Oleh
M Tahir Saleh
Novel
ini gila, jangan tertipu judulnya.
SUDAH lama mendengar nama Tere Liye di dunia sastra, tapi belum pernah membaca
novelnya. Hanya sekali saya menonton sebuah film layar lebar berjudul Hafalan
Sholat Delisa yang diangkat dari buku Tere Liye dengan judul yang sama.
Suatu
hari, istri saya membeli 10 buku, kebanyakan fiksi termasuk novel. Mungkin
sedang kesurupan ingin membaca di rumah. Anda dua novel Tere Liye yang dia
beli, Pulang dan Rindu. Novel Pulang dirilis pada September 2015, sedangkan
Rindu sudah lama dirilis pada 2014. Semula saya belum tertarik, dari judulnya
saja kurang menarik, bisa jadi ceritanya biasa saja.
“Bukunya
bagus tau,” kata dia meyakinkan.
Keseringan
dia bilang begitu, saya jadi ingin tahu, sebagus apa sih. Jangan-jangan dia aja
yang lebay. Tapi setelah melihat dia menikmati betul, saya penasaran. Pulang
menjadi incaran pertama. Butuh dua hari untuk melahap 400 halaman. Memang sudah
banyak yang meresensi buku Tere, tapi tak apalah. Apa salahnya berbagi
pendapat, siapa tahu saya bisa menulis seperti Tere Liye.
Tere
memulai bab pertama buku ini dengan deskripsi suasana yang begitu menegangkan
untuk sebuah buku berjudul sederhana, Pulang:
“Malam itu di tengah hujan
lebat, di dasar rimba Sumatra yang berselimut lumut nan gelap, sesosok monster
mengerikan telah mengambil rasa takutku. Tatapan matanya yang merah, dengus
napasnya yang memburu, dan taringnya yang kemilau saat ditimpa cahaya petir
telah membelah dadaku, mengeluarkan rasa gentar. Sejak saat itu, dua puluh
tahun berlalu, aku tidak mengenal lagi rasa takut.”
Melihat
judulnya, saya mengira novel ini mengambil tema perjalanan, tentang seseorang
yang ingin kembali ke kampung halaman atau orang tuanya, kekasihnya atau siapa
pun yang dikasihi. Apalagi sampulnya cantik, berwarna biru dengan motif seakan
terkelupas, memperlihatkan ada sunrise,
seperti novel romantis.
Tidak
salah sih sepenuhnya, tema utama
memang pulang, tapi bumbunya luar biasa: tauke, mafia, gangster, samurai, sniper, pertempuran, tukang pukul,
tembak menembak, kesetiaan, pengkhianatan, dan shadow economy.
Buku
ini bercerita tentang tokoh Bujang, seorang anak kampung di pedalaman Sumatra.
Ayahnya, Samad, adalah tukang pukul kesohor di Keluarga Tong. Samad pensiun
karena kakinya pincang setelah menyelamatkan bosnya. Bujang tak pernah makan
bangku sekolah, ia hanya anak dusun yang dididik sendiri oleh Mamaknya,
termasuk belajar agama meski ditentang Samad lantaran dendam masa lalu dengan
mertuanya. Jalan hidup Bujang berubah.
Suatu
ketika, mereka kedatangan Tauke Muda, sahabat Samad yang juga penerus bisnis
Keluarga Tong usai Tauke Tua meninggal. Kedatangan Tauke Muda dan rombongannya
saat itu ingin menangkap babi hutan yang mengganggu perkebunan warga. Dalam
perburuan ini, Tauke mengajak Bujang bergabung, ajakan yang awalnya ditentang
sang ibu. Tapi siapa sangka, meski usianya baru 15 tahun, Bujang menjadi
penyelamat rombongan dalam perburuan yang mencekam itu. Dia melawan babi hutan
raksana seberat sekitar 500 kilogram di hutam rimba, sendirian dengan tombak,
sementara yang lain sudah tumbang.
Bab
pertempuran dengan babi hutan ini diceritakan dengan ditel sangat mengagumkan.
Dan ini menjadi kekuatan besar menarik pembaca:
“Aku menggigit bibir. Aku
benar-benar sudah melupakan pesan Mamak.”
“Aku mencengkram tombak
pemberian Bapak. Aku berdiri dengan kaki kokoh, menatap ke depan, dan
bersitatap dengan monster mengerikan itu. Aku tidak punya pilihan lain, lari
sia-sia saja.....”
Usai
peristiwa mencekam itu, Bujang kemudian dijuluki “Si Babi Hutan”. Julukan yang
terus dipakai hingga dia dewasa dan tumbuh besar di Keluarga Tong. Bujang lalu
diajak ke kota, mengabdi pada Keluarga Tong seperti apa yang dilakukan ayahnya
dulu.
Mamaknya
sangat menentang kepergian Bujang, tapi karena didesak bujukan Samad, dengan
berat hati Mamak melepas kepergian Bujang dengan memberi sebuah pesan yang akan
menjadi janji hidupnya sampai dewasa.
Di
Keuarga Tong, Bujang menjadi anak emas. Diberi guru privat, masuk universitas,
hingga membawa gelar sarjana ekonomi dari Amerika. Jejaring bisnis Keluarga
Tong juga menyebar hingga internasional. Bisnisnya ilegal tapi dibungkus dengan
proyek legal seperti membangun hotel, apartemen, bahkan memiliki bank sendiri
dengan uang dari bisnis hitam. Bujang juga dibekali berbagai ilmu beladiri
sebagai bekal menjadi tukang jagal nomor satu. Spesialisasinya menyelesaikan
konflik tingkat tinggi di keluarga besar shadow economy di Asia Pasifik.
Setelah
membuat pembaca berdebaran pada bab-bab awal, bab berikutnya lebih menegangkan
seperti menonton film action thriller:
tembak menembak, pertempuran, konspirasi dan pengkhianatan. Meski begitu, sisi
romantis novel ini tidak hilang dengan adanya bab yang menceritakan tentang
kepergian Mamak dan surat terakhir ayah.
Pemilihan
alur maju-mundur, menceritakan masa lalu dan masa sekarang juga membuat buku
ini begitu mengasyikan, apalagi deskripsinya sangat kuat. Kelebihan lain novel
ini ialah dialek kental melayu Sumatra. Kita seakan berada di dusun itu.
Penggunaan diksi yang sederhana dan tidak membuai-buai seperti puisi juga
memudahkan mencerna pesan. Beberapa kutipan juga menarik, bisa menohok perasaan
kita dan memberi pesan mendalam tentang kehidupan:
“Ketahuilah, Nak, hidup
ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang
kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah
memenangkan seluruh pertempuran.”
“Tapi sungguh, jangan
dilawan semua hari-hari menyakitkan itu, Nak. Jangan pernah kau lawan. Karena
kau pasti kalah. Mau semuak apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan
tetap terbit indah seperti yang kau lihat sekarang. Matahari akan tetap
memenuhi janjinya, terbit dan terbit lagi tanpa peduli apa perasaanmu. Kau
keliru sekali jika berusaha melawannya, membencinya, itu tidak pernah
menyelesaikan masalah.”
“Kau tau? Hidup ini
sebenarnya perjalanan panjang, yang setiap harinya disaksikan oleh matahari...”
“Benarlah kata orang,
meski semua hal itu adalah kenangan menyakitkan, kita baru merasa kehilangan
setelah sesuatu itu benar-benar pergi, tidak akan mungkin kembali lagi.”
Dan
kutipan ini membuat saya terharu:
“Sungguh, maafkan Bapak
yang tidak pernah memelukmu sejak kau beranjak remaja, terlalu besar gengsi
yang Bapak miliki untuk melakukannya. Juga maafkan Bapak yang tak pernah surat
menyatakan rindu, terlalu tinggi ego yang Bapak tanam sehingga semua sudah
terlanjur semakin sulit.”
Tampaknya
Tere juga menghabiskan banyak waktu untuk meriset mafia, penembak jitu, pesawat
jet, helikopter, dan shadow economy. Bagaimana Tere menggambarkan karakter
seorang sniper, ditel pistolnya, tekniknya, cara hidup ninja dan sebagainya.
Dia
juga meriset ditel beberapa wilayah di Filipina, Hong Kong, Makau, latar dari
peristiwa yang dialami Bujang di luar negeri saat menyelesaikan konflik tingkat
tinggi. Novel ini layak difilemkan. Kekurangan novel ini barangkali dari sisi
adegan aksi, yang pada beberapa bagian masih agak dipaksakan. Mungkin karena
standar saya agak tinggi untuk urusan beginian mengingat saya suka sekali film
mata-mata dan thriller.
Bagi
saya tokoh antagonis, yang berkhianat juga bisa terdeteksi. Kekurangan lainnya
bisa jadi soal narkoba dan seks yang dihilangkan, tak ada cerita polisi, tidak
ada keterlibatan pemburu cerita atau wartawan. Yang kurang sempurna juga dari
novel ini barangkali percintaaan. Bumbu percintaan Bujang pada lawan jenis
tampaknya memang benar-benar dihilangkan oleh Tere. Tapi terlepas dari itu,
novel ini gila, seru, dan romantis.
“Sungguh, sejauh apa pun
kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan
selalu memanggil kami untuk pulang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar