Jumat, 13 Juni 2008

Sidoarjo: The lost Regent

Quo Vadis penanganan lumpur Lapindo
Oleh Taher Heringuhir

Terhitung sudah dua tahun lumpur menyembur dari dalam tanah di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Namun, hingga kini belum ada langkah-langkah pasti guna menanggulangi semburan yang sudah terlalu ‘nakal’ untuk berhenti itu.

Tanggal 29 Mei 2006 adalah hari ‘kelahiran’ lumpur panas’ Sidoarjo. Umurnya masih muda dua tahun pada 29 Mei lalu tetapi sudah ‘memakan’ lebih dari 700 hektar lahan, 12 desa, dan tidak kurang 175.000 jiwa manusia terlantar. Walapun hanya 13 orang yang meninggal, ekses dari semburan ini mengorbankan seluruh sendi kehidupan warga Sidoarjo, baik lahan, mata pencaharian, pendidikan, bahkan peradaban. Bisa dikatakan seluruh kehidupan menjadi korban.

Namun sayang penanganan yang miring sebelah belum mampu mengobati luka hati para korban lumpur Lapindo. Tidak ada yang merasa bertanggung jawab, yang ada hanya saling lempar tanggung jawab. Entah sampai kapan semburan itu akan dibiarkan?

Kita tahu pada 3 Juni lalu tanggul penahan lumpur Lapindo Brantas di titik 45, tepatnya di Desa Siring, Kecamatan Porong, jebol sekitar 10-15 meter dengan kedalaman empat meter. Hal tersebut menambah parah kondisi semburan.

Meskipun Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Ahmad Zulkarnain baru-baru ini mengatakan tanggul yang jebol itu bisa ditutup kembali dan mengalirkannya ke arah selatan dan timur tetap saja timbul kekhawatiran bagi kita, apalagi bagi korban akan timbulnya lubang-lubang baru.

Di lain pihak penanganan yang dilakukan pemerintah masih berat sebelah dan terkesan condong kepada kekuatan korporasi.

Ketua tim advokasi korban lumpur lapindo Taufik Basari menilai pemerintah masih belum tegas dan cenderung berpihak pada pemodal.

“Korban punya hak atas pemilihan, kompensasi yang dihitung seluruh kehidupannya,” ungkapnya dalam dialog di TVRI Mei lalu.

Mahmud Ali Zain, mantan pansus Lapindo yang kini menjabat anggota DPD Jawa Timur juga sepakat dengan Taufik. Dalam perjuangannya ketika menjabat ketua pansus penanganan lumpur adalah fokus pada penggantian dana kompensasi atas kecerobohan yang dilakukan Lapindo. Namun klausul dalam Keppres justru menekankan jual-beli.

“Saya enggak habis pikir dulu kami perjuangkan ganti rugi, tetapi di Keppres malah terkesan adanya jual-beli. Kesannya penduduk menjual aset tanahnya kepada lapindo, ini kan tidak benar,” pungkasnya penuh emosi

Peneliti The Indonesia Institut, Endang Srihadi juga menilai kasus Lumpur lapindo seperti ajang bisnis antara korporasi dan pemilik tanah.

“Masyarakat tidak ada hubungan bisnis, tetapi setelah ada kasus malah kelihatan ada bisnis. Ini jangan jadi beban negara tapi ini kan eksplorasi korporasi. Harusnya ada auditor independen yang nantinya menghitung kerugian secara imaterinya,” tandasnya

Lalu sampai kapan penderitaan itu akan berakhir? Mantan ketua investigasi independen ITB Prof.Rudi Rudiandini mengatakan semburan lumpur yang terjadi di Sidoarjo bila tidak dihentikan dampaknya akan lebih dari 30 tahun. Oleh karena itu, menurutnya, dana maksimal yang dibutuhkan US$70-US$100 juta.

Namun apabila Lapindo Brantas tidak mampu menanganinya jangan sampai mengulur waktu, serahkan saja penanganan lumpur kepada pemerintah.

‘’Padahal kita punya dana untuk belanja migas saja US$10 miliar, jadi enggak ada masalah. Kita bisa ngebor laut berapa meter aja bisa, masa Lumpur 20 meter saja ga bisa? Kalau lapindo anggak mau tidak apa-apa, serahkan saja ke [pada pemerintah, tidak usah ada dikotomi ini bencana atau bukan,” ujar Rudi

Dia menuturkan pemasangan pipa untuk pengaliran lumpur sudah dilakukan pada Mei sampai November, artinya sudah enam bulan beroperasi. Akan tetapi dana dari Lapindo sudah terkuras sehingga tidak diteruskan lagi. Parahnya Lapindo mencuatkan kabar semburan itu adalah bencana alam. Ironis sekali.

Padahal realitanya dua hari sebelum semburan lumpur terjadi yakni pada 27-28 Mei ternyata ada aktifitas pengeboran oleh Lapindo. Entah mengapa ada usaha berkelit lari dari tanggung jawab.

“Ini [pengeboran] tidak bisa dibantah. Tetapi lapindo nyari jalan untuk lari dari tanggung jawab. Iklan-iklan sekarang malah terlihat pemerintah mendukung lapindo. Kesannya lapindo baik hati, penolong,” tukas Endang.

Di pihak Lapindo, Yuniati Teryana VP Relation PT Lapindo menuturkan Rp803 miliar telah dihabiskan untuk proyek pipa seperti yang diungkapkan Rudi. Dengan demikian, menurut dia, ke depan Lapindo akan menunggu hasil penelitian bagaimana struktur tanah oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)

“Kita akan lihat, kita tidak ingin ceroboh, melakukan indakan spekulatif, oleh karenanya upaya penanggulangannya akan dikaji lagi

Terkait dengan dana ganti rugi, Yunita mengatakan Rp656 miliar yang baru direalisasikan atau 20%. Pada Mei sudah 80%. Untuk Juni ini uang ganti rugi untuk tanah dan bangunan yang tersisa tinggal 80% lagi.

“Di luar negeri yang saya tahu lebih dari 10 tahun, oleh karenanya kita harus kaji dulu. Dalam waktu 2-3 bulan akan dapat hasil dari BMG bagaimana struktur di bawah tanah,” paparnya.

Dengan berlarut-larutnya penanganan ini kita tidak tahu sampai kapan korban lumpur Lapindo akan mendapatkan kompensasi yang sesuai, minimal mendekati. Adalah kemustahilan bahwa korporasi yang dimiliki oleh orang terkaya di Indonesia versi sebuah majalah internasional itu dapat mengganti kehidupan penduduk Porong seperti sedia kala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Penayangan bulan lalu