu Pram langsung
dibimbing membaca dua kalimat syahadat.
“Dalam
pertemuan itu Ayah [Buya Hamka] tidak pernah menyinggung bagaimana sikap Pram
terhadapnya beberapa waktu yang lalu. Benar-benar seperti tidak terjadi apa-apa
di antara mereka berdua," kata Irfan Hamka, putra kelima Hamka, saat
menceritakan peristiwa kedatangan Astuti dalam buku Ayah, Kisah Buya Hamka (terbitan April 2014).
Sikap Pram itu
membuat Hoedaifah bertanya kepada Pram. Apa yang membuat tokoh Lekra itu
berdamai dengan Hamka? “Masalah faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya
yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantab
mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam pada Hamka,” Pram
menjelaskan.
Sebelumnya
pada 1963, kedua sastrawan itu di mata publik, terutama sastrawan Indonesia, bersitegang.
Pram, ketika itu baru berusia 38 tahun, melalui dua koran berbau komunis yakni
Harian Rakjat dan Harian Bintang Timur, melancarkan serangan kepada Hamka.
Lembaran Kebudayaan Bintang Timur, Lentera, yang diasuh Pram, memuat ulasan
soal Hamka. Ketika itu novel Hamka, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, dituding merupakan hasil plagiat dari novel berbahasa
Arab Magdalena karangan Mustafa
Luthfi al-Manfaluthi. Novel itu juga terjemahan dari Sous les Tilleuls karangan Jean-Baptiste Al-Phonse Karr, sastrawan
Prancis. Penulis kritikan itu bukan Pram, melainkan Abdullah S.P—tapi banyak
yang menduga itu Pram sendiri.
Diberitakan
seperti itu, tak membuat Hamka membenci atau sebaliknya menabuh genderang
perang dengan Pram. Padahal dalam sastra, plagiat adalah ihwal yang sangat
memalukan. Tapi justru HB Jassin-lah yang berada di belakang Hamka. Sastrawan
pengelola majalah Sastra itu memutuskan
agar novel Magdalena asli diterbitkan
supaya publik tahu bahwa Hamka bukan plagiat.
Pada saat itu
friksi antara “seni sebagai seni” dan “seni untuk rakyat, politik sebagai
panglima” saling beradu tajam. Benturan itu kemudian melahirkan Manifes
Kebudayaan, kumpulan seniman yang menolak seni dijadikan alat politik, mereka
di antaranya HB Jassin, Taufik Ismail, dan Trisno Sumardjo. Sejarah kemudian
mencatat, gesekan itu menempatkan Lekra di posisi seniman kiri “melawan”
Manifes Kebudayaan. Pram, tentu seperti kita ketahui, dedengdot Lekra, lembaga
kebudayaan yang bukan resmi onderbouw
PKI tapi dituduh berafiliasi dengan partai komunis.
Walaupun galak,
Pram bukan sastrawan sembarangan. Ketika mengasuh Lentera, ia benar-benar
membuat dunia sastra gempar. Meminjam kata-kata majalah Tempo, kalimat yang digunakan Pram kala itu “berani, agitatif,
kalau tidak disebut kurang ajar”. Dalam hal karya, Pram merupakan salah satu
pengarang yang amat produktif. Lebih dari 50 karya lahir dari otaknya. Karyanya
diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Gubahan paling monumental
yakni tetralogi Bumi Manusia yang
bercerita tentang sejarah keterbentukan nasionalisme pada awal kebangkitan
nasional. Empat judul novel tetralogi yang terbit dari 1980-1988—yang kemudian
dilarang beredar oleh pemerintah saat itu—yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Saya masih punya PR membaca
novel Rumah Kaca.
Begitu pula
halnya dengan kreativitas seorang Hamka. Sebagai ulama dan sastrawan, ada
sekitar 118 karya tulisan (artikel dan buku) yang dipublikasikan Ketua Majelis
Ulama Indonesia pertama ini. Temanya mulai dari agama, filsafat sosial,
tasawuf, roman, sejarah, tafsir Al-Quran, hingga otobiografi. Masterpiece-nya novel Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Dua-duanya sudah saya baca berikut juga menonton dua filem tersebut. Satu lagi magnum opus-nya yakni Tafsir Al-Alzhar
yang dirampungkan saat dia ditahan rezim Soekarno pada 1964.
Ulama yang
lahir di Maninjau, Sumatra Barat pada 1 Februari 1908 ini tak pernah merasa
berkonfllik dengan Pram. “Aku sendiri sangat yakin, sesungguhnya Ayah [Buya]
tidak sedikitpun merasa bermusuhan dengan Pramoedya,” kata Irfan Hamka.
Sama halnya
ketika Hamka dijebloskan ke penjara oleh Soekarno selama dua tahun empat bulan
karena dituduh subversif merencanakan pembunuhan presiden, Hamka tak dendam
sekali pun. “Apa Buya tidak dendam kepada Soekarno yang telah menahan Buya
sekian lama di penjara?” tanya orang-orang ketika Soekarno dalam suratnya
meminta Hamka menjadi imam shalat jenazahnya bila kelak Sang Presiden wafat.
“Hanya Allah yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas,
sampai ajalnya, dia [Soekarno] tetap seorang muslim. Kita wajib
menyelenggarakan jenazahnya dengan baik,” kata Buya. “Saya tidak pernah dendam
kepada orang yang menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa.”
Kini sudah 52
tahun peristiwa itu berlalu. Dua orang hebat sudah menemui Sang Khalik. Hamka
meninggal pada Jum'at, 24 Juli 1981, dalam usia 73 tahun dan dimakamkan di
Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan, sedangkan Pram
berpulang pada 30 April 2006 dalam usia 81 tahun dan dimakamkan di TPU Karet
Bivak, Jakarta Pusat.
Suatu kali
saya pernah tidak sengaja melihat pusara Pram ketika berjalan menuju kantor
dari Stasiun Karet. Tempat kerja saya saat itu diapit dua kuburan umum, TPU
Karet Tengsin di sebelah kiri kantor dan sebelah kanan TPU Karet Bivak. Kuburan
Pram rapi dengan rumput hijau yang juga tertata dengan baik. Tapi letak
makamnya dekat dengan jalanan, sehingga pejalan kaki bisa dengan mudahnya bisa
membaca nama di atas pusara hitam makam itu dari trotoar jalan: Pramoedya
Ananta Toer, Sastrawan. Keduanya sudah tiada, tapi warisan mereka memberi arti
dalam dunia sastra Indonesia.