Minggu, 13 Maret 2016

Pulang, dari Tere Liye

Oleh M Tahir Saleh

Novel ini gila, jangan tertipu judulnya.

SUDAH lama mendengar nama Tere Liye di dunia sastra, tapi belum pernah membaca novelnya. Hanya sekali saya menonton sebuah film layar lebar berjudul Hafalan Sholat Delisa yang diangkat dari buku Tere Liye dengan judul yang sama.

Suatu hari, istri saya membeli 10 buku, kebanyakan fiksi termasuk novel. Mungkin sedang kesurupan ingin membaca di rumah. Anda dua novel Tere Liye yang dia beli, Pulang dan Rindu. Novel Pulang dirilis pada September 2015, sedangkan Rindu sudah lama dirilis pada 2014. Semula saya belum tertarik, dari judulnya saja kurang menarik, bisa jadi ceritanya biasa saja.

“Bukunya bagus tau,” kata dia meyakinkan.

Keseringan dia bilang begitu, saya jadi ingin tahu, sebagus apa sih. Jangan-jangan dia aja yang lebay. Tapi setelah melihat dia menikmati betul, saya penasaran. Pulang menjadi incaran pertama. Butuh dua hari untuk melahap 400 halaman. Memang sudah banyak yang meresensi buku Tere, tapi tak apalah. Apa salahnya berbagi pendapat, siapa tahu saya bisa menulis seperti Tere Liye.

Tere memulai bab pertama buku ini dengan deskripsi suasana yang begitu menegangkan untuk sebuah buku berjudul sederhana, Pulang:

“Malam itu di tengah hujan lebat, di dasar rimba Sumatra yang berselimut lumut nan gelap, sesosok monster mengerikan telah mengambil rasa takutku. Tatapan matanya yang merah, dengus napasnya yang memburu, dan taringnya yang kemilau saat ditimpa cahaya petir telah membelah dadaku, mengeluarkan rasa gentar. Sejak saat itu, dua puluh tahun berlalu, aku tidak mengenal lagi rasa takut.”

Melihat judulnya, saya mengira novel ini mengambil tema perjalanan, tentang seseorang yang ingin kembali ke kampung halaman atau orang tuanya, kekasihnya atau siapa pun yang dikasihi. Apalagi sampulnya cantik, berwarna biru dengan motif seakan terkelupas, memperlihatkan ada sunrise, seperti novel romantis.

Tidak salah sih sepenuhnya, tema utama memang pulang, tapi bumbunya luar biasa: tauke, mafia, gangster, samurai, sniper, pertempuran, tukang pukul, tembak menembak, kesetiaan, pengkhianatan, dan shadow economy.

Buku ini bercerita tentang tokoh Bujang, seorang anak kampung di pedalaman Sumatra. Ayahnya, Samad, adalah tukang pukul kesohor di Keluarga Tong. Samad pensiun karena kakinya pincang setelah menyelamatkan bosnya. Bujang tak pernah makan bangku sekolah, ia hanya anak dusun yang dididik sendiri oleh Mamaknya, termasuk belajar agama meski ditentang Samad lantaran dendam masa lalu dengan mertuanya. Jalan hidup Bujang berubah.

Suatu ketika, mereka kedatangan Tauke Muda, sahabat Samad yang juga penerus bisnis Keluarga Tong usai Tauke Tua meninggal. Kedatangan Tauke Muda dan rombongannya saat itu ingin menangkap babi hutan yang mengganggu perkebunan warga. Dalam perburuan ini, Tauke mengajak Bujang bergabung, ajakan yang awalnya ditentang sang ibu. Tapi siapa sangka, meski usianya baru 15 tahun, Bujang menjadi penyelamat rombongan dalam perburuan yang mencekam itu. Dia melawan babi hutan raksana seberat sekitar 500 kilogram di hutam rimba, sendirian dengan tombak, sementara yang lain sudah tumbang.

Bab pertempuran dengan babi hutan ini diceritakan dengan ditel sangat mengagumkan. Dan ini menjadi kekuatan besar menarik pembaca:

“Aku menggigit bibir. Aku benar-benar sudah melupakan pesan Mamak.”

“Aku mencengkram tombak pemberian Bapak. Aku berdiri dengan kaki kokoh, menatap ke depan, dan bersitatap dengan monster mengerikan itu. Aku tidak punya pilihan lain, lari sia-sia saja.....”

Usai peristiwa mencekam itu, Bujang kemudian dijuluki “Si Babi Hutan”. Julukan yang terus dipakai hingga dia dewasa dan tumbuh besar di Keluarga Tong. Bujang lalu diajak ke kota, mengabdi pada Keluarga Tong seperti apa yang dilakukan ayahnya dulu.

Mamaknya sangat menentang kepergian Bujang, tapi karena didesak bujukan Samad, dengan berat hati Mamak melepas kepergian Bujang dengan memberi sebuah pesan yang akan menjadi janji hidupnya sampai dewasa.

Di Keuarga Tong, Bujang menjadi anak emas. Diberi guru privat, masuk universitas, hingga membawa gelar sarjana ekonomi dari Amerika. Jejaring bisnis Keluarga Tong juga menyebar hingga internasional. Bisnisnya ilegal tapi dibungkus dengan proyek legal seperti membangun hotel, apartemen, bahkan memiliki bank sendiri dengan uang dari bisnis hitam. Bujang juga dibekali berbagai ilmu beladiri sebagai bekal menjadi tukang jagal nomor satu. Spesialisasinya menyelesaikan konflik tingkat tinggi di keluarga besar shadow economy di Asia Pasifik.

Setelah membuat pembaca berdebaran pada bab-bab awal, bab berikutnya lebih menegangkan seperti menonton film action thriller: tembak menembak, pertempuran, konspirasi dan pengkhianatan. Meski begitu, sisi romantis novel ini tidak hilang dengan adanya bab yang menceritakan tentang kepergian Mamak dan surat terakhir ayah.

Pemilihan alur maju-mundur, menceritakan masa lalu dan masa sekarang juga membuat buku ini begitu mengasyikan, apalagi deskripsinya sangat kuat. Kelebihan lain novel ini ialah dialek kental melayu Sumatra. Kita seakan berada di dusun itu. Penggunaan diksi yang sederhana dan tidak membuai-buai seperti puisi juga memudahkan mencerna pesan. Beberapa kutipan juga menarik, bisa menohok perasaan kita dan memberi pesan mendalam tentang kehidupan:

“Ketahuilah, Nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapa pun. Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu. Saat kau mampu berdamai, maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran.”

“Tapi sungguh, jangan dilawan semua hari-hari menyakitkan itu, Nak. Jangan pernah kau lawan. Karena kau pasti kalah. Mau semuak apa pun kau dengan hari-hari itu, matahari akan tetap terbit indah seperti yang kau lihat sekarang. Matahari akan tetap memenuhi janjinya, terbit dan terbit lagi tanpa peduli apa perasaanmu. Kau keliru sekali jika berusaha melawannya, membencinya, itu tidak pernah menyelesaikan masalah.”

“Kau tau? Hidup ini sebenarnya perjalanan panjang, yang setiap harinya disaksikan oleh matahari...”

“Benarlah kata orang, meski semua hal itu adalah kenangan menyakitkan, kita baru merasa kehilangan setelah sesuatu itu benar-benar pergi, tidak akan mungkin kembali lagi.”

Dan kutipan ini membuat saya terharu:

“Sungguh, maafkan Bapak yang tidak pernah memelukmu sejak kau beranjak remaja, terlalu besar gengsi yang Bapak miliki untuk melakukannya. Juga maafkan Bapak yang tak pernah surat menyatakan rindu, terlalu tinggi ego yang Bapak tanam sehingga semua sudah terlanjur semakin sulit.”

Tampaknya Tere juga menghabiskan banyak waktu untuk meriset mafia, penembak jitu, pesawat jet, helikopter, dan shadow economy. Bagaimana Tere menggambarkan karakter seorang sniper, ditel pistolnya, tekniknya, cara hidup ninja dan sebagainya.

Dia juga meriset ditel beberapa wilayah di Filipina, Hong Kong, Makau, latar dari peristiwa yang dialami Bujang di luar negeri saat menyelesaikan konflik tingkat tinggi. Novel ini layak difilemkan. Kekurangan novel ini barangkali dari sisi adegan aksi, yang pada beberapa bagian masih agak dipaksakan. Mungkin karena standar saya agak tinggi untuk urusan beginian mengingat saya suka sekali film mata-mata dan thriller.

Bagi saya tokoh antagonis, yang berkhianat juga bisa terdeteksi. Kekurangan lainnya bisa jadi soal narkoba dan seks yang dihilangkan, tak ada cerita polisi, tidak ada keterlibatan pemburu cerita atau wartawan. Yang kurang sempurna juga dari novel ini barangkali percintaaan. Bumbu percintaan Bujang pada lawan jenis tampaknya memang benar-benar dihilangkan oleh Tere. Tapi terlepas dari itu, novel ini gila, seru, dan romantis.

“Sungguh, sejauh apa pun kehidupan menyesatkan, segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu