Oleh M. Tahir Saleh
“SILAKAN ikut kami,” perintah seorang petugas
imigrasi dengan suara tegas.
Saya hanya mengikuti mereka dari belakang. Baru
beberapa menit sampai di bandara, saya harus menghadapi perlakukan tidak ramah
dari petugas; digiring seperti “tersangka kejahatan” menuju ruangan khusus,
menjadi sorotan penumpang lain, dengan alasan yang belum saya pahami sama
sekali.
Ketika tiba dan diperiksa petugas Bandara
Internasional Hong Kong beberapa menit yang lalu, saya memang agak lama
diperiksa paspornya dibanding penumpang lain. Petugas membolak-balikkan paspor,
melihat cap-cap imigrasi negara lain di paspor saya sambil bertanya tujuan dan
akan tinggal di mana nantinya. Dengan sorot mata curiga, tiba-tiba dia
memanggil beberapa petugas yang tengah siaga berdiri di pojok.
Saya akhirnya dibawa ke ruangan itu, bersama Mba
Pris, rekan saya dari Jakarta. Baru
pertama kali ke negeri ini kok begini
ya. Pikir saya dalam hati. Mba Pris juga tak mampu berbuat banyak meski dia
sudah berusaha menjelaskan tujuan kami bertandang ke Hong Kong demi menghadiri
suatu konferensi. Saat diinterogasi, ketahuanlah bahwa nama saya ternyata mirip
dengan nama seseorang yang masuk dalam daftar pantauan petugas imigrasi Hong Kong,
mungkin disangka teroris.
Di dalam ruangan, saya diberondong beberapa pertanyaan.
“Anda mau ke mana, tinggal di mana?
“Anda dari Singapura untuk tujuan apa?”
Belum puas dengan jawaban saya, kembali dia
bertanya, apakah kenal dengan seseorang yang namanya sama dengan saya, orang
tersebut dari Pakistan. Saya katakan tidak kenal. Selain nama Arab, wajah saya
memang setengah Arab, setengah Flores. Tapi saya bukan teroris. Teroris adalah
orang yang memakai kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk
tujuan politik. Dalam USA Patriot Act, kitab teroris Amerika Serikat (AS),
penekanan kekerasaan bisa dengan mengancam, mengintimidasi, menculik, membunuh,
atau menentang kebijakan pemerintah. Lah, saya ini apa? Menuduh gampang
dilakukan oleh orang-orang yang punya kuasa, apalagi didasari stereotip atau
prasangka subjektif dan tidak tepat.
Dalam kasus ini, strereotip akan Islam dan
terorisme. Kesan pertama, mereka melihat fisik, mulai nama, perawakan, kontur
wajah, barang bawaan termasuk dokumen, hingga gerak-gerik mencurigakan. Belum
lagi kalau paspor berisi cap imigrasi dari negara-negara yang disinggahi dalam
waktu singkat, bisa juga jadi alasan. Kejadian lima tahun yang lalu itu menjadi
bukti bahwa prasangka buruk atas orang Indonesia yang Islam belum hilang. Alasannya
klise: keamanan nasional.
Nah
berselang sekitar tiga tahun dari peristiwa tadi, saya kembali menyambangi Hong
Kong, kali ini dari Shenzen, China. Dan lagi-lagi saya disangka teroris. Jika
yang pertama saya dibantu pengundang, kali ini agak sulit karena saya hanya
bersama salah satu wartawan dari Surabaya. Alasan interogasi masih sama, nama
dan wajah saya mirip seseorang yang masuk daftar pantauan. Tapi teman saya ini
beda lagi, dia diinterogasi karena petugas bingung dengan tempat lahirnya yang tercatat
di paspor: Trenggalek.
“Di mana itu? Kata si pemeriksa setelah kami berdua
digiring ke ruangan khusus. Si teman juga bingung menjelaskan wilayah kabupaten
di Jawa Timur itu.
“Kalau Ponorogo saya tahu, coba tunjukkan di mana
itu [Trenggalek],” perintah si petugas.
Duh
sampai dua kali disangka teroris. Saya akhirnya membuka situs Interpol dan
mengecek wanted persons. Bukan saya merasa sok penting, tapi ingin tahu saja,
jangan-jangan namanya masuk radar.
Setelah mengecek, ternyata nama “Tahir” atau “Taher
buanyak yang jadi wanted alias dicari
polisi internasional dengan kasus variatif. Ada Tahir Mehmood, 42 tahun, orang
Pakistan, diburu Interpol karena merampok. Lalu Tahir Shah, 51 tahun, dari
Nepal, kasusnya konspirasi pembunuhan. Selain itu Tahir Nazir, 57 tahun, orang
Pakistan, dikejar karena kasus pemerasan, kemudian Tahir Zarlykovich, 57 tahun,
orang Kirgizstan, diuber lantaran kasus perdagangan manusia dan pembunuhan.
Nama “Muhammad” lebih banyak lagi menjadi buruan Interpol.
**
Terlepas dari nama orang-orang itu yang melakukan
kejahatan, stereotip akan orang Islam saat ini belum hilang walau peristiwa
serangan bom 11 September 2001 sudah lewat. Justru sejak serangan yang
meluluhlantakkan menara kembar World Trade Center di Manhattan, New York,
ketakukan berlebihan terhadap Islam (termasuk nama dan muka-muka Arab) tetap
tinggi.
Apalagi saat ini kelompok ekstrimis macam Negara
Islam Irak dan Suriah (ISIS)—yang mengedepankan kekesaran yang justru tidak
mencerminkan ajaran Islam—kian merajalela. Bukan hanya AS sebagai salah satu
negara dengan ketakutan berlebihan terhadap Islam, negara-negara lain—termasuk
di Asia—pun sama dengan kadar apriori yang berbeda.
Di AS, pemerintah berpatokan pada dokumen pantauan
teroris bernama Watchlisting Guidance
yang dirilis pada 2013 oleh 19 agen federal Amerika, termasuk Central Intelligence
Agency (CIA) dan Federal Bureau of Investigation (FBI). Tebalnya 166 halaman,
berisi kriteria menempatkan seseorang masuk dalam daftar pantauan teroris dan
larangan terbang.
World Socialist Web Site melaporkan bahwa pada
2003, pemerintahan George W. Bush sempat memasukkan ratusan ribu nama dalam
database Terrorist Screening Center (TSC), yang dioperasikan FBI. Tapi pada
2013, AS memakai panduan baru yang kopian dokumennya berhasil dipublikasikan
The Intercept pada Juli tahun lalu. (Ini link-nya:
https://firstlook.org/theintercept/document/2014/07/23/march-2013-watchlisting
guidance/.
The Intercept adalah publikasi daring yang
diluncurkan pada Februari 2014 oleh First Look Media, media yang dikelola
pendiri eBay, Pierre Omidyar. Situs ini juga mempublikasikan sejumlah dokumen
rahasia yang dirilis Edward Snowden, mantan pekerja CIA dan kontraktor National
Security Agency (NSA) yang membocorkan informasi program mata-mata rahasia
Amerika.
Banyak dugaan, sumber dokumen Watchlisting dari
Snowden. Tapi dokumen ini dinilai berbahaya. Mengapa? Karena seseorang bisa
ditandai sebagai ancaman atau berpotensi mengganggu keamanan nasional dengan
kriteria versi AS yang kurang valid dalam Watchlisting. Bahkan pada 2013, ada
468.749 orang masuk dalam daftar tersebut lalu diserahkan kepada National
Counterterrorism Center. Persentase penolakan nama-nama tersebut hanya 1% dari
rekomendasi.
Dokumen tersebut akan dikaji ulang setiap dua tahun
sekali atau jika dibutuhkan. Pemerintah AS membagi dua kategori yakni “teroris
dikenal” dan “tersangka teroris”. Kalau teroris dikenal itu sudah didakwa
tindakan teroris, kriteria tersangka teroris berbeda lagi.
Orang yang diduga teroris adalah individu yang
disangkakan terlibat rencana, persiapan, membantu kegiatan terorisme.
Kriterianya: dianggap sebagai teroris oleh agensi lain—selain milik AS,
terafiliasi dengan jaringan teroris global, fasilitator teroris (termasuk
pemalsu dokumen, fasilitator perjalanan, pencucian uang, dan penyandang dana),
simpatisan atau pendukung organisasi teroris.
Individu yang dituduh terlibat dengan organisasi
teroris, lalu dibebaskan di pengadilan, juga masih potensial masuk daftar
daftar, begitu pula keluarga dekatnya. Jika kriteria sesuai, seseorang akan
digiring masuk daftar Terrorist Screening Database (TSDB) yang dibuat TSC.
Padahal faktanya, dokumen itu tidak sempurna, banyak yang tak sesuai karena pengumpulan
data kurang akurat.
Dengan kata lain, seseorang bisa dimasukkan dalam
daftar hanya dengan kecurigaan bahwa dia mungkin terlibat. Padahal, perlu evaluasi
kredibilitas sumber informasi. Verifikasi ini penting mengingat unggahan di
media sosial pun tak luput dari perhatian. “[Kriteria itu] jelas mengejutkan
dan luas, penuh dengan pengecualian dan pasti akan menjerat orang yang tidak
bersalah,” kata Hina Shamsi, Direktur Keamanan Nasional di American Civil
Liberties Union, seperti dikutip The
Washington Post, 23 Juli 2014.
Kendati dikritik publik, otoritas National
Counterterrorism Center, maju terus. “Dokumen pantauan ini sangat penting
sebagai bagian dari pertahanan berlapis kami dalam melindungi AS dari serangan
teroris di masa depan,” kata seorang pejabat lembaga itu.
Saya tidak tahu apakah Hong Kong memakai panduan
seperti AS atau tidak. Tapi saya beruntung akhirnya masuk ke negeri itu, tidak
ditolak seperti dialami dua orang WNI yang akan menjadi pembicara pada acara
Tabligh Akbar di Hong Kong, pertengahan Maret lalu. South China Morning Post
melaporkan, polisi setempat meningkatkan kewaspadaan karena selebaran bergambar
ISIS beredar di kalangan buruh migran Indonesia pada gelaran Tabligh Akbar
tersebut.
Kalau pun Hong Kong menerapkan panduan seperti AS,
atau berbagi informasi, kriteria dalam dokumen itu tidak efektif. Dokumen
Watchlisting dianggap tidak tepat, tak mampu menyapu ribuan orang sekaligus,
bahkan gagal menangkap ancaman serius seperti pembom Boston Marathon, Tamerlan
Tsarnaev. Malahan beberapa nama orang salah dimasukkan.
Wajar karena dalam lima tahun terakhir, lebih dari
1,5 juta orang ditambahkan dalam daftar. Jadi kesalahan memasukkan nama orang
tak terelakkan. Beberapa orang bisa saja masuk dalam daftar itu dengan alasan
yang sah—sesuai kriteria AS. Tapi pedoman tadi berpotensi memuat nama
orang-orang yang tidak bersalah terjebak dalam daftar.
Imbasnya, dia akan tunduk pada pembatasan, misalnya
ketika dia melancong ke negara lain. Saya berharap pengalaman ini tidak
berulang bila suatu saat berkesempatan ke AS atau negara lain. Pengalaman ini
barangkali kasuistik, tidak bisa digeneralisasi, jadi belum tentu dialami juga
oleh penumpang Indonesia dengan nama Islam.
**